Awal bulan ini, aku mudik ke Cirebon. Pada kesempatan itu, aku mengobok-obok perpustakaan pribadi guna mencari buku terbitan Balai Pustaka yang bisa dibaca ulang untuk bahan event :
Tema Balai Pustaka |
Gambar dari stalinebooks.com |
Ternyata, kalau diingat-ingat, buku-buku sastra Balai Pustaka yang kubaca memang rata-rata kupinjam dari perpustakaan sekolah. Itu pun dibacanya dalam rangka menunaikan tugas dari mata pelajaran Bahasa Indonesia saja, bukan karena memang berminat untuk mempelajari sejarah literatur dan sastra Indonesia.
Demi memenuhi target membuat review dari semua tema posbar BBI tahun ini, aku pun beralih ke dunia maya dan akhirnya memilih untuk membaca ulang buku ini:
Judul : Sengsara Membawa Nikmat
Penulis : Tulis Sutan Sati
Penerbit : Balai Pustaka
Diterbitkan pertama kali : Tahun 1929
Sinopsis:
Kisah Midun, anak petani yang menjalani berbagai cobaan sebelum akhirnya hidup berbahagia bersama istrinya, Halimah.
Mengapa aku memilih novel ini?
Dari judulnya yang
Bukannya aku tidak suka membaca novel yang akhirnya sedih, membuat syok, atau menggantung tanpa kejelasan (yang terakhir ini asyik kok untuk dikarang sendiri lanjutannya), tapi aku sadar sesadar-sadarnya bahwa membaca buku angkatan 1920-an bakal bikin sengsara, jadi minimal aku memilih yang endingnya tidak bikin nyesek dan bete.
Lalu? Benarkah kesengsaraan membawa kenikmatan?
Seperti kata peribahasa: berakit-rakit dahulu, berenang-renang ke tepian.
Yang artinya...? Bersakit-sakit dahulu, mati tenggelam kemudian.
Mau gimana lagi... aku kan tidak bisa berenang, mana nggak ada pelampung lagi. Kalau sampai jatuh dari rakit dan kecebur ke sungai, ya wassalam sayonara bye-bye.
Ehm, maksudnya... membaca buku ini di abad 21 benar-benar membuatku pusing dan memaksakan diri untuk ekstra sabar dalam mentransfer gaya bahasa jadul ke dalam gaya bahasa saat ini. Sungguh, kadang-kadang sampai perlu googling demi memahami maksudnya.
Contoh:
1. Permainan sepak raga.
Yang terbayang:
Cantona sepak raga hooligan |
Permainan tradisional yang berevolusi menjadi sepak takraw |
2. Bertukar pikiran
Yang terbayang:
Berdiskusi |
Gila |
Seru sih menemukan banyak kosa kata yang sudah mengalami pergeseran makna. Tapi tetap saja...
Selain gaya bahasa yang jadul habis, kesengsaraan ditambah dengan narasi yang bertele-tele dan melompat-lompat. Kadang cerita tiba-tiba melompat ke masa lalu, demi menjelaskan akibatnya pada masa kini, dengan panjang lebar pula.
Belum lagi tokoh utamanya, Midun, yang benar-benar Gary Stu banget. Segitu perfect-nya! Nggak percaya? Begini deskripsinya:
Midun seorang muda yang sangat digemari orang di kampungnya. Budi pekertinya amat baik dan tertib sopan santun kepada siapa jua pun. Tertawanya manis, sedap didengarl tutur katanya lemah lembut. Ia gagah berani lagi baik hati, penyayang dan pengasih, jarang orang yang sebaik dia hatinya. Sabar dan tak lekas marah, serta tulus ikhlas dalam segala hal. Hati tetap dan kemauannya keras; apa yang dimaksudkannya jika tidak sampai, belum ia bersenang hati. Adalah pula padanya suatu sifat yang baik, yakni barang siapa yang berdekatan atau bercampur dengan dia, tak dapat tiada senang hatinya, hilang sedih olehnya. Karena itu, tua muda, kecil besar di kampung itu kasih dan sayang kepada Midun. Hampir semua orang di kampungnya kenal akan dia. Sebab itu namanya tergantung di bibir banyak orang, dan budi pekertinya diambil orang jadi teladan.
Iya sih, penokohan seperti ini dibuat untuk memberikan teladan kepada pembaca. Tapi justru karakteristik yang too damn perfect membuat sang tokoh jadi terasa membosankan. Segala tindak tanduk dan keputusannya menjadi mudah ditebak. No surprise here!
Tokoh antagonisnya, Kacak, sama membosankannya. Intinya, ia jadi musuh Midun hanya karena iri hati dan dengki, gara-gara Midun yang cuma anak petani miskin ternyata jadi idola kampung, lebih populer dari dirinya yang kemenakan pemimpin desa yang kaya raya.
Permusuhan Kacak-Midun yang dibuat hitam putih menjadi plot driver novel ini. Kacak berbuat apa saja demi menjatuhkan Midun, bahkan sampai menyewa orang untuk mencelakakan bahkan membunuh Midun. Gara-gara percobaan pembunuhan itu, Midun malah dipenjara di Padang, hanya karena berusaha membela diri.
Tapi sesengsara apapun, lihat sisi baiknya. Kalau Midun tidak dipenjara, ia tidak akan bertemu Halimah, bakal calon istrinya. Kalau tidak bertemu Halimah, ia tidak akan menyeberang ke tanah Jawa. Kalau tidak menyeberang ke tanah Jawa, ia tidak bakal jadi polisi (reserse narkoba, pula!) dan belakangan mutasi sekaligus promosi menjadi asisten demang di tanah kelahirannya...
Sementara itu, Kacak yang jadi penghulu kepala di kampung, ketahuan korupsi, dihukum 2 tahun dan dibuang ke Padang.
Happy ending, anyone?
Kesimpulan
Intinya novel ini dapat disamakan dengan dongeng kartun Disney. Siapa yang berbuat baik, akan mendapat pahalanya. Siapa yang berbuat jahat, akan mendapat ganjarannya.
Tapi, meskipun perlu kesabaran ekstra untuk menuntaskannya, membaca novel zaman baheula selalu ada hiburannya sendiri. Selain pergeseran makna yang drastis, ada pula pergeseran budaya yang cukup bikin senyum simpul: adegan Midun menembak Halimah dalam perjalanan kapal ke Jawa. Kukutip di sini saja ya:
"Kenang-kenangan yang akan sampai, mimpi yang boleh terjadi," ujar Midun tiba-tiba. "Susahnya yang sebagai si pungguk merindukan bulan. Badan loyang disangka emas."
Midun menyesal, karena perkataan itu tidak sengaja terhambur saja dari mulutnya.
Rasakan hendak dijahitnya bibirnya, karena terdorong itu. "Di manakah Midun yang saleh itu? Apakah arti perkataan yang demikian? Senonoh dan layakkah itu? Tidakkah melanggar kesopanan hidup pergaulan? Pantaskah seorang yang telah mengaku kakak kepadanya mendengar perkataan semacam itu?" Berbagai-bagai pertanyaan timbul dalam pikiran Midun. Malu benar ia akan dirinya, apalagi jika Halimah salah tampa pula.
"Apa boleh buat," kata Midun sendirinya. "Kata terlanjur emas padahannya!"
Repot ya, jadi anak muda jaman dulu. Kayaknya nggak mungkin banget langsung ngomong, "Aku suka kamu. Jadian, yuk?" Cuma kelepasan ngomong pakai kiasan saja, malu dan takut tidak sopannya setengah mati. Untungnya, biarpun hanya pakai kiasan, lawan bicaranya mengerti, dan... membalas perasaannya.
Muka Halimah merah padam mendengar perkataan Midun yang amat dalam pengertiannya itu. Ia memalingkan muka kemalu-maluan. Dalam hati Halimah, "Rupanya bertepuk tidak mau sebelah tangan."
Maka ia pun berkata, "Ah, terlampau tinggi benar pikiran Udo itu. Tiap-tiap sesuatu dengan padannya. Biar bagaimana pipit itil akan tinggal pipit jua. Mudah-mudahan yang dicita datang, yang dimaksud sampai."
Dan Midun, langsung bahagia bukan kepalang mendengar jawaban itu! Padahal kalau dengan ukuran sekarang, jawaban kiasan Halimah itu muter-muter nggak jelas. Jawab saja "aku juga suka kamu", napa!
Oh ya, sebagai informasi tambahan, novel roman ini sudah pernah dibuat versi live action-nya, lho:
Tayang di TVRI tahun 1991 |
Yaa namanya juga beda zaman Mbak hahaha kalo dibandinginnya sama ebiji2 zaman sekarang ya beda bingitssss ...tuh "banget" aja udah geser jadi "bingits" dalam waktu 2 tahun, ini udah puluhan tahun ahahahahaha ... aku malah seneng baca kalimat2 model lampau begini, juga penggambaran Midun yang so perfect, kadang untuk mengingatkan kembali bahwa menjadi orang baik dan mendekati sempurna itu masih bisa. Sayangnya, sering kali kita membaca 'tokoh serba sempurna itu membosankan' jadinya secara bawah sadar kita tergerak untuk menjadi biasa-biasa saja, padahal kalo memang mampu dan niat, bisa saja lho kita bergerak ke arah manusia yang sempurna. Tidak sempurna sih, tapi paling tidak bergerak ke arah sana. Bukan tujuannya, tapi lebih ke prosesnya. Duh panjang bener ini komentar
ReplyDeleteMakasih atas comment-nya, Mas Dion...
DeleteKayaknya kalau aku naik mobil DeLorean ke tahun 1920-an bakal mengalami disorientasi ya :)
Iya mas, aku juga paham kalau karakterisasi tokoh utama dalam dongeng atau novel seperti begini memang bertujuan memberi teladan bagi pembaca.
Tapi bagiku pribadi, dari sisi penceritaan, tokoh protagonis dan antagonis yang satu dimensi bisa bikin ceritanya flat abis sih. Nggak ada gregetnya.
Cerita Harry Potter bisa bikin bosan kalau dia anak lurus-lurus saja yang nggak mungkin berbuat salah. Tokoh villain juga lebih menarik bila lebih layered atau berada di area abu-abu, seperti Snape misalnya.
tapi seru Threez baca bahasanya yang jadoel sambil bayangin orang-orang jadoel itu berinteraksi :D
ReplyDeleteIya, ceu, bikin geregetan itu dialog cinta antara pemuda dan gadis alim jaman bahela :>
Deletekalo baca tulisan jaman dulu emang kesannya lebay sekaligus aneh ya. tapi justru makna tersiratnya yang bikin unik. review yang menghibur :D
ReplyDeleteThanks ya...
DeleteMudah-mudahan anak zaman sekarang juga bisa membaca makna yang tersirat dengan membaca buku-buku sastra seperti ini.
ini, bacaan jaman esempe karena tugas dari guru.. hehee, dulu juga pusing baca karena bahasanya, tapi ceritanya sendiri sih sebetulnya biasa..
ReplyDeleteIya, ceritanya sih standar sinetron, makanya pas banget untuk dibuat sinetron :)
Deletewahahahha... aku beneran baru tahu kalau bertukar pikiran itu maksudnya jaman dulu adalah gila. XD
ReplyDeleteKeren tapilah mbaak bisa nyelesein buku jaman baheula ini!
Alhamdulilah bisa selesai, mbak.
DeleteBaca ulang sih hitungannya, karena waktu sekolah dulu sudah pernah baca. Tapi memang sudah lupa isinya.
muahahahahha...sukaaa baca review2 mb indah yg kocak.. XD #heh
ReplyDeleteHehehe, cuma sharing pengalaman baca kok, Nis.
DeleteJatuh-jatuhnya emang curcol :)