Sunday, June 29, 2014

Kiss of Surrender: A Sloth Deadly Angel

Kiss of Surrender (Deadly Angels, #2)Kiss of Surrender by Sandra Hill
My rating: 3 of 5 stars

Seri Viking dari Sandra Hill yang satu ini dinamai Deadly Angels, dengan para tokoh utama berwujud Viking Vampire Angel, disingkat Vangel, sedangkan lawan abadi mereka adalah Lucipire, Demon Vampire. Pasukan Vangel dibentuk oleh malaikat Michael untuk melawan pasukan Lucies di bawah Lucifer (siapa lagi). Pasukan Vangel dipimpin kakak beradik Sigurdsson, yang disebut  VIK, atau The Seven, karena jumlah mereka tujuh orang. Sejauh ini sudah terbit empat novel, tapi sepertinya bisa kita ramalkan kalau seri ini bakal terdiri dari tujuh buku.

Kenapa ketujuh kakak beradik Sigurdsson bisa "terpilih" menjadi Vangel? Yah, itu sih sama saja dengan bertanya kenapa seluruh kakak beradik Ericsson bisa time-travel ke abad 21. Mungkin itu tema utama Sandra Hill untuk serial Vikingnya: kekeluargaan. Jadi keluarga itu harus senasib sepenanggungan, kalau satu orang jadi vampir, semuanya juga. Kalau satu orang time travel, yang lainnya juga :)

Keluarga Sigurdsson "terpilih" karena masing-masing memiliki dosa besar yang tak terampunkan, salah satu dari Seven Deadly Sins. Pas banget ya, seven sins for seven brothers. Dan mereka menjadi Vangel sebagai hukuman yang harus dijalani kalau tidak mau masuk neraka.

Novel Kiss of Surrender ini merupakan buku kedua, dan tokoh utamanya, Trond Sigurdsson, menjadi Vangel karena dosa besar Sloth, alias... pemalas. Kesukaannya bermalas-malasan di tempat tidur, apalagi kalau musim dingin, bisa-bisa seperti beruang lagi hibernasi. Pada tahun 850, gara-gara terlalu malas untuk bangun, desa Trond hancur diserang oleh kaum Saxon atau Hun. Malaikat Michael yang mendatanginya memberikan Trond an offer he can't refuse dan jadilah ia seorang Vangel. Untung yang datang bukan Kevin Spacey, bisa-bisa hukumannya malah diikat ke ranjang selama satu tahun (buat yang tidak ngeh referensinya, kurekomendasikan nonton film Se7en, ya...).

Seperti biasanya, novel Sandra Hill memadukan tokoh Viking-nya dengan cerita yang kocak. Dan untuk seorang Trond yang pemalas, unsur komedinya digali dengan membuat tokohnya harus melakukan hal yang tidak disukainya: kerja keras. Setelah lebih dari seribu tahun jadi vampir dan menjalani ratusan misi yang berbeda, Trond terdampar di kamp pelatihan Navy SEALS, menyaru sebagai anggota pasukan elit Jaeger dari Norwegia yang ditugaskan berlatih di sana. Ia sampai mendapat julukan Easy, gara-gara terlalu malas dan santai. Buatnya, apa salahnya mencapai tujuan dengan cara yang lebih mudah? Ngapain juga capek-capek lari kalau bisa numpang mobil buggy? Ngapain juga harus repot memanjat jaring tali kalau bisa memutarinya saja? Mottonya: Work smarter, not harder. Ada benarnya juga sih, ya... Buat apa susah, buat apa susah, susah itu tak ada gunanya (ini pasti theme song Trond kalau lagi mendapat misi di Indonesia).

Ini mah dosa besarku tiap weekend... just lying there with my books :P
Premis awalnya cukup menarik, apalagi Trond dihadapkan dengan Nicole Tasso, anggota WEALS yang saking gemasnya melihat orang semalas Trond jadi rajin memaksakan buku-buku motivasi pada Trond. Tapi selain itu, Nicole juga penasaran pada latar belakang Trond yang mencurigakan, sehingga berusaha mengungkap rahasianya. Ujung-ujungnya, karena tidak mau terus-terusan diselidiki Nicole, Trond sampai terpaksa harus mengaku bahwa ia... gay.

Tentu saja, meskipun sudah hidup selibat selama satu milenia, Trond berbohong. Tapi ini menjadi sumber komedi baru bagi Sandra Hill: membuat Nicole yang penasaran berusaha membuktikan apakah Trond memang benar-benar gay... sampai nekat menyeretnya ke lemari peralatan dan "menyerang"-nya habis-habisan. Ah, itu mah dasar Nicole-nya saja yang memang sudah ngiler dari awal, cuma nggak mau ngaku dan cari alasan saja :)

Sayangnya, makin ke belakang jalan ceritanya jadi kurang menarik. Cerita tentang misi utama Trond di NAVY SEALS untuk menyelamatkan jiwa dua orang anggota yang sudah terinfeksi kaum Lucipire rasanya seperti tempelan saja. Cerita tambahan tentang misi penyusupan dan penyerbuan harem teroris malah terasa seperti memanjang-manjangkan cerita. Dan kemalasan Trond (yang ternyata tidak berlaku untuk urusan olahraga ranjang) yang bikin kocak malah jarang dibahas lagi. Duh, nggak seru deh.

Untungnya, masih ada beberapa hal yang cukup menarik. Sandra Hill ternyata menempatkan para Vangel ini di universe yang sama dengan para Viking dari keluarga Ericsson, dan ada crossover yang mempertemukan kedua keluarga ini karena salah satu anak Magnus Ericsson si Very Virile Viking itu ternyata jadi anggota SEALS juga. Selain itu, kita sedikit dipertemukan dengan beberapa saudara-saudara Trond, yang dari dosa besarnya bisa diketahui bagaimana karakternya, misalnya Ivak yang dosa utamanya adalah Lust (kebetulan yang ini sudah punya sih novelnya, cuma belum dibaca saja). Aku jadi penasaran seperti apa cerita yang diperuntukkan bagi Harek si ahli komputer (dosa besarnya kira-kira apa ya?), yang memperkenalkan malaikat Michael pada teknologi internet, dan mungkin akan mengubah cara kerja Vangel yang masih analog menjadi serba digital.

View all my reviews

The Mark of Pinter

The Mark - Noktah (Henry Parker, #1)The Mark - Noktah by Jason Pinter
My rating: 4 of 5 stars

Sebelum membaca novel ini, aku sudah pernah membaca novel Jason Pinter lainnya yang juga menampilkan tokoh utama yang sama. Entah kenapa, novel sebelumnya tidak meninggalkan kesan, malah kurating rendah. Kemungkinan besar faktor terjemahannya yang membuat kurang sreg dan malas membacanya.

Karenanya, aku tidak punya ekspektasi apa-apa waktu memungut buku ini dari timbunan buku yang belum terbaca. Tapi ternyata buku ini membuatku terus membacanya tanpa jeda sampai selesai. It's hard to put down, really.

Mengapa?

Mungkin karena tema ceritanya yang ala salah satu film favoritku, The Fugitive. Kisah thriller tentang buronan tak bersalah yang dikejar-kejar dua pihak sekaligus, baik kepolisian maupun gembong kriminal. Dituduh membunuh polisi saja sudah seperti hukuman mati, ditambah dituduh membawa kabur barang incaran gembong kriminal.

Novel ini merupakan novel debut Jason Pinter dan merupakan yang pertama dari seri Henry Parker, jurnalis muda berusia dua puluh empat tahun yang baru saja bekerja di suratkabar New York Gazette. Entah kenapa waktu pertama kali membaca novel ini, profil yang terbayang di benakku untuk si tokoh utama adalah Tobey Maguire. Jelas ini gara-gara nama belakangnya sama dengan Peter Parker, si fotografer muda suratkabar Daily Bugle yang nyambi jadi manusia laba-laba. Baru mulai kerja, bokek, tinggal di apartemen kacrut, mirip lah nasibnya.

Sebagai anak baru, Parker kebagian tugas membosankan, membuat obituary. Sebagai jurnalis muda ambisius yang haus tantangan lebih, dengan senang hati ia menerima tugas tambahan untuk mewawancarai seorang mantan narapidana, Luis Guzman. Di sinilah nasibnya berbalik dengan cepat. Gara-gara rasa bersalah yang menggerogoti pikirannya karena tidak menolong kekasihnya yang dirampok dan dilecehkan orang, Parker muda mencoba menjadi pahlawan kesiangan, berusaha menolong Luis Guzman dari seseorang yang menginterogasinya dengan kekerasan. Dalam pergumulan, orang itu mati tertembak. Belakangan, diketahui bahwa orang itu adalah polisi. Namanya juga tersangka pembunuh polisi, bisa-bisa malah diadili tanpa sidang, sehingga Parker memilih kabur daripada menyerahkan diri. Setidaknya, sampai ia bisa membersihkan namanya. Padahal, ia tidak punya apa-apa dan kenalan yang bisa menolongnya. Padahal, selain polisi, gembong penjahat pun mengirimkan pembunuh bayaran untuk mengejarnya pula.

Yang membuat cerita ini lebih menarik, Parker tidak sekedar kabur. Seperti halnya Dr. Richard Kimble yang mencari pembunuh istrinya dalam pelariannya, Parker juga berusaha mengungkap kebenaran dalam pelariannya. Sesuai teknik jurnalistik dasar, tentunya: 5W 1 H. What, Where, When, Who, Why dan How. Latar belakang misteri yang terkuak, jalinan korupsi antara kepolisian, pemerintahan, dan dunia kriminal cukup relevan dengan dunia nyata sampai saat ini, di sudut manapun di dunia, bukan hanya New York.

Tapi cerita menarik bukan berarti tidak ada uneg-uneg. Selain dari jalan ceritanya yang... err... terlalu banyak kebetulan yang membuat tokoh utamanya bisa beruntung selamat sampai akhir, aku juga kurang sreg dengan paket barang yang jadi sumber masalah dan dicari-cari banyak orang: album foto dan negatif filmnya. Novel ini pertama kali terbit tahun 2007, lho, di mana dunia sudah meninggalkan fotografi analog dan beralih pada fotografi digital. Meskipun ada foto yang diambil dekade sebelumnya, sudah bisa discan dan disimpan dalam versi digital. Iya sih, pada tahun 2007 kapasitas flashdisk-ku masih 256 MB dan harddisk eksternalku masih 50 GB, tapi itu sudah lebih dari cukup untuk menyimpan seabrek foto digital. Ya sudahlah, fotografer terkait di novel ini sudah pasti fotografer katrok yang tidak siap mengikuti perkembangan zaman.

Terakhir, ending novel ini terlalu bagus untuk seorang jurnalis hijau. Menurutku, kisah seperti ini mungkin lebih cocok berdiri sendiri, dan bukan hanya awal dari rangkaian petualangan seorang jurnalis mendadak seleb.

View all my reviews

Friday, June 27, 2014

The Adventures of Pinocchio

Petualangan PinocchioPetualangan Pinocchio by Carlo Collodi
My rating: 4 of 5 stars

Review ini ditulis untuk berpartisipasi dalam event BBI di bulan Juni ini:
Tema Fairy Tales
Aku tidak punya alasan khusus memilih buku ini sebagai bahan review, selain karena kebetulan saja punya buku ini. Tapi kemungkinan besar alasan berikutnya karena aku tidak punya persediaan buku dongeng lainnya di timbunanku sih... :)

Setelah membaca buku ini, komentar pertamaku adalah: jangan membaca buku ini sambil mengingat-ingat dan membandingkan jalan ceritanya dengan versi film Disney-nya yang ini ya:

Sekali lagi, jangan dibanding-bandingkan. Atau lebih baik lagi: lupakan saja versi Disney-nya, dan nikmati saja versi original Carlo Collodi ini apa adanya.

Tentu saja, aku memberi saran seperti itu karena terlanjur melakukan kesalahan fatal itu. Dan lebih parahnya, karena aku boro-boro ingat versi kartun Disney-nya, yang lebih nempel malah versi film live action dan kaset sanggar cerita keluaran Indonesianya XD

Di sini pelawak Ateng yang jadi Pinokio-nya
Lagu-lagunya memorable banget dah
Yang tahu dua referensi yang kusebutkan di atas... selamat, Anda termasuk Gen-X. Jangan malu untuk mengakuinya :))

Aku kasih tahu ya, zaman dulu itu hiburan yang bisa membuat anak-anak betah di rumah masih jarang banget. Siaran televisi cuma ada satu channel, dan waktu itu masih lebih banyak iklannya daripada acara anak-anaknya (iya, aku mengalami zaman TVRI putar iklan). Video Betamax dan VHS masih belum in, apalagi konsol game. Beuh, makanya anak-anak waktu itu doyannya main panas-panasan dan hujan-hujanan di luar rumah. Kalau mau anak anteng di rumah, putarkan saja kaset dongeng. Berulang-ulang. Anak-anak tidak bakal bosan, kok. Kalau orang tuanya sih, pasti...

Oke, nostalgia masa kanak-kanaknya sampai sini dulu. Tapi harap maklum ya, kalau referensi cerita Pinokio yang nempel di benakku itu seperti apa... :)

Jadi, langsung saja ke pertanyaan inti: Pinokio versi original itu seperti apa sih? Tidak crispy dan spicy, kan?

Aslinya, tanpa bantuan Peri Biru pun Pinocchio sudah hidup dan bisa berbicara waktu wujudnya masih sepotong kayu. Waktu tukang kayu bernama Mastro Antonio akan menjadikannya kaki meja, si kayu memohon agar jangan dipukul keras-keras, karena ia kesakitan. Waktu diamplas, ia malah cekikikan. Seram banget deh pokoknya kalau kita jadi Antonio. Untunglah pas banget datang temannya Gepetto yang butuh kayu untuk membuat boneka tali yang bisa dibawanya keliling dunia untuk mencari uang (baca: ngamen).

Gepetto pun mulai memotong dan memahat kayu itu menjadi boneka tali. Di sini logika mulai nggak masuk, karena si kayu kali ini diam saja. Duh, dipukul saja kesakitan, gimana kalau dipotong dan dipahat, coba? Huh, pilih kasih banget nih kayu! Mungkin karena tujuan penyiksaannya beda kali ya? Mendingan jadi boneka tali yang bisa bergerak dan bicara ketimbang jadi kaki meja yang bisa bicara. Singkat cerita, jadilah boneka yang kemudian diberi nama Pinocchio oleh Gepetto. Asal tahu saja, asbabunujul dipilihnya nama itu nggak ada keren-kerennya :)

Meskipun si kayu tidak teriak-teriak seperti lagi disembelih, proses pembuatan boneka benar-benar merepotkan Gepetto. Jelas saja karena si kayu hidup, begitu matanya jadi, melotot. Begitu hidungnya jadi, memanjang sendiri. Begitu mulutnya jadi, tertawa mengejek. Begitu tangan jadi, wig Gepetto direbut. Begitu kakinya jadi, hidung Gepetto kena tendang. Pokoknya belum jadi pun sudah durhaka banget nih boneka! Puncaknya, pas sudah jadi dan diajari berjalan, Pinocchio pun kabur dari rumah, dikejar-kejar Gepetto. Karena dianggap melakukan KDRT, Gepetto pun ditangkap polisi dan dijebloskan ke penjara.

Bukannya menyesal, Pinocchio malah senang. Dan waktu pulang ke rumah dinasehati seekor jangkrik yang bisa berbicara, Pinocchio pun membunuh si Jangrik menyebalkan itu dengan lemparan palu yang fantastis. Heh, memangnya cuma Thor yang bisa melempar palu?

Oke, ini baru 4 bab lho. Baru 10% cerita. Sudah kebayang betapa bedanya cerita versi original ini dengan berbagai adaptasi yang diperhalus buat konsumsi anak-anak zaman sekarang? Banyak kisah fantastis di sini, dan untuk menikmati ceritanya yang absurd lebih baik logika kita dibungkus dan dimasukkan saja ke dalam kulkas.

Meskipun boneka kayu yang tidak punya perut, Pinocchio ternyata bisa merasa kelaparan, lantas berusaha menggoreng telur. Sayang waktu telurnya pecah, yang keluar malah anak ayam yang kemudian terbang ke angkasa lewat jendela (buku ini pasti dibuat waktu ayam masih bisa terbang). Begitu sengsaranya Pinocchio, hingga akhirnya Gepetto yang telah dibebaskan polisi menolongnya lagi.

Selanjutnya kita bisa melihat bagian-bagian mana dari cerita asli ini yang dicomot dan dipoles menjadi versi yang kita tahu sekarang. Misalnya bagian:
- berangkat sekolah dan tahu-tahu di tengah jalan menukar buku sekolahnya dengan tiket teater boneka.
- bermain bersama boneka-boneka tali di teater boneka.
- bertransformasi jadi anak keledai.
- dimakan ikan (catat: ikan hiu raksasa, bukan ikan paus)
- kisah heroik membawa Gepetto berenang ke pantai.

Di luar poin-poin cerita di atas, jalan ceritanya berbeda banget. Silakan baca sendiri kalau tidak percaya. Meskipun demikian, garis merah pesan moralnya tetap senada kok.
Anak-anak yang mengasihi dan merawat orangtua mereka yang sudah tua dan sakit, layak mendapat pujian sekalipun mereka mungkin tidak bisa diteladani kepatuhan dan perilaku baiknya.
Itulah kata si Peri Biru sebelum memberikan tubuh manusia bagi jiwa Pinocchio yang terperangkap dalam boneka kayu. Iya, ini bukan cerita tentang kayu yang beralihrupa jadi daging seperti yang kita tahu, karena Pinocchio anak manusia bisa melihat boneka kayu yang sebelumnya merupakan tubuhnya, teronggok di kursi.

Eh, sebentar, kalau dipikir-pikir lagi... apakah kalimat yang kukutip dari si Peri Biru itu cukup tepat ya...?

Berarti orang yang telah berbuat sejahat apapun tetap layak dipuji sepanjang tetap mengasihi dan merawat orang tua masing-masing? Kalau begitu, apakah itu termasuk para penjahat kaliber kakap dan paus, sepanjang masih merawat orang tuanya, meski dengan uang hasil kejahatannya? Peduli amat dengan orang tua orang lain, apalagi anak orang lain. Yang penting baik sama orang tua sendiri kan, ya...? Ya? Ya?

#TerusDikutukPeriBiruJadiBoneka

View all my reviews

Thursday, June 26, 2014

Taiko: An Epic Novel of War and Glory in Feudal Japan

Review ini ditulis dalam rangka:
Tema Sastra Asia
Sinopsis
Dalam pergolakan menjelang dekade abad keenam belas, Kekaisaran Jepang menggeliat dalam kekacau-balauan ketika keshogunan tercerai-berai dan panglima-panglima perang musuh berusaha merebut kemenangan. Benteng-benteng dirusak, desa-desa dijarah, ladang-ladang dibakar.
Di tengah-tengah penghancuran ini, muncul tiga orang yang bercita-cita mempersatukan bangsa. Nobunaga yang ekstrem, penuh kharisma, namun brutal. Ieyasu yang tenang, berhati-hati, bijaksana, berani di medan perang, dan dewasa. Namun kunci dari tiga serangkai ini adalah Hideyoshi, si kurus berwajah monyet yang secara tak terduga menjadi juru selamat bagi negeri porak-poranda ini. Ia lahir sebagai anak petani, menghadapu dunia tanpa bekal apapun, namun kecerdasannya berhasil mengubah pelayan yang ragu-ragu menjadi setia, saingan menjadi teman, dan musuh menjadi sekutu. Pengertiannya yang mendalam terhadap sifat dasar manusia telah membuka kunci pintu-pintu gerbang benteng, membuka pikiran orang-orang, dan memikat hati para wanita. Dari seorang pembawa sandal, ia akhirnya menjadi Taiko, penguasa mutlak Kekaisaran Jepang.
Taiko merupakan karya besar Eiji Yoshikawa, penulis bestseller internasional, yang berisi pawai sejarah dan kekerasan, pengkhianatan dan pengorbanan diri, kelembutan dan kekejaman. Sebuah epik yang menggambarkan kebangkitan feodal Jepang secara nyata.

Mengapa aku memilih novel ini
Ya jelas... aku suka banget novel sejarah ini!

Waktu pertama kali aku membeli dan membaca novel ini pada tahun 1994 (waduh, ternyata sudah 20 tahun yang lalu, ya?), wujudnya belum berupa satu jilid novel hardcover yang bisa dijadikan bantal seperti sekarang, melainkan masih terdiri dari 10 jilid, dan diterbitkan secara bersambung. Aku harus menunggu dua minggu sampai dengan satu bulan untuk bisa membaca jilid berikutnya. Benar-benar menguji kesabaran untuk mengumpulkan dan membacanya!

Karena novel ini merupakan salah satu favoritku, maka ketika novel ini turut raib dari koleksiku, aku merasa wajib untuk membelinya lagi... tapi tetap yang versi 10 jilid. Terpaksa deh beli buku seken dengan harga yang lumayan menguras dompet. Padahal sudah ada cetak ulang hardcover dengan harga lebih murah, tapi tetap saja rasanya beda. Move on itu memang susah, Jenderal!

General Review
Seperti halnya Musashi, novel ini merupakan biografi bebas Toyotomi Hideyoshi karya Eiji Yoshikawa.


Pada zaman perang saudara di Jepang, di mana para daimyo/warlord berperang untuk memperebutkan wilayah dan kekuasaan setelah keshogunan Ashikaga ambruk, muncullah tiga tokoh yang sangat berpengaruh: Oda Nobunaga, Tokugawa Ieyasu, dan Toyotomi Hideyoshi. Ketiganya sama-sama bercita-cita menguasai dan mempersatukan Jepang, namun sifat mereka berbeda secara mencolok satu sama lain. Nobunaga: gegabah, tegas, brutal. Hideyoshi: sederhana, halus, cerdik, kompleks. Ieyasu: tenang, sabar, penuh perhitungan. Falsafah-falsafah yang berlainan itu sejak dulu diabadikan oleh orang Jepang dalam sebuah sajak yang diketahui oleh setiap anak sekolah:
Bagaimana jika seekor burung tidak mau berkicau?
Nobunaga menjawab,"Bunuh burung itu!"
Hideyoshi menjawab, "Buat burung itu ingin berkicau."
Ieyasu menjawab, "Tunggu."
Buku ini merupakan kisah laki-laki yang membuat burung ingin berkicau.

Sepanjang buku ini, kita tahu bahwa dalam rangka mencapai cita-citanya mempersatukan Jepang, Nobunaga menggunakan kekerasan dan perang untuk menghabisi semua musuh-musuhnya, dimulai dari pembersihan klannya sendiri, lalu menaklukkan daimyo lain yang tak mau bersekutu dengannya. Kemenangan demi kemenangan yang terus diraihnya membuat posisinya naik dengan amat cepat.

Di balik keberhasilannya, ada seorang Hideyoshi, yang berkarir dari seorang pembawa sandal hingga menjadi jenderal kepercayaan, seorang ahli strategi yang sangat cerdas dan pandai mempengaruhi orang lain. Kadangkala, dengan keahlian diplomasinya Hideyoshi mampu menaklukkan musuh hanya dengan kata-kata. Saat Nobunaga wafat sebelum cita-citanya tercapai, hanya Hideyoshi yang pantas mengambil alih dan menyelesaikan perjuangannya mempersatukan Jepang, dan akhirnya menjadi Taiko.

Bagaimana dengan Ieyasu? Sebenarnya ambisinya sama besarnya dengan Nobunaga dan Hideyoshi, namun ia seorang safety player yang amat sangat sabar. Sadar bahwa sulit mengambil alih Jepang selama Hideyoshi masih hidup, maka ia tidak mengambil risiko dan dengan sabar menunggu. Memang tidak diceritakan dalam novel ini, tapi sejarah menunjukkan bahwa Ieyasu baru bergerak setelah Hideyoshi wafat, berperang dan menang melawan keturunan Hideyoshi, kemudian mendirikan keshogunan Tokugawa yang bertahan ratusan tahun.

Hikmah yang bisa diambil: ada 3 cara untuk menjadi penguasa. Tipe seperti apakah Anda?

Reviews
Silakan berhenti membaca kalau kau merasa review novel ini terlalu panjang. Iya, aku akan membahas setiap jilidnya. Dan iya deh, daripada review sepertinya lebih pantas dibilang ringkasan per jilidnya :))

Taiko 1 - Tahun Temmon Kelima 1536Taiko 1 - Tahun Temmon Kelima 1536 by Eiji Yoshikawa
My rating: 5 of 5 stars

"Sambil mengembara dan mengamati golongan pendekar--jenderal-jenderal yang baik, jenderal-jenderal yang buruk, para penguasa provinsi besar dan kecil--hamba mencapai kesimpulan bahwa tak ada yang lebih penting daripada pandai memilih majikan."

Terlalu sombongkah pemikiran seorang pemuda miskin tanpa keahlian apa-apa, di saat kebanyakan orang sudah merasa bersyukur asal punya pekerjaan sekadar untuk menyambung hidup?

Terlahir sebagai anak Kinoshita Yaemon, anak seorang mantan prajurit infanteri yang menjadi petani setelah invalid, Hiyoshi kecil tidak bermimpi menjadi seorang samurai. Tapi setelah beranjak besar dan bekerja pada majikan yang berbeda-beda, ia sampai pada kesimpulan, bahwa tak ada yang lebih penting daripada pandai memilih majikan.

Bukan masalah baik tidaknya perlakuan seorang majikan, tapi apakah sang majikan dapat membuatnya rela berbuat apa saja, bahkan menyerahkan nyawa.

Hiyoshi pernah bekerja sebagai pelayan pada saudagar tembikar, ronin dari marga Hachisuka, dan terakhir pada Matsushita Kahei, seorang pengikut marga Imagawa.

Hidup di dunia pelayan memberikan kesempatan bagi Hiyoshi untuk mempelajari sifat-sifat manusia. Dan tidak seperti pelayan lainnya yang hanya bekerja untuk makan, pikiran Hiyoshi selalu terbuka untuk mempelajari situasi dan kondisi negerinya. Sayangnya, pelayan biasa yang terlalu cerdas dan terlalu disukai majikan mudah menimbulkan banyak musuh, dan pada akhirnya Hiyoshi terpaksa kembali ke kampung halamannya di Owari.

Di sanalah Hiyoshi terpikat pada Oda Nobunaga dan literally memohon di bawah kakinya untuk mengabdi. Mengapa demikian? Ia dapat melihat karakter asli Nobunaga di balik semua topeng kepandiran yang dipasang Nobunaga untuk mengelabui musuh-musuh terdekatnya, keluarganya sendiri. Untunglah Nobunaga tertarik pada semangat dan tekadnya, dan menerimanya sebagai pengikut.

Dengan nama baru Kinoshita Tokichiro, karirnya sebagai pengikut Nobunaga mulai berkembang. Awalnya hanya sebagai pembawa sandal, namun kesigapannya dalam perang melawan pemberontakan dari pengikut Nobunaga, Shibata Katsuie dan Hayashi Mimasaka, membuatnya mendapat perhatian khusus.

Tokichiro naik pangkat sebagai petugas dapur, dan membuat perubahan signifikan di dapur benteng Kiyosu. Setahun kemudian, ia ditugaskan menjadi pengawas arang dan kayu bakar untuk efisiensi. Taktiknya melonggarkan aturan pemakaian arang dan pendekatannya dengan para saudagar pemasok membuat tugasnya berhasil dengan gemilang. Ia juga mencanangkan reboisasi, penanaman lima ribu bibit untuk setiap seribu pohon yang ditebang! Atas jasanya sebagai problem solver, ia pun mendapat tugas baru untuk mengurus kandang.

Kenaikan gaji tidak ada apa-apanya dibandingkan kata-kata Nobunaga: "Kau telah bekerja dengan baik. Orang seperti kau di tempat seperti itu adalah sia-sia." Pengikut mana yang tidak bahagia mendapat pengakuan seperti itu?

Kesimpulannya adalah: Oda Nobunaga seorang pemimpin yang sangat memahami talent management.

Taiko 2 - Tahun Koji Kedua 1556Taiko 2 - Tahun Koji Kedua 1556 by Eiji Yoshikawa
My rating: 5 of 5 stars

Sebuah bait dari Seni Perang karya Sun Tzu menyebutkan:


Prinsip utama

Untuk kemenangan dalam perang

Adalah membuat prajurit

Mati bahagia


Ada dua contoh dalam jilid ini yang menunjukkan bagaimana seorang pemimpin yang baik dapat memotivasi dan mendorong orang-orang di bawah pimpinannya untuk berjuang keras sampai titik darah penghabisan dengan penuh kerelaan dan kebahagiaan.

Skala kecilnya adalah ketika Kinoshita Tokichiro mampu memotivasi para pekerja bangunan yang semula ogah-ogahan melakukan renovasi dinding benteng pertahanan Kiyosu hingga bersedia membanting tulang tiga hari tiga malam tanpa istirahat demi penyelesaiannya.

Skala besarnya adalah ketika Oda Nobunaga membawa para pengikut dan tentaranya yang hanya beberapa ratus orang melakukan perlawanan terhadap serangan pasukan Imagawa Yoshimoto dari Provinsi Suruga. Pasukan Imagawa yang berjumlah sekitar empat puluh ribu orang sama sekali tidak membuat gentar. Pada pertempuran Okehazama, kepala Imagawa Yoshimoto jatuh dan pasukannya tercerai berai. Oda Nobunaga dari Owari pun mulai diperhitungkan dalam kancah perebutan kekuasaan.

Jilid ini ditutup dengan dua hal penting:
1. Tokichiro berhasil menikahi Nene, putri samurai yang telah lama didambakannya, malah dengan bantuan saingan cintanya.
2. Tokugawa Ieyasu dari Mikawa, yang semula merupakan pengikut Imagawa, bersedia menerima tawaran Nobunaga untuk membentuk persekutuan.

Taiko 3 - Tahun Eiroku Kelima 1562Taiko 3 - Tahun Eiroku Kelima 1562 by Eiji Yoshikawa
My rating: 5 of 5 stars

Di jilid ini ditunjukkan bagaimana cara seorang Kinoshita Tokichiro mengubah lawan menjadi kawan.

Pertama, ssat mendapat tugas untuk membangun benteng di Sunomata yang berbatasan dengan wilayah marga Saito, Tokichiro berhasil membujuk mantan majikannya, Hachisuka Koroku yang membawahi ribuan ronin. Koroku sudah lama setia pada marga Saito meskipun sudah lama putus hubungan. Dengan keahliannya beragumentasi dan visi seorang biksu yang mampu membaca wajah dan karakter seseorang, Koroku pun pindah ke lain hati.

Benteng Sunomata yang gagal dibangun oleh beberapa pengikut Oda yang lebih senior mampu dituntaskan oleh Tokichiro. Atas prestasinya itu, ia menjadi komandan benteng tersebut dan memperoleh nama baru, Kinoshita Hideyoshi.

Kedua, dalam rangka menggoyahkan marga Saito dari dalam, ia berhasil menaklukkan hati Macan dari Unuma, salah satu jenderal Saito yang tidak turun tangan menyerbunya saat membangun Benteng Sunomata. Berkat sahabat barunya itu, Tiga Serangkai alias tiga jenderal yang menopang marga Saito berhasil ditarik satu demi satu ke pihak Oda.

Ketiga, usaha tak kenal lelahnya membujuk Takenaka Hanbei, penasehat utama marga Saito. Anehnya, gaya Hideyoshi mengetuk pintu hati Hanbei persis gaya Liu Bei membujuk Zhuge Liang. Jadi penasaran, apakah bab ini benar-benar terjadi, ataukah hanya dijiplak dari Sam Kok.

Pada jilid ini juga, diceritakan bagaimana Oda Nobunaga yang kekuatannya sudah besar membantu shogun pengembara Ashikaga Yoshiaki, yang terusir dari Kyoto dan kehadirannya nyaris ditolak di manapun ia mampir, kembali ke istananya.

Di jilid ini pula, Oda Nobunaga menyerang marga Asakura di utara dengan dalih "sama sekali tidak mau membantu pembangunan ulang Istana Kekaisaran". Sayangnya, ia tidak menduga adanya bokongan dari belakang oleh iparnya sendiri, Asai Nagamasa. Untungnya ia mampu bergerak cepat dengan menarik mundur pasukannya kembali ke bentengnya di Gifu. Inilah perang mundur Kanegasaki yang terkenal itu.

Omong-omong, sepertinya kisah manga Nobunaga no Chef dimulai waktu Oda Nobunaga dan Kinoshita Hideyoshi tengah berada di Kyoto sebelum penyerangan ke Asakura.

Taiko 4 - Tahun Genki Pertama 1570Taiko 4 - Tahun Genki Pertama 1570 by Eijo Yoshikawa
My rating: 5 of 5 stars

Pada episode inilah Oda Nobunaga "dinobatkan" sebagai Musuh sang Budha. Ia melakukan pengepungan dan pembakaran Gunung Hiei, wilayah khusus dengan hak-hak istimewa yang dipenuhi biksu prajurit yang menentang Oda Nobunaga, dengan dukungan Sang Shogun serta marga-marga lainnya. Dua kali ia mengepung Gunung Hiei. Pada pengepungan pertama, ia mundur untuk menangani pemberontakan di provinsi sendiri serta ancaman dari Takeda Shingen. Pada pengepungan kedua, ia membumihanguskan gunung itu.

"Serang gunung itu dan bakar semuanya sampai hangus, mulai dari tempat persembahan, gedung utama, biara-biara, serta semua naskah kuno dan barang keramat. Kalau seseorang mengenakan jubah biksu, dia tidak boleh lolos. Jangan bedakan antara orang bijak dan pandir, bangsawan dan biksu biasa. Jangan beri ampun pada perempuan dan anak-anak. Seandainya ada orang berpakaian biasa, kalau dia bersembunyi di gunung dan lari karena kebakaran, kalian boleh menganggapnya sebagai bagian dari penyakit yang harus diberantas. Bantai semuanya, dan bakar gunung itu sampai tak ada tanda kehidupan tersisa di reruntuhannya!"

Buset memang.

Sementara itu, Shingen Takeda bergerak memasuki wilayah Tokugawa Ieyasu. Tanpa menunggu bala bantuan dari Owari, Ieyasu melawan dengan kekuatan terbatas dan mengalami kekalahan besar, namun berhasil menggagalkan rencana Shingen untuk maju ke ibu kota.

Setelah itu, Nobunaga yang mendapat kabar rahasia bahwa Shingen Takeda tiada, merasa lega luar biasa dan menganggap sudah tiba saatnya untuk mengubah sejarah. Ia menyingkirkan Shogun yang tidak tahu terima kasih, menaklukkan marga Asakura dari Echizen, dan akhirnya menghancurkan Asai Nagamasa.

Untuk yang terakhir, Hideyoshi berjasa sangat besar dengan melakukan penaklukkan dari dalam. Selain itu, Hideyoshi juga berjasa menyelamatkan Oichi, adik Nobunaga yang dinikahkan secara politik dengan Nagamasa, serta anak-anaknya. Atas jasanya, ia dianugerahi bekas wilayah Asai dan mendapatkan nama baru: Hashiba Hideyoshi.

Taiko 5 - Tahun Tensho Ketiga 1575Taiko 5 - Tahun Tensho Ketiga 1575 by Eiji Yoshikawa
My rating: 5 of 5 stars

Jilid kelima ini memotret keruntuhan Kai setelah kematian Takeda Shingen. Putranya, Takeda Katsuyori, mewarisi kemampuan bertempurnya, tapi bukan kemampuan membaca keadaan.

Hal paling menyedihkan dari runtuhnya Kai adalah kekalahan pasukannya dari teknologi yang digunakan pasukan Oda Nobunaga. Pembantaian terjadi karena untuk menghadapi pasukan bersenapan, mereka menggunakan "perisai maut", yaitu menggunakan orang barisan terdepan sebagai tameng, dengan asumsi pasukan lawan harus mengisi peluru. Padahal pasukan senapan terdiri atas tiga lapis yang menembak bergantian, sehingga hujan peluru tak berjeda.

Highlight selanjutnya adalah usaha Hideyoshi yang ditugaskan menyerbu ke Barat, untuk menaklukkan provinsi-provinsi di bawah pengaruh marga Mori, dengan didampingi Takenaka Hanbei dan Kuroda Kanbei, pengikut baru Nobunaga yang berasal dari provinsi barat.

Berkat bantuan Hanbei dan Kanbei (kenapa nama mereka berima ya? Ini pasti tidak disengaja, kan?), pasukan Hideyoshi mampu menaklukkan wilayah Harima. Namun saat ia berhasil membuat marga Ukita mau bekerja sama, sehingga Provinsi Bizen dan Mimasaka menjadi sekutu tanpa pertumpahan darah, Nobunaga menyatakan ketidaksenangan karena Hideyoshi bertindak di luar kewenangannya.

Hideyoshi menyadari bahwa Nobunaga ingin menghancurkan marga Ukita, dan membagi-bagikan wilayahnya pada pengikutnya sendiri. Untunglah akhirnya Nobunaga melunak dan bersedia menerima persekutuan dengan marga Ukita. Namun di saat yang sama, salah satu jenderalnya, Araki Murashige, malah menyeberang ke pihak Mori!

Hideyoshi mengirim Kanbei untuk menjadi penengah, tapi berakhir dengan ditangkapnya anak muda itu oleh Murashige. Dan Nobunaga pun memerintahkan agar putra Kanbei yang dijadikan sandera dan dititipkan pada adik Hanbei di Kyoto, untuk dipenggal. Err, curiga anak buah bersalah sih boleh saja, tapi cek dan ricek dulu dong, bos! Tega benar...

Perintah itu jadi masalah serius, karena meskipun pemberontakan Murashige telah dianggap "selesai", sepertinya Hideyoshi dan Hanbei belum memberi kabar tentang pelaksanaannya...

Taiko 6 - Tahun Tensho Ketujuh 1579Taiko 6 - Tahun Tensho Ketujuh 1579 by Eiji Yoshikawa
My rating: 5 of 5 stars

Hideyoshi akhirnya berhasil menyelamatkan Kanbei, dan pembiaran Hanbei atas perintah Nobunaga yang cepat curiga pun dimaafkan. Tapi Kanbei cacat karena lututnya cedera saat melarikan diri dari benteng Murashige, sedangkan kesahatan Hanbei yang selama ini kurang baik pun semakin memburuk.

Hanbei pun wafat. Tapi sebelumnya, ia memberikan amanat yang luar biasa kepada Hideyoshi:

"Setelah mengamati tuanku dengan saksama, hamba tak dapat menemukan ambisi untuk menjadi penguasa seluruh negeri. Sampai sekarang, ini suatu kelebihan dan sebagian dari watak tuanku. Sesungguhnya, tak patut hamba menyinggungnya, tetapi ketika tuanku menjadi pembawa sandal Yang Mulia Nobunaga, tuanku melaksanakan tugas itu dengan segenap hati. Setelah mencapai kedudukan samurai, tuanku mengerahkan seluruh kemampuan untuk menjalankan tugas-tugas samurai. Tak sekalipun tuanku menoleh ke atas dan berusaha mencapai kedudukan yang lebih tinggi lagi. Yang hamba khawatirkan sekarang--sesuai dengan sifat tuanku ini--tuanku akan menyelesaikan tugas tuanku di provinsi-provinsi Barat, atau melaksanakan tugas yang diembankan Yang Mulia Nobunaga, atau menundukkan benteng Miki tanpa memperhatikan perkembangan dunia maupun mencari jalan untuk menonjolkan diri."

"Tetapi, kemampuan yang dibutuhkan seseorang untuk memegang kendali di zaman seperti ini merupakan anugerah para dewa. Para panglima perang saling bersaing memperebutkan kekuasaan, masing-masing mengaku bahwa hanya dia sendiri yang sanggup membawa fajar baru ke dunia yang dilanda kekacauan, dan menyelamatkan rakyat dari kesusahan. Tetapi Kenshin, yang begitu hebat, telah menemui ajal; Shingen dari Kai telah tiada; Motonari dari provinsi-provinsi Barat meninggalkan dunia dengan pesan agar penerusnya melindungi warisan mereka dengan mengenali kemampuan mereka; dan di samping itu, baik marga asakura maupun marga Asai telah tertimpa bencana akibat kesalahan sendiri. Siapa yang akan membaca pemecahan untuk masalah ini? Siapa yang memiliki kemampuan membentuk budaya baru untuk era berikut, dan diterima oleh rakyat? Orang seperti itu lebih sedikit dari jari sebelah tangan."

"Hamba maklum, tuanku tentu bingung mendengar ucapan hamba, sebab kini tuanku mengabdi pada Yang Mulia Nobunaga. Hamba memahami perasaan tuanku. Tuanku dan Yang Mulia Ieyasu tidak mempunyai semangat yang diperlukan untuk mendobrak situasi saat ini, maupun keyakinan untuk mengatasi segala persoalan yang timbul sampai sekarang. Siapa, selain Yang Mulia Nobunaga, yang sanggup memimpin negeri sejauh ini melalui kekacauan zaman? Tetapi ini tidak berarti bahwa dunia telah diperbaharui melalui sepak terjang beliau. Hanya dengan menundukkan provinsi-provinsi Barat, menyerang Kyushu, dan berdamai dengan Shikoku, bangsa ini belum tentu memperoleh kedamaian, keempat golongan rakyat belum tentu hidup berdampingan secara harmonis, budaya baru belum tentu terbentuk, dan landasan untuk kesejahteraaan generasi-generasi berikut pun belum tentu terwujud."

Well said. 

Omong-omong tentang calon pemimpin di masa depan, sepertinya pada pilpres Indonesia tahun ini, ada sih capres yang roman muka dan karakternya rada mirip dengan Hideyoshi yang digambarkan Eiji Yoshikawa. Apakah takdirnya juga akan mirip, mencapai tampuk kekuasaan tertinggi dan membawa bangsanya pada masa keemasan? Tapi, ada tapinya nih, apakah setelah masanya berakhir, saingan politik terberatnya akan menghancurkan keluarga dan semua pengikutnya, lantas mendirikan dinasti yang akan berkuasa ratusan tahun?

Siapa ya kira-kira politisi di Indonesia yang karakternya mirip Tokugawa Ieyasu, sabar memendam ambisi yang menyala-nyala, demi merebut kekuasaan di tikungan terakhir lantas berkuasa tujuh turunan?

Taiko 7 - Tahun Tensho Kesepuluh 1582Taiko 7 - Tahun Tensho Kesepuluh 1582 by Eiji Yoshikawa
My rating: 5 of 5 stars

Berhati-hatilah menangani anak buah, karena bila anak buah merasa tidak dihargai bahkan dipermalukan di depan umum, dapat menjadi bumerang.

Entah bagaimana, belakangan ini penilaian dan perlakuan Oda Nobunaga terhadap Akechi Mitsuhide sangat berubah. Ia memanggil Mitsuhide dengan "Kepala Jeruk" (karena kepalanya botak). Tapi itu tak seberapa, toh Hideyoshi pun tetap dipanggil "Monyet" meskipun sudah jadi jenderal. Mitsuhide juga dilewatkan dalam pemberian penghargaan dalam penaklukkan daerah. Ia juga dicopot dari tugasnya menyiapkan jamuan agung, dan ditugaskan pergi lebih dulu membantu Hideyoshi pada perang di provinsi Barat. Dan ia harus menunggu perintah dari Hideyoshi! Ia merasa terhina karena ditempatkan lebih rendah dari Hideyoshi!

Maka ia pun mengambil keputusan untuk menyingkirkan Nobunaga, ketika diketahuinya sang junjungan berangkat ke Kuil Honno di Kyoto hanya dengan ditemani segelintir pengikut.

Ketika mengetahui bahwa Akechi Mitsuhide mengkhianatinya, satu-satunya hal yang dipikirkan Nobunaga sebelum melakukan seppuku dalam kuil Honno yang terbakar api, adalah cita-citanya mempersatukan Jepang yang belum selesai.

Itu pula kesedihan yang dirasakan Hideyoshi ketika mengetahui Oda Nobunaga telah gugur, betapa besar penyesalan junjungannya karena harus mati di saat karya besarnya baru rampung setengahnya.

Di sanalah ia mengambil keputusan untuk meneruskan cita-cita Nobunaga. Namun pertama-tama, ia harus segera membereskan sang pengkhianat.

Pada bagian awal buku, di mana Hideyoshi menyerang Benteng Takamatsu dengan serangan air dengan membelokkan aliran beberapa sungai hingga benteng dan daerah sekitarnya kebanjiran, aku jadi bertanya-tanya apakah nenek moyang kita pernah ada yang berpikir untuk melakukan hal yang sama waktu menyerang Batavia.

Taiko 8 - Tahun Tensho Kesepuluh 1582, Musim PanasTaiko 8 - Tahun Tensho Kesepuluh 1582, Musim Panas by Eiji Yoshikawa
My rating: 5 of 5 stars

Setelah mengetahui kabar kematian junjungannya, Hideyoshi bergerak cepat. Dengan lihai, ia berhasil mengakhiri perang di provinsi Barat lewat membuat perjanjian damai dengan marga Mori yang belum tahu tentang berita itu. Lalu, ia segera mengarahkan pasukannya ke Kyoto untuk menumpas marga Akechi Mitsuhide. Dalam sebelas hari ia berhasil menyelesaikan kewajibannya.

Di sisi lain, pengikut senior Nobunaga lainnya, Shibata Katsuie terlambat datang dari wilayah utara dan masih dalam perjalanan ketika Hideyoshi sudah membereskan musuh bersama. Hal ini membuat pamornya jtuh di bawah jasa Hideyoshi yang gemilang.

Ujian berikutnya bagi Hideyoshi adalah perpecahan di kalangan para bekas pengikut Nobunaga yang berpotensi menghancurkan apa yang telah dicapai mendiang junjungannya. Putra sulung Nobunaga, Nobutada tewas bersama ayahnya di Kuil Honno, tapi ia meninggalkan putranya yang masih balita, Samboshi. Namun masih ada dua putra Nobunaga lain yang juga berambisi menggantikan kedudukan sang ayah sebagai pemimpin marga Oda.

Pada pertemuan di antara mantan bawahan Nobunaga, Shibata Katsuie terang-terangan mengusulkan Nobutaka, putra ketiga, sebagai pewaris, jelas-jelas melewatkan Nobuo, sang putra kedua. Satu-satunya orang yang berani menentangnya adalah Hideyoshi, yang mengusulkan Samboshi, yang merupakan keturunan garis pertama, sesuai hukum marga Oda. Perang kata-kata berlangsung sengit, tapi karena alasan Katsuie tidak cukup kuat, akhirnya usulan Hideyoshi yang diterima. Pada pembagian wilayah bekas marga Akechi pun, lagi-lagi usulan Hideyoshi yang akhirnya diterima.

Kekalahan berturut-turut membuat Katsuie semakin panas. Ia berkomplot untuk membunuh Hideyoshi pada acara jamuan makan untuk Yang Mulia Samboshi di Benteng Kiyosu. Tapi Hideyoshi berhasil lolos dari jeratannya dengan pulang ke bentengnya sendiri dengan alasan sakit. Hm... jurus pura-pura sakit begini rupanya bukan cuma keahlian para tersangka koruptor di Indonesia ya...

Taiko 9 - Tahun Tensho Kesepuluh 1582, Musim DinginTaiko 9 - Tahun Tensho Kesepuluh 1582, Musim Dingin by Eiji Yoshikawa
My rating: 5 of 5 stars

Clash of clans: Hideyoshi vs Katsuie (dan Nobutaka)

Katsuie berencana menyerang Hideyoshi dengan dukungan Nobutaka. Tapi sementara ia terjebak di bentengnya sendiri karena musim dingin di Echizen, Hideyoshi mendahului rencananya dengan menyerang Nobutaka lebih dulu, dengan alasan menyekap Samboshi di bentengnya sendiri, sehingga dapat dipandang sebagai penyanderaan terhadap ahli waris Oda yang sah. Tanpa bantuan dari Katsuie yang terlalu jauh, Nobutaka dan para pengikutnya menyerah, sedangkan perwalian Samboshi dialihkan pada Nobuo.

Perang antara kubu Hideyoshi dan Katsuie tak bisa dicegah lagi, tapi pengikut lama Oda yang bergabung dengan Hideyoshi lebih banyak dibandingkan yang bergabung dengan Katsuie, sehingga kekuatan mereka cukup timpang. Rencana Katsuie sendiri berantakan ketika pasukan keponakan tersayangnya, Sakuma Genba, yang menyusup ke wilayah musuh berhasil ditumpas, sedangkan pasukannya sendiri tercerai berai karena sebagian besar kabur dari medan perang. Katsuie kembali ke bentengnya, dan berakhir dengan melakukan seppuku dan tubuhnya terbakar habis dalam menara benteng.

Dengan kehancuran marga Shibata, Nobutaka pun kehilangan pegangan. Nobuo mengerahkan pasukan dan mengepung bentengnya, dan menganjurkan saudaranya pergi ke Owari. Salah satu pembantu Nobuo mendatangi Nobutaka dengan membawa perintah untuk melakukan seppuku.

Hideyoshi berhasil menyatukan kembali hampir seluruh wilayah Nobunaga.

Taiko 10 - Tahun Tensho Kesebelas 1583Taiko 10 - Tahun Tensho Kesebelas 1583 by Eiji Yoshikawa
My rating: 5 of 5 stars

Clash of clans: Hideyoshi vs Ieyasu (dan Nobuo)

Bukan hanya wilayah, namun kebesaran nama Nobunaga telah beralih kepada Hideyoshi sebagai penerusnya. Selain mengurusi pemerintahan di Kyoto, ia juga mewujudkan proyek raksasa: pembangunan benteng Osaka, yang kelak menjadi salah satu warisan budaya Jepang dan dunia.


Di antara kesibukan sampingannya itu, Hideyoshi masih mewaspadai Tokugawa Ieyasu, yang sikapnya tidak jelas setelah kematian Nobunaga. Ia meyakini bahwa orang yang paling menonjol di zaman itu, selain Nobunaga, adalah Ieyasu. Dan bentrokan di antara mereka berdua hampir tak terelakkan.

Penyulut api perang adalah Nobuo, putra Nobunaga yang merasa seharusnya setelah mewujudkan perdamaian, Hideyoshi menyerahkan seluruh kekuasaannya kepada pewaris bekas junjungannya. Tapi karena Samboshi masih terlalu kecil, sewajarnya kedudukan itu jatuh kepadanya. Karena mantan pengikut ayahnya berdiri di pihak Hideyoshi, ia pun meminta bantuan Ieyasu, mantan sekutu ayahnya.

Pucuk dicinta ulam tiba. Dengan dalih bahwa Hideyoshi menyebabkan Nobutaka melakukan bunuh diri dan memberontak terhadap Nobuo, Ieyasu memiliki alasan yang cukup kuat untuk mengangkat senjata terhadap Hideyoshi. Tapi sesungguhnya, siapapun yang menang nanti takkan mengubah nasib Nobuo. Ia hanya bidak atau boneka Ieyasu yang memiliki tujuan yang sama sekali berbeda dalam perang dengan Hideyoshi ini.

Perang pun tak dapat dihindari, dan korban pun berjatuhan dari kedua pihak, termasuk jenderal-jenderal veteran Hideyoshi.

Namun Hideyoshi tidak hanya ahli bertempur di medan perang, tapi juga ahli dalam siasat dan watak manusia. Dalam rangka menghindari perang dan korban yang lebih besar, cara yang ampuh adalah menangani sumber apinya. Ia menarik Nobuo ke pihaknya, dan berhasil membuat perjanjian damai di luar sepengetahuan Ieyasu. Dengan Nobuo berada di pihak Hideyoshi, Ieyasu tak punya lagi alasan untuk memerangi Hideyoshi. Ia terpaksa menelan pil pahit, dan mundur ke daerahnya sendiri.

Satu setengah tahun setelah Nobunaga wafat, kedudukan, popularitas, serta misi yang semula menjadi milik Nobunaga dengan cepat beralih kepada Hideyoshi. Ieyasu terpaksa mengakui kebodohannya karena telah melawan arus zaman. Meski tak terkalahkan di medan perang, ia pun menyerahkan kemenangan politik kepada Hideyoshi.

Dari seorang pembawa sandal, Hideyoshi akhirnya menjadi Taiko, penguasa mutlak Kekaisaran Jepang.

View all my reviews

Wednesday, June 25, 2014

Understanding Publishing

Whatcha Gonna Do with That Duck?: And Other Provocations, 2006-2012Whatcha Gonna Do with That Duck?: And Other Provocations, 2006-2012 by Seth Godin
My rating: 4 of 5 stars

Buku ini merupakan kumpulan posting blog Seth Godin selama enam tahun, dari 2006 - 2012.

Karena ada ratusan posting yang semuanya menarik (bagaimana lagi, aku penggemar tulisan Seth Godin soalnya), susah membuat reviewnya. Intip saja blognya di sethgodin.typepad.com ya.

Di sini aku cuma mau sharing salah satu posting yang tema bahasannya kerap kita pertanyakan, dalam kapasitas kita sebagai pembaca slash pembeli buku.

Strangers and Friends:  Understanding Publishing

The bookstore and the publisher keep more than 85%  of what a reader pays for a book.

And that money us well earned. Why? Because book publishing is the act of taking a financial risk to bring an idea to an unknown reader.

The key word is "unknown". Before the book is purchased, neither the bookstore nor the publisher knows the identity of the reader.

This is fundamentally different from the core readership of a magazine or a newspaper (they have subscribers).

Reaching strangers is a risky business. Penguin is left with $40 million in debt from Borders as they go bankrupt. Penguin had to advance them money because otherwise, no bookstore would be able to take the risk of having all those books standing by, just hoping that the right stranger would find the right book on the right day.

Authors, then, have a choice. They can give up more and more freedom and cash to publishers in exchange for publishers' taking the risk of finding, alerting, and selling to strangers, or they can start to organize a tribe, to build permission, to engage with readers before the book exists, and to sell those friends on their work.

Selling to friends (people who know you, trust you, are aware of what you can offer) is orders of magnitude more efficient than seeking out strangers. Sure, it's time consuming and frightening to earn those friendships, but they are the transformative element of the new publishing.

Once you have a base of friends, then, publishing is reduced to a much simpler set of tasks--the hard work of editing, designing, printing, and fulfilling. Hard, but not financially difficult. Not just that, but the speed, freedom, and control will transform the way you write as well as how you engage with your audience.

It's very seductive for an author to believe that a fairy godmother will introduce her fabulous idea to legions of strangers. Seductive, yes, but rarely something that actually happens.

[There are dozens of businesses that, like book publishing, focus on strangers. What happens to your business when you switch gears and focus on your friends instead?]

Selain topik di atas, di sesi The Future Is Arriving, Godin membahas banyak hal tentang perbukuan. Well, wajarlah karena ia juga seorang penulis.

Perbandingan antara buku fisik dan ebook misalnya. They're different products for different readers. Buku fisik terutama yang hardcover fungsinya memang bukan cuma dibaca seperti ebook, tapi juga sebagai bagian dari interior-decorating stuffs. Keren buat dipajang di lemari ;))

Banyak bahasan tentang buku, membaca, masa depan penerbitan/toko buku dan lain-lain yang enak untuk dibaca dan direnungkan. Tapi baca buku ini bikin pegal. Hardcover setebal 590 halaman soalnya. Dan iya... buku ini pasti berakhir jadi bagian dari pajangan untuk interior kamar tidurku di Cirebon...

View all my reviews

Sunday, June 22, 2014

The Rackeeter

The RacketeerThe Racketeer by John Grisham
My rating: 4 of 5 stars

Sudah lama aku tidak membaca novel John Grisham, tapi proyek baca-ulang-beli-ulang yang kumulai sejak tahun lalu praktis akan memperbaiki hal tersebut.

Tapi tentu saja novel yang satu ini bukan termasuk yang harus kubeli ulang, karena baru tiga bulan yang lalu kubeli online dari Periplus.com, itu pun karena termasuk daftar Bargain Books. Hardcover dengan harga banting? Why not?

Secara garis besar, novel ini terhitung ringan dibandingkan novel-novel awal John Grisham. Ceritanya pun tidak melulu soal hukum atau sidang pengadilan. Entah genre apa tepatnya, tapi campuran antara misteri pembunuhan, hukum, petualangan, dan heist. Tokoh utamanya mantan pengacara berkulit hitam yang dipenjara sepuluh tahun karena tersangkut RICO. Dan ya, ia tak bersalah, hanya ikan kecil yang tersangkut oleh jaring raksasa federal.

Kisah dimulai dengan pembunuhan Hakim Federal Raymond Fawcett dan selingkuhannya di pondok peristirahatannya. Karena TKP berada di tempat terpencil dan pembunuhnya tidak meninggalkan jejak, polisi dan FBI nyaris putus asa. Sampai muncul seorang saksi dari dalam penjara yang mengaku tahu siapa pembunuhnya.

Malcolm Bannister mengajukan persyaratan untuk kesaksiannya, pembebasan tanpa syarat dan ikut progran perlindungan saksi. Namun sementara tersangka ditangkap dan ditahan untuk diadili, program perlindungan saksi ternyata tidak cukup memadai untuk menjamin keselamatannya, sehingga Bannister memilih untuk memutuskan hubungan dengan FBI dan melenyapkan diri.

Jalan cerita ternyata tidak straightforward sebagaimana biasa. Kita mengikuti petualangan Bannister saat melenyapkan diri dengan penuh tanda tanya. Mengapa alih-alih sembunyi di tempat anonim ia malah berkelana di AS, menggunakan wajah dan nama barunya, dan mengaku-aku sebagai sutradara film dokumenter?

Namun tentunya, ada alasan di balik aksi dan tipuan Bannister yang seolah tidak jelas mau dibawa ke mana. Dan pada akhirnya, selain membantu pemerintah menangkap sang pelaku pembunuhan, Bannister menggunakan kesempatan itu untuk membalas dendam pada sistem hukum yang membuatnya terpenjara tanpa dosa. Dan tentu saja, hidup bebas dan kaya raya.

Seperti beberapa novel John Grisham lainnya, tokoh utama di novel ini semi abu-abu. Meskipun ia orang baik-baik, rasa frustasi karena dipenjara tanpa kesalahan membuatnya tidak pasrah menerima keadaan. Lewat pergaulannya di penjara, bahkan seringkali menjadi "pengacara penjara" bagi sesama tahanan, ia mendapat informasi yang berguna untuk merancang skema kebebasannya. Bahkan walaupun itu berarti bekerja sama dengan para kriminal, atau membengkokkan hukum demi kebebasannya.

Twist plot novel ini tidak terlalu rumit dan bisa diraba sebelum novel berakhir. Tidak sedramatis atau sebagus Shawnsank Redemption, tapi cukup untuk membuat kita tertarik untuk  terus membacanya sampai selesai.


View all my reviews

Along The Way: The Journey of Martin Sheen and Emilio Estevez

Along the WayAlong the Way by Martin Sheen
My rating: 5 of 5 stars

Ada masanya aku menjadi penggemar aktor-aktor dari keluarga ini. Baik itu sang ayah, Martin Sheen alias Ramon Estevez, maupun anak-anaknya, Emilio Estevez dan Charlie Sheen. Di luar talenta akting mereka yang memang first class, alasan utama yang jelas sangat bias adalah... anggota keluarga Hispanik ini memang ganteng-ganteng semua. Setelah melihat foto hitam putih lama dari Fransisco Estevez, ayah Martin Sheen, yang keren habis, ini mah jelas faktor keturunan :D

Apa perlu bukti?

Fransisco Estevez
Ramon Estevez aka Martin Sheen
Emilio Estevez

Carlos Estevez aka Charlie Sheen

It runs in the family! Cowok Spanyol memang calon suami idaman. Ganteng-ganteng dan pulang cepat. #KenapaJugaNyerempetWorldCup2014 ;P

Karenanya, waktu menemukan buku ini, meskipun cuma buku seken, aku jelas kepingin punya.

Biografi tandem ini disusun dari dua sudut pandang, ayah-anak Martin Sheen dan Emilio Estevez, dan berdasarkan timeline yang sama, sehingga dari satu peristiwa atau dari satu episode yang sama kita dapat menyelami perasaan dan jalan pikiran keduanya. Setiap interaksi, baik dan buruknya, dapat dilihat dari dua sisi yang sangat berbeda.

Sebagai aktor yang menikah dan memiliki anak dalam usia muda, Ramon Estevez bekerja serabutan demi menafkahi keluarga. Tapi nama Spanyolnya membuatnya kesulitan mencari kerja, sehingga ia mengganti nama panggungnya menjadi Martin Sheen. Sepertinya sih tidak pakai bubur merah bubur putih, tapi punya nama baru rupanya keputusan yang tepat pada saat itu, meskipun membuat ayahnya sedih.

Emilio sendiri seharusnya dinamai Emilio Diogenes Estevez, tapi karena Martin tidak bisa mengeja nama tengah yang berasal dari ikonoklas Yunani itu, jadilah nama di akte kelahirannya malah berubah menjadi Emilio Dominic Estevez :) Biografi Emilio sendiri dimulai setelah ia berumur lima tahun, dengan kisah bagaimana ia di-bully dan dipalak anak-anak lain yang lebih besar. Tinggal di daerah kontrakan yang padat penduduk memang tidak nyaman. Baru setelah ia beranjak remaja, ayahnya bisa membeli rumah di lingkungan yang lebih baik. Beberapa anak tetangga mereka bahkan kelak menjadi terkenal sebagai aktor pula, seperti Sean dan Chris Penn, Rob dan Chad Lowe, sampai Robert Downey Jr.

Salah satu keuntungan jadi anak dari seorang aktor sayang keluarga macam Martin Sheen adalah seluruh keluarganya seringkali diboyong ke lokasi syuting. Jadilah Emilio ikut ke Meksiko saat ayahnya syuting film Catch-22, atau ke Roma waktu syuting The Cassandra Crossing, bahkan ke Filipina buat syuting Apocalypse Now.

Ada kejadian lucu waktu Martin ditawari peran di Apocalyse Now. Karena Martin sedang merampungkan film di Roma, produsernya meminta ia terbang ke lounge Philippines Airlines di LAX untuk bertemu Francis Ford Coppola yang akan bertolak ke Filipina. Buset, dah repot amat mau meeting sebentar doang. Tapi tahun 1970-an memang belum ada Skype atau teleconference, sih. Sekalian pulang, ia dititipi koper berisi baju anak-anak oleh istrinya. Tapi gara-gara dicurigai membawa "baju selundupan dari Eropa", ia malah ditahan dan diinterogasi lama di bea cukai LAX... sampai ia harus menunjukkan semuanya baju bekas pakai bahkan ada yang bolong-bolong segala. Buntutnya ia cuma sempat ketemu lima belas menit dengan sang sutradara.

Ternyata Martin Sheen mendadak harus menggantikan Harvey Keitel memerankan Kapten Willard di Apocalypse Now. Rencana syuting enam belas minggu, tapi kenyataannya molor jadi berbulan-bulan, bahkan sampai setahun harus tinggal di lokasi syuting di hutan Filipina.

Meski banyak adegan di atas perahu, Martin Sheen tidak bisa berenang

Seperti biasa, keluarganya juga diboyong ke Filipina, mumpung bertepatan dengan libur sekolah. Hanya saja, Emilio minta ayahnya berjanji kalau ia bisa pulang pas sekolah dimulai. Ketika janji itu tak bisa ditepati karena jadwal syuting yang molor, terjadilah pertikaian besar antara ayah yang masih ingin mengatur anaknya dengan remaja yang mulai memberontak dari kungkungan orang tua. Pada akhirnya, Emilio diizinkan pulang sendiri ke Amerika supaya bisa sekolah. Duh, dasar murid teladan.

Bukan berarti Emilio tidak bersenang-senang di lokasi syuting. Ia bertemu dan berteman dengan aktor-aktor di sana, baik yang seumuran ayahnya maupun yang masih remaja. Hah, ternyata Laurence Fishburne yang main di film itu masih berusia lima belas tahun, cuma setahun lebih tua dari Emilio. Bersama putra Coppola, Gio, ia juga menjadi figuran. Berlatih menjadi tentara berhari-hari, mendapat sepotong dialog kecil, meskipun ternyata adegannya kena gunting edit.

Di masa sekolah, Emilio juga aktif di eskul drama. Meskipun ia siswa grade A dan atlet andalan, tapi cita-citanya sudah jelas di luar harapan guru-gurunya: menjadi aktor dan sutradara. Ia pun mengikuti jejak ayahnya, namun dengan sedikit perbedaan: ia tidak mengganti namanya. Hampir saja ia menggunakan nama panggung Emilio Sheen, yang akan memudahkannya karena koneksi, tapi berdasarkan saran Martin (yang mungkin menyesal telah membuat sedih ayahnya karena ganti nama) serta perubahan zaman di mana rasisme sudah berkurang, akhirnya Emilio tetap menggunakan nama aslinya (padahal Charlie tetap pakai nama Sheen, ya... tapi mungkin juga karena nama Carlos Estevez kurang catchy dibandingkan Emilio Estevez yang berinisial double E). Untungnya tanpa membawa nama besar ayahnya dan mengandalkan kekuatannya sendiri, ia bisa mendapat peran yang cukup berarti seperti di film Tex dan The Outsiders (bareng the Brat Pack: Matt Dillon, Patrick Swayze, Tommy Howell, Rob Lowe, Tom Cruise, Ralph Macchio).


Entah bagaimana pula, nasib membawa Emilio ke jalan hidup yang mirip dengan ayahnya. Tahu-tahu saja ia sudah punya anak di usia muda, padahal karirnya baru saja dimulai. Ia memang mendapat peran di film-film yang menjadi hit seperti The Breakfast Club dan St. Elmo's Fire, tapi kebutuhan finansial membuatnya tak bisa pilih-pilih film dan bermain dalam film-film kelas B seperti Stakeout, The Mighty Ducks, Loaded Weapon, dan lain-lain. Umm, karena aku lebih suka Emilio dibandingkan adiknya, dulu aku juga mengoleksi VCD film-film ini. Nggak jelek-jelek amat kok, terutama Mighty Ducks yang menurutku cukup asyik buat ditonton anak-anak. Sekarang kalau dipikir-pikir, film-film sukses Emilio kebanyakan ensemble ya... ditambah Young Guns dan Young Guns II.


Belakangan ini, Emilio berkarir sebagai sutradara, yang sudah dilakukannya sejak waktu masih kanak-kanak dengan anak-anak tetangga. Filmnya yang paling terkenal adalah Bobby, film semi dokumenter yang menceritakan saat-saat terakhir Robert F. Kennedy. Pada proyek terakhirnya, The Way, ia menyutradarai ayahnya sendiri. Proyek itulah yang mencetuskan ide buku biografi bersama ayah-anak ini.

Relieving our relationship in its entirety for this book wasn't always easy. It required painful, honest gazes backward, whereas I prefer to always look forward. But it was well worth the time. My father and I learned things about each other we'd never known, and we shared stories we'd forgotten or never told before. We spent time again with the people who are no longer with us, people who meant a great deal to us over the years. Remembering them and missing them all over again has made me all the more grateful for the people who are still here. And of course, first and foremost, my dad. Ramon. Otherwise known as Martin. The Man who so many years walked ahead of me, who briefly walked a separate path, and who now walks by my side.

And you know what? Membaca biografi ini aku jadi kepingin menonton ulang film-film ayah-anak ini :))

View all my reviews

Wednesday, June 11, 2014

Pulau Hitam

Petualangan Tintin : Di Pulau Hitam  (Tintin, #7)Petualangan Tintin : Di Pulau Hitam by Hergé
My rating: 3 of 5 stars

Welcome to Scotland!

Nah, untuk petualangan kali ini, Tintin tidak bertualang jauh-jauh, cukup di sekitar Eropa, dari Belgia, Inggris, sampai akhirnya mampir ke Skotlandia.

Cover
Tanpa membuka komiknya sudah jelas sekali dari kilt yang dikenakan Tintin, di mana kira-kira lokasi Pulau Hitam yang dijadikan judul.

Tema
Pemalsuan uang. Pada tahun 1930-an pemalsuan orang menjadi kejahatan yang populer, dengan berkembangnya mesin cetak pada zaman itu. Konon hal ini disadari oleh Nazi yang berniat menggunakannya untuk perang ekonomi, dan katanya sih pada akhir Perang Dunia II mereka telah mencetak uang poundsterling lebih banyak dari Bank Inggris sendiri.

Euh, cerita pemalsuan uang yang berlokasi di pulau terpencil sepertinya juga cukup populer pada masa itu. Selain komik Tintin, sepertinya juga dipakai di cerita Enid Blyton dan Hardy Boys. CMIIW. Kenapa harus selalu di pulau terpencil sih? Apakah suara mesin cetak pada zaman itu sebegitu ributnya?

Gambar
Menurut buku Panduan Lengkap Tintin-nya Michael Farr, buku terbitan GPU ini merupakan versi buku terakhir dari tiga versi Pulau Hitam yang berbeda, yaitu versi tahun 1966 yang direvisi dan digambar ulang dengan drastis. Gambaran tentang Inggris menjadi lebih akurat dan up-to-date, agar komik ini bisa laku di pasar Inggris. Tapi karena saat itu Herge sedang sibuk membuat Penerbangan 714, ia mengirim asistennya Bob De Moor ke Inggris guna memotret dan menggambar untuk revisi yang dibutuhkan. Gambar-gambar versi lama diperbaiki untuk akurasi dan penyesuaian teknologi.

Cerita
Tintin kebetulan memergoki pesawat kecil yang sedang mengalami gangguan saat sedang berjalan-jalan, dan sebagai ganti niat baiknya untuk membantu malah dibalas dengan timah panas. Tapi dasar wartawan, dan mentang-mentang pelurunya hanya menyerempet, ia malah kabur dari rumah sakit waktu tahu di mana pesawat itu ditemukan.

Diselingi usaha untuk memfitnah dan membunuhnya, Tintin akhirnya sampai ke lokasi pesawat itu jatuh, dan bertemu dan berurusan dengan banditnya, seorang doktor asal Jerman, J.W. Muller. Seperti biasa, konon tokoh ini pun terinspirasi dari tokoh di dunia, Dr George Bell, warga Skotlandia yang tinggal dan menjadi warga negara Jerman. Ia terlibat partai Nazi, dan juga terlibat dalam kasus pemalsuan uang rubel untuk mengacaukan stabilitas ekonomi Rusia.

Dalam pengejaran bandit pemalsu uang itu, Tintin pun sampai ke daerah lepas pantai Skotlandia, dan... Pulau Hitam, pulau yang dianggap tempat terkutuk dan dihindari para nelayan setempat. Konon ada monster buas yang hidup di pulau itu dan sudah banyak cerita tentang orang hilang karena terdampar di sana. Karena itu Tintin terpaksa harus beli perahu motor dan pergi berdua saja dengan Milo.

Benarkah ada monster? Bagaimana caranya Tintin dan Milo menaklukkan si buas serta meringkus Muller dan komplotannya?

Bonus
Kehadiran Dupond dan Dupont, yang seperti biasa berusaha menangkap Tintin gara-gara salah paham, dan kemudian berakhir menjadi juara aerobatik gara-gara memaksa mekanik biasa menjadi pilot pesawat!

View all my reviews

Thursday, June 5, 2014

Edge of Tomorrow

Edge of Tomorrow: Movie Tie-in EditionEdge of Tomorrow: Movie Tie-in Edition by Hiroshi Sakurazaka
My rating: 5 of 5 stars

Waktu sedang iseng-iseng main ke toko buku Kinokuniya Plaza Senayan beberapa minggu yang lalu, aku menemukan buku ini terpajang di bagian Movie-Tie-In. Awalnya aku sempat berharap buku ini adalah versi movie novelization, alias novelisasi dari naskah film Edge of Tomorrow. Lumayan kan, bisa mengintip dulu jalan ceritanya dan membandingkannya dengan versi light novel-nya sebelum filmnya tayang di bioskop. Tapi setelah melihat nama penulisnya masih Hiroshi Sakurazaka, jelas sudah ini masih All You Need Is Kill (AYNIK), hanya judul dan sampulnya yang diganti dengan versi film adaptasinya. Ah, ya sudahlah. Toh aku baru baca ebooknya dan belum punya buku fisiknya. Tentu saja buku ini langsung kubeli.

Meskipun membaca ulang novelnya, aku tidak akan mereviewnya lagi, karena sudah kubahas panjang lebar di sini. Yang akan kubahas justru versi filmnya, yang sudah kutonton minggu lalu. Tujuannya jelas tidak penting: membandingkannya dengan versi originalnya. Ini masih bisa dianggap review buku, kan? #MaksaBangetDeh

Pertama-tama, kucabut pernyataanku di review AYNIK, tepatnya di bagian yang khawatir versi filmnya akan merusak cerita ini. Ternyata tidak sama sekali. Memang sih, tidak seperti versi manga yang begitu setia pada storyline aslinya, perbedaan versi film lumayan banyak, tapi variasinya malah membuat lebih menarik karena lebih... kocak.

Hah? Kocak? Di mananya?

1. The Hero
Apabila semula aku protes dengan casting Tom Cruise yang kuanggap ketuaan, tapi setelah menonton film besutan Doug Liman ini, aku maafkan deh. Meskipun tokoh Bill Cage yang diperankan Tom Cruise ini tampangnya veteran dan pangkatnya mayor, pada kenyataannya ia sama sekali belum pernah terjun ke medan perang, paling-paling ikut wajib militer waktu masih muda. Ia cuma mantan eksekutif perusahaan iklan yang jadi publisis United Defense Force (UDF) yang kerjanya cuap-cuap merayu warga dunia untuk bergabung dengan UDF dan berperang melawan alien. Jadi, boleh dibilang meskipun tidak lagi muda, ia sama rookie-nya dengan Keiji Kiriya. Tapi berbeda dengan Keiji yang sukarela menjadi prajurit garis depan, keberadaan Cage di medan perang jelas super amat terpaksa. Lah, sudah enak-enak dapat jobdesc yang aman dari segala bahaya, mana mau disuruh berada di garis depan? Adegan waktu Cage mendapat perintah untuk berangkat ke medan perang dan usahanya untuk berkelit dengan segala cara benar-benar mengocok perut :)
Hah? Ikutan bertempur? Yang bener aje, Boss!!!
Tapi tentu saja kepengecutan Cage hanya di awal cerita. Setelah puluhan dan ratusan kali mengalami kematian, karakter Cage pun lama-kelamaan berubah menjadi pahlawan sebagaimana mestinya. Bahkan ia rela berkorban demi wanita yang dicintainya.

2. The Heroine
Tidak ada perubahan nama, tetap Rita Vrataski, karena toh karakternya di AYNIK juga memang orang Amerika. Sama kuat dan tangguhnya dengan versi AYNIK, hanya saja lebih tua dan lebih dingin. Karena ia sudah sangat veteran di medan perang (dengan alasan yang sama mengapa Cage akhirnya jadi veteran yang tangguh dalam satu hari!), ia menjadi mentor dan melatih Cage habis-habisan. Rita juga malah berulang kali membunuh Cage dengan pistolnya!
~ It's time to die, Cage... ~
Mengapa begitu? Ada perbedaan cukup besar tentang alasan Cage mengalami pengulangan waktu.

3. The Time Loop
Pada AYNIK, kuasa pengulangan waktu ada di pihak alien. Pada Edge, kuasa pengulangan waktu beralih pada Cage ketika ia membunuh Mimic Alpha (Mimic server di AYNIK) pada pertempuran pertamanya, di mana terdapat unsur penting yang mengalir di darahnya. Jadi, apabila Keiji hanya sekarat pun akan tetap mengalami time loop, Cage harus dipastikan benar-benar mati. Bila ia hanya luka parah sehingga kehilangan darah atau mendapatkan transfusi darah, keistimewaannya mengulangi waktu akan kembali ke pihak alien.

4. The Mimics
Di AYNIK, lewat POV orang ketiga di mana penulis adalah dewa maha tahu, pembaca diberitahu maksud dan tujuan Mimics hadir di bumi. Mereka awalnya berupa nanobot kiriman makhluk berintelejensia tinggi di kontelasi Cancer, yang bermaksud men-terraforming bumi agar menjadi sesuai kebutuhan hidup mereka bila kelak bermigrasi ke bumi. Di bumi, nanobot tersebut memasuki endoskeleton bintang laut dan mulai berlipat ganda. Mereka awalnya hanya mesin pengubah lingkungan, bukan mesin perang. Tapi karena usaha terraforming mereka "diganggu" makhluk pribumi, mereka pun berusaha menyingkirkan gangguan dan penghalang itu dengan penuh dedikasi.

Di versi film, karena POV-nya murni dari sisi pribumi yang jelas tak bisa berkomunikasi dengan para pendatang, tidak jelas apa motivasi mereka. Penonton cuma bisa menduga mereka cuma alien yang tak sengaja menclok di bumi dan berusaha memberantas  manusia  sebagai spesies yang paling dominan. Tidak seperti Mimics AYNIK yang mengandalkan artileri semacam lembing yang dilontarkan dengan kecepatan tinggi, Mimics di versi film mirip serangga raksasa dari logam, yang mengandalkan kaki-banyaknya untuk membantai.

Which one do you like?  

5. Battle Gear
Andai exosuit yang dikenakan Tom Cruise dan Emily Blunt seperti Jacket versi novel AYNIK atau versi manga AYNIK!
Jauh lebih keren suit yang ini!
Tapi memang sih untuk versi film bisa-bisa jatuhnya (terutama Jacket Rita yang merah darah) jadi mirip armor Iron Man. Ya sudahlah, meskipun exosuit di film kelihatan sederhana dan seadanya tapi toh lebih realistis.

Untuk penggunaan senjata aku juga lebih suka versi AYNIK. Versi film lebih mengandalkan senjata api yang amunisinya terbatas. Di AYNIK, Keiji pada akhirnya menggunakan battle axe, persis sama dengan yang digunakan Rita, yang jauh lebih efektif untuk menghabisi Mimic ketimbang peluru. Di awal film sempat terlihat Rita menggunakan senjata semacam parang berukuran maxi, tapi belakangan jelas senjata itu jarang digunakan, dan Cage boro-boro tertarik untuk ikut menggunakannya.
Awesome axe!
6. The Deaths
Jarang lho, ada film di mana kita bisa tertawa terbahak-bahak saat melihat tokoh utama mati. Berbeda dengan versi AYNIK, di mana kematian Keiji hampir semuanya mati di medan perang, adegan-adegan kematian Cage benar-benar variatif dan hilarious. Selain kematian umum karena dibunuh alien, Cage juga bisa mati karena terlindas truk, misalnya. Tapi di film tidak ada adegan bunuh diri dengan pistol, lho. Yang ada malah mati ditembak Rita, yang lumayan sering. Biasanya karena Cage terluka parah, misalnya kecelakaan saat latihan. Awalnya sih mengejutkan, tapi lama-lama Cage jadi pasrah, dan penonton juga jadi menganggap biasa dan lucu.

7. The Supporting Roles
Hilang sudah cewek-cewek cantik dengan body maut di sekitar Keiji! Di film, "montir" Rita berubah jadi laki-laki. Dan tidak ada koki seksi yang mengajak kencan di hari terakhir sebelum mati, lagi! Versi filmnya gersaaang! Tapi karakter-karakter tambahan di film banyak menambah unsur komedik. Dari Jenderal Brigham, Sersan Farell, dan para anggota Skuad J. Dialog-dialog penuh humor antar para karakter di film ini benar-benar bisa membuat penonton lupa kalau ini film perang yang banyak mengumbar kematian. Karena... well, seperti di manga Dragonball, semua yang mati akan hidup lagi ini, kok!

8. The Ending
Nah, untuk ending rasanya cukup mengecewakan bagi seseorang yang mengharapkan ending yang bittersweet ala AYNIK. Endingnya ala Hollywood banget! Tapi apa boleh buat, lebih pas sih, toh filmnya sudah kadung bernuansa komedi, malah aneh kalau ujung-ujungnya jadi tragedi.

Pada akhirnya, di versi film tidak akan pernah ada pengganti Rita Vrataski yang dikenal publik dengan julukan "Killer Cage". Mengapa demikian? Karena ternyata... ups. Sudah terlalu banyak spoiler kutebar di sini, jadi sudahlah. Untuk tahu endingnya seperti apa, silakan tonton sendiri filmnya :)

Aku lebih suka ending versi AYNIK. Karena perang belum berakhir, dan Keiji lives for another battle.
While I live and breathe, humanity will  never fall. I promise you. It may take a dozen years, but I will win this war for you. Even if you won't be here to see it. You were the only person I wanted to protect, and you were gone.
View all my reviews