Sunday, April 15, 2012

The Raid: Comic

The Raid The Raid by John G. Reinhart
My rating: 3 of 5 stars

Tidak menemukan komik The Raid di Gramedia Matraman, ya sudah aku pun meluncur ke Grand Indonesia, mengingat ada jadwal launching komik tersebut di Blitz Megaplex jam setengah lima sore. Nggak usah nyari lagi juga pasti ada, kan? Jam masih menunjukkan pukul tiga sore ketika aku menginjakkan kaki di Blitz, dan waktu mau lewat BRI Lounge untuk mampir sebentar ke toilet, aku melihat sudah ada antrian cukup panjang di depan konter penerbit komik. Loh, pada niat amat sih, ngantri dari jam segini? Setelah berpikir pendek, aku melupakan niat semula dan malah ikutan ngantri. Untung saja aku membawa beberapa buku hasil jarahan dari Gramedia Matraman, jadi waktu berlalu tanpa terasa, meski kaki tetap kesemutan.

Belum lama ngantri, sudah ada pengumuman, kalau yang dijual di konter bukan cuma komiknya, tapi paket dengan T-shirt. Jadi harganya bukan hanya 35k seperti anggaran semula, tapi jadi 120k. Oke deh, lumayan dapat merchandise tambahan, meskipun aku pinginnya sih bukan T-shirt, sekali-sekali pisau militer atau apa gitu. Untung juga masih ada uang tunai lebih di dompet. Coba kalau mesti ke ATM dulu, males banget deh, mana antrian di belakangku sudah panjang lagi.

Aku sudah menghabiskan satu komik dan setengah buku Jacqueline Wilson ketika akhirnya panitia acara mulai sibuk, dan dari arah belakang antrian mulai berdatangan para punggawa film The Raid yang baru selesai konferensi pers. Kulihat-lihat cukup lengkap ternyata. Gareth Evans, Iko Uwais, Yayan Ruhian, dan Ario Sagantoro. Setelah Joe Taslim muncul belakangan, acara book-signing pun dimulai. Ya benar, ternyata ini bukan cuma antri buat beli buku seperti dulu aku ngantri buat beli buku Harry Potter edisi bahasa Inggris di hari pertama terbit seluruh dunia. Ini peluncuran komik disertai book-signing langsung oleh yang bikin komik serta kru film The Raid.
Buah kesemutan: collectible item


OK, cukup sudah intronya. Tak usahlah aku cerita kemana aku kabur setelah dua orang terakhir, Gareth dan Iko, selesai menandatangani buku dan T-shirt The Raid-ku (petunjuk: niat semula). Sekarang masuk ke bagian review komik ini, dan mudah-mudahan aku tidak bias karena suka filmnya ;P

1. Cover Design: Ciamik.
Mengadopsi poster resminya dengan nuansa warna yang jauh lebih menggoda. Merah dan hitam! Paduan warna-warna favoritku! Check.

2. Artwork : Good.
Bersama ini aku mohon maaf sebesar-besarnya kepada John. G. Reinhardt. Karena kurang riset, sebelum memegang buku ini dan membaca nama Anda di sampulnya, kukira komikusnya Is Yuniarto. Hm, mungkin karena kalian berdua pernah berkolaborasi di Wind Rider dan Knights of Apocalypse, aku jadi tertukar. Gara-gara salah sangka itu sempat mengira artwork komik The Raid bakalan manga abis. Tapi ternyata tidak, artwork komik ini ala komik Amerika, mirip artwork David Mazzucchelli di Batman Year One. Not my cup of tea, but good work. Check.

3. Story : Adequate.
Yaa... nggak mungkin menyimpang dari filmnya, kan? Sederhana, tapi mengena. Terdapat penghalusan dialog, karena tidak ada umpatan 'anjing' dan 'babi', direduksi cukup jadi 'bangsat' dan 'kampret'. Omong-omong tentang dialog, setelah lihat versi film yang ada subtitle bahasa Inggrisnya, jadi merasa subtitle itu berasal dari draft awal naskah Gareth Evans, sedangkan versi final dialog bahasa Indonesia sudah banyak improvisasi, sehingga banyak yang tidak nyambung antara dialog dan subtitle. Kadang dialognya biasa saja, tapi subtitle-nya pakai f**k, atau malah sebaliknya, dialognya ngumpat tapi subtitle-nya nggak. Eh, tapi kita bukan lagi ngomongin filmnya ya? Dialog dalam komik ini setia dengan versi dialog Indonesia final, tapi lebih ringkas dan sopan. Check.

4. Martial Art: Aaaaaargh!
Alasan utama aku suka filmnya karena adegan martial art-nya. Alasan utama aku nonton filmnya berulang kali di bioskop adalah adegan martial art-nya. Adegan fighting yang butuh workshop koreografi tiga bulan, latihan tiga bulan, dan syuting berhari-hari untuk tiap adegannya, dikorting cuma jadi masing-masing satu-dua halaman ga jelas tiap adegannya? Big disappointment! Panggil Tatsuya Hiruta!

Sepanjang sejarahku membaca manga, hanya Tatsuya Hiruta yang mampu menggambarkan adegan fighting yang begitu detil dan sangat realistis dalam komik Kotaro Makaritoru! (kecuali di jilid-jilid awal yang masih norak). Apalagi kalau sudah Mix Martial Art: karate vs judo, karate vs kungfu, karate vs capoeira, karate vs sambo, dll (Kotaro Shindo kan karateka, meskipun diam-diam mempelajari berbagai ilmu bela diri, bahkan ninjutsu... ;P). Saking detilnya, adegan pertandingan yang cuma beberapa menit bisa beberapa bab atau jilid... (capek deh... tapi puas bacanya!). Euh... tapi komik The Raid cuma satu jilid ya... jadi alasannya adegan fighting dikorting memang keterbatasan halaman. Huh.

Anyway... untuk The Raid, memang lebih asyik nonton filmnya saja. Mudah-mudahan tidak ada yang berpikiran untuk membuat versi novelnya. Belum terbayang narasi adegan berantemnya bakal seperti apa.

View all my reviews

Saturday, April 14, 2012

Cari Perkara

PraharaPrahara by Widiono Susanto
My rating: 2 of 5 stars

Selesai mengaduk-aduk tumpukan buku obral di halaman Gramedia Matraman, aku masuk ke gedung utama, dengan niat ngadem mencari komik Crayon Sinchan jilid 11 dan tentu saja, komik The Raid yang katanya sudah dapat dibeli di toko buku.

Tidak melihat keberadaan komik The Raid, malah menemukan komik yang satu ini, dengan tulisan inspired by Indonesia's first modern silat motion picture di atas judulnya. Ohkay... pikir-pikir ini komik aji mumpung, bukan ya, mentang-mentang The Raid lagi hype? Dari cover dan sinopsisnya, inspirasi yang dimaksud kelihatannya dari film sebelumnya, Merantau. Ditambah foreword dari Ario Sagantoro, produser filmnya, sepertinya bikin komik ini dengan sowan dan ijin lebih dulu sama yang punya film.

Baiklah... seberapa terinspirasinya sih komik ini? Mari kita cek bersama...

Persamaan Prahara dan Merantau:
1. Tokoh utama pemuda Minang yang bertani tomat di kampung, belajar silat harimau, dan punya uda bernama Doni (mungkin terinspirasi nama Donny Alamsyah, yang memang jadi kakaknya Yuda/Iko di Merantau?)
2. Tokoh utama merantau ke Jakarta, naik bis dengan tulisan Cipitih.
3. Tokoh utama ketemu damsel-in-distress yang dicari-cari penjahat.
4. Tokoh utama berantem kejar-kejaran dengan para tukang pukul penjahat.
5. Big boss penjahat dua orang bule jago berantem.
6. Final fight antara tokoh utama dan dua boss bule.

Perbedaan Prahara dan Merantau:
1. Tokoh utama dapat pekerjaan, jualan hape
2. Tokoh utama punya tempat tinggal, tidak usah diam-diam nginap di proyek bangunan.
3. Damsel in distress tidak diculik penjahat.
4. Tokoh utama cari perkara (kayaknya ini judul yang lebih pas daripada Prahara) dengan masuk kantor penjahat dan mencuri buku catatan transaksi (kuno ah penjahatnya, pakai komputer dong, biar ngambil bukti transaksi cukup pakai flashdisk aja!).
5. Polisi dilibatkan untuk menangkap penjahat (sebenarnya si tokoh utama nggak perlu nyuri buku catatan transaksi segala).
6. Saat cerita berakhir, tokoh utama dan dua boss bule masih hidup.

Kesimpulan: komik ini merupakan homage dengan sedikit penyesuaian sehingga nasib tokoh utamanya lebih baik daripada Yuda di Merantau. Happy ending pula.

Catatan: Aku nggak suka gambarnya! (susah juga kalo terlalu banyak baca manga yang gambarnya jauh lebih bagus). Tapi mengingat pembuatan komik ini konon makan waktu dua tahun, dan aku selalu mendukung perkembangan komik di Indonesia, jadi meski tak suka gambarnya, tapi aku tetap menghargai usaha dan kerja kerasnya. Dua bintang deh.

View all my reviews

Tuesday, April 10, 2012

Animal-Based Management

Animal-Based Management: Rahasia Merek-Merek Raksasa BerjayaAnimal-Based Management: Rahasia Merek-Merek Raksasa Berjaya by Satrio Wahono
My rating: 3 of 5 stars


Alam berkembang jadi guru. Dunia mengandung banyak pelajaran bagi mereka yang mau mengambil jeda sejenak dan membuka mata untuk mencerap hikmah-hikmah dari alam. Hewan adalah salah satu suhu kehidupan terbaik yang mampu memberikan kebijaksanaan atau wisdom berharga. Filsafat hewan adalah survival of the fittest, filsafat hewan adalah cara menemukan kebijaksanaan yang tepat untuk bertahan hidup.

Di sisi lain, manajemen sebagai disiplin ilmu juga mendapati betapa pentingnya kebijaksanaan atau wisdom. Manajemen adalah upaya meraih kebijaksanaan, yaitu ikhtiar mencari pengetahuan yang harus berdaya guna untuk memecahkan masalah konkret sehari-hari.

Ada 20 jenis filsafat hewan yang dibahas dalam buku ini, dari Penguin sampai Singa, tapi aku akan mengutip dua hewan saja, yang khususnya memberikan contoh manajemen Apple Inc.


TIKUS

Tikus biasanya dianggap binatang yang menjijikkan dan memuakkan. Menggali tanah, mengaduk sampah, identik dengan kekotoran dan kekumuhan. Pokoknya, dianggap hewan pengganggu yang harus dijauhi atau dienyahkan. Tapi ternyata, dalam budaya Cina, misalnya, tikus dihargai demikian tinggi. Tikus dianggap binatang terhormat, berani, mau berusaha, cerdik, licin, dan dapat menjaga diri serta orang lain. Dia juga mampu memecahkan masalah dalam kondisi terpojok. Selain itu, tikus tak akan berhenti mengejar keinginan atau dengan kata lain, pantang menyerah. Sifat tikus yang tidak mengenal henti dalam ikhtiar diapresiasi dalam buku Who Moved My Cheese karya Spencer Johnson MD. Untuk terus bertahan, tikus harus menyadari bahwa perubahan tak terelakkan dan yang ia bisa lakukan hanyalah mengantisipasi serta segera bertindak untuk mengubah situasi.

Contoh dari kesaktian karakter tikus yang seperti ini dalam dunia bisnis adalah kisah almarhum Steve Jobs, mantan CEO Apple. Populer dengan resep 3 i-nya, innovate, innovate and innovate, Jobs selalu bergerak mendahului perubahan dan acap dengan cara yang sedikit licin. Falsafah lain Steve Jobs adalah "good artist copy, great artist steal", atau "seniman baik meniru, seniman hebat mencuri". Apple adalah perusahaan digital pertama yang melakukan terobosan penggunaan mouse dan graphic interface. Hebatnya, terobosan ini bukan berasal dari Steve Jobs atau pendiri Apple lainnya, Steve Wozniak. Apple membajaknya dari Xerox, yang menganggap ide mouse itu tolol dan menggelikan sehingga menyerahkannya begitu saja dengan murah kepada Apple. Apa yang Xerox anggap aneh malah dipandang Jobs sebagai temuan visioner yang akan mengubah dunia. Apple pun menjadi salah satu perusahaan komputer besar dunia.

Kesan sekilas tikus sebagai binatang pengerat yang kotor tidak menghalangi tikus memberikan pelajaran yang berharga bahwa perubahan adalah hukum alam yang tidak bisa dielakkan. Alih-alih merutuki perubahan, kita sebaiknya mengambil hikmah dari tikus untuk terus bersiap diri mengantisipasi, menikmati dan beraksi menghadapi perubahan supaya tidak digilas oleh perubahan itu sendiri. Demikin kearifan yang diwariskan tikus kepada kita.


MERAK

Banyak orang yang menganggap merak sebagai hewan sombong yang gila hormat. Bisa jadi itu karena kelakuan merak yang suka membentangkan ekornya yang memang indah. Binatang suka pamer, pendeknya. Padahal bisa saja tingkahnya itu punya arti lain, alih-alih sombong perilaku merak itu menandakan rasa percaya diri merak pada ekornya, yang tentunya diharapkan dapat mewakili citra positif secara keseluruhan.

Dalam manajemen, terdapat konsep yang mirip dengan merak, yang disebut halo effect, yaitu fenomena yang mempengaruhi perilaku dan persepsi konsumen terhadap merek tertentu, di mana satu aspek positif sebuah merek dianggap mewakili sifat positif merek secara keseluruhan.

Berkaca pada Apple, pada tahun 2005 penjualan Apple melonjak 68% dari tahun sebelumya, laba meroket 384% dan harga saham 177%. Keberhasilan iPod-lah yang disinyalir mendongkrak prestasi Apple, meskipun faktanya di tahun yang sama iPod dan iTunes hanya berkontribusi 39% dari penjualan Apple. Ini karena sepanjang tahun 2005 Apple gencar mengiklankan iPod melalui televisi, media cetak, dan billboard. Merek iPod menjadi dominan sampai-sampai menguasai 73,9% pasar musik digital. Sebenarnya, dukungan pemasaran bagi lini produk komputer Apple nyaris tidak ada, tapi prestasi dan iklan iPod yang begitu impresif berhasil menciptakan halo effect yang mengangkat keseluruhan produk Apple, termasuk komputer Macintosh.

Manusia dengan akalnya selama ini menganggap hewan hanya sebagai ciptaan sekunder Tuhan yang tersedia begitu saja untuk keperluan konsumsi, transportasi, perdagangan dan aneka ragam keperluan manusia lainnya. Padahal hewan-hewan ternyata mampu memberikan hikmah yang luar biasa bahkan selaras dengan manajemen kontemporer. Hewan justru memiliki banyak karakter positif yang mampu diadopsi manusia untuk meraih kehidupan yang lebih berkualitas dan bermakna.

P.S. Ini bukan review, cuma rangkuman semata.

View all my reviews

Friday, April 6, 2012

Menghancurkan Peradaban Itu Mudah

Shadows of the Pomegranate Tree (Islam Quintet, #1)Shadows of the Pomegranate Tree by Tariq Ali
My rating: 3 of 5 stars

Adegan awalnya membuatku meradang.

Ratusan ribu buku, manuskrip, dan mushaf dari perpustakaan dikumpulkan di pusat kota untuk dijadikan api unggun. Ximenes de Cisneros, Uskup Agung Gharnata, selalu percaya bahwa musuhnya hanya bisa disingkirkan kekuatannya jika kebudayaan mereka dienyahkan seluruhnya. Dengan cara menghancurkan seluruh buku mereka secara sistematis. Seiring bunyi percikan lidah api, bukti-bukti peradaban Islam di Andalusia pun dilenyapkan.

Adegan akhirnya membuatku merinding.

Baik di Andalusia maupun di Yerusalem, Islam selalu membanggakan diri karena memperlakukan orang-orang yang ditaklukkan dengan manusiawi. Tapi bila tiba giliran untuk ditaklukkan, bukan hanya kaum laki-laki, tapi wanita dan anak-anak pun tak luput dari kejinya pembantaian.

Salahkah bila bocah Yazid dari Banu Hudayl berharap, "seandainya berabad-abad yang lalu kami memperlakukan kalian sebagaimana kalian memperlakukan kami"?

Dua ribu penduduk Islam habis dibantai pasukan Spanyol pimpinan seorang kapten berambut merah yang masih berumur 16 tahun pada perang al-Hudayl. Tapi itu belum seberapa, karena kelak demi emas dan kekuasaan, ia sanggup menghabisi jutaan orang sekaligus peradaban mereka di Meksiko. Namanya Hernan Cortez.

View all my reviews