Tuesday, April 29, 2014

Ring of Fire: Indonesia Dalam Lingkaran Api

Ring of Fire: Indonesia Dalam Lingkaran ApiRing of Fire: Indonesia Dalam Lingkaran Api by Lawrence Blair
My rating: 5 of 5 stars

Menilik nama penulisnya, sudah jelas buku ini tidak ada kaitannya dengan Ekspedisi Kompas dan Tim Ring Of Fire Adventure (ROFA) yang mendaki gunung-gunung berapi yang teraktif di Negeri Cincin Api Indonesia.

Penulis buku ini adalah oleh Lawrence Blair, antropologis, petualang, dan pembuat film dokumenter. Bersama adiknya, Lorne Blair, selama sepuluh tahun ia memfilmkan secara independen sembilan ekspedisi terpisah di Indonesia. Setelah gagal menjual film tersebut selama lima belas tahun, nasib baik membuat PBS/BBC memilih karya mereka dan memadatkannya menjadi empat episode masing-masing satu jam, dengan judul Ring of Fire: An Indonesian Odyssey. Buku ini ditulis sebagai companion dari serial TV yang memenangkan Emmy Award 1989 untuk National Education Film itu.

Awalnya, kunjungan pertama Blair Bersaudara ke Indonesia adalah untuk menapak tilas penjelajahan Alfred Russel Wallace, menggunakan kapal pinisi Bugis dalam mencari burung Cendrawasih Kuning Besar ke Kepulauan Aru. Berbekal buku klasik Wallace, The Malay Archipelago, bersama berbagai peralatan rekaman dan P3K (tapi tanpa izin merekam film), mereka terbang dari London ke Jakarta.

Namun demikian, sebelum sampai ke Lautan Aru dan melihat-lihat burung cendrawasih, Blair Bersaudara sempat terdampar di Makassar karena belum mendapat kapal. Karena itu mereka sempat mengunjungi Tana Toraja dan mengikuti upacara pemakaman raja Puang Sangalla (yang berlangsung berminggu-minggu!).

Kembali ke masalah kapal, selain demi otentisitas napak tilas Wallace, Blair Bersaudara juga ngotot harus menggunakan kapal pinisi, karena mungkin  itu adalah kesempatan terakhir melakukan mereka pelayaran bersejarah sebelum pinisi Bugis hilang untuk selamanya. Oh ya, di sini aku baru tahu kalau kata 'Boogie man' rupanya berasal dari suku Bugis, para pelaut di Nusantara yang rupanya sedemikian menakutkan bagi para saudagar Eropa, dengan kebengisan dan kemampuan melaut mereka yang bagaikan iblis.
Pinisi Sinar Surya yang kondisinya cukup meragukan
Ketika akhirnya mereka mendapatkan pinisi bernama Sinar Surya, kondisi kapalnya masih perlu banyak perbaikan, sehingga harus menunggu berminggu-minggu lagi untuk berlayar. Waduh, benar-benar ujian kesabaran, deh. Tapi sambil menunggu, mereka sempat mengikuti perburuan ular boa, atau snorkeling di terumbu karang. Di luar dugaan, yang terakhir ternyata sama berbahayanya dengan yang pertama. Brrr!

Sayangnya, ketika akhirnya berlayar, mimpi mereka indah mereka akan pelayaran bak Wallace hancur berantakan, karena ternyata pelaut Bugis yang mereka sewa tidak secanggih leluhurnya yang penguasa lautan. Namun demikian, ekspedisi tetap jalan terus. Sempat mampir di Buton, Ambon, dan Banda, sebelum akhirnya Blair Bersaudara mencapai tujuan utama mereka: Kepulauan Aru dan Cendrawasih Kuning-Besar.
Akhirnya...

Petualangan berikutnya yang diceritakan adalah perjalanan ke Desa Onatjep, di wilayah Agats, Papua, untuk memfilmkan suku Asmat di sana. Sebelum datang bersama Lawrence, tahun sebelumnya Lorne telah datang dengan ekspedisi yang lain, sehingga ia disambut dengan hangat dan menjadi bintang tamu. Belum apa-apa, mereka sudah mendapati salah seorang penduduk mati dengan anak panah mematikan menembus kerongkongan! Dan di sini pula, kita mengetahui nasib yang menimpa Michael Rockefeller, yang hilang tanpa jejak dalam perjalanannya 'berbelanja' koleksi seni Asmat.

Blair Bersaudara juga sering berkunjung ke Pulau Komodo, terutama sebagai pemandu wisata Lindblad Explorer, yang mengangkut penumpang yang membayar mahal dan ilmuwan-ilmuwan selama enam minggu melalui perairan Indonesia. Banyak cerita kocak antara Blair Bersaudara dengan para komodo, dari yang semula susah dicari sehingga harus dipancing dengan "kurban persembahan", sampai yang tidak perlu dicari serombongan datang sendiri saat Blair Bersaudara dengan pedenya tidak membawa hewan kurban, sehingga boleh dibilang mereka sendirilah "kurban persembahan" yang dinanti-nanti para komodo!
Komodo makan hewan kurban: adegan yang ditunggu-tunggu wisawatan
Peristiwa lain yang susah ditebak waktunya untuk diliput adalah ritual Pasola, olahraga perang tahunan di Pulau Sumba, antara dua tim yang terdiri dari ratusan prajurit berkuda yang melontarkan lembing ke antara prajurit atau ke... penonton. Butuh bertahun-tahun bagi Blair Bersaudara untuk mendapat kesempatan menyaksikannya, karena waktunya sangat tergantung keputusan para Ratu, para pendeta lokal (meskipun ternyata bisa saja berlangsung gara-gara dipaksa pemerintah!). Pasola berlangsung sepanjang pagi, terus sampai petang, sampai sejumlah darah tumpah. Benarkah ritual ini merupakan pengurbanan manusia terselubung sebagaimana dugaan Blair Bersaudara?
Ritual Pasola

Petualangan besar lain yang dibahas cukup panjang di buku ini adalah kisah Blair Bersaudara mencari suku nomaden Punan di belantara Kalimantan, dengan berjalan kaki hampir 1.000 kilometer! Wow, luar biasa memang dedikasi para petualang ini! Ditemani para portir yang rupanya suku Punan yang sudah berbaur dengan masyarakat modern, rombongan pun menempuh perjalanan berminggu-minggu, bertemu berbagai binatang baik yang indah maupun yang mematikan, melintasi berbagai kondisi rimba dari tanah gambut, rawa, dan sungai, sampai nyaris kelaparan karena perbekalan makanan mulai menipis. Untungnya, pemandu mereka juga pemburu jagoan, sehingga ada saja hasil buruan yang bisa dimakan, termasuk siamang yang dipanggang di atas api. Untungnya, perjalanan jauh dan melelahkan ini tidak sia-sia karena Blair Bersaudara akhirnya menemukan suku Punan yang dianggap sudah punah itu!

Membaca buku hardcover setebal 391 halaman ini sama sekali tidak terasa, karena gaya bertutur Lawrence yang kocak. Sense of humor Blair Bersaudara dalam menghadapi berbagai macam ujian, cobaan, dan tantangan unik pada berbagai penjelajahan di Indonesia ini juga membuat pembaca jadi asyik mengikuti petualangan mereka. Membaca buku ini juga menyadarkan para pembaca, khususnya pembaca Indonesia, bahwa ada begitu banyak tempat di Indonesia yang menarik untuk dikunjungi dan dijelajahi, yang tidak kalah indah dan eksotisnya dibanding negara lain, dan mungkin membuat kita ingin menyanyikan salah satu lagu Ismail Marzuki...

Tanah airku Indonesia
Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang kupuja sepanjang masa...




View all my reviews

Butir-butir Waktu

Butir-Butir WaktuButir-Butir Waktu by Sidney Sheldon
My rating: 4 of 5 stars

Judul asli: The Sands of Time
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Diterbitkan pertama kali di Indonesia: Januari 1990
Halaman: 576 hal
Pertama kali dibeli: 19 Mei 1990
Dibeli ulang: 19 Juni 2013
Sinopsis:
Butir-butir Waktu menampilkan kisah empat biarawati yang tiba-tiba  terlempar ke luar lingkungan biara mereka yang aman. Mereka terseret dalam perjuangan keras antara gerakan separatis Basque di bawah pimpinan Jaime Miro yang idealis dan penuh kharisma, dan Angkatan Darat Spanyol di bawah komando Kolonel Ramon Acoca yang bertekad menumpas mereka semua.

Megan, si gadis yatim piatu, bersedia mengorbankan apa saja untuk mengetahui identitas orangtuanya. Namun dia tak berdaya melawan daya tarik Jaime Miro.

Lucia, si cantik jelita yang berdarah panas, putri seorang mafioso dari Sicilia, diincar polisi karena perkara pembunuhan. Tetapi, dia rela mengorbankan kekayaan dan masa depannya untuk menyelamatkan nyawa seorang teroris yang sedang sekarat.

Bahkan keheningan dan kesucian biara tak mampu menghapus masa lalu Graciela. Mampukah dia mempertahankan kesuciannya dalam pusaran arus dunia yang bejat dan penuh maksiat ini?

Dan Teresa, yang terombang-ambing antara kenyataan yang dihadapinya dan masa lalu yang ingin dilupakannya, dalam kebingungannya justru mohon bantuan Kolonel Ramon Acoca--kesalahan fatal yang mencelakakan kawan-kawannya sendiri.

Butir-butir Waktu menceritakan suatu kisah tak terlupakan, dituturkan dengan latar belakang kehidupan daerah pedesaan Spanyol yang memikat. Kisah ini menjalin sejarah dan roman asmara dengan ketegangan yang mencekam.

Mengapa aku memilih novel Sidney Sheldon untuk PosBar BBI Tema Perempuan?
Novel-novel Sidney Sheldon (1917-2007) kerap menampilkan wanita-wanita tangguh dalam dunia yang keras dan dikuasai oleh kaum pria yang kejam. Ada alasannya mengapa demikian.
"I like to write about women who are talented and capable, but most important, retain their femininity. Women has tremendous power--their femininity. Because men can't do without it."
Kebanyakan pembaca Sidney Sheldon adalah perempuan, dan aku termasuk di antaranya. Ada masanya ketika Sidney Sheldon pernah menjadi salah satu penulis favoritku, yang buku terjemahannya langsung kubeli begitu pertama kali diterbitkan di Indonesia. Alasannya banyak. Selain ceritanya yang memang menarik dan mencekam, buku-buku Sidney Sheldon merupakan salah satu media awal bagiku yang baru akil balig untuk mengintip "adegan dewasa". Meskipun tetap kena babat sensor (dibandingkan novel-novel Harlequin masa kini), minimal lebih mending dibandingkan adegan sisipan di cersil Kho Ping Hoo yang nggak jelas. FYI, orang tua tidak mengawasi apa yang kubaca. Mungkin, aku sudah dipercaya tidak bakal berbuat aneh-aneh meskipun bacaannya aneh-aneh.

Mengapa memilih novel Butir-butir Waktu?
Berbeda dengan novel Sidney Sheldon lainnya, buku ini tidak hanya berfokus pada satu orang wanita, tapi empat orang sekaligus, dengan kelebihan dan kelemahannya masing-masing, yang berpengaruh pada keputusan-keputusan yang mereka ambil, dan pada akhirnya menentukan nasib mereka.

Gerakan separatisme Basque yang menjadi latar belakang novel juga cukup menarik karena mencerminkan kondisi yang (pernah/masih?) terjadi di negara kita. Begitu pula dengan karakter para pria yang akan sangat menentukan nasib para biarawati yang terlempar dari kedamaian biara ke ganasnya dunia luar.

Dari novel ini juga aku mendapat pengetahuan tentang kehidupan sehari-hari di biara, dari pakaian sehari-hari, komunikasi, ritual ibadah, dan lain-lain. Setidaknya untuk Biara Trapistin di Avila yang menjadi salah satu setting lokasi yang digunakan.

Cerita
Spanyol, tahun 1976. Kisah dimulai di Pamplona, di mana pada acara pelepasan banteng, Fiesta de San Fermin, para pemberontak Basque melepaskan banteng-banteng ke jantung kota untuk mengalihkan perhatian, sementara Jaime Miro dari grup separatis ETA membebaskan dua rekannya, Ricardo Mellado dan Felix Carpio dari penjara, dengan menyamar sebagai seorang pastor.

Kolonel Ramon Acoca, kepala GOE (Grupo de Operaciones Especiales) yang dibentuk untuk menumpas teroris Basque, ditugaskan untuk memburu Jaime Miro dan kawan-kawannya. Acoca membenci pihak Gereja, yang diyakininya membantu kaum separatis karena mengizinkan biara menjadi tempat pertemuan bahkan tempat penyimpanan senjata bagi Pemberontak. Karena terakhir kali Jaime Miro cs terlihat di Avila, maka ia dan pasukan elitnya pun memburu ke sana... dan Biara Trapistin di Avila pun menjadi target sasaran.

Pada saat penyerbuan, ada empat biarawati yang lolos dari biara. Teresa, yang dipercayakan kepala biara untuk membawa salib emas ke biara lain. Lucia, putri bos mafia yang masuk biara untuk bersembunyi dari polisi. Megan dan Graciela kebetulan menurut waktu diajak pergi oleh Lucia. Dan mengingat Lucia yang paling mengenal dunia luar, secara tak sengaja ia menjadi pemimpin dari kelompok pelarian kecil itu. Lucia berencana kabur sendirian ke Swiss, dengan mencuri salib emas yang dibawa Teresa untuk ongkos ke sana.

Kolonel Acoca yang tidak mendapati Miro cs di biara dan mengetahui ada beberapa biarawati yang hilang, otomatis mengira kedua kelompok itu kabur bersama-sama. Pencarian besar-besaran pun dimulai.

Tanpa diduga, kelompok biarawati akhirnya bertemu dengan kelompok Miro, dan melakukan perjalanan bersama. Dan kemudian keputusan Teresa untuk melaporkan keberadaan kelompok mereka pada Kolonel Acoca berakibat kelompok mereka terpencar-pencar dan membentuk jalan cerita perjalanan dari masing-masing biarawati. Dan pada akhirnya, masing-masing dari mereka yang semula memiliki alasannya sendiri sebelum terdampar di biara terpencil, akan memilih nasibnya sendiri, baik kembali ke biara ataupun tidak...

Kesan
Seperti biasanya, novel Sidney Sheldon tidak berjalan lurus, namun penuh flashback yang memungkinkan pembaca mengetahui latar belakang dan masa lalu masing-masing karakternya, sehingga dapat memahami bahkan simpati pada tokoh seperti Kolonel Acoca yang keji sekalipun. Kuatnya penokohan dengan cara flashback juga membuat pembaca dapat memaklumi keputusan yang dibuatnya di masa kini, termasuk keputusan absurd Teresa yang bak mangsa menyerahkan diri pada predator.

Meskipun banyak suspense yang memacu adrenalin di novel ini, terutama waktu kucing-kucingan atau adu cerdik antara para biarawati/separatis dengan grup elit Kolonel Acoca, kadang-kadang ketegangan menurun pada episode flashback. Dan karena banyaknya tokoh dan flashback-nya, cerita jadi bercabang-cabang dan kurang fokus bak cerita sinetron. Dan omong-omong tentang sinetron, cerita tentang anak yatim piatu yang sebenarnya seorang pewaris pun diselipkan di sini... Klise sih, tapi dimaafkan saja deh, karena gaya storytelling Sidney Sheldon yang menarik.

Akhir kata, sudah lama aku tidak baca ulang novel-novel Sidney Sheldon, dan mungkin sihir yang dulu pernah mengikatku dan menjadikanku seorang penggemar setia sudah hilang. Namun, kenangan masa lalu tetap membuatku merasa wajib untuk memiliki dan membaca kembali buku-bukunya.

Best quote from this book
"The difference between a rebel and a patriot depends upon who is in power at the moment."
So true.



View all my reviews

Wednesday, April 9, 2014

Beware: Garden-based Erotica

Fifty Sheds of GreyFifty Sheds of Grey by C.T. Grey
My rating: 4 of 5 stars

Beware! You're gonna read and  find... everything about sheds!

Dari judulnya jelas buku ini merupakan parodi tentang FSOG yang cetar membahana di dunia persilatan. Tapi dari covernya jelas ini buku tentang... selang air. Ehm, koreksi, buku ini berkisah tentang Mr. Grey yang sangat terobsesi dengan taman, terutama pondok kayunya.

Sejak terinisiasi di usia muda, Mr. Grey pun menjadi fanatik. Ia terobsesi pada Sheds dan Mowers. Singkatnya, S & M. Dan tentunya, karena pondok kayunya dicat merah, ia punya Red Room of Paint. Dan ia juga menjadi anggota komunitas BDSM: Builders, Decorators and Shed Maintenance.

Banyak permainan kata, plesetan, dan humor yang kocak dalam buku tipis ini, sehingga membuatku terpaksa memberikan rating lebih tinggi daripada buku yang diparodikannya :)

Baiklah, lebih baik kushare saja sebagian "kisah" yang bisa bikin misleading pembaca.

"I think it's time for us to take things to the next level." she said, eagerly.
"What?" I replied, "...the shed roof?"

We tried various positions -- round the back, on the side, up against wall... but in the end we came to the conclusion that the bottom of the garden was the only place for a really good shed.

She knelt before me on the shed floor and tugged gently at first, then harder until finally it came. I moaned with pleasure. Now for the other boot...

I stared down at her, my hands on my hips. She'd been on her hands and knees for well over an hour. Finally I spoke... "Are you sure you lost your contact lens in here?"

Hal yang membuat hidup Mr. Grey berubah ketika istrinya mulai membaca dan terobsesi pada buku ITU. You know what book lah.

"Punish me," she cried desperately. "Make me suffer like only a real man can!"
"Very well," I replied, leaving the toilet seat up.

"Are you sure you can take the pain?" she demanded, brandishing her stilettos.
"I think so," I gulped.
"Here we go, then," she said, and showed me the receipt.

"Hurt me,"she begged, raising her skirt as she bent over my workbench.
"Very well," I replied. "You've got fat ankles and no dress sense."

"I'm a very naughty girl," she said, biting her lip, "I need to be punished."
So I invited my mother to stay for the weekend.

Aduh, Mr. Grey! You and your play of words! You made me LMAO! Eh, itu singkatan dari Lawn Mowers Are Okay, kan?

View all my reviews

Salam Terakhir Alex Ferguson

Autobiografi SayaAutobiografi Saya by Alex Ferguson
My rating: 5 of 5 stars

Hah? Lima bintang? Nggak salah nih? Bukannya buku ini boleh dibilang lebih mendekati kumpulan kenangan, opini, dan curcol Sir Alex Ferguson ketimbang sebuah buku autobiografi?

Yah, mau bagaimana lagi. Pemberian rating dariku untuk buku ini memang luar biasa bias sih, karena aku memang penggemar Fergie. Dan tentunya pemerhati dan penggemar Manchester United selama di bawah binaan beliau. Okelah, tidak benar-benar sejak beliau pertama kali bertahta di MU, karena waktu itu masa-masanya aku masih menggemari AC Milan dengan trio Belandanya. MU baru menarik perhatianku setelah Liga Inggris beralihrupa menjadi FA Premier League. Iya, baru pada tahun 1992-93. Iya, baru setelah MU akhirnya menjadi juara setelah tujuh tahun ditangani Fergie.

Seperti pendapatku di atas, buku ini penuh kenangan, opini, dan curhat Fergie tentang berbagai macam topik. Urutannya suka-suka, dan tidak lengkap karena terasa baru dimulai sejak Fergie batal pensiun dua belas tahun yang lalu. Mungkin untuk melengkapinya, aku perlu mencari dan membaca buku biografi Fergie sebelumnya, Managing My Life.

Mengapa kubilang urutannya suka-suka? Dari daftar isinya saja sudah kelihatan. Fergie tidak membagi curcolnya dalam topik-topik utama. Setelah bicara tentang masa lalu di Glasgow sebagai pengelola pub, pengelola para pemain di St Mirren dan Aberdeen, tiba-tiba cerita tentang waktu ia batal pensiun tahun 2002, terus loncat cerita tentang Beckham, Rio, Ronaldo, dan Keane, sebelum melipir ke hobi, lantas loncat lagi ke topik tentang pelatih klub lain yang jadi saingan utama...

Tapi santai saja, tak usah dipikirkan. Anggap saja kita berada di ruang keluarga, dan mendengarkan ayah atau kakek kita bercerita mengenang masa lalu. Lompat-lompat. Mengulang-ulang semua kenangan yang berkesan. Memuji sekaligus mengkritik mantan anak buah atau saingan. Opini satu arah spesial dari sudut pandang beliau. Tentu saja selalu ada alasan kuat mengapa ia memburu dan merekrut para pemain spesial meskipun di kemudian hari ia membiarkan pemain-pemain bintang meninggalkan MU (terus terang aku sependapat dengan beliau dalam hal itu, meskipun dulu termasuk yang menyesali keputusannya).

Untuk pemain favorit MU, kebanyakan seleraku sama dengan Fergie. All-time favoritku sampai saat ini masih tetap Peter Schmeichel dan Ole Gunnar Solksjaer. Waktu Schmeichel pindah dan MU terpaksa gonta-ganti kiper memang merupakan masa-masa yang sulit, bak high quality jomblo tidak juga ketemu jodoh. Untung akhirnya ada van der Sar.

Selain membicarakan para pemain bola MU, para pelatih dan tim lawan, Fergie juga bicara blak-blakan tentang media (yang selalu asal kutip demi headline yang heboh, seperti biasa), wasit, dan ini yang aku suka... psikologi. Dari cara memperlakukan para pemain binaannya sampai psywar (dari yang sengaja sampai tak sengaja) dan cara menakut-nakuti tim lawan hanya dengan mengetuk-ngetuk jam tangannya menjelang permainan berakhir.

Buat yang biasa membaca apa yang dikatakan media yang mengikuti seluruh gerak-gerik Fergie sepuluh tahun terakhir, mungkin isi buku ini tidak ada yang baru. Tapi minimal, buku ini bercerita dari sudut pandang Fergie yang bisa jadi sama atau malah sangat bertolak belakang dengan apa yang dikabarkan media, termasuk hubungannya dengan para pemain MU dan para pelatih lawan. Mau percaya versi yang mana, dikembalikan saja pada pembaca.

Sebenarnya dalam buku terjemahan ini banyak typo bertebaran yang sedikit mengganggu kenikmatan baca. Tapi kumaafkan sajalah, toh bukan salahnya Fergie :)

View all my reviews

A Monster Calls

A Monster CallsA Monster Calls by Patrick Ness
My rating: 5 of 5 stars

The monster showed up after midnight. As they do.

But it isn't the monster Conor's been expecting. He's been expecting the one from his nightmare, the one he's had nearly every night since his mother started her treatments, the one with the darkness and the wind and the screaming...

This monster is something different, though. Something ancient, something wild. And it wants the most dangerous thing of all from Conor.

It wants the truth.

Buku ini kutemukan tergeletak di antara tumpukan buku obralan Periplus di FX beberapa hari yang lalu. Terus terang, aku tidak punya referensi apa-apa waktu membelinya, hanya mengandalkan insting "sepertinya menarik", terutama nama penulisnya, Patrick Ness (aku baru punya dan baca salah satu bukunya, The Knife of Never Letting Go, dan it's brilliant by the way), dan tentu saja... harganya yang banting. Baru setelah pulang, aku mengecek keberadaan buku ini di Goodreads, dan ratingnya yang tinggi membuatku penasaran untuk membacanya lebih dulu dari timbunan buku yang sudah berbulan-bulan menghuni kamar kosan.

Dan setelah membaca buku ini... rasanya berlebihan kalau dibilang speechless ya.

Ini bukan cerita tentang monster dunia fantasi yang harus dibasmi para ksatria berkuda putih, tapi monster psikologis yang diam-diam menggerogoti hati dan pikiran seorang bocah tiga belas tahun sejak ibunya jatuh sakit dan menjalani perawatan. Dan cara yang paling tepat untuk mengobati jiwa dari monster itu adalah dengan mengakui kenyataan, yang selama ini bersembunyi di alam bawah sadar. Kenyataan yang tidak bisa diakui karena terasa begitu selfish, sehingga memikirkannya sedikit saja akan membuat kita merasa begitu bersalah, sehingga merasa harus mendapat hukuman yang seberat-beratnya.

Ada tiga kisah yang diceritakan sang monster yang mendatangi Conor. Ketiganya bukan kisah hitam putih antara yang haq dan yang bathil, tapi dongeng dengan karakter abu-abu, di mana tak ada garis jelas yang bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Tapi... bukankah semua manusia begitu? Garis batas hitam putih hanya ada di dunia dongeng, bukan di dunia nyata.

Setelah sang monster menyelesaikan tiga kisahnya, Conor harus menyampaikan kisahnya sendiri. Dan ia harus menceritakan kebenaran yang sesungguhnya, karena bila tidak, ia akan tetap tenggelam dalam mimpi buruk yang dibuatnya sendiri.

Buku ini ditulis oleh Patrick Ness berdasarkan ide dari mendiang Siobhan Dowd, dalam bentuk karakter, premis, maupun awalnya. Namun untuk menghargai Dowd, Patrick Ness menuliskannya dengan gayanya sendiri. Dan harus kuakui, ilustrasi yang digoreskan Jim Kay untuk menghiasi buku ini sangat pas dengan tone ceritanya yang kelam mencekam...






View all my reviews