Sunday, August 31, 2014

Buku Kecil Merah Fergie

Sir Alex Ferguson, 1986-2013Sir Alex Ferguson, 1986-2013 by Alex Ferguson
My rating: 3 of 5 stars

Yap. Itulah yang kupikirkan ketika melihat buku hardcover berisi kumpulan "kata mutiara" Sir Alex Ferguson ini di display toko buku.

Akankah buku ini menyaingi Buku Kecil Merah Mao?

Yah, pengikut setia Fergie takkan pernah sebanyak Mao sih, tapi sepertinya tetap ada pasar untuk buku apapun yang berkaitan dengan legenda hidup yang satu ini. Aku termasuk salah satu target pasar, tentu saja. Sebagai buktinya, aku membeli buku ini, meskipun setelah melihat sinopsis singkat di sampul belakang buku "Kata-kata Inspiratif Sang Manajer Hebat", aku sudah meyakini bahwa isinya sedikit, dan mungkin sudah pernah kubaca di buku-buku biografi Sir Alex yang kumiliki.

Bagi penggemar MU, masa-masa suram di tangan para pengganti Fergie saat ini pasti membuat rindu masa lalu, berandai-andai sang legenda masih tetap menangani MU. Tapi jangan salah, ada masanya Fergie juga dicela, dicaci maki, diharapkan segera ditendang dari MU. Di buku kecil ini, masa-masa suram itu dimasukkan ke bab "Kelompok Yang Selalu Meremehkan", yang berisi kutipan-kutipan yang pasti membuat hati dan kuping terasa panas.

TIGA TAHUN YANG PENUH DENGAN OMONG KOSONG DAN TETAP MENJADI SAMPAH, SELAMAT TINGGAL FERGIE. Spanduk di Old Trafford, Desember 1989.

OBE "OUT BEFORE EASTER". Emlyn Hughes menganugerahi gelar alternatif untuk Sir Alex, 1990

Namun, Fergie tetap bisa bertahan lama, dan akhirnya membuktikan kemampuannya. Apakah Van Gaal bisa bertahan sampai masa kontraknya habis? Entahlah.

Bab-bab selanjutnya berisi kutipan tentang keyakinan dan manajemen ala Fergie. Salah satu prinsip Fergie adalah, bahwa manajer lebih penting daripada pemain, sehebat apapun si pemain. "Jangan biarkan para pemain menghinamu," nasihatnya untuk Paul Ince ketika menjadi manajer. Prinsip itu bukan omong kosong, lihat saja akibatnya pada para pemain yang berani melawannya. Ujug-ujug bye-bye baby, deh. Tidak ada pemain MU yang lebih penting daripada Fergie. David Beckham sekalipun. Roy Keane sekalipun. Atau... ini listnya panjang sebenarnya...

Bab yang cukup membuat tersenyum adalah "Cangkir Teh dan Pengering Rambut", yang berkaitan dengan gaya marah-marah Fergie yang terkenal. Khusus penyelesaian dengan cara "pengering rambut" yang dikenang siapapun, terutama para pemain yang sering mendapat treatment khusus ini. Menurut Fergie, istilah itu "ditemukan" oleh Mark Hughes, tentunya sejak dia meninggalkan MU. Tabloid SUN malah membuat edisi khusus (souvenir edition pula) untuk 27 tahun pengabdian Fergie:
Meskipun edisi khusus ini dinilai menghina beliau, aku kepingin punya suvenir hairdryer-nya :P

Kutipan-kutipan lain di buku ini terkait hubungan Fergie dengan media, para pemain, dan pelatih tim lawan, khususnya Arsene Wenger.

This is an okay book. Tapi yang kusesalkan, untuk buku kumpulan kutipan tipis macam begini, masih ada saja typo yang bertebaran, dan masih ada saja terjemahan yang terlalu harfiah. Begitu membaca bahwa Fergie "meletakkan rasa takut pada Tuhan dalam diri para pemain" sebagai terjemahan dari frasa "to put the fear of God into the players", aku hampir-hampir malas melanjutkan baca. Duh, please dong ah!

View all my reviews

Friday, August 29, 2014

Tanaman Monster

Tanaman Monster (Weird and Wicked Series, #1)Tanaman Monster by Ernita Dietjeria
My rating: 3 of 5 stars

Judul : Tanaman Monster
Penulis : Ernita Dietjeria
Penerbit : Kiddo, imprint Kepustakaan Populer Gramedia
Pertama kali terbit : Juni, 2014
Halaman : 104 halaman.

Ketika melihat buku pertama dari Weird & Wicked Series ini di display toko buku, kupikir ilustrasi sampul depannya terasa menyeramkan untuk buku cerita anak-anak. Lalu aku membaca sinopsis di sampul belakangnya: 

Tonit bangga sekali saat menemukan tanaman berkantung di hutan. Apalagi saat tahu tanaman  itu tanaman pemakan daging langka yang bisa dijual dengan harga mahal.

Tonit sudah membayangkan bisa memberikan uang hasil penjualan tanaman itu kepada ibunya. "Supaya Ibu tidak usah lelah bekerja lagi," pikir Tonit yang kasihan melihat ibunya harus bekerja keras sejak ayahnya meninggal dunia.

Akan tetapi, tanaman itu mulai tak puas dengan serangga-serangga yang ia berikan sebagai makanannya. Lalu, kucing kakaknya menghilang meninggalkan tetesan darah di dekat pot dan tanaman itu menjadi besaaar dan meraaaaah!! Tonit mulai merasa cemas...

Baru membaca sinopsis bukunya saja, aku langsung mencap serial ini sebagai Goosebumps versi Indonesia. Dan setelah membeli dan membaca bukunya, tuduhanku terbukti benar adanya.

Ciri-cirinya jelas. Pertama, tokoh utamanya masih anak-anak. Kedua, ceritanya dibangun dengan aroma misteri dan horor. Ketiga, twist ending yang menggantung dan mengejutkan.

Tonit mendapat tugas sekolah untuk membawa dan mempresentasikan tanaman unik di kelas, dan tanpa sengaja menemukan tanaman kantong semar atau kantong monyet di hutan. Tanaman ini merupakan tanaman karnivora yang umumnya mengkonsumsi serangga, tapi bisa juga hewan kecil seperti katak, kadal, bahkan tikus. Beginilah penampakannya:


Dalam presentasi di depan kelas, rupa-rupanya tanaman pilihan Tonit memang yang paling unik, mengingat anak lain membawa tanaman yang lumayan umum, seperti cabe rawit atau kaktus. Tapi jangan salah, di sinilah penulis menyelipkan pelajaran ilmu pengetahuan alam bagi pembaca, karena tanaman lain pun mendapat kesempatan untuk dijelaskan dalam beberapa paragraf.

Selesai presentasi, Tonit tetap memelihara si kantong monyet dengan tujuan menjualnya dengan harga tinggi suatu saat nanti. Dan cerita seram pun dibuka sedikit demi sedikit. Dalam usahanya memelihara kantong monyet itu, Tonit diganggu oleh kakaknya Tania dan kucing kesayangan sang kakak, Hercules. Tania bahkan pernah tega menuangkan soda ke dalam kantong si tanaman, dan membuat tanaman itu layu. Tapi... ada tapinya, si kantong monyet bisa mendadak sembuh dan segar setelah tanpa sengaja mendapatkan beberapa tetes darah Hercules!

Demi kesehatan dan kesegaran tanaman peliharaannya, Tonit rela menyisihkan daging lauk makannya, sampai kelaparan segala. Tapi ketika Hercules hilang dan si kantong monyet bertambah besar dan merah, horor pun dimulai...

Pertanyaannya adalah: 
- Apakah Tonit berhasil menjual si kantong semar dengan harga mahal? 
- Apakah si kantong semar yang semakin besar dan lapar akhirnya mengincar mangsa yang lebih besar... tuannya sendiri, misalnya? 
- Apakah kerakusan tanaman bisa menular pada manusia?

Bacaan ringan yang cukup menghibur. Ceritanya sederhana, pendek, dan bisa dibaca sekali duduk waktu sarapan pagi sebelum berangkat ke kantor. Persisnya ini yang kulakukan, dengan catatan sarapannya cuma secangkir kopi instan.

Oh iya, buku ini kubeli, kubaca, dan kureview dalam rangka berpartisipasi dalam event posting bareng BBI tema Buku Baru Indonesia 2014.



Thursday, August 28, 2014

Indonesia Dalam Infografik

Indonesia Dalam InfografikIndonesia Dalam Infografik by Septa Inigopatria
My rating: 4 of 5 stars

Dinamika jurnalisme selalu mengikuti perkembangan zaman, termasuk kemajuan teknologi digital. Pergerakan jurnalisme yang semula berpusat pada teks dan foto terus mengalami perubahan, seperti terlihat dalam jurnalisme infografik yang menekankan aspek visual. Buku Indonesia dalam Infografik diterbitkan dalam rangka menyambut ulang tahun ke-49 harian Kompas yang jatuh pada 28 Juni 2014, dengan menampilkan karya 17 perancang infografik, 8 artikel mengenai jurnalisme infografik, dan 45 infografik pilihan.

Penyampaian informasi dalam bentuk gambar bukan hal yang baru, kalau kita mengingat kebudayaan di masa lalu menyampaikan cerita, berita, dokumen dalam bentuk gambar, bahkan mungkin sebelum tulisan ditemukan. Contohnya bisa ditemukan pada lukisan-lukisan gua, relief candi, atau hieroglif (iya, ini memang tulisan, tapi dalam bentuk gambar). Konon, satu gambar dapat menggantikan seribu kata.

Infografik merupakan singkatan dari "informasi grafik", format unik yang digunakan secara luas, yang dicirikan dengan ilustrasi, tipografi besar, dan orientasi memanjang, vertikal yang menampilkan berbagai fakta (Jason Lankow, Infographics: The Power of Visual Storytelling). 

Jurnalisme telah lama menggunakan infografik dalam penyampaian informasi, dari semula menggunakan grafik atau gambar sederhana, hingga akhirnya menggunakan program komputer khusus. Dalam hal tiga ketentuan dasar metode komunikasi verbal atau visual yang efektif (Daya Pikat, Komprehensi dan Retensi), infografik jurnalisme/editorial berada di antara tipe akademis/ilmiah dan tipe marketing.

Buku kumpulan infografik harian Kompas ini, menurut sinopsis di cover belakang maupun dalam kata pengantar di halaman awal, diterbitkan dalam rangka menyambut ulang tahun ke-49 harian Kompas yang jatuh pada tanggal 28 Juni 2014. Tapi kalau kita menilik blog infografik Kompas, buku ini diterbitkan dalam rangka memeriahkan hari ulang tahun ke-69 kemerdekaan Indonesia. Entah mana yang benar, mungkin sekaligus dua-duanya. Namun, angka yang diwakili oleh buku ini lebih mendekati hari kemerdekaan Indonesia ketimbang hari lahirnya Kompas, karena buku ini disusun dengan komposisi spesial:
- 17 Perancang Infografik
- 8 Artikel
- 45 Infografik  

Delapan artikel dalam buku ini khusus membahas tentang infografik, dari pengertian, perkembanagn desain, seni rupa dalam desain surat kabar, pencarian data, tren dan daya infografik di media massa, hingga variasi teknik dan alat untuk membuatnya.

Tapi, sesuai judul buku, komoditas utama buku ini adalah kompilasi 45 karya jurnalistik dalam bentuk infografik tentang Indonesia yang telah dimuat di edisi "Kompas Siang" sebagai produk digital yang terbit setiap pukul 15.00 dalam enam hari sepekan, dengan modifikasi tambahan isi dan data dan tata letak untuk mendapatkan efek visual yang lebih kuat.

Infografik apa saja yang disajikan?

45 infografik ini membahas apa saja yang berkaitan dengan Indonesia, baik kebudayaan, arsitektur, sampai ke flora dan fauna.

Ada infografik yang membahas rumah adat (Tongkonan Toraja, Mbaru Niang, Suku Baduy, Bali dan Lombok), sampai jenis-jenis perahu Nusantara. Ada juga yang khusus membahas candi, dari Candi Arjuna, Candi Cangkuang, Candi Sari, dan tentu saja Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Tentu saja dibahas pula Masjid (Masjid Agung Demak, Masjid Menara Kudus, Masjid Sunan Ampel), Keraton (Surakarta, Yogyakarta, Sumenep) sampai kelenteng (Ji De Yuan dan Tay Kak Sie). Semuanya disajikan lengkap dengan segala info singkat yang sangat mungkin kita malas membacanya apabila disajikan hanya dalam bentuk teks di buku pelajaran sejarah.

Pada infografik tentang Trowulan, kita bisa melihat info tentang perkiraan kehidupan di ibukota Majapahit itu. Sungguh, aku baru tahu di jaman itu sudah ada celengan yang berbentuk babi hutan, dan dari sanalah kemungkinan asal usul kata celengan (celeng = babi hutan). Jadi, kalau kita menyebutkan celengan babi, sebenarnya jadi redundant ya?

Ada pula infografik yang membahas gedung-gedung peninggalan sejarah. Bangunan bersejarah peninggaan Belanda yang disajikan di sini antara lain Gereja Blenduk, Gereja Katedral, Museum Benteng Vredeburg, Benteng Van Der Wijck, Kota Tua Batavia, Museum Bank Indonesia, Lawang Sewu, Gedung Sate, Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Gedung Merdeka, sampai Observatorium Bosscha. Omong-omong, pas membaca tentang Benteng Van Der Wijck (nama aslinya sih Fort Generaal Cochius, tapi jadi dikenal dengan nama sekarang gara-gara ada pelat besi bertuliskan "C Van Der Wijck" di gerbang utama pintu masuk), yang teringat malah adegan film The Raid 2: Berandal, khususnya adegan battle royale brutal penuh lumpur di halaman tengahnya :D

Tentu saja, kalau bicara tentang bangunan, tidak melulu bangunan bersejarah peninggalan Belanda. Ada pula bangunan yang didirikan pasca kemerdekaan, seperti Masjid Istiqlal, Gelora Bung Karno, dan Monumen Pancasila Sakti.

Pada beberapa infografik akhir, temanya sudah menjalar ke flora dan fauna Indonesia, karena membahas bunga bangkai dan bunga rafflesia (ini sebenarnya sama-sama bau, ya?), harimau sumatera, Garis Wallace, dan Pusat Primata Schmutzer di Kebun Binatang Ragunan.

Informasi dalam buku ini sedikit banyak tentunya sudah pernah kita baca dalam berbagai literatur lain, tapi buku ini meringkasnya menjadi padat dan menarik secara visual, sehingga kita akan dengan senang hati membacanya, dan kemungkinan, retensi-nya lebih lama dari informasi yang kita baca dalam bentuk teks saja.

Oh, iya, buku ini kubeli, kubaca, dan kureview, khusus untuk menyambut hari raya kemerdekaan Indonesia, dan tentu saja dalam rangka:
Tema Lokal/Nusantara
Dan jika ada yang bertanya-tanya kenapa review buku tentang infografik hanya berbentuk info tanpa grafik, aku mohon maaf dan hanya dapat merekomendasikan untuk membaca bukunya secara langsung. Atau membaca infografik di Harian Kompas. Atau browsing internet langsung dengan kata kunci "infografik Indonesia". Terus terang, aku baru sadar bahwa hampir setiap hari aku telah membaca informasi dan berita dalam bentuk infografik. Bahkan, informasi dan data yang kuserap dari media gambar, mungkin malah lebih terekam jelas dalam ingatan dibandingkan informasi dan data yang kupelajari dari buku teks. Mungkin karena itulah sampai sekarang aku tetap hobi membaca manga :P

View all my reviews

Tuesday, August 19, 2014

Film In Five Seconds

Film in Five SecondsFilm in Five Seconds by Matteo Civaschi
My rating: 4 of 5 stars

Synopsis:
Know a great movie when you see one?

Can you tell Grease from your Godfather, your King Kong from your King's Speech, your Rocky from your Rocky Horror?

In Film in Five Seconds, some of the greatest movies ever made are transformed into hilarious and witty infographics to put your movie knowledge to the test. So grab your friends (and some popcorn) and see how many you can guess. Action!

Seperti biasa, buku ini kubeli karena iseng gara-gara kelihatan "sepertinya menarik". Dapatnya juga tidak sengaja, waktu lagi asyik bongkar-bongkar tumpukan obralan Periplus di FX, tahu-tahu ada calon pembeli lain yang menaruh buku ini di depanku. Karena sudah tidak tersegel plastik, pastinya ya kubuka-buka juga dong. Bisa sih tidak usah dibeli tapi dibaca di tempat saja, tapi melihat tampilan infografisnya yang lucu dan menarik, meskipun tidak ada label harganya, ya sudah nekad saja kubawa ke kasir bersama buku hasil nemu lainnya.

Lalu, buku apakah ini?

Sebenarnya, sinopsis di cover belakang sudah jelas menyebutkan bahwa ini buku tebak-tebakan film. Asli sebagian besar isinya hampir tidak ada tulisannya, kecuali di bagian pembuka yang cukup dua halaman, berisi basa-basi bahwa The Show Must Be Short, dan beberapa halaman di bagian belakang: penutup, kunci jawaban, dan halaman copyright.

Sebagai seseorang yang mengaku sebagai movie buff, jelas buku ini menjadi bacaan yang wajib untuk ditebak isinya :))

Hasilnya? Untuk film-film yang pernah ditonton, jelas lebih mudah ditebak judulnya. Tapi untuk film-film yang belum pernah ditonton, hit-and-miss lah. Hit kalau minimal tahu sedikit jalan ceritanya, dan miss jelas karena benar-benar nge-blank saat melihat infografisnya :P

Silakan ikut tebak-tebakan sedikit ya... kukasih yang gampang, deh! Siap?









Gampang, kan?


View all my reviews

How To Be an Explorer of the World

How To Be an Explorer of The World: Panduan Kreatif Menjelajah KehidupanHow To Be an Explorer of The World: Panduan Kreatif Menjelajah Kehidupan by Keri Smith
My rating: 3 of 5 stars

Or How To Be a Hoarder of the World.

Been there, done that. Sebagai tukang koleksi, bukan cuma koleksi umum macam buku, uang kuno, kartu pos dan perangko saja yang kukumpulkan. Barang-barang yang kelihatannya menarik, termasuk batu yang warnanya menarik hasil nemu di jalan juga pernah kukumpulkan.

Barang bekas yang menarik? Hah, lebih banyak lagi jenisnya. Waktu kecil aku pernah mengumpulkan kaleng bekas minuman dari merek-merek yang berbeda, meskipun setelah menumpuk tinggi bak instalasi jadi-jadian akhirnya dibuang juga (eh, membuat instalasi jadi-jadian nggak penting juga salah satu cara menjadi explorer of the world, lho :)). Berhasil, berhasil, berhasil, hore!

Setelah membaca buku ini, yang terpikir selain berencana melakukan beberapa cara baru untuk membuang waktu paling kreatif yang sepertinya belum pernah kucoba (itu pun kalau suatu hari mungkin sedang malas melakukan hal yang lebih berguna, misalnya membaca untuk mengurangi timbunan buku unread), malah membereskan kamar kos dan rumah, siapa tahu ada koleksi aneh-aneh yang perlu disingkirkan setelah kebutuhan "eksplorasi"-nya sudah lewat masa kedaluarsanya.

N.B.
Aku tidak tega untuk beli buku Keri Smith yang lainnya, Wreck This Journal, setelah tahu kebiadaban apa saja yang dianjurkan Keri Smith untuk kita lakukan terhadap buku itu. Kalau memang lagi stress, untuk pelampiasan aku takkan merusak sebuah buku, melainkan membacanya. Ataupun kalau bentuknya memang buku jurnal kosong, mengisinya dengan tulisan yang bermanfaat, minimal buat diri sendiri kalaupun tidak buat orang lain.

View all my reviews

Sign Language

Kalau membaca judul posting ini, pasti terjemahan yang terpikirkan pertama kali adalah bahasa isyarat. Padahal, yang akan kita bahas di sini adalah bahasa untuk public display. Lho, kenapa juga membahas hal ini di blog review buku? Tentu saja,  karena beberapa waktu lalu aku membeli dua buah buku yang membahas hal tidak penting ini:

First published 2011 by Aurum Press Limited
Compiled by the team at Telegraph Travel
Senior Editor: Francisca Kellett
Contributing Editor: Oliver Smith, Natalie Paris, Jolyon Attwooll
ISBN: 978-1-84513-715-1


First published 2012 by Aurum Press Limited
Compiled by the team at Telegraph Travel
Senior Editor: Francisca Kellett
Contributing Editor: Oliver Smith, Natalie Paris, Jolyon Attwooll
ISBN: 978-1-78131-020-5




Seperti biasa, kalau sedang mengacak-acak tumpukan buku obralan, ada saja buku yang kubeli tanpa rencana, gara-gara kuanggap masuk kategori "sepertinya menarik". Kedua buku yang kutemukan di obralan Periplus FX ini contoh terbarunya. Apalagi, meskipun edisi hardcover, harganya yang sudah dibanting masih kena diskon 30% lagi.

Asal muasal terbitnya kedua buku ini bermula dari undangan Telegraph Travel pada para pembacanya untuk mengirimkan gambar-gambar public display yang absurd dan lucu dari perjalanan mereka. Pastinya, ada ribuan gambar yang masuk untuk diseleksi dan diterbitkan secara berkala. Kategorinya beragam dari papan petunjuk jalan, papan nama atau menu restoran, papan petunjuk toilet, sampai yang sifatnya menjurus X-rated.

Penyebab aneh-anehnya public display dalam bahasa Inggris yang ditemukan di seluruh dunia ini macam-macam, ada yang memang lost in translation, kesalahan tata bahasa atau ejaan, kata yang memiliki arti berbeda dalam bahasa lain, atau malah memang disengaja oleh pembuatnya.

Sebagai informasi saja, sebenarnya apa yang dilakukan oleh Telegraph Travel ini bisa kita lihat di beberapa situs humor, semacam failblog.com atau engrish.com, yang biasa kuselancari kalau iseng cari hiburan di dunia maya. Tapi tetap saja tak membuatku lantas enggan membeli kedua buku ini.

Karena buku-buku ini praktis hanya kumpulan foto dengan komentar-komentar iseng dari para editornya, biarlah kupasang beberapa contoh foto untuk icip-icip :P






Thursday, August 7, 2014

American Gangster

American GangsterAmerican Gangster by Max Allan Collins
My rating: 4 of 5 stars

"What matters in business is honesty, integrity, hard work and loyalty."

Kalimat tersebut tidak janggal apabila diucapkan seorang CEO yang menekankan kode etik dan core values perusahaannya. Tapi di novel ini, kalimat itu diucapkan seorang druglord kingpin.

Buku ini merupakan novelisasi dari naskah film American Gangster yang ditulis oleh Steven Zaillian. Filmnya sendiri, yang rilis tahun 2007, disutradarai oleh Ridley Scott.
Omong-omong, aku lebih suka versi poster yang ini ketimbang yang dipasang di cover novel. Alasannya simpel saja, cover buku yang hanya menampilkan satu orang dapat menipu pembaca yang bisa saja mengira tokoh utamanya adalah karakter yang diperankan Denzel Washington. Pada kenyataannya, film/novel ini berkisah tentang head-to-head antara Frank Lucas, si druglord kingpin, dengan Richie Roberts, polisi/anggota skuad anti narkotik federal, yang diperankan oleh Russell Crowe, dengan porsi yang seimbang. Fotonya yang kontras menunjukkan sisi hitam putih secara literal, baik dari ras karakternya maupun posisinya masing-masing sebagai penjahat dan penegak hukum.

Kembali ke kutipan core values di awal review ini, pada kenyataannya, baik Frank Lucas maupun Richie Roberts memegang teguh kode etik yang sama, meskipun keduanya berseberangan dari sisi hukum.   

Pada awal tahun 1970-an, Frank Lucas semula seorang supir/ajudan/tangan kanan dari salah seorang bos kriminal kulit hitam, Bumpy Johnson. Tapi ketika bosnya mendadak meninggal, ia membangun kekuasaannya sendiri. Sadar bahwa usaha mengumpulkan "uang perlindungan" akan punah seiring perkembangan zaman, ia beralih ke usaha yang paling menguntungkan: menjual narkoba. Lalu ia menemukan cara untuk mengambil keuntungan yang lebih besar: memotong distribusi dengan membeli barang dari sumbernya: Segitiga Emas, dengan memanfaatkan tentara kulit hitam untuk menyelundupkan heroin murni dari Thailand ke AS. Dengan kualitas produk yang dua kali lebih baik dan harga yang dua kali lebih murah, dengan cepat ia menguasai pasar, mematikan para pesaing, dan memonopoli perdagangan heroin di New York dan New Jersey.
The Lucas Bros
Di sisi lain, ada seorang polisi langka bernama Richie Roberts. Saking bersihnya, ketika dalam pengintaian menemukan uang haram kriminal hampir satu juta dolar, ia malah melaporkannya ke kantor sebagai barang bukti. Padahal kalau dikantongi diam-diam pun, tak bakal ada yang tahu, dan sudah lumrah kalau polisi mengambil uang haram sebagai penghasilan tambahan.
"How much?"
"Nine hundred and eighty thousand."
"What happened to the rest?"
"Not funny."
Malah, ada pameo bahwa apabila ada polisi yang berani melaporkan uang haram sebagai barang bukti, diyakini takkan segan-segan melaporkan rekan sesama polisi yang memakan uang haram. Well, mengingat Roberts langsung jadi pariah di kantor gara-gara tindakannya, bisa disimpulkan kalau rekan-rekannya seperti apa. Untungnya, dengan semakin merajalelanya narkoba di AS, pemerintah federal membentuk Biro Anti Narkoba, dan Roberts pun terpilih untuk mengepalai skuad yang beroperasi di Newark, New Jersey. Roberts diperkenankan memilih sendiri anggota tim yang diyakininya sebagai polisi bersih, yang motivasinya menegakkan hukum, bukan mencari uang seseran. Semacam tim The Untouchables-nya Eliot Ness di era Al Capone. 

Pada awalnya dunia Frank Lucas dan Richie Roberts tidak bersinggungan, apalagi pusat operasi Lucas di New York, di luar yurisdiksi Roberts. Belum lagi mulanya Roberts berkonsentrasi pada keluarga mafia Italia yang lebih dulu tenar di dunia narkoba. Tapi lama-lama, Roberts mencium adanya pemain baru yang belum ada dalam daftarnya. Dan pada akhirnya Lucas masuk ke dalam radarnya karena para gembong mafia Italia tampak memberikan penghormatan kepadanya di pertandingan tinju Muhammad Ali vs Joe Frazier. Tapi, mungkin juga gara-gara penampilan Lucas yang terlalu mencolok buat seorang kulit hitam tak dikenal:
Frank Lucas asli, dengan fedora dan coat chinchilla seharga 50 ribu dolar
Frank Lucas ber-fedora dan coat chinchilla versi Denzel Washington
Setelah penyelidikan lebih lanjut, Roberts pun akhirnya menyadari bahwa posisi Lucas lebih tinggi daripada para don lama, karena ia telah menjadi pemasok utama mereka. Dan karena Biro Anti Narkoba difokuskan untuk tangkapan besar, maka Lucas pun ditetapkan sebagai sasaran utama.

Film dengan dua tokoh utama "setara" dalam hal kode etik tidak lengkap tanpa tokoh dengan kode etik yang berlawanan. Mewakili kubu yang dibenci baik oleh Lucas maupun Roberts adalah tokoh Detektif Reno Trupo, anggota Special Investigation Unit atau SIU, yang dijuluki Princes of the City, yang ditakuti para penjahat di New York. Trupo dan rekan-rekannya kerap menggunakan dalih razia untuk menyita uang dan narkoba dari para pemasok dan pengedar, dengan uang dikantongi sendiri dan narkobanya dijual lagi. Buat orang-orang seperti Trupo, para pemasok dan pengedar narkoba bukan untuk ditangkap dan dipenjara, tapi dijadikan sapi perahan...
Who's the bad guy here?
Ketika Richie Roberts berhasil meringkus Frank Lucas, sang kingpin harus mengakui bahwa polisi yang satu ini tidak bisa dibeli. Dan akhirnya, malah Lucas yang ditawari keringanan hukuman dengan syarat memberitahu Roberts polisi mana saja yang disuap dan dibayar oleh Lucas. Target Roberts kali ini bukan para pemain besar di dunia narkoba, tapi para polisi korup.
"Hell, I remember them all, every damn name, every ugly face. That's not the problem."
"What is?"
"You ain't got jails big enough."

Terlepas dari kenyataan bahwa kisah film/novel tentang Lucas/Roberts ini di-Hollywood-isasi banget dan terasa too good to be true, kisah ini diangkat dari kisah nyata. Namun demikian, Richie Roberts sendiri memang menyatakan beberapa hal yang tidak sesuai kenyataan, misalnya dalam film dikisahkan konsentrasinya terpecah oleh urusan hak asuh anak dengan mantan istri, padahal ia tidak punya anak. Atau bahwa ia seorang playboy yang gonta-ganti cewek bahkan ketika masih menikah. Konon ia digambarkan demikian supaya karakternya tidak terlalu bersih dan punya kekurangan. Tapi mungkin juga sih, dibuat begitu supaya Russell Crowe punya beberapa adegan olahranjang... :P Di sisi lain, karakter Frank Lucas sendiri konon tidak secerdas dan se-elegan yang ditampilkan Denzel Washington.

Dan seperti diceritakan di akhir film/novel, hubungan Roberts/Lucas tidak hanya sampai kerja sama dalam pembersihan kepolisian dari korupsi, tapi juga berlanjut menjadi persahabatan. Belakangan Roberts mengundurkan diri jabatannya dan menjadi pengacara pro bono, dan salah satu  klien pertamanya adalah Lucas. Roberts berhasil membebaskan Lucas setelah lima belas tahun penjara, dari hukuman awal tujuh puluh tahun.
The Real Frank Lucas/Richie Roberts
The Fake Richie Roberts/Frank Lucas
Kelihatan sama akrab dan hepinya, ya? Dan terakhir, sebagai tambahan, aku sengaja ingin memasang foto Russell Crowe favoritku dari film ini. Senyumnya adorable buanget soalnya :))


View all my reviews

Sunday, August 3, 2014

Tinker, Tailor, Soldier, Spy

Tinker, Tailor, Soldier, SpyTinker, Tailor, Soldier, Spy by John le Carré
My rating: 3 of 5 stars

TINKER,
TAILOR,
SOLDIER,
SAILOR,
RICH MAN,
POOR MAN,
BEGGARMAN,
THIEF.

Small children's fortune-telling rhyme used when counting cherry stones, waistcoat buttons, daisy petals, or the seeds of the Timothy grass.
--from the Oxford Dictionary of Nursery Rhymes.


Di masa aku masih menggunakan program Wordstar untuk mengerjakan tugas kuliah, aku masih jarang membeli novel berbahasa Inggris. Biasanya aku meminjamnya dari Perpustakaan ITB, dan karena koleksi novelnya sangat terbatas, paling-paling yang kupinjam novel hardcover Alistair MacLean. Tapi kadang-kadang kalau main ke Pasar Palasari atau Pasar Suci, aku menemukan dan membeli novel impor bekas yang kutuduh "sepertinya menarik". Untuk kategori thriller dan spy, di masa itu aku membeli buku-buku Jack Higgins, Robert Ludlum, dan John Le Carre. Berbeda halnya novel-novel dua penulis pertama, I didn't care to read Le Carre's novels.

Bukannya aku belum pernah mencoba membaca salah satu novelnya, tapi rasanya belum juga sepuluh halaman aku sudah memutuskan untuk DNF. Gaya penulisan Le Carre membuatku malas membacanya. Lambat. Terlalu banyak narasi. Tidak ada aksi. Malas banget. Wassalam. Bye-bye.

Pada tahun 2011 muncullah versi film adaptasi dari salah satu novel Le Carre yang kumiliki:
Aku membeli DVD-nya, dengan harapan akan terpaksa membaca bukunya yang terlantar amat sangat lama sekali entah sejak kapan itu sebelum menonton filmnya. Tapi kenyataannya, karena tetap malas membaca novelnya, filmnya juga jadi ikut-ikutan terlantar. Sampai akhirnya kutonton juga pada libur panjang tahun ini.

And you know what? Ternyata gaya filmnya sama persis dengan novel Le Carre. Lambat. Terlalu banyak layer. Terlalu banyak flashback. Tidak ada aksi. Untuk memahami plot dan kronologi ceritanya, aku perlu menonton filmnya dengan konsentrasi penuh (tidak di-multitasking dengan membaca buku atau browsing internet seperti biasa). Dua kali pula. Entah kenapa aku cukup care untuk memahami film ini. Mungkin karena deretan casting-nya yang keren. Tapi lebih mungkin lagi karena kebanyakan waktu luang di hari libur.

Tapi karena kualitas filmnya itulah aku jadi tertarik untuk akhirnya membaca bukunya. Dan pada akhirnya memahami gaya penulisan John Le Carre.

Novel spy Le Carre bukan novel aksi seperti halnya novel Alistair MacLean, Jack Higgins, Robert Ludlum, atau Tom Clancy. Tidak ada aksi tembak-tembakan. Tidak ada aksi pukul-pukulan. Tidak ada aksi  kebut-kebutan. Tidak ada ketegangan yang memacu adrenalin. Kalaupun pada kenyataannya ada, tidak diceritakan dengan gamblang, paling-paling dari narasi diketahui kalau si A ditembak, ditangkap dan diinterogasi musuh, atau si C tahu-tahu ditemukan tewas dengan leher patah. Novel spy Le Carre adalah novel drama, dan karena itu lebih mendekati dunia spy yang sesungguhnya. Dan itu jelas karena John Le Carre sendiri aslinya memang mantan agen rahasia Inggris.

Pada intinya, novel ini berkisah tentang perburuan mata-mata musuh di dalam tubuh MI6 sendiri, atau di novel ini disebut dengan istilah Circus (Btw, review ini kulengkapi foto karakter dari filmnya, karena saat membaca novelnya karakter dari filmnya yang wara-wiri di benakku). Alkisah, pemimpin tertinggi Circus, yang hanya dikenal dengan nama Control (baru tahu kalau sketsa Control dari A Bit of Fry & Laurie ternyata dari sini) sudah lama
Control (John Hurt)
curiga bahwa ada mata-mata Soviet di Circus, dan kecurigaannya menyempit pada lima petinggi di sekitarnya yang masing-masing diberinya kode berdasarkan sajak anak-anak:
Tinker: Percy Alleline (Toby Jones)
Tailor: Bill Haydon (Colin Firth)
Soldier: Roy Bland (Ciaran Hinds)
Poor Man: Toby Esterhase (David Dencik)
Beggarman: George Smiley (Gary Oldman)
Berdasarkan info yang diperoleh Control, terdapat seorang Jenderal Cekoslowakia yang akan membelot ke Inggris. Dan jenderal ini memiliki informasi tentang identitas mata-mata di Circus itu. Maka Control mengutus agen lapangan Jim Prideaux ke Cekoslowakia (di film menjadi Hungaria) dengan misi utama memperoleh informasi super penting itu.
Jim Prideaux (Mark Strong)
Misi itu gagal total. Jim Prideaux ditembak dan ditangkap pihak musuh. Sebagai imbasnya, Control dipensiunkan, dan itu termasuk orang-orang yang tidak sejalan dengan rezim pemimpin baru Circus, Percy Alleline, termasuk tangan kanan Control, George Smiley.

Beberapa bulan setelah Smiley terpaksa pensiun, masalah mata-mata Soviet di tubuh Circus muncul kembali saat agen lapangan yang menghilang dan dianggap membelot, Ricki Tarr, menghubungi Oliver Lacon, pejabat pemerintah yang bertugas mengawasi Circus.
Ricki Tarr (Tom Hardy)
Tak lama setelah Control dan Smiley meninggalkan Circus, Tarr mengupayakan pembelotan agen Soviet bernama Irina, yang memiliki informasi krusial tentang agen ganda yang diandalkan oleh Circus, yang juga bisa memberikan petunjuk tentang agen ganda di tubuh Circus. Namun permohonannya untuk membantu pembelotan Irina yang disampaikannya ke Circus ternyata bocor, karena Irina langsung dicokok dan lenyap. Sadar dirinya dalam bahaya, Tarr pun menghilang. Namun ketika jejaknya di tempat persembunyian mulai tercium, ia terpaksa kembali ke Inggris untuk melindungi diri.

Tidak bisa mempercayai siapapun di Circus, Lacon menugaskan Smiley untuk menyelidikinya. Smiley menyanggupi, namun karena ia sudah berada di luar Circus, maka untuk penyelidikan dari dalam Circus ia meminta bantuan dari Peter Guillam, 
Peter Guillam (Benedict Cumberbatch)
Secara umum, novel ini lebih mirip cerita detektif. Smiley melakukan "wawancara", menggali informasi dari orang-orang yang terlibat, dimulai dari Ricki Tarr sampai Jim Prideaux. Peter Guillam mencari dan mempelajari arsip rahasia Circus, bahkan bila perlu mencuri dan membawanya keluar untuk dibaca dan dipelajari oleh Smiley. Namun novel ini tidak hanya bercerita tentang pekerjaan sebagai mata-mata. Secara tidak langsung, novel ini juga bercerita tentang pribadi masing-masing karakternya.

Namun, berbeda dengan cerita detektif, mungkin pengungkapan tentang siapa musuh di balik selimut bukanlah hal yang paling utama. Karena pada kenyataannya, masing-masing orang yang terlibat bisa jadi sudah lama mencurigai dan menduga siapa orangnya, namun karena tidak ingin mempercayai kemungkinan itu, berusaha melupakannya dan berharap hal itu tidak benar. Sama halnya dengan kita mungkin menduga atau merasakan bahwa kita memiliki penyakit tertentu, tapi tidak mau memeriksakan diri ke dokter dan berusaha melupakannya, karena khawatir diagnosa dokter akan membenarkan dugaan kita.

Bagaimanapun, sang mata-mata adalah sahabat, panutan, kekasih atau bahkan lawan, yang keberadaannya sangat penting bagi setiap orang.


View all my reviews