Monday, December 31, 2018

Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang

Judul : Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang

Penulis : Fumio Sasaki

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Tebal : 280 halaman

Dibaca di : Gramedia Digital

Tanggal baca : 30 Desember 2018

Sinopsis :
Fumio Sasaki bukan ahli dalam hal minimalisme; ia hanya pria biasa yang mudah tertekan di tempat kerja, tidak percaya diri, dan terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain—sampai suatu hari, ia memutuskan untuk mengubah hidupnya dengan mengurangi barang yang ia miliki. Manfaat luar biasa langsung ia rasakan: tanpa semua “barangnya”, Sasaki akhirnya merasakan kebebasan sejati, kedamaian pikiran, dan penghargaan terhadap momen saat ini.

Di buku ini, Sasaki secara sederhana berbagi pengalaman hidup minimalisnya, menawarkan tips khusus untuk proses hidup minimalis, dan mengungkapkan fakta bahwa menjadi minimalis tidak hanya akan mengubah kamar atau rumah Anda, tapi juga benar-benar memperkaya hidup Anda. Manfaat hidup minimalis bisa dinikmati oleh siapa pun, dan definisi Sasaki tentang kebahagiaan sejati akan membuka mata Anda terhadap apa yang bisa dihadirkan oleh hidup minimalis.

Curcol suka-suka:
Aku membaca buku ini via aplikasi Gramedia Digital di handphone. Yang artinya: aku sudah selangkah lebih maju menuju hidup minimalis!

Just kidding, bro. Aku membaca buku digital bukan berarti aku berhenti membeli buku cetak. Itu hanya salah satu cara untuk menentukan apakah aku membeli versi cetaknya atau tidak, tak perlu lagi aku berjudi membeli buku cetak dengan alasan "sepertinya menarik".

Lalu, karena ternyata aku suka buku ini, apakah aku akan membeli edisi cetaknya? Oh, dilema...

Pertama, perlu ditegaskan bahwa meskipun aku menyukai buku ini, belum tentu aku bisa menjalankan apa yang disarankan penulisnya yang tergolong ekstrimis dalam aliran minimalis ini. Aku selalu kagum pada mereka yang bisa melakukan apa yang tak bisa kulakukan dengan mudah, misalnya: membuang barang tanpa pikir-pikir konsekuensinya. Yang ada malahan aku lebih sering membeli barang tanpa pikir-pikir konsekuensinya.

Begini, bukannya aku tidak pernah berusaha membuang barang. Aku bukan orang sentimental yang suka menyimpan barang-barang kenangan. Buat apa? Menuh-menuhin tempat saja. Setelah membaca buku Marie Kondo tentang seni beres-beres, aku juga sudah berupaya membuang sebagian koleksi baju, tas, sepatu, bahkan buku!

Etapi ndilalah, aksi buang barang dilakukan, aksi beli barang tetap jalan terus dong... Hiks! Ini yang susah, apalagi di jaman belanja online semakin gampang begini. Sambil tiduran dan ngemil di atas ranjang, bisa asyik browsing di aplikasi marketplace ini itu, eng-ing-eng..., punya baju, tas, dan buku baru deh. Ih, ini pasti yang salah jarinya!

Jadi, membaca buku ini, pertama melihat foto sebelum dan sesudah dari kamar, apartemen atau rumah para minimalis teladan, lantas melihat sekeliling kamar kos... Hm, jadi gatal ingin membereskan kamar kos yang entah kenapa kok kelihatan selalu penuh dengan barang yag belum tentu penting dan... omong-omong, kapan ya kubeli dan kapan terakhir kali kupakai? Jawabannya: boro-boro ingat.

Tapi... tapi... Fumio Sasaki ini terlalu ekstrim deh!

Mana tega aku membuang buku begitu saja? Yang ada paling aku memaketkan timbunan buku di Jakarta ke Cirebon. Paling tidak buku yang sudah kubaca, buku yang belum kubaca tapi aku punya e-booknya, atau buku yang belum kubaca tapi aku bisa baca versi digitalnya di aplikasi. Baru kalau aku punya waktu, kapan-kapan menyiangi buku yang memenuhi perpustakaan pribadi di Cirebon.

Mana bisa aku membuang baju begitu saja? Oke, ada beberapa potong yang memang baru kupakai sekali dua dan sepertinya tak bakalan kupakai lagi karena alasan tertentu, jadi lebih baik dihibahkan. Tapi sisanya? Masih kupakai semua kok! Memang tidak setiap hari, tapi kan variasi baju itu perlu supaya tidak bosan (dan tidak dinyinyiri pakai baju yang itu-itu saja, kayak nggak punya baju lain saja!).

Mana mungkin aku mengurangi gadget! HP yang ini khusus keperluan kantor, HP yang ini khusus untuk entertainment seperti menonton youtube dan mendengarkan musik, HP yang ini khusus untuk membaca buku digital. Kalau cuma pakai satu HP, baterenya bakal cepat habis, harus sering di-charge, dan lebih cepat rusak. Mending punya lebih dari satu dan dipisahkan berdasarkan fungsinya!

Hahaha... tidak ada habisnya memang alasan untuk mempertahankan keberadaan barang dan mencari alasan untuk itu. Hidup kita diatur oleh barang-barang kita? Memang! Persis seperti bit-nya alm. George Carlin tentang A Place For Your Stuff, yang pernah kukutip panjang lebar di review buku beliau di blog ini. Semua barang kita itu penting! Jadi perlu disediakan tempatnya. Itulah gunanya rumah: tempat untuk menaruh barang kita! Kalau kita tidak punya barang, kita tak perlu rumah dan bisa bebas berpergian ke mana saja tanpa khawatir kehilangan barang milik kita...

Hadeh. Seperti biasa kalau review buku model begini versi curcol pasti tidak akan ada habisnya, karena terlalu banyak alasan untuk menolak semua kiat yang ditawarkan penulis ekstrimis ini. Tapi pada prinsipnya, inti buku ini adalah di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Karena kiat pertama adalah: buang jauh-jauh pikiran bahwa kita tidak mampu membuang barang. Kalau ada kemauan untuk membuang barang kita, apapun bentuk dan rupanya, pasti kita bisa deh.

Kalau ada kemauan tapinya...

Slugfest: Inside the Epic, 50-year Battle between Marvel and DC

Judul : Slugfest: Inside the Epic, 50-year Battle between Marvel and DC

Penulis : Reed Tucker

Penerbit : Da Capo Press

Tebal : 286 halaman

Dibaca tanggal : 30 November s/d 30 Desember 2018

Sinopsis :
The most bruising battle in the superhero world isn't between spandex-clad characters; it's between the publishers themselves. For more than 50 years, Marvel and DC have been locked in an epic war, tirelessly trading punches and trying to do to each other what Batman regularly does to the Joker's face. Slugfest, the first book to tell the history of this epic rivalry into a single, juicy narrative, is the story of the greatest corporate rivalry never told. It is also an alternate history of the superhero, told through the lens of these two publishers.

Slugfest will combine primary-source reporting with in-depth research to create a more fun Barbarians at the Gate for the comic book industry. Complete with interviews with the major names in the industry, Slugfest reveals the arsenal of schemes the two companies have employed in their attempts to outmaneuver the competition, whether it be stealing ideas, poaching employees, planting spies, ripping off characters or launching price wars. Sometimes the feud has been vicious, at other times, more cordial. But it has never completely disappeared, and it simmers on a low boil to this day.

The competition has spilled over to the even the casual fans, bisecting the world into two opposing tribes. You are either a Marvel or a DC fan, and allegiance is hardly a trivial matter. Perhaps the most telling question one can ask of a superhero fan is, Marvel or DC? The answer often reveals something deeper about personality, and the reason is wrapped up in the history of both companies.

Reading Experience :
Apakah Anda penikmat komik, khususnya komik superhero?

Kalau jawabannya iya, apakah Anda pembaca komik terbitan Marvel atau terbitan DC? Atau kedua-duanya?

Apakah Anda bertanya-tanya mengapa banyak karakter dari kedua komik yang penampakannya mirip, sama dan sebangun? Apakah mereka masih sepupu jauh?

Apakah Anda bertanya-tanya mengapa karakter Captain Marvel dari DC terpaksa ganti nama jadi Shazam? Kan repot, harus ganti akte, lantas kudu bikin selamatan pakai bubur merah bubur putih segala biar orang sekampung tahu?

Apakah Anda ingin tahu bagaimana Marvel bisa melibas dominasi DC di ajang perkomikan pada tahun 1960-70an? Bagaimana DC terseok-seok berusaha mengejar ketertinggalan tanpa pernah dapat memahami alasan pembaca komik lebih tertarik membeli dan membaca komik Marvel?

Apakah Anda ingin tahu bagaimana Marvel bisa mendominasi ajang film superhero di awal abad ke-21 dengan Marvel Cinematic Universe-nya, sementara DC jatuh bangun mengejar dengan DC Expanded Universe (atau sudah ganti nama jadi DC Universe saja, ya? Whatever.)-nya?

Kalau memang Anda punya banyak pertanyaan tak terjawab tentang kompetisi Marvel vs DC dari jaman kuda gigit besi sampai sekarang, buku ini cocok untuk dibaca di saat iseng untuk membuka cakrawala. Mungkin juga sebagai penikmat dan pemerhati komik/film superhero sebenarnya Anda sudah cukup tahu semua jawaban pertanyaan di atas, tapi buku ini tetap dapat dijadikan bacaan wajib, minimal memperkuat basis pengetahuan Anda sekiranya di masa yang akan datang Anda tanpa sengaja terlibat ajang perdebatan berdarah-darah antara fans Marvel dan fans DC yang ora uwis-uwis.

Sebagai salah seorang pembaca komik dengan segala bentuk dan turunannya, sebenarnya aku lebih dulu mengenal dan menggemari komik Eropa macam Tintin, Lucky Luke, Asterix, Smurf, dlsb, karena pada masa kecilku, komik seperti inilah yang lebih banyak beredar di toko buku di Indonesia (dari sini ketahuan jelas angkatannya deh!). Komik superhero AS cuma komik yang kubaca sambil lalu, itu pun karena pinjam koleksi anak tetangga yang punya akses bacaan yang berbeda denganku.

Lanjut ke masa manga mulai beredar di Indonesia, dimulai dengan angkatan Candy-Candy, Kungfu-boy, Dragon Ball, Pop Corn cs, aku mulai menyisihkan komik Eropa, apalagi komik superhero AS. Komik selain manga cuma jadi bacaan tersier. Menu utamaku tentu saja novel dan manga.

Kalaupun harus ditilik mana dulu komik superhero yang kubaca, DC atau Marvel, ya jelas DC-lah, terutama komik Batman dan Superman (karakter lain mah cuma figuran) yang lebih banyak beredar di pasaran. Kalaupun ada komik Marvel yang kubeli dan kubaca, paling komik Ultimate Spider-Man, yang cuma kubeli enam jilid. Alasannya? Rugi euy, harganya yang mahal tidak sepadan dengan jilidnya yang supertipis. Maklum, aku penggemar novel dan manga, yang jauh lebih tebal dan lebih memuaskan keinginan membaca.

Aku mulai lebih banyak membaca komik DC dan Marvel setelah mendapat kemudahan akses via internet. Kembali, yang lebih banyak kubaca terlebih dulu adalah komik DC yang karakternya lebih familiar. Aku mulai beralih ke komik Marvel setelah bosan membaca semua komik Batman/Superman modern termasuk versi Elsewhere (dan iya, aku kurang tertarik membaca komik karakter DC lainnya!) dan... yap, setelah film-film Marvel dari Spider-Man versi Sony dan MCU mulai bermunculan. Late to the party? Sure. Hop to the bandwagon? Not really.

Kalau ditodong pertanyaan apakah aku fans Marvel atau DC, aku tak akan pernah bisa menjawab. Aku penggemar komik. Titik. Apapun bentuknya, dari komik eropa, manga, maupun komik superhero amerika. Aku penggemar cerita yang menarik dengan storytelling dan artwork yang bagus. Hanya ada sedikit komik dengan artwork di luar seleraku yang bisa kumaafkan, karena cerita dan storytelling yang memang mumpuni. Namun aku lebih sering kehilangan mood baca duluan begitu melihat artwork yang tidak sesuai selera. Boleh dibilang, salah satu kekurangan komik Marvel dan DC adalah kualitas cerita dan artworknya bisa berubah suka-suka karena seringnya berganti penulis dan ilustrator dalam suatu serial. Berbeda halnya dengan manga yang selalu konsisten, karena penulis atau mangaka untuk suatu serial tetap orang yang sama.

Banyak komik DC yang menjadi favoritku (iya, mayoritas komik Batman), tapi lebih banyak lagi yang cuma kubaca selintasan karena ceritanya yang meh dan gitu doang. Begitu pula dengan komik Marvel (meskipun variasi karakter utama yang kubaca lebih banyak). Sami mawon. Malah kadang komik klasik yang digadang-gadang sebagai top-ten dari masing-masing penerbit pun bisa kulewatkan karena kualitas gambarnya yang jadul dan bikin malas baca. Bahkan bisa jadi ada faktor selain artwork yang juga berpengaruh. Sampai sekarang aku masih belum berminat mengikuti serial komik X-Men. Cuma beberapa jilid yang pernah kubaca, itu pun karena penulisnya Joss Whedon. Duh. Sudahlah. Mungkin kapan-kapan kubaca kalau sudah kehabisan bahan bacaan.

Tapi, seambigu apapun posisiku terhadap komik Marvel dan DC, buku ini tetap asyik untuk dibaca. Bagaimana Marvel yang awalnya penerbit kecil tukang jiplak dengan oplah rendah bisa menemukan formula komik yang bisa membuat pembaca komik DC berpindah ke lain hati. Bagaimana Stan Lee membuat disruption yang merevolusi dunia komik AS yang stagnan. Bagaimana panasnya perang antara dua penerbit ini, dari bajak-membajak penulis dan artis, saling intip dan saling jiplak cerita (corporate spying level ganas!), sampai perang kata di editorial (jaman jadul) dan media sosial (jaman now). Perang berpuluh-puluh tahun antar penerbit ini belum selesai sampai sekarang... dan malah berlanjut ke media yang berbeda...

Selain penggemar buku (termasuk komik), aku juga penggemar film (termasuk film yang diangkat dari komik). Jelas perang Marvel/DC di ranah perfilman ini juga menjadi cemilan sehari-hariku, yang menonton nyaris semua film genre superhero yang dirilis abad ini. Kembali, sama halnya dengan komik, intinya sepanjang cerita dan storytelling-nya bagus, aku pasti suka.

Sayangnya untuk film DC, sejauh ini aku cuma menyukai Batman versi Nolan (kecuali jilid 3, gara-gara adegan actionnya yang meh). Ada saja yang bikin sebal dari versi DCEU. Mungkin gara-gara aku kebanyakan baca komik Batman dan Superman, aku jadi kurang bisa mengapresiasi interpretasi dan visi sutradaranya yang tidak sejalan dengan karakter ideal di benakku. Tapi yang jelas, aku bete karena storytelling-nya yang bikin mulas dan males, bikin kepingin keluar studio di tengah jalan tapi batal karena sayang uang tiketnya. Sedangkan untuk film dengan karakter DC lainnya... mungkin aku kurang konek karena aku juga malas baca versi komiknya.

Lalu, apa bedanya dengan film Marvel? Kalau tetap ditodong juga, harus kuakui aku lebih condong untuk menyukai film-film Marvel, khususnya versi MCU (rilisan Fox dan Sony pun secara umum oke, meskipun ada beberapa yang lebih baik dicoret dari daftar binge-watching). Alasannya? Sederhana saja. Cerita, akting, storytelling. Bisa saja ada karakter yang mbalelo dari pakem komik, tapi dapat kumaafkan sepanjang tiga unsur utamanya tetap di atas standar. Karakter yang kurang kukenal karena tidak pernah baca versi komiknya? Tidak masalah, sepanjang... idem (lihat alasan sebelumnya). Ini hanya opini pribadiku... yang boleh dibilang kurang lebih sama dengan pendapat umum penikmat film non partisan pada umumnya.

Sejarah kembali berulang. DC pernah berjaya dan mendominasi dunia perkomikan, sebelum kemudian Marvel menciptakan formula storytelling yang tidak sepenuhnya dapat ditiru oleh DC sampai dengan saat ini. DC lebih dulu berjaya mengangkat karakter komiknya ke media film dengan kualitas dan rekor box office yang memadai, sementara Marvel cuma bisa membuat film level medioker dengan kualitas yang mana tahan... Sampai akhirnya film X-Men mengubah nasib genre superhero di jagad perfilman secara signifikan dan studio Marvel menciptakan formula storytelling dengan MCU-nya, yang ternyata juga sukar ditiru oleh DC sampai dengan saat ini.

Apakah perang antara Marvel dan DC akan terus berlanjut? Entahlah. Bagaimana bila suatu saat nanti penikmat film akhirnya bosan dengan genre superhero? Who knows. Kita lihat saja perkembangannya.

Tapi yang jelas, kita harus tetap ingat bahwa di luar komik Marvel dan DC, masih banyak komik yang dirilis penerbit lain yang juga populer dan layak diangkat dan digubah ke media lain. Mungkin sebagian malah telah diangkat ke media televisi dan film, tanpa kita tidak sadar bahwa itu sebenarnya cerita komik juga, meskipun bukan genre superhero.

Aku tetap berharap suatu saat nanti komik Saga-nya Brian K. Vaughan diangkat ke media televisi atau film. Tapi mungkin aku tunggu saja sampai Y-The Last Man jadi dibuat serial televisinya. Atau lebih realistis lagi, kalau aku lebih baik menunggu kehadiran serial komik lain yang sudah jelas bakal tayang dalam waktu dekat, seperti The Boys-nya Warren Ellis.