Tuesday, March 31, 2015

Back to the Future

Judul: Back to the Future

Penulis: George Gipe


Berdasarkan naskah karya: Robert Zemeckis & Bob Gule

Tebal: 248 halaman

Selesai dibaca tanggal: 28 Maret 2015

Sinopsis:
He was never in time for his classes...

He was never in time for his dinner...

Then one day...

He wasn't in his time at all.

Both an exciting novel and high-spirited adventure film, BACK TO THE FUTURE is an unforgettable story of a modern time-travelling teenager whose journey to the past risks his very own future when he discover surprises he never could have imagined.

Kalau aku diminta membuat daftar 100 film sci-fi terbaik, film Back to the Future sudah pasti masuk sepuluh besar, karena film ini selalu memiliki tempat dalam sejarah sinematografi pribadiku. Bias? Mungkin saja. Ada masanya aku merupakan penggemar berat Michael J. Fox dan menandai tanggal 9 Juni sebagai hari ulang tahun kedua untuk dirayakan. Efek fangirling masa lalu ini masih terbawa sampai saat ini. Bukan tanpa alasan aku memilih gambar rubah sebagai avatar di beberapa media sosial :)

Aku baru menemukan versi novelisasi film favorit ini beberapa waktu yang lalu, itupun bukan buku dalam bentuk fisik. Yang kumiliki secara fisik dan kubaca duluan malah novelisasi film keduanya. Dan setelah mempertimbangkan beberapa novel yang diadaptasi jadi film, termasuk beberapa film adaptasi novel yang dibintangi Colin Firth yang belum sempat kubahas seperti Bridget Jones's Diary atau Girl with Pearl Earring, akhirnya aku memilih novel ini saja. Lagipula, buku-buku terkait Colin Firth sudah kubahas selama bulan Februari-Maret ini, sementara buku-buku terkait Michael J. Fox...

Ya sudahlah,  lupakan saja ketidakseimbangan atensi terhadap idola baru dan idola lama ^.^

Ok, sekarang back to review, back in time... ke masa 30 tahun yang lalu.

Film BTF atau novelisasinya ini rilis pada tahun 1985. Termasuk ke dalam Genre Science Fiction dengan Subgenre Time Travel, jadi kupikir pas grup SFF tempatku bergabung dalam Event BBI Anniversary 2015,

Kisahnya sederhana saja, Marty McFly tanpa sengaja menggunakan mesin waktu milik Doc Emmett Brown dan back in time ke masa 30 tahun yang lalu, dalam hal ini 30 tahun sebelum tahun 1985, yaitu tahun 1955. Alatnya? Mobil DeLorean dengan pintu sayap camar, yang bagi orang tahun 1955 kelihatan terlalu canggih seperti pesawat alien.

Tentu saja Marty mengalami gegar budaya. Presiden AS di tahun 1985, pada tahun 1955 masih seorang bintang film kelas B. Jangankan musik hardrock atau metal, musik rock 'n roll saja belum kelihatan penampakannya. Pengalaman pertamanya membeli soft-drink di toko soda pun malah jadi misunderstanding yang kocakSayangnya, karena kekocakannya berupa pun atau wordplay, kalau diterjemahkan bakal susah melihat di mana lucunya.

"Uh, sure," he said. "Gimme a Tab."
The counterman sighed loudly, looked at him askance. "You'll get that later."
"What?"
"I can't give you the tab unless you order something," the counterman growled.
Marty didn't get it but just decided to roll with the punches. "Then let me have a Pepsi Free."
"Kid," the counterman said, making no attempt to hide his growing irritation, "if you want a Pepsi, you gotta pay for it."

Buat yang tahu maksud Marty yang datang dari tahun 1985 dan kesalahapahaman si tukang soda tahun 1955, tentunya bisa mengerti di mana lucunya percakapan di atas.

Bukan hanya gegar budaya, tanpa sengaja Marty juga bertemu dengan ayahnya, George McFly, dan ibunya, Lorraine Baines. Mereka saat itu masih sebaya dengannya, 17 tahun, dan masih belum saling mengenal. Dan gara-gara intervensi Marty, peristiwa yang seharusnya membuat Lorraine jatuh cinta pada George menjadi tidak terjadi, dan Lorraine malah jatuh cinta pada Marty!

Mother and son at the same age
Banyak adegan kocak saat Marty bertemu ayah atau ibunya semasa remaja ini. Tapi pertemuannya dengan keluarga ibunya juga menimbulkan kekocakan tersendiri. Apalagi komentar bakal calon kakeknya setelah kepergiannya:

"He's an idiot," Sam Baines amended. "It comes from his upbringing. His parents are probably idiots, too, maybe even his grandparents. I wouldn't be surprised if the whole family's nuts."

Tapi yang paling penting bagi Marty adalah mencari cara untuk kembali ke masa depan (hence the title). Ia berhasil menemukan Doc Brown muda, meyakinkannya bahwa ia datang ke tahun 1955 dengan menaiki mesin waktu yang dibuat Doc tiga puluh tahun lagi (bukti audio visual amat sangat membantu). Mereka menemukan solusi pengganti plutonium sebagai bahan bakar, bahkan waktu yang akurat untuk mengembalikan Marty ke masa depan.

Masalahnya adalah: intervensi Marty pada takdir orang tuanya mengubah segalanya. Gara-gara Marty, orang tuanya tidak saling jatuh cinta, dan tidak akan menikah. Artinya, Marty di masa depan juga takkan ada lagi.

Dalam waktu satu minggu, Marty harus bisa menjodohkan kedua orang tuanya, dan membuat mereka berciuman di acara pesta dansa sekolah. Kendalanya banyak. Selain Lorraine yang tergila-gila pada Marty, George yang tidak percaya diri, ditambah Biff Tannen si bully yang di masa depan juga terus merongrong George.

How to be a matchmaker for your parents
Sebagai penggemar trilogi BTF, maunya sih aku berbagi semua adegan hilarious yang ada dalam film/buku. Tapi sepertinya lebih baik kita langsung menonton film atau membaca bukunya saja. Bagaimanapun, film yang sudah usianya sudah tiga puluh tahun ini tetap klasik dan asyik untuk dinikmati sekarang. Aku sendiri tidak pernah bosan untuk menonton ulang :P

Yang jelas, akhirnya Marty berhasil menjodohkan orang tuanya (dan mengubah masa depan mereka):


tapi selain itu juga ia "menciptakan" skateboard dan musik rock n' roll:



Mengingat novelisasi dibuat berdasarkan naskah aslinya, seberapa banyak perbedaan antara novel dengan hasil akhir film yang dirilis?

Tidak terlalu banyak, sebenarnya. Seperti halnya novelisasi naskah film, kita akan mendapatkan apa yang tidak akan ada dalam versi film: jalan pikiran para karakternya dan alasan setiap karakter dalam mengambil suatu keputusan.

Dari sisi adegan, yang paling jelas adegan perkenalan karakter Marty di versi film, yang mengunjungi laboratorium Doc Brown sebelum berangkat ke sekolah, tidak ada dalam novel. Adegan Marty menonton bioskop di tahun 1955, yang ada dalam novel, tidak ada dalam film.

Tapi perbedaan-perbedaan itu tidak terlalu penting dan tidak mengubah jalan cerita secara keseluruhan. Kita bisa menikmati masing-masing media dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

By the way, sebagai penutup aku ingin membagi cara Marty menakut-nakuti George supaya mau mengajak kencan Lorraine. Ia datang sebagai alien yang membawa alat penyiksaan (walkman berisi kaset Van Halen) dari versi novelnya:
My name is Darth Vader, I am an extraterrestrial from the planet Vulcan. You have a close encounter of the third kind. You have taken one step beyond into the outer limits of the twilight zone.

So many scifi references in just a couple of sentences!
Review ini kubuat dalam rangka mengikuti event BBI:

Maret: Adaptasi
dan dalam rangka meramaikan event HUT BBI dari Genre Science Fiction:


Saturday, March 28, 2015

Starship Troopers

Judul : Starship Troopers

Penulis : Robert A. Henlein

Pertama kali terbit pada tahun : 1959

Selesai dibaca pada tanggal : 27 Maret 2015

Sinopsis:
Starship Troopers is a classic novel by one of science fiction's greatest writers of all time. In one of Heinlein's most controversial bestsellers, a recruit of the future goes through the toughest boot camp in the universe -- and into battle eith the Terran Mobile Infantry against mankind's most frightening enemy.

Review:
Salah satu modal utama cerita scifi adalah alien. Pertanyaan what if umum untuk cerita dengan genre seperti ini adalah: Bagaimana bila di alam semesta yang tak terkira luasnya ini terdapat makhluk berintelejensi tinggi lain selain manusia? Seperti apa wujud mereka?

Imajinasi atas makhluk lain ini terbagi dua, sebagian cerita scifi mengandaikan wujud mereka persis manusia bumi, cuma berbeda sedikit dari sisi penampakan saja, entah itu berupa warna kulit, bentuk telinga, atau organ tubuh. Sebagian cerita lagi cenderung mengandaikan wujud mereka persis makhluk yang (diakui atau tidak) ditakuti oleh manusia: serangga. Siapa yang tidak takut apabila harus berhadapan dengan kelompok yang penampakannya bikin jijik, berjumlah masif, memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi dalam waktu singkat, memiliki intelejensia kolektif, dan... susah dibunuh? Kecoak sudah hidup dari jaman prasejarah bersama-sama dinosaurus, tapi sudah jelas yang mana yang masih berkeliaran di muka bumi sampai saat ini.  

Dalam film Men in Black, musuh utamanya adalah alien serupa kecoak raksasa (yang bisa menyaru jadi manusia). Dalam cerita Ender's Game, musuh utamanya adalah alien dengan penampakan dan intelejensi kolektif serupa semut atau rayap dengan sistem ratu/kelas prajurit/kelas pekerja-nya.

Alien yang harus dibasmi umat manusia dalam Starship Troopers jatuh dalam golongan yang sama dengan cerita Ender's Game. Tapi berbeda dengan Ender's Game yang pertempurannya lebih mirip game Space Invaders yang mengandalkan pertempuran udara antar pesawat atau antar spaceship, pertempuran dalam Starship Troopers lebih banyak mengandalkan pasukan darat, Mobile Infantry. Alhasil, model perangnya yang klasik ini akan mengingatkan kita pada perang antar manusia di planet bumi, di mana satu pihak yang merasa lebih superior mungkin memandang pihak lawannya sebagai serangga yang perlu dibasmi, bila perlu.

Adegan awal dalam buku ini menggambarkan bagaimana persisnya invasi pasukan bumi ke planet yang dikolonisasi oleh makhluk serupa laba-laba. Dikisahkan dari sudut pandang orang pertama, si aku (yang seiring jalannya cerita akan kita ketahui bernama Johnny Rico) dan rekan-rekannya diluncurkan dari spaceship ke permukaan planet dalam armor suit dengan persenjataan kelas berat. Yang terbayang pas membaca adegan ini sih, pasukan bumi mirip legiun Iron Soldier-nya Iron Man, bedanya mungkin sepatu jet armor memungkinkan mereka melompat tinggi sekali (istilahnya leapfrog), tapi tidak bisa terbang. Dan Rico, yang menemukan semacam bangunan yang diduganya sebagai hunian musuh, langsung memutuskan untuk menghajarnya, sebelum keduluan rekannya yang lain. Tanpa memikirkan dampaknya. Ayolah, kalau kita mengejar kecoak dengan sandal jepit atau sapu dengan niat membunuh, mana kita peduli apa yang mereka pikirkan?

Persisnya, pasukan bumi memang tidak tahu apa yang dipikirkan lawan. Yang mereka tahu hanya membunuh, sebelum dibunuh. Apalagi lawan memiliki kerjasama dan koordinasi yang jauh lebih unggul karena berpikir secara kolektif, dengan pasukan yang serasa tidak ada habisnya: apabila ada yang mati langsung bisa digantikan dari persediaan telur yang begitu ditetaskan bisa langsung beraksi tanpa perlu dilatih lebih dulu. Oleh karena itu, pasukan bumi juga lebih fokus mencari sarang musuh untuk menghancurkan persediaan telur lawan. Selain itu, fokus juga diarahkan untuk mencari "kelas bangsawan" seperti ratu atau Brain-bug, selain karena mereka merupakan sumber koordinasi lawan, juga siapa tahu bisa digunakan untuk barter dengan anggota pasukan bumi yang ditawan musuh.

Terlepas dari adegan awal yang bombastis (secara harfiah), setengah buku ini lebih banyak bercerita tentang masa pelatihan Rico sebagai MI, dari sejak pendaftarannya (maunya sih jadi pilot, dan infantry merupakan pilihan terakhir) plus segala pemikiran filosofisnya tentang berbagai hal, baik dari sisi politis maupun militer. Minimal, pembaca akan tahu bagaimana pola pikir seorang prajurit atau tentara, yang bisa maju bertempur tanpa memikirkan alasan mengapa mereka harus berperang dan membunuh.

Buku ini diakhiri dengan gaya menggantung, ditutup dengan mode yang sama dengan adegan pembukaannya. Kita tak perlu tahu, siapa yang akan menang nantinya antara pasukan manusia dan pasukan alien, karena bukan itu inti yang dibahas dalam buku ini.

Movie adaptation:
Bagi yang kurang suka membaca bukunya karena kurang banyak adegan perang melawan alien-nya, mungkin lebih cocok bila menonton versi film yang dirilis pada tahun 1997:
Karena aku baru membaca bukunya sekarang, sementara versi filmnya sudah kutonton duluan belasan tahun yang lalu, jelas aku agak kaget karena versi bukunya tidak se-popcorn filmnya. Dalam versi film, kita tidak akan memikirkan hal filosofis. Dan tentu saja, versi film perlu dibumbui cerita cinta (yang tidak ada sama sekali dalam versi asli), bahkan... ehm, adegan para kadet di kamp mandi bareng di shower tanpa mempedulikan gender.

Setelah membaca bukunya di mana seharusnya pasukan bumi nyaris invincible dengan armor suitnya, aku jadi merasa downgrade kostum Mobile Infrantry seperti tentara biasa sama mengecewakannya dengan melihat kostum di film Edge of Tomorrow dibandingkan di novel All You Need Is Kill. Terlepas dari asumsi biaya yang bakal mahal banget kalau kostumnya mirip Iron Man sekarang (atau teknologi CGI-nya yang memang belum mumpuni, karena spaceship-nya saja kelihatan bohong banget), kostum yang sederhana membuat para tentara tampak rapuh dan ringkih melawan pasukan serangga mirip laba-laba raksasa, dan penonton tentunya akan lebih bersimpati pada para tentara bumi, terutama saat mereka dengan gampangnya dicincang oleh lawan.

Yang paling cheesy memang tempelan bumbu cinta segitiga-segiempat yang ditawarkan film, yang bercerita sejak para tokohnya masih di akhir masa SMA, lengkap dengan event olahraga dan prom segala. Tokoh perempuan yang dalam novel cuma diceritakan sekilas di sini diberi porsi lebih sebagai love interest, dan malah jadi motivasi Rico masuk Mobile Infantry.

Tapi tentu saja, dengan melupakan cerita ala sinetronnya, adegan-adegan pertempuran sadis antara manusia vs serangga di sini yang membuat film ini menarik. Terutama ketika akhirnya pihak protagonis dihadapkan pada ultimate Brain-bug, yang menyerap intelejensi manusia dengan cara menyedot otaknya. Adegan bikin merinding yang sulit dilupakan, dan membuatku begitu membaca istilah brain-bug di novel langsung menunggu-nunggu adegan ini, tapi ternyata... tidak ada.

Ah, ya sudahlah, tidak ada habisnya kalau membanding-bandingkan versi novel dan film. Masing-masing memang ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing, meskipun sebagai pembaca buku sekaligus penikmat cinema, aku cenderung lebih suka apabila versi adaptasi lebih setia pada versi aslinya.

Review ini dibuat dalam rangka meramaikan Event BBI Anniversary Project 2015, Around the Genres in 30 Days, Genre Sci-Fi:


Wednesday, March 25, 2015

Alur Cerita

Februari: Alur Cerita

Alur cerita merupakan kronologis cerita, pergerakan cerita dari waktu ke waktu, atau rangkaian peristiwa dari awal sampai akhir cerita. Ada beberapa jenis alur yang biasa digunakan penulis, seperti alur progresif, alur kilas balik, alur regresif, atau gabungan dari semuanya.

Tipe mana yang lebih kusukai? Tipe mana yang lebih menarik?

Tergantung sih.

Standar plot diagram adalah seperti ini:



Alur progresif, alur maju, alias linear narrative adalah alur yang setia pada diagram. Lurus terus macam jalan tol. Dimulai dari eksposisi, konflik dan aksi yang makin meningkat sampai klimaks, dan diakhiri dengan resolusi.

Ini adalah alur yang paling sederhana, mudah diikuti, dan tidak bikin pusing. Konon biasanya alur ini cocok bagi penulis pemula, atau untuk cerita anak-anak yang sederhana.

Tapi bagiku pribadi, alur maju paling cocok untuk cerita yang panjaaaang banget. Misalnya saja cerita silat yang baru tamat setelah puluhan jilid. Dengan alur maju, latar belakang cerita ditaruh di depan (kadang sebelum tokoh utamanya dilahirkan), dan selanjutnya kita diajak mengikuti perkembangan si tokoh utama dari sejak lahir, kanak-kanak, remaja, sampai dewasa dengan diiringi peningkatan pengetahuan, pengalaman, dan ilmu silatnya. Pembaca juga bisa langsung memahami alasan tokoh utama mengambil suatu keputusan, karena sudah hafal betul latar belakangnya. Coba kalau cerita panjang model begini pakai alur kilas balik atau alur mundur segala. Beuh. Pasti bikin bingung dan ruwet. Mana karakternya bisa mencapai puluhan atau ratusan lagi.

Alur kilas balik alias non-linear narrative, biasa menggunakan flashback atau flashforward. Bisa jadi istilah bekennya sekarang: maju mundur cantik. Mungkin saja pas kita buka halaman pertama, ujug-ujug sudah di tengah-tengah konflik yang tengah panas membara. Baru kemudian kita tahu duduk permasalahan dan eksposisinya lewat kilas balik.

Bagiku, alur seperti ini juga asyik-asyik saja. Yang penting penulisnya kasih kode atau bilang-bilang dulu kalau mau flashback. Bisa ada petunjuk berupa tanggal yang berbeda dengan tanggal saat konflik terjadi atau cukup dibilang sepuluh tahun yang lalu, misalnya. Kalau tiba-tiba maju mundur tidak cantik tanpa pemberitahuan, ya... nabrak lah.

Khusus untuk alur regresif, agak jarang kutemui. Yang paling kuingat malah bukan buku, tapi film, yaitu Memento karya Christopher Nolan. Itu baru alur regresif murni. Di depan kita diberikan adegan endingnya. Baru terus mundur, mundur, dan mundur terus... sampai kita tahu asbabun nujul dan latar belakangnya. Terus baru bilang, oh gitu toh...

Yang mana yang paling kusuka? Yang mana yang paling nyebelin?

Alur maju bisa tetap oke dan tidak membosankan, sepanjang penulis bisa tetap menghidupkan cerita yang penuh kejutan. Alur kilas balik bisa jadi bikin sebal kalau kita harus menebak-nebak sendiri setting waktu narasi yang tengah kita baca.

Alur mana yang digunakan tidak masalah. Semuanya tergantung teknik storytelling penulisnya.









Downton Tabby


Dari judul dan penampakan covernya di atas saja, sudah jelas buku Downton Tabby karya Chris Kelly ini adalah parodi dari Downton Abbey, drama televisi Inggris tentang Earl dan Countess of Gratham, keluarga serta para pelayan mereka pada masa menjelang Perang Dunia I.


Buku ini bersetting di sebuah Yorkshire country estate, kediaman Robert "Bobcat" Clowder, Earl of Grimalkin, Korat Clowder, Catness of Grimalkin, tiga orang putri mereka yang cantik (Lady Minxy Clowder, Lady Serval Clowder, Lady Etcetera Clowder), para pelayan mereka, dan tentu saja Dowager Catness, Vibrissa.

Di deretan downstair, kita juga diperkenalkan pada Catson, kepala pelayan, Boots, valet Lord Grimalkin, Mrs. Mughes, the housecreeper, Mrs. O'Celot, maid Lady Grimalkin, Thomas Farel, evil footcat, Mrs, Catmore, koki, Tom Blayner, chau-fur, dan Laisy, kitchen maid.

Dari nama-namanya saja kita sudah mendapatkan banyak permainan kata. Begitu pula sebagian besar isi bukunya. Kita mendapat berbagai cerita tentang kehidupan mereka dan petuah-petuah tak penting dari Dowager Catness, tapi...

Oh well, aku mengaku saja deh. Ini bukan review sungguhan, tapi sekedar alasan untuk memposting gambar-gambar ilustrasi dalam buku yang unyu-unyu XD








Thursday, March 19, 2015

[Event] Around the Genre in 30 Days: Science Fiction - Fantasy Genre


Setelah tahun-tahun sebelumnya tak pernah mengikuti event-event tahunan BBI seperti Secret Santa atau HUT BBI, akhirnya tahun ini aku memutuskan untuk ikut meramaikan event ultah BBI ke-4 tahun ini.

Dan untuk tahun ini, ultah BBI diramaikan dengan acara Around the Genres in 30 days, yang secara tidak langsung bermaksud memperkenalkan berbagai genre buku dari kita oleh kita untuk kita. Ya, siapa tahu buat para pembaca yang selama ini memilih untuk membaca buku dengan genre tertentu saja, bisa merasa tertarik untuk mencicipi genre lain yang berada di luar zona nyamannya.

Khusus untuk event ini, genre yang akan diobok-obok ada tiga, dan para peserta event dibagi sesuai pilihan pribadinya. Pembagian kelompok dan pesertanya bisa diintip di sini.

Meskipun pada dasarnya aku omnireader dan tidak pernah pilih-pilih genre, khusus untuk event ini aku tergabung dalam kelompok yang membahas genre Science Fiction & Fantasy.

Ada 16 anggota pasukan sci-fi dan fantasy yang bisa disidak:

dan tentu saja

Apa saja yang akan kami bahas? Pastinya buku-buku genre sci-fi dan fantasy yang cenderung underrated di Indonesia. Intinya, kami ingin menularkan virus bahwa membaca buku sci-fi & fantasy itu seru lo!

Dan tentu saja, ada asap ada api, ada event sudah tentu ada giveaway-nya, baik di masing-masing blog maupun hadiah utama dari pasukan fantasy! Siap-siap saja ya... XD

So, ayo kita berkeliling genre dalam 30 hari ini!



Tuesday, March 17, 2015

A Thousand Acres

A Thousand AcresA Thousand Acres by Jane Smiley
My rating: 3 of 5 stars

Sinopsis:
When Larry Cook, the aging patriarch of a rich, thriving farm in Iowa, decides to retire, he offers his land to his three daughters. For Ginny and Rose, who live on the farm with their husbands, the gift makes sense--a reward for years of hard work, a challenge to make the farm even more successful. But the youngest, Caroline, a Des Moines lawyer, flatly rejects the idea, and in anger her father cuts her out--setting off an explosive series of events that will leave none of them unchanged. A classic story of contemporary American life, A Thousand Acres strikes at the very heart of what it means to be a father, a daughter, a family.

Review:
Buku yang memenangkan Pulitzer Prize for Fiction pada tahun 1992 ini terkadang disebut sebagai modernisasi dari King Lear yang bersetting di sebuah pertanian di Iowa, Amerika Serikat. Dan jalan ceritanya, setidaknya sebagian besar, memang mirip dengan King Lear, apalagi keluarga Cook, yang menjadi sentral cerita memang terdiri dari satu orang ayah, Larry Cook, dan tiga orang anak perempuannya, Ginny, Rose dan Caroline.

Bertutur dari sudut pandang Ginny, putri tertua dari Keluarga Cook, kisahnya sendiri dimulai dengan pesta kecil Harold Clark, tetangga mereka, yang menyambut kembalinya anak pertamanya, Jess Clark, yang tidak diketahui keberadaannya selama 13 tahun. Konon pada usia 17 tahun, Jess ikut wajib militer, namun setelah beberapa bulan nama Jess pantang disebut-sebut lagi di keluarga Clark.

Ginny telah lama menikah dengan Ty, meskipun tidak dikaruniai anak karena selalu mengalami keguguran, namun tak urung ia tetap senang bertemu kembali dengan Jess, yang notabene lebih muda darinya itu. Dari deskripsinya tentang Jess, yang memang good-looking, dan memiliki gaya yang berbeda dengan para lelaki petani di sekeliling Ginny, kita tahu bahwa Ginny, diakui atau tidak, merasa tertarik kepada Jess.

Pada pesta homecoming Jess itulah, Larry Cook memutuskan untuk menjadikan pertaniannya semacam perusahaan dan membagi pengelolaannya kepada para putrinya. Keputusan itu merupakan kabar gembira bagi Ginny dan Rose, yang bersama suami mereka memang terlibat dalam pertanian sang ayah. Namun Caroline, satu-satunya putri yang punya profesi sendiri sebagai pengacara sehingga tidak terlibat langsung, mempertanyakan keputusan itu. Akibatnya, Larry Cook malah langsung mencoretnya dari semua dokumen terkait sehingga tak punya hak lagi atas tanah keluarga Cook.

Masalah mulai dimulai ketika sikap Larry Cook kemudian berubah. Mungkin awalnya post power syndrome setelah pengelolaan tanah dialihkan pada kedua putri dan menantunya. Ia merasa kehilangan kekuasaan dan diabaikan. Belakangan ia malah merasa Ginny dan Rose serta kedua menantunya telah merebut tanahnya, dan akhirnya meminta bantuan pada Caroline untuk menuntut mereka ke pengadilan! Ia lupa bahwa ia sendiri yang telah menyerahkan segalanya, dengan dokumen hukum yang lengkap! Apakah ia sudah gila, atau sebenarnya sudah pikun?

Di luar masalah tanah, sebenarnya masih ada masalah lain yang akhirnya terungkap antara Larry dan kedua putrinya, yang selama ini dirahasiakan oleh Ginny dan Rose. Bahwa Larry, waktu mereka masih kanak-kanak dan remaja, telah melakukan perundungan seksual kepada mereka. Rahasia lama ini menjadi bom waktu antara hubungan ayah-anak dan juga hubungan antara istri-suami. Rose, yang lebih banyak terekspos dibandingkan Ginny yang sudah melupakan perbuatan ayahnya, apalagi dibandingkan Caroline yang rupanya tak pernah mengalami, merasakan bahwa sudah waktunya ia melawan ayahnya. Terutama apabila sang ayah malah mengajukan tuntutan hukum untuk hal yang sebenarnya merupakan keputusannya sendiri.

Selain bermasalah dengan sang ayah, Ginny dan Rose juga sebenarnya punya masalah dengan Ty dan Ted, suami mereka. Hubungan mereka sebenarnya tidak sebaik yang tampak di permukaan. Ty sudah lama tidak menyentuh istrinya, karena khawatir istrinya akan hamil dan keguguran lagi. Ted tidak mau melihat istrinya tanpa pakaian, karena tidak mau melihat payudaranya yang telah diangkat karena kanker. Kehadiran Jess yang ganteng dan penuh perhatian, lambat laun membuat Ginny tergoda untuk berselingkuh dengannya. Mana ia tahu, bahwa di saat yang sama, Rose juga tergoda dan jatuh ke pelukan Jess?

Sebenarnya, Jane Smiley membuat novel ini jauh lebih kompleks ketimbang King Lear. Temanya tidak hanya berkisar tentang perebutan harta dan kekuasaan, tapi juga mengolah sisi psikologis para korban perundungan seksual, dan akibatnya pada hubungan mereka dengan pelakunya, atau hubungan mereka dengan para suami yang terkena imbasnya. Belum lagi Smiley juga menambahkan plot sampingan tentang hubungan Jess Clark dengan ayahnya, Harold Clark, yang ternyata punya misi tersembunyi saat mengundang sang anak hilang kembali ke keluarganya. Benang kusut keluarga Cook dan keluarga Clark yang dikisahkan di sini diceritakan apa adanya, dan sebagai pembaca, kita tak perlu berharap ada happy ending untuk semua cerita.

Movie adaptation:
Dirilis pada tahun 1997, film yang disutradarai oleh Jocelyn Moorhouse ini dibintangi oleh Jessica Lange sebagai Ginny Cook, Michelle Pfeiffer sebagai Rose Cook, dan Jennifer Jason-Leigh sebagai Caroline Cook.


Colin Firth sendiri di sini hanya supporting cast, menjadi Jess Clark yang tampan menawan dan menggoda kakak beradik Cook. Jangan-jangan kalau Caroline Cook tidak tinggal di kota lain, bisa-bisa terkena rayuannya juga.



Bagiku film drama ini terasa datar-datar saja, kurang daya ledaknya. Affair Jess Clark dengan Ginny maupun Rose terasa kurang meyakinkan. Kalau Ginny dan Rose tertarik kepada Jess ya wajar saja karena Jess memang keren dan charming. Tapi apa yang membuat Jess meniduri kedua wanita Cook yang tampak lelah dan sudah melewati masa primanya? Motivasinya tidak jelas, kecuali karena aji mumpung, tidak ada kerjaan, atau memang dasar kucing garong yang tidak akan menolak kalau ditawari ikan asin.

Lebih parah lagi, versi film yang bisa kudapatkan ternyata audio-nya dubbing bahasa Italia. Untung saja ada teks bahasa Inggrisnya. Tapi jadinya kita bisa mendapat gambaran seperti apa kalau Colin Firth sedang bercakap-cakap dengan bahasa Italia...


View all my reviews

The End of the Affair

The End of the AffairThe End of the Affair by Graham Greene
My rating: 4 of 5 stars

Oke sebelum salah paham, langsung saja, ini bukan buku di mana karakternya diperankan oleh Colin Firth dalam film adaptasinya. Ini buku di mana Colin Firth membacakan ceritanya :)

Tokoh utama buku ini, Maurice Bendrix, dalam versi filmnya diperankan oleh Ralph Fiennes. Dan kalau dipikir-pikir lagi, kenapa sih Ralph Fiennes terus-terusan dicasting sebagai laki-laki yang hobi jatuh cinta dan menyelingkuhi istri teman? Nggak cukup rupanya jadi Count Almasy di The English Patient. Etapi yang lebih epik sebenarnya perannya di The Grand Budapest Hotel, yang nggak kira-kira dan nggak pandang umur kalau milih selingkuhan :P

Review cerita:
Ini kisah seorang lelaki pencemburu.
Ini kisah seorang lelaki yang mencemburui semua orang yang terlibat dengan mantan selingkuhannya.
Ia mencemburui suami mantan selingkuhannya, karena ketimbang memilihnya, sang selingkuhan lebih memilih memutuskan hubungan dan tetap berada di sisi suaminya.
Ia mencemburui para pria yang dicurigainya sekarang berselingkuh dengan mantan selingkuhannya.
Ia mencemburui Tuhan, yang memutuskan nasib mantan selingkuhannya.

Ini kisah seorang lelaki pencemburu yang dilanda cinta buta yang tak tersalurkan.
Dan sebenarnya aku kurang suka cerita ini, karena tidak bisa bersimpati pada tokoh utamanya.
Mungkin aku bisa berempati dengan perasaan cinta yang tak tersalurkan, tapi aku tak bisa berempati pada laki-laki yang berselingkuh dengan istri orang lain. Jadi, kalau ia merasa keberatan dan merasa marah, karena pasangan berselingkuhnya telah insaf dan bertobat, ya... salah sendiri sih. Wajar saja.

Review audiobook:
Ehm, aku memberikan satu bintang tambahan karena puas mendengarkan suara smooth dan seksi Colin Firth dengan aksen British khasnya selama enam setengah jam...


Buat yang mengharapkan audiobook ini dibawakan ala tukang dongeng, yang membeda-bedakan gaya bicara dan aksen masing-masing karakter, mungkin akan kecewa. Colin Firth di sini murni membacakan buku. Tapi parameter kepuasan masing-masing orang mendengarkan buku ini dibacakan memang berbeda-beda sih. Aku sudah cukup puas kok hanya dengan mendengarkan suaranya saja :P

Dan terlepas dari faktor-faktor apa saja dari audiobook yang memuaskan pendengar, Colin Firth dan Audible Studios memenangkan Audiobook of the Year pada Audie Awards tahun 2013 untuk edisi audiobook The End of the Affair ini. Untuk pencapaian ini, Colin Firth memberikan pernyataan resmi:

I'm grateful for this honor, and grateful for the opportunity to narrate one of my favorite stories--a great novel told in the first person makes for the best script an actor could imagine. None better than The End of the Affair... Theatre and film each offer their own challenges and rewards, but narration is a new practice for me and the audiobook performance provides exhilarating possibilities for both actors and listeners.


View all my reviews

Monday, March 16, 2015

Where the Truth Lies

Where the Truth Lies: A NovelWhere the Truth Lies: A Novel by Rupert Holmes
My rating: 4 of 5 stars

Sinopsis:
O’Connor, a vivacious, free-spirited young journalist known for her penetrating celebrity interviews, is bent on unearthing secrets long ago buried by the handsome showbiz team of singer Vince Collins and comic Lanny Morris. These two highly desirable men, once inseparable (and insatiable, where women were concerned), were driven apart by a bizarre and unexplained death in which one of them may have played the part of murderer. As the tart-tongued, eye-catching O’Connor ventures deeper into this unsolved mystery, she finds herself compromisingly coiled around both men, knowing more about them than they realize and less than she might like, but increasingly fearful that she now knows far too much.

Review:
Jujur saja, aku takkan pernah tahu, ataupun sengaja mencari dan membaca novel ini, seandainya aku belum menonton versi film adaptasinya, yang dibintangi oleh Colin Firth dan Kevin Bacon. Sesuai rencana yang dicanangkan pada bulan Februari, bahwa selain menonton film-film Colin Firth aku akan membaca versi bukunya apabila ada, akhirnya aku menemukan dan membaca buku ini.

Novel misteri yang bersetting pada tahun 1972 ini dituturkan dengan menggunakan dua sudut pandang.

Sudut pandang pertama adalah dari sisi Karen O'Connor, gadis muda ambisius yang bersedia menggunakan segala cara (termasuk di antaranya menawarkan tubuhnya sebagai bagian paket ekslusif pada selebriti yang diwawancarainya).

Proyek terbaru Karen adalah biografi Vince Collins dan Lanny Morris, yang pada tahun 1950-an merupakan pasangan komedian sukses yang tak terpisahkan. Pasangan itu pecah kongsi lima belas tahun lalu, yang ditandai dengan kehebohan karena ditemukannya mayat seorang gadis muda bernama Maureen O'Flaherty di bak mandi kamar hotel mereka di New York. Meskipun gadis itu ditengarai punya hubungan dengan Vince dan Lanny, karena ia bekerja di hotel tempat mereka berdua tampil sebelumnya di Miami, kematiannya tak bisa dikaitkan dengan mereka. Waktu kematian Maureen diperkirakan baru beberapa jam, sementara Vince dan Lanny baru saja tiba di New York setelah selesai merampungkan telethon 39 jam berturut-turut di Miami.

Mengapa Maureen bisa berada di kamar hotel Vince dan Lanny di New York? Apakah gadis itu mendahului mereka ke New York dan menyelinap masuk ke kamar mereka, lalu entah bagaimana bisa mati di bak mandi mereka?

Misteri yang meliputi kematian gadis itu, dan hubungannya dengan Vince dan Lanny, adalah hal besar yang ingin diungkapkan Karen dalam bukunya. Ia tidak mau membuat buku biografi biasa-biasa saja, ia ingin menjadikannya hit yang sensasional. Untuk itu, ia membutuhkan kerja sama dari kedua komedian itu.

Sayangnya, hanya Vince Collins yang bersedia bekerja sama dengan Karen dan perusahaan penerbitnya, dengan nilai imbalan sebesar satu juta dollar (dan janji tidur bareng kalau proyek buku sudah rampung). Lanny Morris menolak bekerja sama, dengan alasan ia sedang menulis biografinya sendiri. Tapi, melalui biro hukumnya, Lanny bersedia memperlihatkan bab awal bukunya, sekedar menunjukkan bahwa apapun yang ditulis Karen tidak akan ada apa-apanya dibandingkan biografi yang ditulis sendiri oleh sumbernya.

Sudut pandang kedua adalah dari sisi Lanny Morris, yang kita dapatkan dari naskah buku Lanny yang dibaca oleh Karen. Meskipun semula Karen hanya boleh melihat bab pertama, namun ia menerima bab-bab lanjutannya yang dikirimkan ke alamatnya secara misterius,

Dari naskah Lanny, yang diceritakan dengan penuh humor, blak-blakan bahkan cenderung vulgar, pembaca disuguhi kehidupan Vince dan Lanny sebagai selebriti. Sebagai pasangan komedian, mereka tidak hanya kompak di atas panggung. Di luar panggung pun, mereka kompak dalam mengkonsumsi obat bius dan wanita. Saking eratnya hubungan mereka, bahkan mereka tidak akan segan-segan menghajar penonton yang berani menghina pasangannya. Urusan tuntutan hukum di kemudian hari mudah diselesaikan, karena status kebintangan mereka.

Boffing ladies and bashing gentlemen. I tell you, there was nothing under the sun Vince and I wouldn't do for each other.

Kedekatan dan kekompakan Vince dan Lanny, yang bahkan seolah bisa saling membaca pikiran masing-masing, membuat perpecahan mereka sulit diterima oleh publik dan menjadi misteri selama belasan tahun. Karen yakin bahwa semuanya berkaitan dengan kematian Maureen O'Flaherty. Betatapun ia terpesona pada kedua selebriti itu, bahkan dengan senang hati naik ke ranjang mereka, betapapun tipis kemungkinannya karena kuatnya alibi Vince dan Lanny, ia yakin bahwa Vince dan Lanny, bersama-sama, atau salah satu dari mereka, bertanggung jawab atas kematian Maureen lima belas tahun yang lalu.

Pengungkapan misteri dikupas sedikit demi sedikit melalui penuturan Karen dan Lanny. Bahkan seandainya saja pembaca (atau Karen) teliti, Lanny telah menyisipkan kebenaran dalam naskahnya dengan menggunakan pilihan kata dan metafora yang tidak kentara.

Namun demikian, sebenarnya usaha Karen menyusun biografi sekaligus pembongkaran misteri otomatis membuka luka-luka lama. Karena rahasia yang selama ini ditutupi Vince dan Lanny, bukan hanya disebabkan rasa takut, namun juga rasa sayang di antara mereka yang sebenarnya tetap selalu ada, meskipun secara profesional hubungan mereka telah lama putus.

Secara prinsip, sulit untuk menyukai para karakter dalam novel ini. Karen O'Connor yang menjadi narator, sudah membuat sebal dari awal dengan paket panas yang ditawarkannya pada narasumber. Lanny Morris juga tidak menimbulkan simpati dari pengungkapan gaya hidupnya yang vulgar. Vince Collins juga sama saja, apalagi ketika ia mencoba memeras Karen demi mengarahkan penyusunan buku biografi menjadi sesuai keinginannya. Dan bahkan Maureen O'Flaherty sendiri, yang menjadi korban pembunuhan, rasanya wajar saja kalau ia mati gara-gara ulahnya sendiri.

Tapi pada akhirnya, aku tetap jatuh simpati pada pasangan Vince dan Lanny. Aku memang lemah pada hubungan emosional yang kuat di antara para karakter.

Movie adaptation:
Sebenarnya, pasangan komedian Vince Collins-Lanny Morris jelas didasarkan pada pasangan legendaris Dean Martin-Jerry Lewis:


Karakterisasinya jelas, karena sama halnya dengan Dean Martin, Vince Collins keturunan Italia yang jago menyanyi. Selain itu, berdasarkan deskripsinya juga digambarkan bahwa Lanny, yang meskipun tidak jelek, tapi kalah tampan dari Vince. Lagipula dalam aksi panggung, justru perbedaan yang ditonjolkan memang perbedaan karakter mereka, antara Vince yang charming dan Lanny yang membadut.

Dalam adaptasi filmnya, mungkin karena casting Colin Firth, Vince Collins berubah menjadi keturunan Inggris, dan dalam aksi panggung Lanny yang lebih banyak menyanyi. Tapi secara umum, karakter panggung Vince sebagai laki-laki Inggris berkelas dan Lanny sebagai pemabuk konyol memang tak terlalu berbeda.



Dalam versi film, karakter Karen O'Connor juga dipoles menjadi sedikit lebih baik, dengan didramatisir bahwa masa lalunya pernah bersilangan dengan masa lalu Vince-Lanny. Mungkin perubahan itu dibuat supaya penonton bisa lebih menaruh simpati kepadanya daripada pada versi novelnya.

Perubahan juga dibuat pada alur cerita menjadi lebih cepat, tapi dapat dimaklumi karena pemangkasan memang perlu dilakukan demi jam tayang.

Namun demikian, semua perubahan yang dilakukan tidak mengubah inti cerita secara umum, dan pemangkasan membuat ceritanya tidak terasa bertele-tele. Selain itu, aku lebih menyukai ending versi filmnya, yang menurutku lebih masuk akal dibandingkan versi novelnya.


View all my reviews

Wednesday, March 11, 2015

Camille

CamilleCamille by Alexandre Dumas-fils
My rating: 3 of 5 stars

Sinopsis:
Marguerite Gautier is the most beautiful, brazen—and expensive—courtesan in all of Paris. Despite being ill with consumption, she lives a glittering, moneyed life of nonstop parties and aristocratic balls and savors every day as if it were her last.

Into her life comes Armand Duval. Young, handsome, and recklessly headstrong, he is hopelessly in love with Marguerite, but not nearly rich enough. Yet Armand is Marguerite’s first true love, and against her better judgment, she throws away her upper-class lifestyle for him. But as intense as their love for each other is, it challenges a reality that cannot be denied.


Review:
Aku membaca ulang kisah cinta klasik dan tragis antara Marguerie Gautier dan Armand Duval ini, karena... pada film adaptasi yang rilis tahun 1984 yang berperan sebagai Armand Duval adalah Colin Firth:


Casting yang pas, tentunya. Armand Duval memang dideskripsikan sebagai pemuda polos yang tampan rupawan yang sanggup membuat seorang courtesan veteran jatuh cinta:

Apanya yang kurang rupawan dari tampang seperti ini?
Setelah menuntaskan film pertamanya, Another Country, pada bulan Agustus 1983 Colin Firth mengikuti audisi untuk peran Armand di film ini. Awalnya, meskipun tampang kerennya tidak bisa dipungkiri, pihak produser merasa Colin tidak cukup romantis untuk peran Armand. Colin mengubah pandangan mereka saat melakukan screen test, dengan menghirup aroma mawar dalam penampilannya. Buat seorang aktor pemula, menjadi pemeran utama dalam film keduanya bagaikan mimpi yang menjadi kenyataan. Apalagi ia bisa bermain bersama aktor sekaliber Ben Kingsley!

Kisah yang dituturkan novel ini sebenarnya kisah cinta yang sederhana, namun tetap indah dalam kesederhanaannya.

Siapa yang mengira, seorang courtesan kelas atas dengan tarif selangit, akan jatuh cinta pada salah satu pengagumnya, pemuda miskin yang uang saku setahunnya hampir tidak mungkin bisa menutupi pengeluaran sang courtesan dalam satu bulan?

Tapi memang, sebelum bertemu Armand, Marguerite belum pernah jatuh cinta dalam hubungannya dengan sekian banyak pria dalam karirnya. Selanjutnya, demi Armand, Marguerite tidak lagi menerima tamu lain. Akibatnya, kondisi keuangannya malah merosot drastis, sampai membuatnya terpaksa menjual dan menggadaikan hartanya untuk tetap dapat bersama Armand.

Armand sendiri bukannya tidak menyadari kalau ia membuat Marguerite berkorban. Harga dirinya sebagai laki-laki menuntutnya untuk bisa menafkahi wanita yang dicintainya, bukan malah menjadi cowok simpanan yang dinafkahi. Tapi keputusannya untuk mengambil jalan pintas dengan berjudi malah membuat keadaan semakin parah.

Lalu, ayah mana yang tidak khawatir apabila putranya terlibat skandal yang bukan saja dapat menghancurkan masa depannya sendiri, tapi juga merusak nama baik keluarga dan masa depan adik perempuannya? Salahkah bila ia ikut campur dan meminta agar perempuan yang mengaku mencintai putranya, mau meninggalkannya demi kebaikannya sendiri?

Novel ini bukan hanya bercerita tentang cinta, tapi juga tentang benci dan dendam. 

Bisakah seorang pria menerima ditinggalkan begitu saja tanpa tahu duduk permasalahannya, hanya tahu kekasihnya kembali ke kehidupan lamanya, kembali ke menjadi simpanan pria kaya raya? Bukankah itu membuatnya seolah hanya dianggap sebagai selingan sesaat, karena ia takkan pernah bisa memenuhi gaya hidup yang glamor dan mewah?

Sakit hati, cemburu, benci. Armand membalas dendam dengan cara yang menurutnya setimpal. Keberuntungannya di meja judi digunakannya untuk memelihara courtesan lain yang jauh lebih muda dan cantik. Dan ia memamerkan hubungan mereka secara terang-terangan di depan Marguerite, pada setiap kesempatan, hingga semakin lama Marguerite semakin hilang dari peredaran.

Tapi, puaskah Armand? Cukupkah semua itu untuk melenyapkan sakit hati, menghapuskan cinta yang tak kunjung hilang? Dapatkah ia memaafkan Marguerite, dan memaafkan dirinya sendiri, jika pada akhirnya ia tahu alasan di balik keputusan yang diambil wanita itu? Penyesalan memang kerap datang terlambat.

Khusus untuk versi film adaptasi yang dibintangi Colin Firth, dibandingkan kisah aslinya penyelesaiannya terasa terlalu terburu-buru, dipaksakan sedikit lebih manis, yang pada akhirnya memudahkan permasalahan, meskipun tidak mengurangi tragedinya. 



View all my reviews

Tuesday, March 10, 2015

The Last Legion

The Last Legion

My rating: 3 of 5 stars

What if... akhir dari Kekaisaran Romawi merupakan awal dari mitos King Arthur?

Valerio Massino Manfredi bermain-main dengan kemungkinan ini dalam novel The Last Legion yang dirilisnya pada tahun 2002.

Kekaisaran Romawi Barat runtuh pada tahun 476 M, oleh serangan tentara barbar di bawah pimpinan Odoacer. Kaisar terakhir, Romulus Augustus, yang masih berumur 13 tahun, ditangkap dan dibuang ke Pulau Capri. Berdasarkan permintaan terakhir Orestes, ayah Romulus, yang tewas dalam serangan itu, salah seorang tentara dari Legiun Nova Invicta, Aurelius Ambrosius Ventidius, bersumpah untuk membebaskan putranya dari cengkeraman kaum barbar.

Meskipun legiunnya telah hancur, Aurelius tidak bergerak sendirian. Ia mendapat bantuan dari dua legiunnya yang selamat, Rufius Vatrenus dan Cornelius Batiatus, mantan prajurit Yunani Orosius dan Ambrosius, serta "pendekar wanita" dari Venesia, Livia Prisca. Ia berhasil membebaskan Romulus dari Pulau Capri, sekaligus gurunya, laki-laki Celtic misterius dengan nama latin Meridius Ambrosinus. Bukan itu saja, selama ditawan Romulus malah menemukan harta karun, pedang buatan suku Calibia warisan Julius Caesar, Konon, menurut legendanya, barang siapa yang berhasil memiliki pedang itu akan menjadi penguasa. Entah kenapa sampai di sini, aku malah teringat cerita silat To-liong-to.

Sudah, selesai ceritanya? Belum. Cerita baru saja dimulai.

Lolosnya Romulus tidak dapat dibiarkan oleh Odoacer, yang mengutus tangan kanannya Wulfila untuk memburu tawanannya yang kabur. Sial bagi Aurelius dan kawan-kawan, mereka tidak bisa meminta bantuan Kekaisaran Romawi Timur, yang lebih memihak kaum barbar. Pilihan terakhir mereka adalah menyeberang ke Britania, di mana konon masih terdapat Legiun Terakhir Romawi, Legiun XII Draco.

Tapi ternyata, lagi-lagi Aurelius cs harus kecewa, karena Legiun XII Draco sudah tidak ada lagi. Pulau Britania juga berada di bawah kekuasaan oleh Wortigern, yang dibujuk Wulfila untuk bekerja sama untuk menangkap buronannya.

Ke mana perginya Legiun XII Draco? Bisakah segelintir orang mempertahankan diri dari serangan ratusan orang dalam pertempuran terakhir? Dan yang paling penting, apa hubungan kisah legiun terakhir Romawi ini dengan legenda King Arthur?

Spoiler #1:
Nama tradisional Raja Britania adalah Pendragon, yang berarti "Kepala Naga" atau "Pemimpin Naga". Berdasarkan legendanya, ayah Raja Arthur bernama Uther Pendragon. Dalam novel, ada Legiun Keduabelas Naga, yang membuat Romulus, sebagai pemimpin utamanya, dijuluki Pendragon.

Spoiler #2:
Nama asli guru Romulus, Meridius Ambrosinus adalah Myrdin Emries, yang kemudian lama-lama lebih dikenal dengan nama Merlin.

Spoiler #3:
Pedang wasiat Julius Caesar berukiran "Cai.Iul.Caes. Ensis Caliburnus" yang berarti "Pedang buatan Calibia milik Caius Julius Caesar." Di akhir novel, Romulus melontarkan jauh-jauh pedang itu hingga menancap di batu. Seiring dengan berjalannya waktu, ukiran huruf asli memudar, sehingga yang dapat terbaca hanya:



Movie Adaptation:

The Turn of the Screw

The Turn of the ScrewThe Turn of the Screw by Henry James
My rating: 3 of 5 stars

Sinopsis:
A chilling ghost story, wrought with tantalising ambiguity, Henry James's The Turn of the Screw is edited with an introduction and notes by David Bromwich in Penguin Classics. In what Henry James called a 'trap for the unwary', The Turn of the Screw tells of a nameless young governess sent to a country house to take charge of two orphans, Miles and Flora. Unsettled by a dark foreboding of menace within the house, she soon comes to believe that something malevolent is stalking the children in her care. But is the threat to her young charges really a malign and ghostly presence or something else entirely?

Andai saja Colin Firth tidak ambil bagian dalam versi film yang diproduksi ITV pada tahun 1999,
entah kapan aku bakal membaca buku karya Henry James ini. Padahal, sebagai salah satu buku yang tercantum dalam "1001 Books You Must Read Before You Die", buku ini sudah termasuk dalam RBB, alias Rencana Baca Buku, meskipun tidak jelas kapan pelaksanaannya.

Review :
Cerita ini bertutur dari sudut pandang seorang gadis muda berusia dua puluh tahun, yang menjawab iklan dari seorang pria muda bujangan dan kaya raya (selanjutnya disebut saja sebagai si Master) di London. Si Master ini membutuhkan governess untuk mengasuh kedua keponakan yang telah yatim piatu, dan ia bersedia membayar sangat mahal untuk itu. Syarat utamanya: si governess tidak boleh sekali-kali menghubunginya untuk alasan apapun. Semua urusan keuangan akan dilakukan melalui pengacara. Pokoknya si Master bebas dari tanggung jawab mengurus para keponakannya.

Setelah berpikir panjang (dan mungkin juga karena terpesona pada manisnya bujuk rayu si Master yang memang tampan menawan), si gadis muda bersedia menjadi governess. Ia pun berangkat ke rumah si Master di pedesaan, dan mendapati dirinya bukan saja menjadi pengasuh bagi anak lelaki bernama Miles dan adik perempuannya yang bernama Flora, tapi juga membawahi seluruh pengurus dan pelayan rumah tangga di sana.

Namun, ternyata tugasnya tidak mudah. Ia mendapatkan surat dari kepala sekolah Miles, kalau anak itu dikeluarkan dari sekolah. Sulit dipercaya karena kedua anak yang diasuhnya bukan hanya pintar tapi juga menawan. Ia mengalami kesulitan untuk menanyakan duduk permasalahannya pada si bocah, dan tidak bisa pula meminta bantuan dari pamannya yang tidak mau tahu. Tapi masalah terbesarnya dimulai ketika ia melihat penampakan seorang pria dan seorang wanita. Mereka tidak bisa dilihat oleh para penghuni rumah yang lain, tapi kemungkinan besar bisa dilihat oleh Miles dan Flora.

Dari deskripsinya tentang kedua sosok yang dilihatnya kepada pengurus rumah tangga, Mrs Grose, ia mengetahui bahwa kedua orang itu adalah Mr. Quint, mantan valet si Master, dan Miss Jessel, governess sebelumnya. Kalau gosip bisa dipercaya, mereka berdua punya hubungan khusus. Tapi yang lebih parah, informasi bahwa mereka berdua sudah meninggal dunia.

Kemunculan Mr. Quint dan Miss Jessel yang makin sering terjadi membuat si governess panik, apalagi mereka tidak peduli pada kehadirannya dan sepertinya lebih berminat pada Miles dan Flora. Apa maksud kemunculan mereka? Apakah hanya bermaksud mengganggu saja? Atau membawa anak-anak ke sisi mereka?

Kalau kita percaya pada penuturan si governess bahwa ia bisa melihat hantu, maka cerita ini bisa digolongkan sebagai cerita horor. Kurang apa coba? Penampakan hantu-hantu di tempat dan waktu yang salah? Anak-anak yang tampaknya juga bisa melihat dan mengenali para hantu dan bisa-bisa terbawa ke dunia lain?

Tapi kalau kita skeptis pada hal gaib dan supranatural, maka cerita ini bisa jadi kita anggap cuma omong kosong dan karangan si governess belaka. Lho, tapi untuk apa juga ia berbohong? Banyak alasan untuk itu. Bisa jadi si governess cuma mau mencari perhatian. Meskipun sudah terikat janji dengan si Master untuk tidak menghubunginya dengan cara apapun, tapi bisa lain ceritanya kalau terjadi hal luar biasa yang tidak bisa diabaikan oleh si paman yang egois.

Dan bukan tidak mungkin kalau semua cerita itu cuma delusi dari si governess yang ternyata sinting, karena ia melihat hal-hal yang sebenarnya tidak ada. Kemungkinan ini cukup besar, kalau kita memperhatikan perubahan sikap para penghuni rumah, termasuk anak-anak, kepada si governess

Henry James tidak memberikan konklusi jelas tentang apa yang sebenarnya inti cerita ini, dan membebaskan pembaca untuk membuat interpretasi sendiri. Apalagi cerita ini dibuat sebagai cerita seseorang tentang dari temannya, yang ternyata teman si governess, alias sudah mulut kesekian.

Versi film TV tahun 1999 boleh dibilang cukup setia pada jalan cerita novelnya. Tapi karena penonton diberi kesempatan untuk melihat penampakan makhluk-makhluk tak diundang yang kadang muncul di siang bolong, diiringi musik yang juga mencekam, secara otomatis penonton tergiring menahbiskan cerita ini memang cerita horor.

Poster filmnya sendiri sungguh sangat misleading. Colin Firth cuma muncul beberapa menit, di awal film, karena ia berperan sebagai si Master super egois, yang menggunakan ke-charming-an dan rayuan mautnya agar si nona muda polos mau menjadi governess bagi kedua keponakannya, dan ia sendiri bisa terbebas dari tanggung jawab.

Castingnya pas sih, karena si Master dideskripsikan seperti ini dalam novel:

One could easily fix his type; it never, happily, dies out. He was handsome and bold and pleasant, offhand and gay and kind. He struck her, inevitably, as gallant and splendid, but what took her most of all and gave her the courage she afterward showed was that he put the whole thing to her as a kind of favor, an obligation he should gratefully incur. She conceived him as rich, but as fearfully extravagant-- saw him all in a glow of high fashion, of good looks, of expensive habits, of charming ways with women.  

Kalau dimintai tolong dengan tatapan seperti itu sih...