Friday, May 29, 2015

The Slaughter

Tema: HAM

Premis:
- Negara republik dengan satu partai yang menguasai seluruh sendi kehidupan rakyat.
- Negara memberlakukan hukuman mati, yang tidak hanya berlaku bagi pelaku tindak kriminal ataupun koruptor, tapi juga tahanan politik maupun tahanan nurani (prisoner of conscience, yang ditahan karena terlibat dalam aksi damai yang dianggap dapat mengganggu stabilitas negara)
- Tahanan yang dieksekusi mati dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan negara, dengan efektif dan efisien: organ tubuh dipanen untuk kebutuhan operasi transplantasi organ.
- Pelaksanaan hukuman mati disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Begitu pasien yang membutuhkan muncul, segera dicari "donor" yang cocok, dan hukuman mati segera diurus administrasi dan eksekusinya.

Dengan premis cerita seperti ini, bisa jadi orang akan menebak bahwa buku yang akan kukomentari secara singkat di sini adalah novel dengan genre dystopia. Sayangnya, tidak demikian adanya. Ini adalah buku nonfiksi:


Penulis buku ini adalah Ethan Gutmann, seorang penulis jurnalis investigatif dan aktivis HAM. Dan buku keduanya ini disusun berdasarkan hasil wawancara dengan lebih dari 100 orang saksi, yang terdiri atas mantan tahanan, dokter, polisi dan administratur kamp.

Belum lama ini aku membaca ulang salah satu serial manga favoritku, Full Metal Alchemist karya Hiromu Arakawa. Buat yang belum tahu, manga ini bersetting di sebuah negara antah berantah bernama Amestris, yang dipimpin oleh seorang diktator militer. Tema utama manga ini adalah philosopher stone, yang dapat mengabaikan hukum paling dasar dalam ilmu alkemi, yaitu pertukaran yang setara. Philosopher stone bukan saja dapat memperpanjang umur atau hidup abadi, tapi juga meningkatkan kekuatan seorang alkemis untuk menciptakan sesuatu dari ketiadaan. Bahan baku utama pembuatan philosopher stone adalah jiwa manusia. Pihak militer Amestris diam-diam membuat laboratorium untuk menciptakan philosopher stone, antara lain dengan memanfaatkan para tahanan di penjara atau kamp konsentrasi. Rencana Besar para villain di manga ini malah lebih dahsyat lagi: mengubah 50 juta jiwa penduduknya menjadi philosopher stone!


Karena jarak baca yang berdekatan, wajar saja pada saat membaca buku Slaughter, aku malah lebih teringat dan memparalelkannya dengan manga FMA, ketimbang pada kasus Nazi Jerman di PD II. Mungkin selain keterlibatan pihak militer dalam hal pelanggaran HAM atas warga negaranya sendiri, juga karena philosopher stone dan organ tubuh manusia memiliki manfaat yang sama: memperpanjang umur.

Kesanku saat membaca buku ini jelas... miris dan ngeri.

Bagaimana tidak, baru di bab pertama saja sudah diceritakan bagaimana para dokter bedah selalu bersiap-siap di tempat eksekusi. Apabila eksekusinya dilakukan di tempat terbuka, mobil van medis tersedia sebagai tempat operasi. Target eksekusi tembak biasanya dada kanan atau dekat telinga, karena diusahakan agar organ tubuh yang penting seperti kornea, jantung, hati atau yang paling top, ginjal, tetap utuh. Saat tahanan jatuh pingsan, tim dokter segera membedah dan memanen organ tubuhnya. Mereka masih hidup saat para dokter beraksi, malah boleh dibilang ketimbang regu tembak, para dokter itulah yang sebenarnya menjadi algojo pamungkas. Bagaimana lagi, live organ is better!

Pada awal buku, Gutmann memaparkan hasil wawancaranya dengan orang-orang dari suku Uyghur di provinsi Xinjiang. Tahanan yang dieksekusi dan menjadi sumber organ di sini adalah mereka yang ditangkap adalah para "teroris" suku Uyghur yang didakwa terlibat kerusuhan. Tapi ternyata, boleh dibilang apa yang dimulai di Xinjiang pada awal tahun 1990-an masih terbatas sifatnya, dan mungkin baru eksperimen awal, karena bisnis transplantasi di Cina baru tumbuh secara besar-besaran pada akhir tahun 1990an, dan itu berkaitan erat dengan penindasan Falun Gong dan penangkapan para pengikutnya.

Boleh dibilang, sebagian besar buku ini bercerita tentang Falun Gong, dari asal-usulnya sampai bagaimana pemerintah menyatakannya sebagai organisasi terlarang yang harus diberantas, karena dapat  mengganggu stabilitas negara. Kalau mau diparalelkan, perlakuan pemerintah Cina terhadap Falun Gong kurang lebih sama dengan perlakuan pemerintah Orde Baru terhadap orang-orang yang terlibat atau diduga terlibat PKI. Bedanya, ketimbang cuma dipenjara atau dimaksukkan kamp kerja paksa saja, ternyata ada keuntungan komersial yang bisa diperoleh dari para tahanan yang jumlahnya mencapai ratusan ribu orang ini.


Mulai tahun 1999, bisnis transplantasi organ berkembang pesat di Cina. Dibandingkan dengan di negara lain yang butuh waktu berbulan-bulan bahkan sampai tahunan untuk mendapatkan organ yang cocok, di Cina pasien tidak perlu menunggu lama, bahkan bisa tinggal datang saja dan cukup menunggu dua hari untuk bisa melakukan operasi. Mengapa demikian? Karena para tahanan yang memenuhi syarat (muda dan sehat) telah melalui pemeriksaan medis, dan datanya telah tersedia. Apabila seorang pasien mendadak perlu segera dioperasi (bisa pejabat partai atau keluarganya, warga negara biasa, atau warga negara asing), tinggal dicari tahanan mana yang data medisnya cocok, lalu proses pelaksanaan hukuman hukuman matinya langsung berjalan. Istilahnya, kill to order.

Terus terang saja, sebelum membaca buku ini aku mengira persediaan organ di Cina berasal dari orang-orang miskin yang memang rela menyumbangkan sebagian organ tubuhnya dengan imbalan uang, bukan mereka yang dipaksa menjadi donor dengan hukuman mati yang jadwalnya bisa diatur sesuai kebutuhan, sedangkan uang hasil penjualan organnya tidak diterima oleh keluarga yang ditinggalkan, melainkan diambil oleh pihak rumah sakit/militer yang terlibat.

Mau tak mau, aku jadi memikirkan berapa banyak orang Indonesia yang telah melakukan organ tourism ke negeri Cina? Dan apakah mereka tahu pasti dari mana sumber organ tubuh yang mereka terima? Dan seandainya mereka tahu, sikap apa yang akan diambil? Apakah lantas tutup mata saja, pura-pura tidak tahu dari mana datangnya, asalkan nyawa bisa diperpanjang masa berlakunya?

Dapatkah kita mengambil sikap tegas seperti Edward Elric, yang tidak mau menggunakan philosopher stone demi kepentingan pribadi, karena tahu bahwa dengan demikian secara tidak langsung ia mengambil keuntungan dari kematian orang lain?

Friday, May 1, 2015

The Client

Klien (The Client)Klien by John Grisham
My rating: 4 of 5 stars

Pertama kali dibeli dan dibaca pada bulan Agustus 1994.

Dibaca kembali dalam rangka Program BUBU pada tanggal 20 April 2015.

======================================================


Sinopsis:
Mark Sway, analk laki-laki berusia sebelas tahun, menyaksikan tindakan bunuh diri seorang pengacara New Orleans. Sebelum meninggal, sang Pengacara menceritakan pembunuhan atas seorang senator Louisiana. Pembunuhnya, anggota mafia, Barry Muldanno, akan segera diajukan ke pengadilan. Polisi, FBI, dan Jaksa Penuntut Umum Federal memaksa Mark membuka suara. Namun membuka suara berarti mengundang bahaya bagi dirinya serta keluarganya. Maka, Mark tetap menutup mulut rapat-rapat.

Untuk mewakilinya, Mark menyewa Reggie Love dengan bayaran satu dolar. Pengacara wanita ini ulet dan senang menolong anak-anak. Berdua mereka menghadapi tekanan serta ancaman dari kiri-kanak. Ketika semua jalan tampaknya telah tertutup, Mark mengusulkan suatu rencana-rencana gila yang berbahaya. Tapi hanya itu satu-satunya jalan yang mungkin berhasil.

Sekedar komentar:
Sudah lewat dari dua puluh tahun sejak pertama kali aku membaca novel ini. Tentu saja, sudah lazim apabila kita membaca salah satu buku favorit yang pernah menjadi bacaan kita dari sisi lain.

Dan komentarku setelah membaca buku ini lagi: D.u.h.

Kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya novel ini tak perlu tebal-tebal amat.

Kalau dipikir-pikir lagi, secara logika, dengan mengabaikan rasa takut si anak kecil, seandainya sejak awal Mark Sway jujur saja pada pihak berwenang tentang apa yang dialami dan didengarnya, dan masuk Program Perlindungan Saksi, maka urusan selesai. Pilihan yang diambilnya malah mempersulit keadaan dan memperpanjang masalah.

Tapi ya kalau seperti itu, memang tidak bakal ada cerita dan bisa-bisa novelnya malah jadi novelet, atau cerpen sekalian.

Rating buku ini kupertahankan dengan alasan sentimental karena aku menyukai buku ini waktu membacanya untuk pertama kali. Dan aku memang suka karakter Reggie Love yang diperankan oleh Sigourney Weaver pada versi adaptasi filmnya yang rilis pada tahun 1994.

Omong-omong, apa kabar Brad Renfro yang memerankan Mark Sway, ya? Setelah terakhir aku melihatnya berakting di Apt Pupil-nya Stephen King, aku belum pernah melihatnya lagi. Sedih memang kalau ada aktor muda yang bagus tersesat di jalan dan susah untuk kembali.

View all my reviews

The Pelican Brief

The Pelican BriefThe Pelican Brief by John Grisham
My rating: 4 of 5 stars

Conspiracy Theory.

Mungkin judul novel yang pertama kali terbit pada tahun 1992 dan diangkat menjadi film pada tahun 1993 ini bisa diganti menjadi seperti itu. Tapi syukurlah tidak demikian, karena empat tahun kemudian Julia Roberts, yang jadi boga lakon dalam versi filmnya bakal main dalam film berjudul Conspiracy Theory bersama Mel Gibson. Lagipula, judulnya Mr. Grisham ini orisinil dan otentik banget, gitu.

Terus, macam mana pula konspirasi dan teorinya?

Begini ceritanya. Dua orang hakim agung AS dibunuh dalam waktu yang berdekatan. Tanpa jejak, tanpa petunjuk, tanpa tersangka. Lalu, seorang mahasiswi hukum bernama Darby Shaw membuat analisis dari kedua kasus pembunuhan itu, dengan menelusuri kasus-kasus yang memiliki kemungkinan besar akan ditangani oleh salah satu dari kedua hakim agung, dan memiliki kemungkinan besar bahwa keputusan para hakim agung itu bakal sangat merugikan pihak tertentu. Laporan analisis tersebut kelak dijuluki Pelican Brief, karena kasus yang dirujuk si mahasiswi melibatkan kasus lingkungan hidup yang dapat mempengaruhi hayat hidup sang burung yang keberadaannya dilindungi oleh negara.

Novel John Grisham yang ketiga ini lebih menjurus pada legal-thriller ketimbang drama pengadilan, lebih mirip novel The Firm ketimbang A Time to Kill.

Thomas Callahan, dosen merangkap pacar Darby memberikan laporan tersebut kepada temannya di FBI. Tak lama kemudian, ia tewas dalam ledakan bom mobil, yang seharusnya juga sekaligus membunuh Darby, sang penulis laporan. Dan ketika Darby hendak meminta perlindungan dari FBI, teman Callahan juga menjadi korban pembunuhan berikutnya. Akhirnya Darby menjadi paranoid dan beralih meminta bantuan pada Gray Grantham, seorang wartawan investigasi.

Padahal, meskipun isinya menarik, laporan Darby kemungkinan besar bakal tidak bakal terlalu menarik perhatian. Namanya juga cuma teori konspirasi yang dibuat anak kuliahan. Tapi gara-gara Darby dijadikan sasaran, tentu saja pihak-pihak yang pernah membaca laporan itu menjadi sadar bahwa teori pelikan itu kemungkinan besar tepat sasaran.

Versi adaptasi film ini, yang dibintangi Julia Roberts dan Denzel Washington, boleh dibilang menegangkan sebagai film thriller. Dan akibatnya, termasuk ke dalam deretan film yang kuanggap kurang berkesan dan tidak perlu ditonton dua kali. Tapi... bisa juga sih karena kedua pemerannya bukan termasuk aktris/aktor favoritku.


View all my reviews