Showing posts with label 1001 Books You Must Read Before You Die. Show all posts
Showing posts with label 1001 Books You Must Read Before You Die. Show all posts

Monday, February 29, 2016

Under The Skin

Judul : Under The Skin

Penulis : Michel Faber

Penerbit : Mariner

Tebal : 319 halaman

Dibeli di : Lapak Periplus FX Senayan

Dibeli tanggal : 20 Februari 2016

Harga beli : Rp. 65.000,-

Dibaca tanggal : 27 Februari 2016

Lokasi baca : Antara Jakarta - Tanjung Lesung

Review :

Isserley always drove straight past a hitch-hiker when she first saw him, to give herself time to size him up. She was looking for big muscles: a hunk on legs. Puny, scrawny specimens were no use to her.

Paragraf pertama novel ini terasa sangat kuat, karena langsung menarik perhatian dan menimbulkan pertanyaan. Siapakah Isserley? Mengapa ia mengincar hitchhiker, khususnya hitchhiker laki-laki yang berpostur kuat dan gagah?

Coba bayangkan adegan ini:
Anda seorang laki-laki yang sedang putus asa mencari tebengan di pinggir jalan raya yang sepi dalam cuaca yang buruk. Bagaimana reaksi Anda bila sebuah mobil menepi, dan pengendara yang menawarkan tebengan ternyata perempuan cantik dan seksi bak Scarlett Johansson? Apakah Anda akan langsung menerima tawarannya, melompat masuk ke dalam mobil tanpa berpikir panjang lagi? Sebagian besar jawabannya: TENTU SAJA IYA!

Scarlett Johansson sedang mencari mangsa...

Yah, kalau Anda belum membaca buku ini atau menonton versi filmnya yang rilis tahun 2013, ada baiknya segera meninggalkan laman ini, karena:

Soalnya aku lagi kepingin membahas sedikit detail, yang ujung-ujungnya tentu saja membandingkan versi novel dan versi filmnya.


1. Siapakah Isserley?

Saat membaca buku ini, lupakan dulu sosok Scarlett Johansson, yang di versi film tidak diberi nama, cuma disebut The Female saja. Terus terang, karena aku sudah menonton versi filmnya dulu (tanpa mengetahui bahwa film itu adaptasi dari novel), pada awalnya aku jadi agak susah klik dengan deskripsi karakter utama yang bernama Isserley ini.

Novel ini dituturkan dari sudut pandang Isserley, perempuan misterius yang kerjaannya setiap hari berkeliaran dengan Toyota Corolla butut di jalan raya sepi dataran tinggi Skotlandia, mencari para lelaki gagah yang butuh tebengan.

Tapi selain itu, pembaca juga mendapat sudut pandang dari para penebeng di mobil Isserley. Dan jelas, gambaran mereka atas penampakan perempuan pemberi tebengan sama sekali tidak ada mirip-miripnya dengan Scarlett Johansson. Bertubuh kecil, pendek, dengan tangan dan jemari yang kurus dan kasar. Wajahnya tirus, dengan sepasang mata besar yang tampak semakin besar di balik kaca mata lensa tebalnya. Satu-satunya kelebihan perempuan aneh itu yang paling menonjol adalah sepasang payudaranya yang besar, yang sengaja dipamerkan dengan pakaian yang terlalu terbuka di bagian dada.

Yap. Sepasang payudara itulah yang menjadi senjata utama Isserley untuk menarik perhatian para lelaki yang masuk ke dalam mobil.

Jadi, siapakah Isserley? Pilih salah satu jawaban di bawah ini:
a. Predator yang menjerat lelaki demi petualangan seks kilat
b. Predator yang menjerat lelaki tanpa ada hubungannya sama sekali dengan seks


2. Mengapa Isserley mengincar lelaki bertubuh besar, sehat, dan kuat?

Pertama-tama, jawaban pertanyaan di atas itu adalah b.

Iya, Isserley sengaja memamerkan payudaranya, hanya supaya para lelaki yang masuk ke mobilnya mereka menjadi lengah dan mau banyak bicara. Dengan demikian, ia bisa mengorek informasi lebih lanjut, yang pada intinya: adakah orang yang akan menyadari dan mencari bila si lelaki tiba-tiba lenyap tak ketahuan rimbanya?

Isserley adalah seorang predator, pemburu, dalam arti yang paling harfiah.

Baginya, lelaki bertubuh besar, sehat dan kuat adalah... bahan makanan berkualitas unggul.

Jadi, pertanyaan berikutnya adalah, apakah Isserley sebenarnya?
a. Kanibal di dunia modern.
b. Alien dari dunia lain.

Dan jawabannya?


3. Alien, tentu saja.

Sejatinya, kalau dilihat dari sudut pandang kita, Isserley bukan manusia. Tapi kalau kita dibawa ke sudut pandang Isserley, dialah yang manusia, sedangkan kita tak lebih dari binatang buruan, bahan makanan. Bagi kaumnya, makhluk berkaki dua seperti manusia berada pada tingkatan yang lebih rendah. Iya, ras Isserley berkaki empat dan berekor. Dari deskripsi Isserley tentang laki-laki bangsawan dari kaumnya yang konon sangat tampan, dengan bulu hitam mengilap, entah kenapa yang terbayang malah anjing ras doberman pinscher raksasa.

Demi menjadi pemburu vodsel (istilah mereka untuk kita), Isserley harus menjalani operasi bedah yang traumatik. Ekor dipotong, tulang belakang diluruskan dengan kaki belakang sehingga posturnya menjadi mirip vodsel yang berkaki dua, kelenjar susu di perut dilenyapkan, buah dada palsu ala vodsel betina dipasang, rambut dan bulu yang indah dicukur habis. Yang jelas, aku belum bisa membayangkan sosok asli Isserley yang konon sangat cantik untuk ukuran kaumnya itu seperti apa. Mirip anjing pudel? Atau collie?

Hasil tangkapan Isserley dikumpulkan di sebuah peternakan terpencil di Skotlandia, di mana para korban diproses: dilucuti semua pakaiannya, dibersihkan, dan dipotong organ yang tak penting seperti lidah dan testikelnya, lantas digemukkan. Pada akhirnya, disembelih dan dibuat fillet untuk kemudian dikirim ke kampung halaman via pesawat kargo antariksa sebagai bahan makanan mewah yang harganya selangit.

Tentu saja, bagiku yang sudah pernah membaca cerita scifi tentang alien yang memangsa dan memasak manusia seperti di Old Man's War-nya John Scalzi, pertanyaan yang benar-benar mengusik adalah kenapa sih Isserley harus berburu sendirian secara diam-diam, demi menangkap manusia satu demi satu, dan berusaha jangan sampai perbuatannya diketahui oleh manusia? Benar-benar tidak efektif dan efisien. Bukankah kalau mereka ras yang lebih unggul dengan teknologi yang jauh lebih canggih, mereka bisa saja menangkap manusia dalam jumlah besar, lantas membuat peternakan manusia untuk produksi daging secara masal?

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, mungkin ras alien ini mencari jalan aman. Bisa jadi kalau manusia sampai sadar ada makhluk berintelejensi lain yang memandang mereka sebagai bahan baku makanan, bakal ada perlawanan dan jatuhnya ke perang antar planet. Repot deh. Mendingan diam-diam saja. Lagipula, kalau sampai pasokan daging manusia meningkat drastis, harganya bisa jatuh karena tidak lagi langka. Memang menjelang akhir novel, perusahaan yang membawahi Isserley mulai meminta pasokan ditingkatkan, dengan pesanan tambahan untuk mulai menyediakan vodsel betina, khususnya yang masih memiliki banyak telur (sampai di sini yang kepikiran malah hidangan kaviar atau telur ikan salmon). Tapi sampai saat itu pun, sama sekali belum tersirat keinginan untuk ekspansi produk secara besar-besaran.


4. Lalu, inti cerita alien pemburu manusia ini apa?

Well, secara permukaan saja, dengan membaca cerita dari sudut pandang Isserley, kita bisa menganggap buku ini sebagai memoar seorang (?) alien perempuan dari kasta terendah di planetnya yang gersang, di mana air dan oksigen begitu langka hingga harus dibeli. Ia terpaksa bekerja sebagai pemburu bahan makanan langka di planet yang jauh (namun dengan air dan oksigen yang berlimpah!), dan demi pekerjaan baru itu terpaksa mengalami penderitaan dengan perubahan fisik yang menyakitkan. Sebagai pemburu profesional, strategi yang digunakannya mirip pembunuh berantai, yang berprinsip jangan sampai perbuatannya ketahuan dan terendus pihak berwajib. Tapi bahkan seorang pemburu handal yang sangat berhati-hati pun bisa terpeleset dan salah memilih calon korban, yang berani-beraninya mencoba memperkosanya. Trauma atas kejadian tersebut membuat Isserley terganggu secara psikologis sehingga mempengaruhi pekerjaannya sehingga ia kurang berhati-hati dalam memilih korban berikutnya. Belakangan, setelah mengetahui bahwa posisinya dalam perusahaan tidak istimewa karena bisa digantikan oleh siapa saja kapan saja, Isserley mulai mempertanyakan tujuan hidupnya di bumi.

Dari sisi lain, mungkin saja ada yang berpendapat buku ini membawa agenda vegan. Meskipun pekerjaannya berburu vodsel, Isserley bukan pemakan daging. Dan dari sekilas info kampung halaman, kabarnya mulai bermunculan berbagai penyakit aneh dan baru yang diderita para pemakan daging vodsel. Mungkin seharusnya Isserley mengecek dulu data kesehatan para lelaki yang masuk ke dalam perangkapnya?

Isu lain yang mungkin diusung adalah kesetaraan hak hidup. Ada adegan di mana Amlis Vess---anak pemilik perusahaan yang mempekerjakan Isserley---yang sedang berkunjung incognito mempertanyakan apakah makhluk berkaki empat yang ada di sekitar peternakan, yang disebut domba, bisa dimakan. Isserley jadi histeris, karena baginya domba nyaris setara dengan ras mereka (karena berkaki empat dan berekor) sehingga ide untuk memakan domba benar-benar tak boleh dipikirkan. Dari sisi kita, mungkin seperti isu tentang memakan daging makhluk berkaki dua seperti monyet, orangutan, simpanse, atau gorila. Mengapa wajar saja jika kita memakan daging makhluk berkaki empat seperti sapi, rusa, dan domba, tapi tidak lazim jika memakan daging makluk berkaki dua yang secara DNA nyaris sama dengan manusia?

Sisi berikutnya yang bisa jadi bahan diskusi adalah adanya pembalikan peran di novel ini, di mana sosok perempuan yang kelihatan lemah sebenarnya predator yang berburu laki-laki. Penggambaran adegan perburuan Isserley, yang dimulai dari penilaian Isserley dari sisi fisik hingga faktor keamanannya (laki-laki tanpa keluarga, teman, atau pekerjaan), disertai dengan penilaian calon korban terhadap penampilan fisik Isserley. Ada sebagian calon korban yang bisa melihat kalau wujud Isserley memang agak aneh dan mencurigakan, tapi ada juga yang tidak peduli terutama karena penampakan payudara montok yang bisa membuat pikiran jadi kurang jernih! Jadi, para lelaki, berhati-hatilah. Jangan sembarangan menerima tawaran tebengan dari perempuan muda yang menyetir mobil sendirian, meskipun perempuan itu secantik Scarlett Johansson!


5. The Movie

Bicara tentang Scarlett Johansson, berarti kita kembali bicara tentang versi filmnya, yang terus terang saja sangat berbeda dengan novelnya, dan di sini kita bukan hanya bicara tentang wujud karakter utamanya.

Dalam versi film, sang alien yang wujudnya tidak jelas digambarkan "mengenakan kostum" manusia serupa Scarlett Johansson, yang secara harfiah mewujudkan judul Under The Skin. Secara prinsip, pekerjaan sehari-hari si alien persis seperti Isserley, memberi tebengan pada lelaki yang kurang waspada dan terlalu mudah terpesona pada penampakan luar si alien predator. Dan, setelah si alien membawa sang lelaki ke sarangnya, selalu ada adegan surreal tidak jelas di mana si alien membuka pakaian sepotong demi sepotong, memancing dan memesona calon korban yang tanpa busana hingga terangsang dan tenggelam dalam kolam sehitam tinta yang tanpa dasar.


Pertanyaan bagi penonton awam sepertiku, bagaimana nasib para korban selanjutnya? Apakah adegan itu merupakan simbol bahwa mereka sedang dimangsa atau bagaimana? Sama sekali tidak ada gambaran yang resmi seperti dalam versi novelnya, di mana mereka diproses secara mekanis dan higienis untuk dijadikan irisan daging yang mahal harganya. Tapi, mungkin, secara lambat laun, kita mengikuti perjalanan si alien yang dalam pergaulannya di dunia manusia, mempelajari kehidupan manusia, dan mungkin, hanya mungkin, menjadi manusia, meskipun hanya sebentar.


Verdict :




Tuesday, March 17, 2015

The End of the Affair

The End of the AffairThe End of the Affair by Graham Greene
My rating: 4 of 5 stars

Oke sebelum salah paham, langsung saja, ini bukan buku di mana karakternya diperankan oleh Colin Firth dalam film adaptasinya. Ini buku di mana Colin Firth membacakan ceritanya :)

Tokoh utama buku ini, Maurice Bendrix, dalam versi filmnya diperankan oleh Ralph Fiennes. Dan kalau dipikir-pikir lagi, kenapa sih Ralph Fiennes terus-terusan dicasting sebagai laki-laki yang hobi jatuh cinta dan menyelingkuhi istri teman? Nggak cukup rupanya jadi Count Almasy di The English Patient. Etapi yang lebih epik sebenarnya perannya di The Grand Budapest Hotel, yang nggak kira-kira dan nggak pandang umur kalau milih selingkuhan :P

Review cerita:
Ini kisah seorang lelaki pencemburu.
Ini kisah seorang lelaki yang mencemburui semua orang yang terlibat dengan mantan selingkuhannya.
Ia mencemburui suami mantan selingkuhannya, karena ketimbang memilihnya, sang selingkuhan lebih memilih memutuskan hubungan dan tetap berada di sisi suaminya.
Ia mencemburui para pria yang dicurigainya sekarang berselingkuh dengan mantan selingkuhannya.
Ia mencemburui Tuhan, yang memutuskan nasib mantan selingkuhannya.

Ini kisah seorang lelaki pencemburu yang dilanda cinta buta yang tak tersalurkan.
Dan sebenarnya aku kurang suka cerita ini, karena tidak bisa bersimpati pada tokoh utamanya.
Mungkin aku bisa berempati dengan perasaan cinta yang tak tersalurkan, tapi aku tak bisa berempati pada laki-laki yang berselingkuh dengan istri orang lain. Jadi, kalau ia merasa keberatan dan merasa marah, karena pasangan berselingkuhnya telah insaf dan bertobat, ya... salah sendiri sih. Wajar saja.

Review audiobook:
Ehm, aku memberikan satu bintang tambahan karena puas mendengarkan suara smooth dan seksi Colin Firth dengan aksen British khasnya selama enam setengah jam...


Buat yang mengharapkan audiobook ini dibawakan ala tukang dongeng, yang membeda-bedakan gaya bicara dan aksen masing-masing karakter, mungkin akan kecewa. Colin Firth di sini murni membacakan buku. Tapi parameter kepuasan masing-masing orang mendengarkan buku ini dibacakan memang berbeda-beda sih. Aku sudah cukup puas kok hanya dengan mendengarkan suaranya saja :P

Dan terlepas dari faktor-faktor apa saja dari audiobook yang memuaskan pendengar, Colin Firth dan Audible Studios memenangkan Audiobook of the Year pada Audie Awards tahun 2013 untuk edisi audiobook The End of the Affair ini. Untuk pencapaian ini, Colin Firth memberikan pernyataan resmi:

I'm grateful for this honor, and grateful for the opportunity to narrate one of my favorite stories--a great novel told in the first person makes for the best script an actor could imagine. None better than The End of the Affair... Theatre and film each offer their own challenges and rewards, but narration is a new practice for me and the audiobook performance provides exhilarating possibilities for both actors and listeners.


View all my reviews

Tuesday, March 10, 2015

The Turn of the Screw

The Turn of the ScrewThe Turn of the Screw by Henry James
My rating: 3 of 5 stars

Sinopsis:
A chilling ghost story, wrought with tantalising ambiguity, Henry James's The Turn of the Screw is edited with an introduction and notes by David Bromwich in Penguin Classics. In what Henry James called a 'trap for the unwary', The Turn of the Screw tells of a nameless young governess sent to a country house to take charge of two orphans, Miles and Flora. Unsettled by a dark foreboding of menace within the house, she soon comes to believe that something malevolent is stalking the children in her care. But is the threat to her young charges really a malign and ghostly presence or something else entirely?

Andai saja Colin Firth tidak ambil bagian dalam versi film yang diproduksi ITV pada tahun 1999,
entah kapan aku bakal membaca buku karya Henry James ini. Padahal, sebagai salah satu buku yang tercantum dalam "1001 Books You Must Read Before You Die", buku ini sudah termasuk dalam RBB, alias Rencana Baca Buku, meskipun tidak jelas kapan pelaksanaannya.

Review :
Cerita ini bertutur dari sudut pandang seorang gadis muda berusia dua puluh tahun, yang menjawab iklan dari seorang pria muda bujangan dan kaya raya (selanjutnya disebut saja sebagai si Master) di London. Si Master ini membutuhkan governess untuk mengasuh kedua keponakan yang telah yatim piatu, dan ia bersedia membayar sangat mahal untuk itu. Syarat utamanya: si governess tidak boleh sekali-kali menghubunginya untuk alasan apapun. Semua urusan keuangan akan dilakukan melalui pengacara. Pokoknya si Master bebas dari tanggung jawab mengurus para keponakannya.

Setelah berpikir panjang (dan mungkin juga karena terpesona pada manisnya bujuk rayu si Master yang memang tampan menawan), si gadis muda bersedia menjadi governess. Ia pun berangkat ke rumah si Master di pedesaan, dan mendapati dirinya bukan saja menjadi pengasuh bagi anak lelaki bernama Miles dan adik perempuannya yang bernama Flora, tapi juga membawahi seluruh pengurus dan pelayan rumah tangga di sana.

Namun, ternyata tugasnya tidak mudah. Ia mendapatkan surat dari kepala sekolah Miles, kalau anak itu dikeluarkan dari sekolah. Sulit dipercaya karena kedua anak yang diasuhnya bukan hanya pintar tapi juga menawan. Ia mengalami kesulitan untuk menanyakan duduk permasalahannya pada si bocah, dan tidak bisa pula meminta bantuan dari pamannya yang tidak mau tahu. Tapi masalah terbesarnya dimulai ketika ia melihat penampakan seorang pria dan seorang wanita. Mereka tidak bisa dilihat oleh para penghuni rumah yang lain, tapi kemungkinan besar bisa dilihat oleh Miles dan Flora.

Dari deskripsinya tentang kedua sosok yang dilihatnya kepada pengurus rumah tangga, Mrs Grose, ia mengetahui bahwa kedua orang itu adalah Mr. Quint, mantan valet si Master, dan Miss Jessel, governess sebelumnya. Kalau gosip bisa dipercaya, mereka berdua punya hubungan khusus. Tapi yang lebih parah, informasi bahwa mereka berdua sudah meninggal dunia.

Kemunculan Mr. Quint dan Miss Jessel yang makin sering terjadi membuat si governess panik, apalagi mereka tidak peduli pada kehadirannya dan sepertinya lebih berminat pada Miles dan Flora. Apa maksud kemunculan mereka? Apakah hanya bermaksud mengganggu saja? Atau membawa anak-anak ke sisi mereka?

Kalau kita percaya pada penuturan si governess bahwa ia bisa melihat hantu, maka cerita ini bisa digolongkan sebagai cerita horor. Kurang apa coba? Penampakan hantu-hantu di tempat dan waktu yang salah? Anak-anak yang tampaknya juga bisa melihat dan mengenali para hantu dan bisa-bisa terbawa ke dunia lain?

Tapi kalau kita skeptis pada hal gaib dan supranatural, maka cerita ini bisa jadi kita anggap cuma omong kosong dan karangan si governess belaka. Lho, tapi untuk apa juga ia berbohong? Banyak alasan untuk itu. Bisa jadi si governess cuma mau mencari perhatian. Meskipun sudah terikat janji dengan si Master untuk tidak menghubunginya dengan cara apapun, tapi bisa lain ceritanya kalau terjadi hal luar biasa yang tidak bisa diabaikan oleh si paman yang egois.

Dan bukan tidak mungkin kalau semua cerita itu cuma delusi dari si governess yang ternyata sinting, karena ia melihat hal-hal yang sebenarnya tidak ada. Kemungkinan ini cukup besar, kalau kita memperhatikan perubahan sikap para penghuni rumah, termasuk anak-anak, kepada si governess

Henry James tidak memberikan konklusi jelas tentang apa yang sebenarnya inti cerita ini, dan membebaskan pembaca untuk membuat interpretasi sendiri. Apalagi cerita ini dibuat sebagai cerita seseorang tentang dari temannya, yang ternyata teman si governess, alias sudah mulut kesekian.

Versi film TV tahun 1999 boleh dibilang cukup setia pada jalan cerita novelnya. Tapi karena penonton diberi kesempatan untuk melihat penampakan makhluk-makhluk tak diundang yang kadang muncul di siang bolong, diiringi musik yang juga mencekam, secara otomatis penonton tergiring menahbiskan cerita ini memang cerita horor.

Poster filmnya sendiri sungguh sangat misleading. Colin Firth cuma muncul beberapa menit, di awal film, karena ia berperan sebagai si Master super egois, yang menggunakan ke-charming-an dan rayuan mautnya agar si nona muda polos mau menjadi governess bagi kedua keponakannya, dan ia sendiri bisa terbebas dari tanggung jawab.

Castingnya pas sih, karena si Master dideskripsikan seperti ini dalam novel:

One could easily fix his type; it never, happily, dies out. He was handsome and bold and pleasant, offhand and gay and kind. He struck her, inevitably, as gallant and splendid, but what took her most of all and gave her the courage she afterward showed was that he put the whole thing to her as a kind of favor, an obligation he should gratefully incur. She conceived him as rich, but as fearfully extravagant-- saw him all in a glow of high fashion, of good looks, of expensive habits, of charming ways with women.  

Kalau dimintai tolong dengan tatapan seperti itu sih...

Thursday, February 26, 2015

The Picture of Dorian Gray

Sinopsis:
Enthralled by his own exquisite portrait, Dorian Gray exchanges his soul for eternal youth and beauty. Influenced by his friend Lord Henry Wotton, he is drawn into a corrupt double life, indulging his desires in secret while remaining a gentleman in the eyes of polite society. Only his portrait bears the traces of his decadence.

Review:
Bagaimana kalau kau memiliki lukisan yang bisa menampung semua kerusakan lahir dan batinmu? Akankah kau manfaatkan sebaik-baiknya, dalam hal ini tetap muda berwajah rupawan tanpa dosa meskipun berfoya-foya seumur hidupmu?

Kebetulan, Dorian Gray memiliki lukisan ajaib seperti itu, yang diwujudkan oleh seorang pelukis muda berbakat yang (meskipun hanya tersirat dalam novelnya) jatuh hati setengah mati kepadanya, Basil Hallwart.

Dan nasib membawanya bertemu dengan Lord Henry Wotton, yang tertarik pada keluguan dan kepolosan Dorian, dan lebih gawat lagi, tertarik untuk bereksperimen dengan jiwa labil Dorian. Sejauh mana kata-kata dan tindakannya bisa mengubah kertas putih menjadi abu-abu... atau malah hitam?

Banyak kutipan yang menarik dari Lord Henry Wotton yang hilarious. Sebagian motto-nya benar-benar menggoda iman...

"The only way to get rid of a temptation is to yield to it. Resist it, and your soul grows sick with longing for the things it has forbidden to itself, with desire for what its monstrous laws have made monstrous and unlawful. It has been said that the great events of the world take place in the brain. It is in the brain, and the brain only, that the great sins of the world take place also."

Well, kalau dipikir-pikir Lord Henry ada benarnya sih... Coba kalau kita tergoda buat beli buku yang bikin penasaran, terus berusaha menahan diri, pasti kepikiran terus kan? Hati dan pikiran kita pasti baru akan tenang kalau kita langsung melampiaskan nafsu... langsung membeli bukunya pada godaan pertama. Masalahnya, godaan yang dimaksud Lord Henry bukan godaan buat bookaholic sih :P

Atau omongan Lord Henry lainnya tentang buku:

"Those who find ugly meanings in beautiful things are corrupt without being charming. This is a fault. Those who find beautiful meanings in beautiful things are the cultivated. For these there is hope. They are the elect to whom beautiful things mean only Beauty. There is no such thing as a moral or an immoral book. Books are well written, or badly written. That is all."

Yang ini menurutku ada benarnya juga... Pertama kali aku baca buku historical romance Johanna Lindsey, yang berjudul Defy Not The Heart, aku masih cupu dan cuma tahu adegan hot di novel terjemahan Sidney Sheldon dan Jackie Collins (padahal pasti sudah kena babat sensor). Adegan olahranjangnya eksplisit dan wow gitu... tapi ceritanya juga bagus kok. Dan bukan berarti karena membaca buku kipas lantas pembacanya spontan get rid the temptation by yield it right away... :)) 

The Movie

Iya, seperti gambar cover buku yang kupilih, pada tahun 2009 dirilis versi film dengan Ben Barnes sebagai Dorian Gray, Ben Chaplin sebagai Basil Hallwart, dan tentu saja... Colin Firth sebagai Lord Henry Wotton.

Film ini jauh lebih gothic dari versi bukunya, dan... ehm, gaya hidup hedonistik dan dosa-dosa daging Dorian Gray digambarkan sangat eksplisit. Buat penggemar Ben Barnes, red alert, film ini penuh adegan hot bersama seabrek wanita dan... meskipun tidak ditampilkan secara frontal, bersama Ben Chaplin. Dan banyak jalan cerita yang diubah, bahkan termasuk endingnya.

Tapi sama seperti halnya di film Easy Virtue, aku merasa Ben Barnes kembali kebanting dalam hal akting oleh supporting cast-nya, Colin Firth sebagai Lord Henry Wotton. Pendapat ini bukan hanya karena bias kok. Sungguh. Colin Firth bisa begitu meyakinkan sebagai sin whisperer, dan melancarkan dialog-dialog mematikan Lord Henry dengan begitu meyakinkan. Meskipun... Lord Henry ini ternyata cuma omong doang, sedangkan Dorian benar-benar terjun bebas ke jurang maksiat.

"You will always be fond of me. I represent to you all the sins you never had the courage to commit."



Sunday, August 3, 2014

Tinker, Tailor, Soldier, Spy

Tinker, Tailor, Soldier, SpyTinker, Tailor, Soldier, Spy by John le Carré
My rating: 3 of 5 stars

TINKER,
TAILOR,
SOLDIER,
SAILOR,
RICH MAN,
POOR MAN,
BEGGARMAN,
THIEF.

Small children's fortune-telling rhyme used when counting cherry stones, waistcoat buttons, daisy petals, or the seeds of the Timothy grass.
--from the Oxford Dictionary of Nursery Rhymes.


Di masa aku masih menggunakan program Wordstar untuk mengerjakan tugas kuliah, aku masih jarang membeli novel berbahasa Inggris. Biasanya aku meminjamnya dari Perpustakaan ITB, dan karena koleksi novelnya sangat terbatas, paling-paling yang kupinjam novel hardcover Alistair MacLean. Tapi kadang-kadang kalau main ke Pasar Palasari atau Pasar Suci, aku menemukan dan membeli novel impor bekas yang kutuduh "sepertinya menarik". Untuk kategori thriller dan spy, di masa itu aku membeli buku-buku Jack Higgins, Robert Ludlum, dan John Le Carre. Berbeda halnya novel-novel dua penulis pertama, I didn't care to read Le Carre's novels.

Bukannya aku belum pernah mencoba membaca salah satu novelnya, tapi rasanya belum juga sepuluh halaman aku sudah memutuskan untuk DNF. Gaya penulisan Le Carre membuatku malas membacanya. Lambat. Terlalu banyak narasi. Tidak ada aksi. Malas banget. Wassalam. Bye-bye.

Pada tahun 2011 muncullah versi film adaptasi dari salah satu novel Le Carre yang kumiliki:
Aku membeli DVD-nya, dengan harapan akan terpaksa membaca bukunya yang terlantar amat sangat lama sekali entah sejak kapan itu sebelum menonton filmnya. Tapi kenyataannya, karena tetap malas membaca novelnya, filmnya juga jadi ikut-ikutan terlantar. Sampai akhirnya kutonton juga pada libur panjang tahun ini.

And you know what? Ternyata gaya filmnya sama persis dengan novel Le Carre. Lambat. Terlalu banyak layer. Terlalu banyak flashback. Tidak ada aksi. Untuk memahami plot dan kronologi ceritanya, aku perlu menonton filmnya dengan konsentrasi penuh (tidak di-multitasking dengan membaca buku atau browsing internet seperti biasa). Dua kali pula. Entah kenapa aku cukup care untuk memahami film ini. Mungkin karena deretan casting-nya yang keren. Tapi lebih mungkin lagi karena kebanyakan waktu luang di hari libur.

Tapi karena kualitas filmnya itulah aku jadi tertarik untuk akhirnya membaca bukunya. Dan pada akhirnya memahami gaya penulisan John Le Carre.

Novel spy Le Carre bukan novel aksi seperti halnya novel Alistair MacLean, Jack Higgins, Robert Ludlum, atau Tom Clancy. Tidak ada aksi tembak-tembakan. Tidak ada aksi pukul-pukulan. Tidak ada aksi  kebut-kebutan. Tidak ada ketegangan yang memacu adrenalin. Kalaupun pada kenyataannya ada, tidak diceritakan dengan gamblang, paling-paling dari narasi diketahui kalau si A ditembak, ditangkap dan diinterogasi musuh, atau si C tahu-tahu ditemukan tewas dengan leher patah. Novel spy Le Carre adalah novel drama, dan karena itu lebih mendekati dunia spy yang sesungguhnya. Dan itu jelas karena John Le Carre sendiri aslinya memang mantan agen rahasia Inggris.

Pada intinya, novel ini berkisah tentang perburuan mata-mata musuh di dalam tubuh MI6 sendiri, atau di novel ini disebut dengan istilah Circus (Btw, review ini kulengkapi foto karakter dari filmnya, karena saat membaca novelnya karakter dari filmnya yang wara-wiri di benakku). Alkisah, pemimpin tertinggi Circus, yang hanya dikenal dengan nama Control (baru tahu kalau sketsa Control dari A Bit of Fry & Laurie ternyata dari sini) sudah lama
Control (John Hurt)
curiga bahwa ada mata-mata Soviet di Circus, dan kecurigaannya menyempit pada lima petinggi di sekitarnya yang masing-masing diberinya kode berdasarkan sajak anak-anak:
Tinker: Percy Alleline (Toby Jones)
Tailor: Bill Haydon (Colin Firth)
Soldier: Roy Bland (Ciaran Hinds)
Poor Man: Toby Esterhase (David Dencik)
Beggarman: George Smiley (Gary Oldman)
Berdasarkan info yang diperoleh Control, terdapat seorang Jenderal Cekoslowakia yang akan membelot ke Inggris. Dan jenderal ini memiliki informasi tentang identitas mata-mata di Circus itu. Maka Control mengutus agen lapangan Jim Prideaux ke Cekoslowakia (di film menjadi Hungaria) dengan misi utama memperoleh informasi super penting itu.
Jim Prideaux (Mark Strong)
Misi itu gagal total. Jim Prideaux ditembak dan ditangkap pihak musuh. Sebagai imbasnya, Control dipensiunkan, dan itu termasuk orang-orang yang tidak sejalan dengan rezim pemimpin baru Circus, Percy Alleline, termasuk tangan kanan Control, George Smiley.

Beberapa bulan setelah Smiley terpaksa pensiun, masalah mata-mata Soviet di tubuh Circus muncul kembali saat agen lapangan yang menghilang dan dianggap membelot, Ricki Tarr, menghubungi Oliver Lacon, pejabat pemerintah yang bertugas mengawasi Circus.
Ricki Tarr (Tom Hardy)
Tak lama setelah Control dan Smiley meninggalkan Circus, Tarr mengupayakan pembelotan agen Soviet bernama Irina, yang memiliki informasi krusial tentang agen ganda yang diandalkan oleh Circus, yang juga bisa memberikan petunjuk tentang agen ganda di tubuh Circus. Namun permohonannya untuk membantu pembelotan Irina yang disampaikannya ke Circus ternyata bocor, karena Irina langsung dicokok dan lenyap. Sadar dirinya dalam bahaya, Tarr pun menghilang. Namun ketika jejaknya di tempat persembunyian mulai tercium, ia terpaksa kembali ke Inggris untuk melindungi diri.

Tidak bisa mempercayai siapapun di Circus, Lacon menugaskan Smiley untuk menyelidikinya. Smiley menyanggupi, namun karena ia sudah berada di luar Circus, maka untuk penyelidikan dari dalam Circus ia meminta bantuan dari Peter Guillam, 
Peter Guillam (Benedict Cumberbatch)
Secara umum, novel ini lebih mirip cerita detektif. Smiley melakukan "wawancara", menggali informasi dari orang-orang yang terlibat, dimulai dari Ricki Tarr sampai Jim Prideaux. Peter Guillam mencari dan mempelajari arsip rahasia Circus, bahkan bila perlu mencuri dan membawanya keluar untuk dibaca dan dipelajari oleh Smiley. Namun novel ini tidak hanya bercerita tentang pekerjaan sebagai mata-mata. Secara tidak langsung, novel ini juga bercerita tentang pribadi masing-masing karakternya.

Namun, berbeda dengan cerita detektif, mungkin pengungkapan tentang siapa musuh di balik selimut bukanlah hal yang paling utama. Karena pada kenyataannya, masing-masing orang yang terlibat bisa jadi sudah lama mencurigai dan menduga siapa orangnya, namun karena tidak ingin mempercayai kemungkinan itu, berusaha melupakannya dan berharap hal itu tidak benar. Sama halnya dengan kita mungkin menduga atau merasakan bahwa kita memiliki penyakit tertentu, tapi tidak mau memeriksakan diri ke dokter dan berusaha melupakannya, karena khawatir diagnosa dokter akan membenarkan dugaan kita.

Bagaimanapun, sang mata-mata adalah sahabat, panutan, kekasih atau bahkan lawan, yang keberadaannya sangat penting bagi setiap orang.


View all my reviews

Thursday, May 30, 2013

Dream a Little Dream

Of Mice and MenOf Mice and Men by John Steinbeck
My rating: 5 of 5 stars


Setiap orang memiliki impian. George Milton bermimpi memiliki tanah sendiri. Lennie Small, raksasa lembut hati namun memiliki keterbelakangan mental, memiliki mimpi yang lebih sederhana. Ia bermimpi dapat tetap hidup bersama George, dan diperkenankan untuk memelihara (dan membelai) kelinci di peternakan mereka (Lennie memang fetish semua hal yang terlihat dan terasa lembut, namun ia tidak dapat mengukur kekuatannya sendiri, dan kerap tak sengaja membunuh tikus peliharaannya meskipun ia hanya bermaksud membelainya). Untuk mewujudkan mimpi mereka, George dan Lennie berpindah-pindah kerja dari ladang yang satu ke ladang yang lain. Seringkali mereka terpaksa pindah kerja karena Lennie selalu (tak sengaja) menimbulkan masalah.

Kalau mengikuti akal sehat, George tentu sudah lama meninggalkan Lennie. Bagaimanapun, Lennie memang beban yang merepotkan. Tapi meskipun George seringkali tidak menyembunyikan kejengkelan dan ketidaksabarannya menghadapi kelambanan dan kedunguan Lennie, ia tetap merasa bertanggung jawab dan selalu melindungi Lennie. Rasa tanggung jawab itu mungkin berawal dari rasa bersalah, karena dulu ia suka mempermainkan si dungu Lennie, bahkan nyaris membunuhnya, karena Lennie selalu mematuhi perintahnya, termasuk terjun ke sungai meskipun tak bisa berenang.

Di tempat kerja yang baru, George berusaha menjauhkan Lennie dari masalah, bahkan ekstrimnya kalau bisa Lennie tidak buka mulut sedikitpun. Tapi rupanya tidak mudah, karena bahaya bisa mengancam kapan saja. Putra pemilik ranch, Curley, adalah salah satunya. Bertubuh kecil tapi jago tinju, ia merasa terintimidasi oleh orang yang bertubuh lebih besar darinya, dan kalau diberi kesempatan sedikit saja akan dengan senang hati menghajar mereka, dan tentu saja ia langsung mengincar si raksasa Lennie. Belum lagi istri Curley yang suka main mata dengan para pekerja ranch, dan membuat Curley jadi paranoid dan cemburuan.

Masalah demi masalah pun terjadi. Saat Curley menyerang Lennie, waktu membela diri tanpa sengaja Lennie menghancurkan tinju Curley. Meskipun masalah itu dapat diredam karena Curley sendiri yang mencari gara-gara lebih dulu, George harus menghadapi masalah yang lebih dahsyat ketika Lennie tanpa sengaja membunuh istri Curley. George tahu ia tidak bisa melindungi sahabatnya lagi, namun cara yang dipilihnya agar Lennie tidak menderita benar-benar menyesakkan hati.

Of Mice and Men (1937) adalah salah satu karya terkenal dari John Steinbeck, yang memenangkan Pulitzer Prize untuk novel The Grapes of Wrath (1939). Novela yang bersetting di masa Great Depression ini menggambarkan kondisi ekonomi dan sosial pada saat itu, terutama kehidupan masyarakat kelas bawah yang untuk memperoleh pekerjaan saja sulit, apalagi memiliki rumah dan tanah beberapa hektar, disertai pertanian dan peternakan kecil, sebagaimana mimpi para tokoh utama di buku ini. Tapi bagiku, tema utama yang diangkat dalam novela ini adalah persahabatan antara George dan Lennie. Memperhatikan review beberapa teman Goodreads, setiap pembaca memiliki persepsi yang berbeda-beda mengenai ending novela ini. Mungkin ada yang berpendapat bahwa pada akhirnya George mengkhianati Lennie, atau akhirnya kesabaran George terhadap kedunguan Lennie ada batasnya. Namun kesan yang kutangkap di akhir novela ini sangat berbeda. Keputusan berat yang diambil George di akhir novel merupakan perwujudan betapa George sangat menyayangi Lennie.

Kisah George dan Lennie ini sudah tiga kali diangkat menjadi film, pada tahun 1939, 1982 dan 1992. Yang terakhir dibintangi oleh Gary Sinise sebagai George dan John Malkovich sebagai Lennie:


Apakah peran George yang membuat Gary Sinise mendapat peran serupa tapi tak sama sebagai Letnan Dan di film Forrest Gump?


Catatan tambahan:

Sebenarnya, aku tak sengaja memilih novela John Steinbeck yang satu ini sebagai bahan posting bareng BBI Bulan Mei 2013 untuk kategori klasik kontemporer. Secara kebetulan, aku menemukan buku ini di lemari buku Bang Helvry dan tertarik untuk memaksa pinjam karena penerjemahnya Pramoedya Ananta Toer:

Tapi setelah mencoba membacanya, aku akhirnya malah memilih untuk membaca ebooknya saja, karena ternyata terjemahan PAT tidak cocok untuk seleraku. Dan kalau ditanya mengapa, mungkin ada beberapa alasan yang membuatku malas membaca buku terjemahannya.

Pertama, mungkin karena diterjemahkan pada tahun 1950, gaya bahasanya jadul klasik banget. PAT juga banyak menggunakan kosa kata haram jadah dan jahanam yang rasanya tidak pas dengan konteks kalimatnya. Misalnya kalimat "Ya, Rasul. Betul-betul haram jadah kau ini!" dan "Jahanam apa kubilang." setelah ditengok versi aslinya rupanya terjemahan dari "Jesus Christ. You're a crazy bastard!" dan "The hell with what I says". Selain itu banyak juga penerjemahan yang terasa mengganggu, seperti ketchup diterjemahkan jadi kecap, alih-alih saus tomat, atau cousin diterjemahkan jadi kemenakan, bukannya sepupu. Lalu, ternyata ada banyak idiom yang diterjemahkan secara harfiah sehingga menimbulkan pergeseran makna. Beberapa contoh yang lucu misalnya "show off" diterjemahkan menjadi "membuat pertunjukan" atau kalimat "You get a kick outa that, dont you?" diterjemahkan jadi "Kutendang kau nanti, mengerti?" Duh, jauh banget! Mungkin ada yang bilang namanya juga terjemahan bebas, tapi maaf, it's not my cup of tea.

Awalnya sih seru juga membaca buku terjemahan sambil baca versi aslinya, lumayan jadi hiburan tiap kali menemukan terjemahan yang aneh dan lucu. Tapi lama-lama jadi capek juga sih, dan akhirnya aku hanya membaca ebooknya saja.

Tapi aku jadi bertanya-tanya apakah waktu tahun 1950 dulu ada editor dari penerbit Pembangunan Djakarta yang mengoreksi terjemahan PAT, atau terjemahannya diterbitkan apa adanya? Lalu, untuk edisi revisi terbitan Lentera Dipantara tahun 2003 ini, kira-kira apa saja yang direvisi? Apakah hanya mengubah ejaan lama menjadi EYD? Atau mungkin karena ini karya terjemahan sastrawan besar Indonesia, sehingga terlalu sakral dan klasik untuk diedit, akhirnya dibiarkan apa adanya saja? Tapi memang sih, kalau sampai diedit besar-besaran sama saja artinya dengan diterjemahkan ulang, sehingga jatuhnya malah tidak komersial karena tidak bisa lagi menjual nama PAT sebagai penerjemah.

View all my reviews

Saturday, August 4, 2012

It Only Looks Like The Good Life

Less Than ZeroLess Than Zero by Bret Easton Ellis
My rating: 3 of 5 stars

Begitulah tagline versi filmnya yang rilis tahun 1987, dengan tokoh utama dibintangi oleh Andrew McCarthy, Jamie Gertz, dan Robert Downey Jr. Katanya sih, Brad Pitt juga muncul sebagai figuran, tapi jelas waktu aku menonton DVD-nya, aku terlalu depresi untuk bisa mengenali Brad Pitt yang masih culun di antara sekian banyak figuran yang ada.



Depresi? Ya. Aku menonton film ini karena ingin melihat akting RDJ di awal karirnya. Tapi tema drug user/drug addict yang hidupnya hancur tak terkendali memang kurang nyaman bagiku, meskipun diperankan dengan sangat bagus dan meyakinkan oleh RDJ. Memperhatikan sejarah hidupnya, kemungkinan besar RDJ sangat menjiwai peran di film ini karena tidak ada bedanya dengan kehidupan pribadinya di dunia nyata. Bagaimana lagi, kalau sudah memakai mariyuana di usia 6 tahun, dengan perkenan ayahnya yang juga drug addict? Untunglah RDJ akhirnya berhasil menata hidupnya setelah rehabilitasi, sehingga kita bisa menikmati akting totalnya di beberapa film funtastic beberapa tahun belakangan ini.

Meski sudah tahu tema filmnya yang kurang sreg buatku, aku tetap membaca buku ini karena satu alasan. Bukan, bukan karena buku ini salah satu dari 1001 Books You Must Read Before You Die, tapi simply karena aku punya buku Bret Easton Ellis berjudul Imperial Bedroom yang kubeli waktu obralan Periplus Juni kemarin, dengan label harga cuma 15 ribu sebelum kena diskon lagi (boasting.com). Ternyata buku itu sekuel dari Less Than Zero dengan setting belasan tahun kemudian, jadi sebelum bisa kubaca terpaksa harus baca prekuelnya dulu deh. Untung sudah punya ebook-nya.

Lantas, bagaimana kesesuaian antara film dan bukunya?

Jawabannya jelas: beda. Versi filmnya boleh dibilang adaptasi bebas dari novelnya, yang merupakan novel perdana Ellis. Saking bebas adaptasinya, Ellis sendiri sampai menolak menonton filmnya, dan menyatakan tak ada hubungan antara film dan bukunya, kecuali judul dan nama-nama karakternya.

Dalam versi buku, tokoh "aku" alias Clay yang kuliah di Camden College, New Hampshire, pulang kampung ke Los Angeles untuk liburan natal. Ia reuni dengan teman-teman SMA-nya, termasuk mantan pacarnya, Blair, dan langsung terlibat dalam pesta-pesta kalangan atas yang liar. Ia menjadi saksi (atau pelaku juga?) dekadensi moral di pesta-pesta yang tak lepas dari seks bebas dan narkoba. Dalam versi buku, tokoh Julian yang diperankan RDJ hanya muncul sebentar di bagian akhir buku, berbeda dengan versi film di mana Julian muncul dari awal sampai akhir. Tapi meskipun cuma sebentar, cukup untuk Clay dan kita untuk mengetahui seberapa parahnya Julian sebagai pecandu, sehingga untuk membayar utang narkobanya yang menggunung Julian terjebak dalam prostitusi, yang spesial melayani eksekutif laki-laki paro baya. Clay bahkan ikut menyaksikan adegan Julian melayani pelanggan di sebuah kamar hotel (ugh!). Selain itu, Clay juga menjadi saksi bagaimana mantan teman-teman SMA-nya yang lain bergiliran memerkosa gadis 12 tahun yang disekap dalam keadaan terpengaruh narkoba di apartemen salah satu temannya (double ugh!). Yang menyebalkan dari dua kejadian itu, well, Clay tidak berbuat apa-apa, dan hanya menyingkir. Yang penting tidak terlibat. Huh. Dalam kehidupan nyata, memang jarang yang namanya pahlawan kesiangan.

Versi film berfokus pada kehancuran hidup Julian, dan usaha Clay untuk membebaskan sahabatnya itu dari jeratan narkoba dan prostitusi. Film berakhir dengan kematian Julian.

Membaca cover belakang Imperial Bedroom, jelas Julian masih hidup belasan tahun kemudian, dan sudah recover dari kecanduan narkobanya. Mengingat bukunya terbit tahun 2010, apakah Ellis sengaja menyesuaikan kehidupan Julian dengan aktor yang memerankannya?

View all my reviews

Thursday, February 23, 2012

It Had To Be You

Mr. Darcy's DiaryMr. Darcy's Diary by Amanda Grange
My rating: 4 of 5 stars

Bagi penggemar  novel Pride & Prejudice, alur cerita novel ini bukan hal yang baru, dan endingnya juga bukan spoiler, berakhir dengan adegan yang umumnya ditunggu-tunggu para pembaca novel roman :

Mbok ya jangan tegang gitu Mas Darcy...

Novel Mr. Darcy's Diary bukanlah cerita baru, boleh dibilang mirror-story dari masterpiece Jane Austen tersebut. Bedanya, novel ini bertutur dari sudut pandang Fitzwilliam Darcy. Berhubung yang bersangkutan pelit bicara, jadi penasaran apa sih yang terlintas di benaknya sepanjang novel P&P. Kapan dia mulai jatuh cinta pada Elizabeth Bennet, setelah di pertemuan pertama dengan entengnya bilang "She's tolerable, but not handsome enough to tempt me" yang membuat Lizzie ilfil tralala kepadanya sejak awal. Kalau menonton miniseri BBC 1995-nya mungkin bisa tertebak mulai kapan Mr Darcy mulai terpesona pada Lizzie Bennet, yang tampak pada tatapan matanya yang mengguncang iman itu setiap kali melihat Lizzie. Tapi tetap saja, apa sih yang dia pikirkan? Para pembaca P&P bebas menerka-nerka sendiri, tapi Amanda Grange menuangkannya dalam bentuk novel.

Aku sendiri bertanya-tanya, apa yang dirasakan Mr Darcy setiap kali memandang Lizzie Bennet? Apakah dia fall in lust seperti dalam interview Colin Firth di novel Edge of Reasons-nya Bridget Jones?


CF: Because I think it was very important to Andrew Davies that Mr Darcy had the most enormous sex drive.
BJ: (Gasps)
CF: And, um ...
BJ: I think that came across really, really well with the acting. I really think it did.
CF: Thank you. At one point Andrew even wrote as a stage direction: "Imagine that Darcy has an erection."
BJ: Which bit was that?
CF: It's when Elizabeth's been walking across the country and bumps into him in the grounds in the early stages.
BJ: The bit where she's all muddy?
CF: And dishevelled.
BJ: And sweaty?
CF: Exactly.
BJ: Was that a difficult bit to act?
CF: You mean the erection?
BJ: (Awed whisper) Yes.
CF: Um, well. Andrew also wrote that I don't propose that we should focus on it, and therefore no acting required in that department at least.

Ups, melenceng deh... XD.
Tapi tidak, tidak... novel ini masih sesopan P&P, tidak ada deskripsi mengenai "penderitaan fisik" seperti yang ada di novel-novel historical romance modern di mana para heronya hampir tak kuasa menahan nafsu setiap kali memandang love interest-nya. Yang ada hanyalah pergulatan batin antara tertarik setengah mati pada Lizzie, tapi ilfil setengah hidup pada orang-orang di sekeliling gadis itu: Mrs Bennett yang memburu calon mantu yang berharta (wajar sih...), adik-adik Lizzie yang vulgar dan liar, etc etc...

Mengikuti cerita dari sudut pandang Mr Darcy, aku sungguh sangat memahami sikap yang diambilnya di Hertfordshire. Memasuki lingkungan baru, di mana masyarakatnya "norak" dan "vulgar" (sebut saja kampungan), di mana para bujangan eligible dipandang dari penghasilannya dan diburu-buru sebagai calon mantu secara terbuka, bagaimana tidak ilfil dan bete? Belum bahan percakapannya yang tidak bermutu. Pantas saja kalau Mr Darcy lebih memilih banyak diam dan hanya bergaul dengan orang-orang yang sudah dikenalnya dengan baik.

Terus terang, mungkin di kampungku di Cirebon aku juga bisa jadi dianggap sombong seperti Mr Darcy, karena jarang gaul dan ngobrol dengan tetangga. Bukan apa-apa, habis kalau mendengarkan obrolan mereka, yang dibicarakan tidak mutu (menurutku), sebagian besar malah gosip, baik gosip lokal maupun gosip interlokal (artis selebriti whatever). Lebih baik nggak usah ngobrol sekalian deh.

Jadi, sekagum apapun Mr Darcy terhadap Lizzie Bennet, satu-satunya gadis yang tidak terintimidasi olehnya dan tidak peduli pada kekayaannya (yang disadarinya karena gadis itu tersinggung oleh komentarnya di pertemuan pertama mereka), ia sama sekali tak mau memikirkan kemungkinan untuk menjadikan Lizzie sebagai Mrs Darcy. Tapi meskipun demikian, ia cemas waktu mendengar kabar tentang lamaran Mr Collins kepada Lizzie (lalu lega setelah tahu Lizzie menolaknya) dan cemburu kalau melihat dan mendengar Lizzie dekat dengan laki-laki lain, terutama George Wickham!

Mr Darcy sendiri, seperti halnya para makhluk Mars lainnya, kurang sensitif terhadap perasaan perempuan. Ia tidak sadar kalau Caroline Bingley berminat menjadi the next Mrs Darcy, meski tanda-tandanya sudah tampak dari awal. Ia baru ngeh waktu Caroline mulai sengit mengejek dan menghina Lizzie. Ia juga begitu pede dan yakin lamaran orang yang berasal dari kalangan terhormat dan setaraf dirinya bakal langsung diterima oleh Lizzie yang berasal dari "kalangan rendah".

Pengen rasanya nyekek Mr Darcy ini, baik saat baca P&P, nonton miniseri BBC, maupun baca novel ini, waktu dia menambahi pernyataan cinta ujug-ujugnya "You must allow me to tell you how ardently I admire and love you" dengan pidato ketidakrelaannya, karena Lizzie berasal dari golongan bawah, karena ia tidak suka pada ibu, ayah, dan adik-adik Lizzie, bahwa logika dan akal sehat membuatnya berusaha melupakan Lizzie tapi tak bisa, dan akhirnya ia terpaksa menyerah dan merendahkan dirinya sendiri dan keluarganya dengan meminta Lizzie menjadi istrinya.


Ini mau ngelamar atau ngehina sih, Mas! Yakin jawabannya iya lagi!
Sama aja kayak lamaran Mr Collins ini mah... *tendang!*

Tapi kasihan juga sih waktu dia merasa syok karena ditolak, apalagi dasar penolakannya setengahnya karena fitnah Wickham, bajingan yang pernah nyaris melarikan adik perempuannya. Sampai sini malah jadi ingat jawaban Mark Darcy waktu difitnah membawa lari tunangan Daniel Cleaver dan mematahkan hatinya, padahal yang terjadi sebaliknya. "No. My wife. My heart." Hiks...

Eh, maaf ngelantur lagi. Sampai mana tadi? Oh, ya... setelah itu kita akan dibawa simpati habis-habisan pada si kaku ini, dengan usahanya memperbaiki diri dalam bersikap lebih gentleman, bernegosiasi dengan musuhnya demi menenangkan pikiran Lizzie, ikut harap-harap cemas menunggu perubahan hati Lizzie, sampai akhirnya ikut berbahagia mendengar jawaban Lizzie, "My feelings are now different... that I am humbled to think that you can still love me... now I receive your assurances with gratitude and pleasure".

Huzza! Peduli amat keluarga Lizzie macam apa, dia kan bukan nikah dengan keluarganya. Seperti kata lagunya Frank Sinatra:

For nobody else give me a thrill
With all your faults, I love you still
It had to be you, wonderful you
It had to be you....
Senangnya, melihat Mas Darcy akhirnya bisa tersenyum lepas seperti manusia biasa. Congratulation!



Um, buat yang penasaran kapan Mr. Darcy mulai jatuh cinta pada Lizzie, Lizzie juga menanyakan hal yang sama. Dan begini jawabannya:

I cannot fix on the hour, or the spot, or the look, or the words, which laid the foundation. It is too long ago. I was in the middle before I knew I had begun.
Co cweet...

Catatan: Aku menulis review ini cukup panjang sebagai permohonan maaf atas review P&P, yang terus terang saja, hampir tidak ada reviewnya, karena terlalu berfokus pada oh-look-mr.darcy-is-so-cute-and-adorable-and-I-fall-in-lustlove-with-him.




View all my reviews