Saturday, February 28, 2015

The King's Speech

Judul : The King's Speech: How One Man Saved The British Monarchy

Penulis: Mark Logue & Peter Conradi

Pertama kali terbit: 2010

Pertama kali dibaca tanggal : 21 April 2011

Dibaca ulang tanggal : 26 Februari 2015

Review:

"The Quack who saved a King", begitukah julukan di sebuah surat kabar Inggris tahun 1930-an bagi speech therapist Lionel Logue. Sebagai rakyat biasa, bukan warga negara Inggris pula, melainkan Australia, ia sangat berjasa bagi Keluarga Kerajaan Inggris di paruh awal abad ke-20.

Berjasa? Dalam hal apa?

Logue menolong Pangeran Albert Frederick Arthur George, Duke of York, yang terkenal gagap dan susah bicara (di depan publik pada umumnya), menyelamatkan reputasi dan harga dirinya, yang menjadi lebih penting ketika sang pangeran terpaksa harus naik takhta dan menjadi King George VI, setelah kakak sang pangeran, King Edward VIII melepaskan gelar dan jabatannya demi cinta.

Buku ini merupakan biografi singkat, dari sisi Lionel Logue maupun King George VI, yang menceritakan hubungan erat antara speech therapist dan pasiennya, dengan sumber antara lain surat-surat dan dokumen pribadi keluarga Logue.

Awalnya, Mark Logue, cucu dari Lionel Logue, didatangi pihak produser yang tengah mempersiapkan pembuatan film The King's Speech (yang disutradarai oleh Tom Hooper dan dibintangi oleh, tentu saja, Colin Firth), dan membutuhkan bahan-bahan otentik yang bisa mendukung cerita. Setelah mencari-cari di gudang pribadi, maupun gudang saudara-saudara yang lain, terkumpullah dokumen yang cukup lengkap, yang juga dipakai para aktor untuk lebih mendalami peran mereka.

Karena bentuknya berupa biografi, bagi yang berharap mendapatkan isinya berupa novelisasi versi filmnya, jelas akan kecewa. Tapi buku ini penting sebagai pelengkap versi film. Mengapa? Kita akan lebih mengetahui masa lalu Lionel Logue dan King George VI. Bagaimana Logue bisa menjadi speech therapist? Seperti apa masa kanak-kanak King George VI (status pangeran malah membuatnya jadi korban bully di sekolah)? Dan tentu saja, bagaimana mereka akhirnya bertemu dan kemudian tetap bersahabat sampai akhir hayat.

Setelah membaca fakta-fakta sejarah dalam buku ini, tentu saja kita akan menyadari bahwa versi film merupakan dramatisasi, dengan timeline yang dipersingkat, dan sudah pasti banyak adegan atau dialog yang mungkin direka-reka sendiri, misalnya, metode yang digunakan Logue, karena tidak ada catatan sama sekali.

Dari latihan vokal...

Latihan diafragma...
Sampai latihan mengumpat...
Ada untungnya saudara perempuan Colin Firth juga seorang speech therapist, sehingga meskipun belum tentu terapi aneh-aneh yang digunakan dalam versi film sama dengan yang sebenarnya, kemungkinan besar memang metodenya memang efektif.

Dan tentu saja, buku ini dilengkapi foto-foto. Jadi jangan kaget kalau ternyata tampang para tokoh utamanya berbeda jauh dengan aktor-aktor yang memerankannya. Yah... namanya juga film, yang dibutuhkan adalah kemampuan akting yang membuat penonton terpesona sehingga segala perbedaan fisik bisa dimaafkan dan dilupakan :)

... wajar kalau sempat ada yang memprotes waktu casting CF sebagai King George VI diumumkan
Minimal sisiran rambutnya mirip sih...
Yah... sudahlah....
Buku ini kubaca dan kureview dalam rangka mengikuti event BBI bulan Februari ini:

Tema : Profesi
In the past, all a King had to do was look respectable in uniform and not fall off his horse. Now we must invade people's homes and ingratiate ourselves with them. This family's been reduced to those lowest, basest of all creatures. We've become actors!

Friday, February 27, 2015

Shakespeare in Love: A Screenplay

Judul: Shakespeare In Love: A Screenplay

Penulis: Marc Norman & Tom Stoppard

Sinopsis:

The screenplay to the critically acclaimed film which New York Newsday called one of the funniest, most enchanting, most romantic, and best written tales ever spun from the vast legend of Shakespeare. Marc Norman and renowned dramatist, Tom Stoppard have created the best screenplay of the year according to the Golden Globes and the New York Film Critics Circle.

Review, or how to see the villain from the other perspective:

Umm, well... setelah di film Oscar sebelumnya, The English Patient, istri Colin Firth diselingkuhi oleh Ralph Fiennes, kali ini di film Oscar yang satu ini, calon istri Colin Firth diserobot oleh Joseph Fiennes. Dua kosong buat Fiennes bersaudara :P

Tapi berbeda dengan karakter Geoffrey Clifton di TEP yang lebih sebagai pelengkap penderita, kali ini karakter yang diperankan Colin Firth di SIL ini jelas-jelas ditahbiskan sebagai pihak antagonis, seperti dituliskan oleh Marc Norman dan Tom Stoppard dalam naskah mereka ketika memperkenalkan kemunculannya pertama kali bersamaan dengan karakter Viola-nya Gwuneth Paltrow:


Now we meet VIOLA. VIOLA DE LESSEPS is twenty five and beautiful, and she is laughing with great natural enjoyment. She sits slightly apart from her small family group--her parents, SIR ROBERT DE LESSEPS and LADY MARGARET DE LESSEPS. Part of the group but seated behind as befits her lower status is VIOLA'S NURSE.
Elsewhere is LORD WESSEX, our villain. Wessex is in his forties, dark cruel, self-important. He has notices VIOLA. The nurse notices him.
Karakter Lord Wessex adalah tipikal bangsawan berdompet cekak yang butuh pengantin dari keluarga kaya. Ia menginginkan Viola sebagai istri murni karena faktor uang, bukan personal. 
Wessex: Is she fertile?
Sir Robert: She will breed. If she do not, send her back.
Wessex: Is she obedient?
Sir Robert: She is as stubborn as 'any mule in Christendom--but if you are the man to ride her, there are rubies in the saddlebag.
Wessex: I like her.
Ketimbang merasa simpati seperti yang bisa kita rasakan pada karakter Geoffrey Clifton di SEP, kita murni diajak untuk membenci Lord of Wessex. Apalagi pada akhirnya ia berhasil memboyong Viola ke Amerika, tak peduli gadis itu masih mencintai Shakespeare atau tidak. 

Tapi bagi Colin Firth, ia selalu menemukan cara untuk dapat bersimpati pada karakter ini, seperti yang dilakukannya pada semua karakter yang diperankannya. Baginya, keinginan Lord of Wessex untuk melakukan perjalanan ke dunia baru, menunjukkan keberaniannya untuk mencoba hal-hal yang baru, dan berpetualang.

"His crime is that he is unintelligent and has no sense of humour, but for his times, at least he hadn't used his power to kill anyone, unlike many men in his position, and as fot going off to the Carolinas, that was not exactly a quick trip on Concorde in those days."

Dan, karakter antagonis atau bukan, gelar Lord of Wessex dipilih oleh Prince Edward ketika menikahi tunangannya Sophie Rhys-Jones, yang konon terinspirasi setelah menonton SIL. 

By the way, Colin Firth juga pernah memerankan William Shakespeare, kok, di film TV Blackadder: Goes and Forth.



Meskipun Shakespeare-nya di sini jadi korban pukulan dan tendangan Rowan Atkinson, gara-gara di masa depan ia membuat banyak murid sekolah yang menderita karena harus mempelajari karya-karyanya, dan banyak aktor yang terpaksa bercelana ketat untuk memerankan karakter-karakter ciptaannya :P



The Importance of Being Earnest

Belakangan ini, aku membaca buku-buku yang terkait dengan film-filmnya Colin Firth. Buku The Importance of Being Earnest ini kubaca ulang dalam rangka membuat review Colin Firth Month. And you know what? Versi film tahun 2002 yang dibintangi oleh Colin Firth dan Rupert Everett ini merupakan salah satu film yang sangat setia pada sumber aslinya.

Naskah drama panggung tiga babak karya Oscar Wilde yang diadaptasi menjadi film ini penuh dengan dialog yang kocak, cerdas dan witty. Mungkin karena itulah sayang rasanya merusak karya yang sempurna. Modifikasinya cukup dengan mengubah setting yang terbatas menjadi lebih banyak dan... ehm, sedikit alterasi di akhir kisah.

The Name Is The Game

Begitulah tagline versi filmnya. Dan sejarahnya diawali dengan taktik John Worthing (Jack), pemuda kaya raya yang menggunakan nama Ernest Worthing kalau sedang bertualang ke London, sementara di rumahnya di pedesaan ia mengaku punya adik bermasalah di kota, sehingga punya alasan untuk ke kota untuk mengurus si adik.

Di London, ia berteman dengan Algernon Moncrieff (Algy), sepupu dari gadis yang diincarnya, Gwendolen. Algy mulai curiga kalau Ernest bukan nama asli Jack, karena ia menemukan kotak rokok Jack bertuliskan "Uncle Jack" yang berupa hadiah dari gadis bernama Cecily. Dengan sedikit ancaman, akhirnya Jack pun mengakui nama aslinya, tapi tetap merahasiakan alamat rumahnya. Seperti halnya Jack, dalam rangka menghindari hutang dan kerabatnya (terutama ibu Gwendolen, Lady Bracknell), Algy selalu berpura-pura mengunjungi temannya yang sakit-sakitan Bunbury di pedesaan. Ia butuh alamat Jack sebagai alternatif kaburnya, dan agak penasaran dengan Cecily, anak perwalian Jack.

Algy (Everett) dan Jack (Firth)
Sebenarnya, cinta Jack tidak bertepuk sebelah tangan. Sayangnya, Gwendolen sangat menyukai nama Ernest, sehingga Jack susah berterus terang. Belum lagi, Lady Bracknell tidak sudi anak gadisnya dinikahi oleh Jack, apalagi setelah diwawancara (diinterogasi tepatnya), Jack mengaku tidak tahu siapa orang tuanya, karena ia dibesarkan oleh seseorang yang menemukannya waktu masih bayi dalam sebuah tas di stasiun kereta api.
You can hardly imagine that I and Lord Bracknell would dream of allowing our only daughter—a girl brought up with the utmost care—to marry into a cloak-room, and form an alliance with a parcel? 
Meskipun Jack nyaris patah semangat dengan penolakan Lady Bracknell, 
You don’t think there is any chance of Gwendolen becoming like her mother in about a hundred and fifty years, do you, Algy?
demi Gwendolen ia tetap berusaha mencari tahu siapa orangtuanya supaya bisa menikahi gadis itu. Tapi usaha kerasnya di perpustakaan mencari iklan puluhan tahun lalu tentang orang yang kehilangan bayi dalam tas mengalami kegagalan.


Cerita berkembang ketika Algy yang menguping pembicaraan Jack dan Gwendolen mendapatkan alamat Jack di pedesaan, dan langsung pergi ke sana dengan mengaku sebagai Ernest Worthing, adik Jack. Di sana ia bertemu dengan Cecily, dan mereka berdua saling jatuh cinta. Tentu saja Jack, yang merasa privasinya dilanggar (dan anak perwaliannya diganggu), jadi marah. Keadaan makin kacau ketika Gwendolen juga datang, dan pada akhirnya kedua gadis itu merasa tertipu karena kekasih mereka telah berbohong dengan mengaku bernama Ernest.

Adegan paling epik dari Jack dan Algy waktu ditinggal pergi Gwendolen dan Cecily adalah adegan pertengkaran mereka saat... berebut muffin.


Untunglah dengan sedikit nyanyian dan rayuan, Jack dan Algy bisa meluluhkan kembali hati Gwendolen dan Cecily.

Lady, come down...
Baru selesai satu masalah, masih timbul masalah lain: Lady Bracknell juga akhirnya datang menjemput anak gadisnya yang kabur ke rumah Jack!

Bagaimana akhir kisah komedi romantis ini? Well, kalau kau tidak keberatan dengan jalan cerita yang penuh kebetulan...

Tanpa mengecilkan peran Frances O'Connor dan Reese Witherspoon sebagai Gwendolen dan Cecily, drama ini merupakan panggung Colin Firth, Rupert Everett, dan Judi Dench (Lady Bracknell). Chemistry antara Firth dan Everett solid, meskipun konon hubungan mereka tidak begitu baik sejak syuting film Another Country belasan tahun sebelumnya.

Menariknya pula, di sini, karakter Jack Worthing bukan tipe English gentleman yang biasa diperankan Colin Firth. Meski berusaha tetap noble dalam hal-hal prinsip, ia juga suka menghalalkan segala cara. Dari menyaru sebagai Ernest (yang bereputasi tukang kemplang tagihan makan malam di Savoy), mengancam Lady Bracknell demi memuluskan niatnya menikahi Gwendolen, sampai... mengaku bahwa pada akhirnya, namanya ternyata benar-benar Ernest!
I've now realised for the first time in my life the vital Importance of Being Earnest. 

Misery

Judul: Misery

Penulis: Stephen King

Penerbit: Signet Novel

ISBN: 978-0-451-16952-5

Tebal: 338 halaman

Beli di: Periplus.com

Harga: Rp. 106.000,-

Tanggal pesan: 01 Februari 2015

Tanggal diterima: 23 Februari 2015

Dibaca dalam rangka:
Tema: Profesi

Sinopsis:
Paul Sheldon. He's a bestselling novelist who has finally met his biggest fan. Her name is Annie Wilkes and she is more than a rabid reader—she is Paul's nurse, tending his shattered body after an automobile accident. But she is also his captor, keeping him prisoner in her isolated house. Now Annie wants Paul to write his greatest work—just for her. She has a lot of ways to spur him on. One is a needle. Another is an ax. And if they don't work, she can get really nasty...

Review:

Mengapa aku memilih novel ini?

1. Karena profesi tokoh utamanya, Paul Sheldon, sangat jelas: Novelis.

2. Karena pembaca disuguhi writing process yang komprehensif dari Paul Sheldon, meskipun ia berkarya dalam kondisi di bawah tekanan, di bawah ancaman. Di mana deadline bisa berarti sangat sangat sangat harfiah...

3. Karena tokoh antagonisnya, Annie Wilkes, sangat memorable.
Bayangkan kondisi psikologisnya, andai kau menjadi Annie Wilkes, number one fan dari Paul Sheldon, terutama serial novel dengan tokoh utama wanita bernama Misery. Lalu, tiba-tiba saja kau mendapati di novel Misery keluaran terakhir, tokoh pujaanmu dimatikan oleh si novelis. Apa yang akan kaulakukan?
a. Nangis bombay, terus move on.
b. Memaki-maki Paul Sheldon lewat review buku di media sosial,
c. Menulis surat terbuka/tertutup yang panjangnya audzubillah, yang pada intinya memohon dengan amat sangat agar Paul Sheldon menghidupkan kembali Misery.
d. Bersikap proaktif dan penuh inisiatif, dengan menyandera Paul Sheldon yang tengah cedera berat karena kecelakaan mobil di tempat tidurmu, dan memberikan stimulus berupa ayunan PALU agar ia mau menulis novel yang sesuai dengan keinginanmu, khusus untukmu...

4. Karena novel ini adalah page-turner yang akan membuatmu terjaga semalaman tanpa sanggup meletakkannya sebelum selesai dibaca...

5. Karena setelah selesai membacanya, kau akan merasakan seluruh misery yang ditanggung Paul Sheldon. Kurang apa lagi? Badan remuk redam karena kecelakaan, dicekoki obat bius siang malam, manuskrip karya baru yang susah payah dikerjakan selama dua tahun terpaksa dibakar di depan mata karena tidak sesuai dengan selera Annie Wilkes, dipaksa menulis novel baru tentang Misery yang bangkit dari kematian, dan oh ya... ayunan PALU Annie Wilkes saat dianggap bandel.

6. Ada novel dalam novel! Baca satu novel dapat dua novel! Baca novel Misery, sekalian baca novel Misery's Return.

7. Novel yang pertama kali terbit tahun 1987 ini telah dibuat filmnya yang rilis pada tahun 1990, dengan cast James Caan sebagai Paul Sheldon dan Kathy Bates sebagai Annie Wilkes.


Dan Kathy Bates memenangkan Academy Award dan Golden Globe tahun 1991 sebagai aktris terbaik. Segitu meyakinkan dan menakutkannya dia sebagai penggemar fanatik yang tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk mengarahkan novelis nakal yang berani-beraninya membunuh karakter kesayangan!

Tujuannya baik, kok...

Tapi kalau bandel...
Krakkk!!!

Ngilunya langsung terasa sampai ke tulang...

Oh, ya, ternyata untuk adegan monumental ini, ada yang iseng bikin versi legonya, lho...



8. Aku sangat merekomendasikan novel ini bagi mereka yang belum pernah membacanya. Selain dapat memacu adrenalin karena unsur horor/thriller-nya, juga dapat menambah insight tentang proses penulisan novel ala Stephen King Paul Sheldon.

The English Patient

Sinopsis:

With ravishing beauty and unsettling intelligence, Michael Ondaatje's Booker Prize-winning novel traces the intersection of four damaged lives in an Italian villa at the end of World War II. Hana, the exhausted nurse; the maimed thief, Caravaggio; the wary sapper, Kip: each is haunted by the riddle of the English patient, the nameless, burned man who lies in an upstairs room and whose memories of passion, betrayal, and rescue illuminate this book like flashes of heat lightning.

Review Gerundelan:

Iya, ini bukan review. Ini gerundelan.

Plis, deh, dulu sekali waktu aku pertama menonton film ini, aku nggak suka. Sinematografinya memang indah... tapi kisah cinta antara kedua tokoh utamanya, Count Almasy dan Katharine Clifton... meh. Itupun kalau affair mereka memang bisa digolongkan sebagai kisah cinta, bukan kisah nafsu belaka. Aku dulu tidak bisa merasa bahwa kisah mereka merupakan kisah cinta abad ini. Aku merasa bahwa masalah dan kesulitan yang mereka alami memang sengaja dicari sendiri. Dan akhir kisah mereka yang mengenaskan (dan yang katanya seharusnya bikin nangis kejer), memang sudah sewajarnya. Bermain air basah, bermain api hangus. 

Dulu sekali waktu aku pertama menonton film ini, aku merasa jauh lebih simpati pada Geoffrey Clifton, suami yang dikhianati. Padahal dulu aku belum ngeh (dan peduli) kalau yang memerankan si suami adalah Colin Firth.


Mungkin ada banyak alasan bagi Katherine Clifton untuk bermain api dengan laki-laki lain. Mungkin ia memang tidak pernah mencintai suaminya. Mungkin ia menikahi Geoffrey hanya karena selama ini laki-laki itu selalu berada di sampingnya, a shoulder to cry on, tempatnya kembali, apabila kisah cintanya berakhir dengan kegagalan. Tapi apakah setelah menikah pun, hanya itu peran Geoffrey baginya? Rasa bersalahnya membuatnya meninggalkan Almasy dan kembali pada suaminya, tapi cukupkah semua itu untuk menghapus sebuah pengkhianatan?

Adegan paling romantis bagiku bukan di kala Almasy dan Katherine bergelinjang di atas ranjang memadu hasrat membara. Adegan itu adalah saat Geoffrey Clifton duduk menunggu di taksi, menanti istrinya selesai berselingkuh.


Apakah saat itu hatinya langsung hancur berkeping-keping, atau rontok sepotong demi sepotong, sementara benaknya merajut keputusasaan yang berlanjut menjadi keputusan untuk mati bersama?

Versi novelnya agak berbeda dengan versi film. Dikisahkan bahwa Geoffrey dan Katherine saling mencintai dan masih dalam suasana bulan madu ketika pertama kali bertemu dengan Almasy. Apakah kemudian Katherine mendapati lelaki yang jauh lebih tua dan lebih matang tampak lebih menarik dari suaminya yang masih muda dan kekanakan?

Tapi di versi manapun, Geoffrey terlalu percaya pada Katherine, dan mungkin karena besarnya rasa cintanya sendiri, sampai tidak bisa melihat perubahan sikap istrinya. Meskipun ia ternyata bukan seorang anak muda Inggris biasa. Ia anggota intelijen Inggris, sehingga jauh sebelum ia tahu apa yang terjadi, perselingkuhan istrinya malah sudah diketahui lebih dulu oleh intelijen. Dan laki-laki dengan posisi sepertinya tewas, sudah jelas siapa yang dituduh membunuhnya.


“Planes supposedly ‘lost’ you, but you were being tracked very carefully. You were not the spies, we were the spies. Intelligence thought you had killed Geoffrey Clifton over the woman. They had found his grave in 1939, but there was no sign of his wife. You had become the enemy not when you sided with Germany but when you began your affair with Katharine Clifton.”

Thursday, February 26, 2015

The Picture of Dorian Gray

Sinopsis:
Enthralled by his own exquisite portrait, Dorian Gray exchanges his soul for eternal youth and beauty. Influenced by his friend Lord Henry Wotton, he is drawn into a corrupt double life, indulging his desires in secret while remaining a gentleman in the eyes of polite society. Only his portrait bears the traces of his decadence.

Review:
Bagaimana kalau kau memiliki lukisan yang bisa menampung semua kerusakan lahir dan batinmu? Akankah kau manfaatkan sebaik-baiknya, dalam hal ini tetap muda berwajah rupawan tanpa dosa meskipun berfoya-foya seumur hidupmu?

Kebetulan, Dorian Gray memiliki lukisan ajaib seperti itu, yang diwujudkan oleh seorang pelukis muda berbakat yang (meskipun hanya tersirat dalam novelnya) jatuh hati setengah mati kepadanya, Basil Hallwart.

Dan nasib membawanya bertemu dengan Lord Henry Wotton, yang tertarik pada keluguan dan kepolosan Dorian, dan lebih gawat lagi, tertarik untuk bereksperimen dengan jiwa labil Dorian. Sejauh mana kata-kata dan tindakannya bisa mengubah kertas putih menjadi abu-abu... atau malah hitam?

Banyak kutipan yang menarik dari Lord Henry Wotton yang hilarious. Sebagian motto-nya benar-benar menggoda iman...

"The only way to get rid of a temptation is to yield to it. Resist it, and your soul grows sick with longing for the things it has forbidden to itself, with desire for what its monstrous laws have made monstrous and unlawful. It has been said that the great events of the world take place in the brain. It is in the brain, and the brain only, that the great sins of the world take place also."

Well, kalau dipikir-pikir Lord Henry ada benarnya sih... Coba kalau kita tergoda buat beli buku yang bikin penasaran, terus berusaha menahan diri, pasti kepikiran terus kan? Hati dan pikiran kita pasti baru akan tenang kalau kita langsung melampiaskan nafsu... langsung membeli bukunya pada godaan pertama. Masalahnya, godaan yang dimaksud Lord Henry bukan godaan buat bookaholic sih :P

Atau omongan Lord Henry lainnya tentang buku:

"Those who find ugly meanings in beautiful things are corrupt without being charming. This is a fault. Those who find beautiful meanings in beautiful things are the cultivated. For these there is hope. They are the elect to whom beautiful things mean only Beauty. There is no such thing as a moral or an immoral book. Books are well written, or badly written. That is all."

Yang ini menurutku ada benarnya juga... Pertama kali aku baca buku historical romance Johanna Lindsey, yang berjudul Defy Not The Heart, aku masih cupu dan cuma tahu adegan hot di novel terjemahan Sidney Sheldon dan Jackie Collins (padahal pasti sudah kena babat sensor). Adegan olahranjangnya eksplisit dan wow gitu... tapi ceritanya juga bagus kok. Dan bukan berarti karena membaca buku kipas lantas pembacanya spontan get rid the temptation by yield it right away... :)) 

The Movie

Iya, seperti gambar cover buku yang kupilih, pada tahun 2009 dirilis versi film dengan Ben Barnes sebagai Dorian Gray, Ben Chaplin sebagai Basil Hallwart, dan tentu saja... Colin Firth sebagai Lord Henry Wotton.

Film ini jauh lebih gothic dari versi bukunya, dan... ehm, gaya hidup hedonistik dan dosa-dosa daging Dorian Gray digambarkan sangat eksplisit. Buat penggemar Ben Barnes, red alert, film ini penuh adegan hot bersama seabrek wanita dan... meskipun tidak ditampilkan secara frontal, bersama Ben Chaplin. Dan banyak jalan cerita yang diubah, bahkan termasuk endingnya.

Tapi sama seperti halnya di film Easy Virtue, aku merasa Ben Barnes kembali kebanting dalam hal akting oleh supporting cast-nya, Colin Firth sebagai Lord Henry Wotton. Pendapat ini bukan hanya karena bias kok. Sungguh. Colin Firth bisa begitu meyakinkan sebagai sin whisperer, dan melancarkan dialog-dialog mematikan Lord Henry dengan begitu meyakinkan. Meskipun... Lord Henry ini ternyata cuma omong doang, sedangkan Dorian benar-benar terjun bebas ke jurang maksiat.

"You will always be fond of me. I represent to you all the sins you never had the courage to commit."



Tuesday, February 24, 2015

Captivating Protagonist

Februari: Karakter Tokoh Utama
Karakter tokoh utama seperti apa yang kausukai?

Bagiku sih sederhana saja: karakter yang MENARIK. Tapi tentu saja, satu kata ini bisa diterjemahkan bermacam-macam.

Aku suka karakter yang, seaneh dan seajaib apapun tampang dan kelakuannya, tetap bisa membuatku empati, simpati, atau bahkan mengidentifikasikan diri.

Bisa saja karakter tokoh utama yang kuanggap menarik ini seorang sociopath seperti halnya :
Dexter Morgan
atau
Gregory House
Aku jadi penasaran dan ingin tahu tentang latar belakang, prinsip, jalan pikiran, keputusan yang akan mereka ambil di berbagai situasi, dan nasib mereka selanjutnya. Empati dan simpati yang timbul pada karakter antihero seperti ini tetap dapat membuat kita mengharapkan yang terbaik bagi mereka. Misalnya berharap Dexter dapat hidup normal, bisa memiliki perasaan, dan bisa berbahagia selayaknya manusia biasa... tanpa melepaskan karirnya sebagai serial killer. Bagaimanapun, karena buruannya sama-sama serial killer, setidaknya ia berguna bagi masyarakat. Kita juga mungkin berharap Dr House tetap dapat berpraktek dan menyelamatkan banyak nyawa, meskipun kepribadiannya sulit dan doyan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Waduh... jangan-jangan sebenarnya aku berbakat sosiopat juga, barangkali? ;P

Bukan berarti karakter utama yang orang baik-baik tidak menarik. Bisa dibilang, hampir sebagian besar buku yang kubaca didominasi dengan tokoh yang baik dan lurus. Dan terus terang saja, kita lebih mungkin mengidentifikasikan diri dengan mereka, misalnya karena kesamaan sifat atau nasib (atau karena kita juga merasa sebagai orang baik-baik ;P). Tapi, karakter baik-baik juga bukan berarti serbasempurna, karena tak ada gading yang tak retak, setiap manusia pasti punya kekurangan.

Contohnya tokoh utama novel klasik yang jadi pujaan banyak wanita ini:
Iya, ini masih bulan Colin Firth XD 
Secara umum, Mr Darcy telah menjadi patokan untuk tokoh utama cerita historical romance. Berdarah biru, ganteng tiada tara dan kaya kabina-bina. Baik hati pula sebenarnya. Tapi kekurangannya dalam hal pride dan prejudice yang membuatnya enggan bersosialisasi dengan rakyat jelata membuatnya sempat menderita patah hati karena lamarannya ditolak oleh cinta sejatinya. Untunglah kemudian perkembangan karakternya dalam gentleman-like manners membuatnya yang semula dianggap disagreeable jadi lebih likeable.

Perkembangan yang menarik dari karakter tokoh utama tidak selalu dari perubahan dari hitam atau abu-abu menjadi putih. Kadang-kadang, perkembangan karakter dari putih ke abu-abu sampai menjadi hitam malah jauh lebih menarik. Misalnya tokoh yang satu ini:


Dorian Gray mulanya adalah pemuda baik-baik yang manis dan polos. Ganteng juga sudah pasti. Bukan hanya wanita, laki-laki juga jatuh cinta padanya. Tapi gara-gara terseret nafsu duniawi (gara-gara pengaruh dan eksperimen Lord Henry Wotton, tentunya), karakternya berkembang menjadi worse and worst.

Atau contoh lainnya tokoh yang seperti ini:
Walter White transformation
Perubahan drastis dari guru kimia biasa di SMA menjadi produsen dan bandar meth (dengan segala dosa ikutannya termasuk membunuh kalau perlu)semuanya dimulai dengan pilihan pribadi untuk break bad setelah tahu sebentar lagi akan mati karena kanker. Walaupun awalnya hanya ingin menjamin keluarganya tidak kekurangan uang setelah ia meninggal...



Jadi, karakter tokoh utama seperti apa yang kausukai?

Monday, February 23, 2015

A Single Man

When A Single Man was originally published, it shocked many by its frank, sympathetic, and moving portrayal of a gay man in midlife. George, the protagonist, is adjusting to life on his own after the sudden death of his partner, and determines to persist in the routines of his daily life; the course of A Single Man spans twenty-four hours in an ordinary day. An Englishman and a professor living in suburban Southern California, he is an outsider in every way, and his internal reflections and interactions with others reveal a man who loves being alive despite everyday injustices and loneliness. Wry, suddenly manic, constantly funny, surprisingly sad, this novel catches the texture of life itself.

Siapa yang mau membaca buku yang bercerita tentang satu hari dari kehidupan seorang laki-laki gay berumur yang patah hati karena kematian partner hidupnya?

Well, tergantung siapa yang ditanya, memang.

Bagiku, karena bulan Februari ini tanpa sengaja sudah menjadi bulan Colin Firth, selain menonton film-film yang dibintanginya, apabila filmnya diadaptasi dari buku, aku berusaha mencari dan membaca bukunya.

Novel ini bukan perkecualian, karena setelah menonton ulang film A Single Man, aku dapat mengapresiasi keindahan film ini (dan akting Colin Firth yang superb, tentunya) dibandingkan sebelumnya.

Sunday, February 22, 2015

Easy Virtue

Aku jarang membaca buku dalam bentuk naskah drama panggung, dan perlu alasan tertentu yang membuatku tertarik untuk membacanya. Dalam hal buku Easy Virtue karya Noel Coward ini, jelas karena aku sudah menonton versi filmnya (di mana Colin Firth ambil bagian, tentu saja), dan ingin membandingkan sejauh mana perbedaan antara versi filmnya dengan versi aslinya.

Versi asli

Terdiri atas tiga babak, drama ini murni kisah tentang konflik antara mertua dan menantu yang tidak diinginkan.

Babak pertama berkisah tentang keluarga Whittaker, yang terdiri dari Mr Whittaker (yang selanjutnya disebut dengan Colonel), Mrs Whittaker, serta kedua putri mereka Marion dan Hilda, yang menunggu kedatangan sang putra sulung, John, dari liburan di Perancis. Masalahnya, John tidak datang sendirian. Ia membawa pulang seorang istri. Lebih parah lagi, istrinya seorang wanita Amerika, yang jelas bagi keluarga Inggris di setting 1920-an, bukan wanita baik-baik dari kalangan terhormat.

Mrs Whittaker sudah menganggap menantunya bagai monster berhati hitam sebelum mereka bertemu, apalagi ia sebenarnya sudah berharap putranya menikahi Sarah, gadis tetangga dari keluarga terhormat (dan kaya tentunya), tapi Colonel lebih bijaksana dan realistis, "I'm waiting with an open mind--I shall do my utmost to make her happy and comfortable here." Dan well, barangkali ketika akhirnya John dan Larita datang, hanya Colonel yang menyambut dengan tulus kedatangan menantunya.

Pada babak kedua yang bersetting tiga bulan kemudian, cinta monyet yang memicu John untuk menikahi Larita sepertinya mulai pudar. Antipati Mrs Whittaker dan kedua putrinya tidak berkurang, apalagi Hilda cemburu karena Philip, kakak Sarah dan laki-laki yang ditaksirnya, tampak menaruh hati pada Larita. Sahabat Larita di rumah keluarga Whittaker hanya Colonel.

Di sini terungkap masa lalu Larita, yang keterlibatannya dalam sidang pengadilan atas bunuh dirinya seorang pria dan daftar kekasihnya tercantum di sebuah guntingan koran. Dalam sidang terbuka di ruang makan (minus John), cuma Colonel yang membela Larita, "Well, what of it?" sambil merobek-robek guntingan koran yang jadi sumber keributan.

Pada babak ketiga, yang bersetting pesta yang diselenggarakan keluarga Whittaker, Larita dilarang hadir oleh ibu mertuanya. Gosip dan skandal Larita sudah tersebar di antara para tamu, dan kepada mereka Mrs Whittaker beralasan menantunya sedang sakit kepala. Tak disangka, Larita tetap muncul, bikin heboh dengan gaun dan perhiasan yang luar biasa mewah.

John tidak tahu apa-apa tentang gosip Larita, tapi ia tidak bersedia berdansa dengan istrinya karena keglamoran yang dianggapnya kurang pantas. Alhasil, Larita berdansa dengan Philip, yang membuat Mrs Whittaker semakin murka.

Larita sadar bahwa pernikahannya dengan John telah berakhir, bukan hanya karena skandal yang terungkap, tapi juga karena ia menikahi John dengan alasan yang salah. Kisah berakhir dengan kepergian Larita, setelah menyerahkan John kepada Sarah. John, yang tidak tahu apa-apa, berdansa dengan Sarah, ketika istrinya pergi diam-diam.

Lalu, bagaimana dengan versi filmnya? Setiakah pada naskah aslinya?

Saturday, February 21, 2015

Colin Firth Month

Bulan ini, aku terjangkit penyakit lama yang kukira takkan pernah kambuh lagi: Colin Firth Fever.

Mulanya biasa saja. Sudah lama aku tidak main ke bioskop. Film terakhir yang kutonton di layar lebar adalah The Hobbit: The Battle of the Five Armies. Jadi, ketika tahu film Wachowski bersaudara terbaru, Jupiter Ascending, sudah diputar, aku berencana menontonnya. Alasannya simpel: film yang pantas ditonton di layar lebar adalah film action yang penuh efek khusus. Tapi kemudian, nafsuku untuk menonton film itu lenyap.

Bukan, bukan karena tokoh utama cewek di Jupiter Ascending punya nama yang sama dengan tokoh utama serial Trio Detektif, Jupiter Jones, melainkan gara-gara aku mengecek ratingnya dulu di rottentomatoes dan IMDb, dan ternyata... jelek.

Kadung sudah niat nonton di bioskop, aku pun memilih untuk menonton film yang diputar di studio sebelah: Magic in the Moonlight. Berlawanan dengan prinsip pribadi untuk tidak menonton film drama di bioskop (nggak ada efek khususnya!), aku menontonnya hanya karena dua alasan: genre filmnya rom-com, dan yang main... Colin Firth.

Meskipun awalnya cukup skeptis (beda umur Colin Firth dan Emma Stone jauh banget, bro), ternyata film Woody Allen membuatku puas terpingkal-pingkal karena dialog-dialognya yang kocak dan karakter Stanley-nya Colin Firth yang unik, seperti hasil persilangan antara Mr. Darcy dan Sherlock Holmes.

Duh. Jadi ingin nonton film Colin Firth lagi.

Be careful of what you wish for... karena minggu depannya ternyata Kingsman: The Secret Service ditayangkan, dan... Colin Firth tampil beda! *terus nangis darah karena satu adegan utama Colin Firth yang kutunggu-tunggu dibabat habis oleh LSF* #huh

Duh. Jadi ingin nonton film Colin Firth lagi.

Selanjutnya, jadilah aku menghabiskan waktu luang untuk menonton film-film Colin Firth. Berturut-turut. Terus menerus. Sampai kurang tidur padahal besoknya harus kerja.

Before I Go To Sleep.
The King's Speech.
A Single Man.
Devil's Knot.
Gambit.
Easy Virtue.
The Last Legion.
Girl With A Pearl Earring.
What A Girl Wants.
The Importance of Being Earnest.
Love Actually.
Bridget Jones's Diary: Edge of Reason.
Bridget Jones's Diary.
Pitch Fever.
The English Patient.
Valmont.
Dan.... tentu saja  Pride & Prejudice. Enam episode berturut-turut.

Demam lama kambuh lagi. Cinta Lama Bersemi Kembali. Benar-benar tidak sehat ini! Mana sampai saat ini belum sempat bikin review buku, pula!

Ya sudahlah, mumpung lagi demam, sekalian saja aku membaca biografi Colin Firth! Up close and personal!


Dan hasilnya...