Showing posts with label true story. Show all posts
Showing posts with label true story. Show all posts

Wednesday, December 9, 2015

Happy Tummy


Judul : Happy Tummy

Penulis : Mariska Tracy

Penerbit : GagasMedia

Tebal : xii + 204 halaman

Tanggal terbit : 27 Mei 2015

Tanggal perolehan : 6 Desember 2015

Tanggal dibaca : 9 Desember 2015

Sinopsis :
Siapa yang happy kalau dapat makanan gratis? Hayo, ngacung!

Oke, gue juga, kok.
Hobi gue itu makan-dengan-porsi-banyak.
Nah, demi menyalurkan hobi gue tersebut, gue suka ikutan lomba makan.
Ini artinya, gue bisa makan gratis sebanyak-banyaknya dan dapat hadiah pula!

Lomba makan? Iya, lomba makan yang kayak di TV Champion itu.

Menurut gue, jadi competitive eater itu merupakan cita-cita yang keren.
Coba bayangkan bagaimana bangganya saat lo bisa menghabiskan makanan
enak dalam waktu singkat?! Lo nggak hanya bisa menikmati makanan
superenak, tapi bisa terkenal kayak gue.
Hahaha…. Yang penting, gue happy ketemu makanan.

Yuk, ikuti cerita seru gue yang kata orang “Jago Makan” ini.
Selamat makan, eh, selamat membaca!


Review :
Aku menemukan buku ini di meja bookswap IRF 2015. Karena ini buku baru, pastinya hasil sumbangan dari penerbit GagasMedia. Apalagi memang ada cap "Buku Ini Tidak Dijual" dan "Persembahan Penerbit". Dan ada tanda tangan penulisnya pula. Tapi kalaupun mencoba mengingat-ingat,  aku lupa buku mana yang kutukar dengan buku ini.

Anyway, seperti biasa aku mengambil buku ini dengan penuh perasaan. Itu lho, perasaan "sepertinya menarik" yang selalu jadi patokanku kalau menemukan buku (dan penulis) yang belum pernah kulihat dan kudengar sebelumnya lewat media apapun. Maklum, sudah lama aku tidak membaca majalah (penulisnya reporter majalah GADIS, majalah remaja yang terakhir kali kubaca waktu aku masih SMA). Dan aku juga bukan tipe yang mengikuti dunia perkulineran.

Kuliner? Ini buku kuliner?

Ya. Nyenggol dikit-lah. Buku ini cukup unik: personal literatur penulis sebagai cewek jago makan yang doyan lomba makan.

Buatku yang kalau makan nasi padang saja minta nasinya seperempat (supaya tiada tangisan dari ribuan butir nasi tak tersantap), jelas meskipun aku suka makan (manusia mana yang nggak suka makan sih, apalagi kalau gratis?), aku bukan tipe yang akan mengejar lomba makan di manapun dan bertarung secara sportif dan kompetitif demi menjadi juaranya. Tapi karena dulu aku juga doyan nonton lomba makan di TV Champion, jelas buku ini langsung menarik perhatianku.

Kembali ke review, buku ini berkisah tentang petualangan Uung (nama cantik sang penulis) di dunia lomba makan nasional, atau setidaknya, di Jakarta, yang ternyata sangat kompetitif, dan penuh pertumpahan darah (iya, ini lebay). Petualangannya itu dituturkan dengan gaya yang kocak, dan membuat kita, meskipun sedang kelaparan belum sempat makan pagi saat membaca bukunya, bisa turut merasakan kekenyangan dan kebegahan yang diderita orang yang kebanyakan makan demi mendapatkan sesuap handphone, televisi, uang tunai, dan berbagai hadiah menarik lain yang menjadi iming-iming bagi para pelaku lomba makan.

Buku ini juga membuka ingatanku tentang perkenalan pertamaku dengan Kamikaze Karaage. Pertama kali aku tertarik untuk makan di sana adalah karena ada lomba makan di sana yang ditayangkan di televisi. Maklum, sebagai penyuka makanan pedas dan cukup diakui sebagai orang yang paling tahan pedas di lingkungan pribadi dan kantor, aku selalu merasa tertantang kalau ada iklan atau gosip tentang makanan yang superpedas. Ternyata... dari buku ini aku tahu Uung bukan cuma jadi peserta lomba makannya, tapi juga jadi juaranya! Benar-benar salut deh! Sampai dengan saat ini, bagiku cuma Saus Harakiri 2 di Kamikaze Karaage yang benar-benar sesuai dengan promosinya, sebagai saus cabai terpedas di dunia. Waktu pertama kali makan spicy wing berbalut saus Harakiri 2, aku cuma sanggup makan setengah potong ayam, sementara nasi, segelas ocha dan sebotol air mineral 500 ml habis tak tersisa. Jadilah satu setengah potong spicy wing terpaksa kubawa pulang untuk dicemil sedikit demi sedikit.

Buku ini juga membuatku sukses menjadi kepo dengan membuka youtube untuk melihat sendiri aksi para professional competitive eater dari yang lokal seperti Owen Gozali sampai yang interlokal dan god-level macam Takeru Kobayashi (dari sekian banyak klip yang kutonton, yang paling kiyut dan menarik adalah video Kobayashi vs Hamster :P).

Pokoknya, nggak menyesal deh aku membaca buku ini (dan menghabiskan waktu menonton video eating contest yang lama-lama bisa bikin eneg).


View all my reviews

Sunday, October 26, 2014

The Naked Traveler 1 Year Round-The-World Trip

Wow.

Or wtf?

Menghabiskan waktu satu tahun untuk bertualang keliling dunia? 

Kisah perjalanan Trinity yang disajikan dalam dua jilid buku ini dapat menimbulkan reaksi yang berbeda-beda pada setiap pembaca.

Iri? Pasti. Terutama buat office bee sepertiku, yang meskipun punya 15 hari cuti setahun (sekarang sudah tidak potong cuti bersama lagi, FYI) plus cuti besar 90 hari setiap enam tahun, tetap saja jatah hari cuti selalu bersisa tiap tahunnya. H.u.h.

Bermimpi? Sudah tentu. Setelah iri, tentunya jadi bermimpi bisa seperti Trinity dan Yasmin, bisa melepaskan semua kekang rutinitas sehari-hari untuk bertualang ke negeri antah berantah.


Mengerutkan kening? Sangat mungkin ada yang berpendapat bahwa traveling keliling dunia cuma buang-buang waktu dan duit. Kayak nggak ada kegiatan dan kebutuhan lain aja. Mendingan juga duitnya dipakai buat down payment rumah. Realistis aja deh, bro.

Dalam salah satu bab di buku pertama, Trinity menyimpulkan kenapa orang Indonesia jarang traveling.

Pertama, karena traveling bukanlah prioritas bagi sebagian besar orang Indonesia. Boro-boro traveling, mikirin biaya makan sehari-hari saja susah.

Kedua, traveling masih termasuk mahal. Mending dipake nyicil motor, mobil dan rumah.

Ketiga, cuti yang terbatas. Rata-rata 12 hari/tahun, seringnya dipakai urusan keluarga, seperti pernikahan, sunatan, kematian, dan sebagainya. Dan di Indonesia sangat kecil kemungkinan untuk mendapat "sabbatical leave" atau cuti tanpa dibayar selama 2 bulan sampai 1 tahun.

Hm... aku jadi ingin memberi tambahan untuk teori ini deh...

Sebenarnya, bagi sebagian besar orang Indonesia, ada yang namanya traveling wajib, meskipun dengan embel-embel bila mampu, yaitu Pilgrimage to Mecca. Alias pergi naik haji.

Ini traveling impian kebanyakan orang Indonesia, dan berbeda dengan traveling biasa yang hanya . Makanya ada yang bela-belain menabung bertahun-tahun, atau menjual harta benda, atau jualan bubur... demi masuk waiting list, dan kalau beruntung bisa berangkat dalam sepuluh tahun.

Tapi seringkali, bagi mereka yang sebenarnya situasi finansial dan fisiknya memenuhi syarat, istilah bila mampu itu suka dipersepsikan berbeda, demi menunda keberangkatan. 

Biasanya, alasan utama menunda keberangkatan adalah: masih muda.
Meskipun dalam setahun bisa gonta-ganti gadget, gonta-ganti mobil, atau jalan-jalan ke luar negeri dengan ongkos lebih mahal dibandingkan ONH reguler, berangkat haji di kala muda tidak terpikirkan sama sekali. 

Masa muda itu masanya bersenang-senang, dan memuaskan hobi dan hasrat dulu, mumpung mampu. Nah, di masa tua, sudah lebih bijak dan lebih dalam ilmu agamanya, dan kondisi finansialnya lebih baik, baru pantas naik haji.

Prinsip yang dianut jelas: muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga.

Ih, siapa juga yang nggak mau? :P

Tapi siapa yang bisa menjamin kalau kita tidak bakal mati muda? Dan siapa yang bisa menjamin kalau sudah lebih tua, seseorang akan lebih bijak, lebih dalam ilmu agamanya, dan lebih baik finansialnya? Yang ada malah alasan yang dicari-cari untuk tidak berangkat mungkin lebih banyak daripada sewaktu muda.

Yah, intinya sih, jangan menunggu tua untuk traveling, baik traveling ibadah (bagi mereka yang diwajibkan) maupun traveling ala Trinity. Kondisi kesehatan itu penting untuk perjalanan yang jauh dan memerlukan aktivitas fisik. Tidak banyak orang yang bisa menjaga kondisi fisik prima sampai usia tua.  

Oke, ceramah "Berangkatlah selagi muda" selesai :)

Kembali ke buku Trinity, seperti biasa cara Trinity menceritakan perjalanannya membuat kita seolah ikut jalan-jalan ke negara-negara yang dikunjunginya. Apalagi bukunya disajikan dengan penuh warna dan foto, meskipun terus terang saja, foto cowok-cowok Latin yang cakep kurang banyak!!!

Omong-omong, masalah penampilan fisik ini relatif ya. Kita sebagai turis di negeri orang, mungkin merasa orang-orang di sana ganteng dan cantik semua dibandingkan orang-orang di negeri kita. Padahal, siapa tahu terjadi juga kebalikannya. Mereka yang jadi turis di negeri kita juga menganggap orang-orang Indonesia tuh semuanya ganteng-cantik-eksotis.

Bagaimanapun, sejauh apapun kita pergi baik mencari peruntungan maupun sekedar mencari pengalaman di negeri orang, home is where the heart is. Di manapun kita berada, sepanjang kita merasa nyaman berada di sana, kita sudah berada di rumah.

Thursday, August 7, 2014

American Gangster

American GangsterAmerican Gangster by Max Allan Collins
My rating: 4 of 5 stars

"What matters in business is honesty, integrity, hard work and loyalty."

Kalimat tersebut tidak janggal apabila diucapkan seorang CEO yang menekankan kode etik dan core values perusahaannya. Tapi di novel ini, kalimat itu diucapkan seorang druglord kingpin.

Buku ini merupakan novelisasi dari naskah film American Gangster yang ditulis oleh Steven Zaillian. Filmnya sendiri, yang rilis tahun 2007, disutradarai oleh Ridley Scott.
Omong-omong, aku lebih suka versi poster yang ini ketimbang yang dipasang di cover novel. Alasannya simpel saja, cover buku yang hanya menampilkan satu orang dapat menipu pembaca yang bisa saja mengira tokoh utamanya adalah karakter yang diperankan Denzel Washington. Pada kenyataannya, film/novel ini berkisah tentang head-to-head antara Frank Lucas, si druglord kingpin, dengan Richie Roberts, polisi/anggota skuad anti narkotik federal, yang diperankan oleh Russell Crowe, dengan porsi yang seimbang. Fotonya yang kontras menunjukkan sisi hitam putih secara literal, baik dari ras karakternya maupun posisinya masing-masing sebagai penjahat dan penegak hukum.

Kembali ke kutipan core values di awal review ini, pada kenyataannya, baik Frank Lucas maupun Richie Roberts memegang teguh kode etik yang sama, meskipun keduanya berseberangan dari sisi hukum.   

Pada awal tahun 1970-an, Frank Lucas semula seorang supir/ajudan/tangan kanan dari salah seorang bos kriminal kulit hitam, Bumpy Johnson. Tapi ketika bosnya mendadak meninggal, ia membangun kekuasaannya sendiri. Sadar bahwa usaha mengumpulkan "uang perlindungan" akan punah seiring perkembangan zaman, ia beralih ke usaha yang paling menguntungkan: menjual narkoba. Lalu ia menemukan cara untuk mengambil keuntungan yang lebih besar: memotong distribusi dengan membeli barang dari sumbernya: Segitiga Emas, dengan memanfaatkan tentara kulit hitam untuk menyelundupkan heroin murni dari Thailand ke AS. Dengan kualitas produk yang dua kali lebih baik dan harga yang dua kali lebih murah, dengan cepat ia menguasai pasar, mematikan para pesaing, dan memonopoli perdagangan heroin di New York dan New Jersey.
The Lucas Bros
Di sisi lain, ada seorang polisi langka bernama Richie Roberts. Saking bersihnya, ketika dalam pengintaian menemukan uang haram kriminal hampir satu juta dolar, ia malah melaporkannya ke kantor sebagai barang bukti. Padahal kalau dikantongi diam-diam pun, tak bakal ada yang tahu, dan sudah lumrah kalau polisi mengambil uang haram sebagai penghasilan tambahan.
"How much?"
"Nine hundred and eighty thousand."
"What happened to the rest?"
"Not funny."
Malah, ada pameo bahwa apabila ada polisi yang berani melaporkan uang haram sebagai barang bukti, diyakini takkan segan-segan melaporkan rekan sesama polisi yang memakan uang haram. Well, mengingat Roberts langsung jadi pariah di kantor gara-gara tindakannya, bisa disimpulkan kalau rekan-rekannya seperti apa. Untungnya, dengan semakin merajalelanya narkoba di AS, pemerintah federal membentuk Biro Anti Narkoba, dan Roberts pun terpilih untuk mengepalai skuad yang beroperasi di Newark, New Jersey. Roberts diperkenankan memilih sendiri anggota tim yang diyakininya sebagai polisi bersih, yang motivasinya menegakkan hukum, bukan mencari uang seseran. Semacam tim The Untouchables-nya Eliot Ness di era Al Capone. 

Pada awalnya dunia Frank Lucas dan Richie Roberts tidak bersinggungan, apalagi pusat operasi Lucas di New York, di luar yurisdiksi Roberts. Belum lagi mulanya Roberts berkonsentrasi pada keluarga mafia Italia yang lebih dulu tenar di dunia narkoba. Tapi lama-lama, Roberts mencium adanya pemain baru yang belum ada dalam daftarnya. Dan pada akhirnya Lucas masuk ke dalam radarnya karena para gembong mafia Italia tampak memberikan penghormatan kepadanya di pertandingan tinju Muhammad Ali vs Joe Frazier. Tapi, mungkin juga gara-gara penampilan Lucas yang terlalu mencolok buat seorang kulit hitam tak dikenal:
Frank Lucas asli, dengan fedora dan coat chinchilla seharga 50 ribu dolar
Frank Lucas ber-fedora dan coat chinchilla versi Denzel Washington
Setelah penyelidikan lebih lanjut, Roberts pun akhirnya menyadari bahwa posisi Lucas lebih tinggi daripada para don lama, karena ia telah menjadi pemasok utama mereka. Dan karena Biro Anti Narkoba difokuskan untuk tangkapan besar, maka Lucas pun ditetapkan sebagai sasaran utama.

Film dengan dua tokoh utama "setara" dalam hal kode etik tidak lengkap tanpa tokoh dengan kode etik yang berlawanan. Mewakili kubu yang dibenci baik oleh Lucas maupun Roberts adalah tokoh Detektif Reno Trupo, anggota Special Investigation Unit atau SIU, yang dijuluki Princes of the City, yang ditakuti para penjahat di New York. Trupo dan rekan-rekannya kerap menggunakan dalih razia untuk menyita uang dan narkoba dari para pemasok dan pengedar, dengan uang dikantongi sendiri dan narkobanya dijual lagi. Buat orang-orang seperti Trupo, para pemasok dan pengedar narkoba bukan untuk ditangkap dan dipenjara, tapi dijadikan sapi perahan...
Who's the bad guy here?
Ketika Richie Roberts berhasil meringkus Frank Lucas, sang kingpin harus mengakui bahwa polisi yang satu ini tidak bisa dibeli. Dan akhirnya, malah Lucas yang ditawari keringanan hukuman dengan syarat memberitahu Roberts polisi mana saja yang disuap dan dibayar oleh Lucas. Target Roberts kali ini bukan para pemain besar di dunia narkoba, tapi para polisi korup.
"Hell, I remember them all, every damn name, every ugly face. That's not the problem."
"What is?"
"You ain't got jails big enough."

Terlepas dari kenyataan bahwa kisah film/novel tentang Lucas/Roberts ini di-Hollywood-isasi banget dan terasa too good to be true, kisah ini diangkat dari kisah nyata. Namun demikian, Richie Roberts sendiri memang menyatakan beberapa hal yang tidak sesuai kenyataan, misalnya dalam film dikisahkan konsentrasinya terpecah oleh urusan hak asuh anak dengan mantan istri, padahal ia tidak punya anak. Atau bahwa ia seorang playboy yang gonta-ganti cewek bahkan ketika masih menikah. Konon ia digambarkan demikian supaya karakternya tidak terlalu bersih dan punya kekurangan. Tapi mungkin juga sih, dibuat begitu supaya Russell Crowe punya beberapa adegan olahranjang... :P Di sisi lain, karakter Frank Lucas sendiri konon tidak secerdas dan se-elegan yang ditampilkan Denzel Washington.

Dan seperti diceritakan di akhir film/novel, hubungan Roberts/Lucas tidak hanya sampai kerja sama dalam pembersihan kepolisian dari korupsi, tapi juga berlanjut menjadi persahabatan. Belakangan Roberts mengundurkan diri jabatannya dan menjadi pengacara pro bono, dan salah satu  klien pertamanya adalah Lucas. Roberts berhasil membebaskan Lucas setelah lima belas tahun penjara, dari hukuman awal tujuh puluh tahun.
The Real Frank Lucas/Richie Roberts
The Fake Richie Roberts/Frank Lucas
Kelihatan sama akrab dan hepinya, ya? Dan terakhir, sebagai tambahan, aku sengaja ingin memasang foto Russell Crowe favoritku dari film ini. Senyumnya adorable buanget soalnya :))


View all my reviews

Sunday, July 27, 2014

The Red Baron

The Red BaronThe Red Baron by Manfred von Richthofen
My rating: 5 of 5 stars

Buku ini kutemukan di salah satu lapak buku bekas di Plaza Semanggi, dengan kondisi yang lumayan bagus untuk sebuah buku terbitan tahun 1976. Seperti biasa, aku membelinya dengan alasan "sepertinya menarik", karena cukup tahu tentang pilot ace Perang Dunia I ini dari bacaan perang/militer yang pernah kubaca, apalagi buku ini ditulis sendiri oleh sang Red Baron.

Biasanya sih buku yang dibeli gara-gara "sepertinya menarik" berakhir "hit or miss" dengan perbandingan fifty-fifty. Untungnya, buku ini termasuk yang hit. Setengahnya karena aku memang penggemar bacaan perang/militer, tapi setengahnya lagi karena aku suka gaya penulisan biografi ini, dan... iya, mungkin agak bias juga karena penulisnya ganteng dan keren :D

Rittmeister Manfred Freiherr von Richthofen
Jadi, siapakah makhluk manis dengan lirikan maut di atas ini?

Dari cover belakang buku, bisa kita dapatkan gambaran singkatnya:
Manfred von Richthofen, the Red Baron, was probably the greatest air ace of either World War. In nearly three years of combat, from 1915 to 1918, he shot down more aircraft than any other flier. A staggering 80 kills accounted for the death, wounding or capture of 126 Allied pilots; von Richthofen's blood-red Fokker was a sky-born legend, the man a hero.
Aslinya, buku ini merupakan jurnal pribadi Manfred von Richthofen dengan judul "My Life In The War", yang terbit pada tahun 1918 sebelum ia gugur. Edisi The Red Baron merupakah terjemahan bahasa Inggris dari terbitan 1933, yang juga mencakup surat-surat Manfred von Richthofen semasa Perang Dunia I, ditambah tulisan dari kedua adiknya, Lothar dan Bolko, serta catatan dari Captain A. Roy Brown, pilot yang menembak jatuh Von Richthofen.

Lahir pada tanggal 2 Mei 1892, sebagai anggota keluarga bangsawan Prussia dan putra seorang mayor, Manfred dipaksa masuk Cadet Corps pada usia sebelas tahun. Ia kurang cocok dengan peraturan dan disiplin, dan tidak suka belajar. Prinsipnya "It would have been wrong to do more than was necessary, so I worked as little as possible." Duh, tipe Sloth Deadly Angel banget nih, tipe murid yang tidak disukai guru-guru strict deh :) Tapi kemalasannya diimbangi dengan kesukaannya di bidang olahraga, terutama senam, sepakbola, dan berkuda.

Pada awal karir militernya, Manfred merupakan bagian dari pasukan kavaleri Jerman. Pada tahun 1911 ia bergabung di sekolah militer, dan menjadi perwira dengan pangkat letnan pada tahun 1912. Di masa damai sebelum perang dimulai, ia mengikuti dan memenangkan kompetisi berkuda, dengan prestasi terakhir Kaizer Prize Race pada tahun 1913.

Di awal Perang Dunia I, Manfred menjadi bagian dari tim reconnaisance baik di Front Timur maupun Front Barat. Namun dengan berkembangnya perang parit, operasi kavaleri berkuda menjadi kurang relevan, sehingga Manfred tahu-tahu mendapat pekerjaan membosankan: asisten ajudan, dan turun derajat dari pasukan tempur menjadi kurir. Tidak cocok dengan pekerjaan membosankan tanpa tantangan, begitu mendapat tugas logistik, ia nekat menulis surat permohonan pada komandannya, yang konon berbunyi "Yang Mulia, saya tidak pergi berperang untuk mengumpulkan keju dan telur, tapi untuk tujuan lain". Untunglah meskipun suratnya membuat tersinggung sebagian orang, permintaannya dikabulkan. Pada bulan Mei 1915, ia bergabung dengan Angkatan Udara.

Pada karir awalnya di Angkatan Udara, Manfred kembali bertugas sebagai tim reconn. Sebagai observer di pesawat two-seater, ia tidak menjadi pilot, melainkan menangani bom dan senapan mesin. Tapi kemudian ia berlatih menjadi pilot, bergabung dengan skuadron Boelcke sebagai pilot tempur solo, dan belakangan memimpin suadron sendiri (Jagdstaffel alias Jasta 11). Dan... tentu saja sisa hidup selanjutnya menjadi legenda.
Red Baron dan Jasta 11-nya
Membaca kisah Manfred von Richthofen dari sudut pandang dan pemikiran pribadinya ini mengasyikkan. Meskipun pada saat itu pihak lawan menjulukinya "Le Diable Rouge" atau "Red Devil" alias Setan Merah (sama sekali tidak ada hubungannya dengan Manchester United) karena kepiawaiannya di angkasa, kita tahu kalau dia manusia biasa. Manusia biasa yang melakukan hal-hal luar biasa, tentu saja. Dan karena penuturannya tentang hal-hal yang dialaminya selama perang, seburuk apapun, selalu dipandang dari sudut yang positif, sehingga kisah perang yang dialaminya terasa bagaikan petualangan yang seru dan mendebarkan. Pembaca seolah menonton film perang dengan Von Richthofen sebagai tokoh utama, mendukung apapun keputusan yang dibuatnya, dan lupa berpikir dari sudut lawannya yang jadi korban.


Bagi Manfred von Richthofen, berperang dan bertempur itu fun! Tidak peduli di darat ataupun di udara. Sebagai seorang pemburu sejati, (iya, ia masih sempat-sempatnya berburu babi dan bison di masa perang), menjadi pilot pesawat tempur jelas pekerjaan ideal: menyalurkan hobi sambil tetap mengabdi pada negara. Memburu skuadron lawan, dog-fight satu lawan satu, atau satu lawan banyak sekalipun, menembak jatuh minimal satu pesawat musuh setiap kali terbang, benar-benar mengasyikkan. Ia mengakui bahwa sebagai pilot pada awalnya ia lebih sebagai hunter ketimbang shooter. Ia merasakan kepuasan setiap kali berhasil menembak jatuh lawannya. Seorang shooter lebih klinis, apabila berhasil menembak jatuh lawan, ia tidak merasakan emosi yang berlebihan, dan langsung beralih pada lawan berikutnya. Hm, kalau von Richthofen hidup di masa sekarang, mungkin ia bisa menyalurkan hobinya dengan bermain video games, tanpa benar-benar membunuh makhluk bernyawa.

Kenapa Manfred von Richthofen dijuluki Red Baron? Pertama, ia seorang Freiherr yang tidak ada gelar padanannya di Inggris, tapi kira-kira setingkat gelar baron. Kedua, ia mengecat pesawat Fokker triplane-nya dengan warna merah menyala. Benar-benar mencolok, seolah menunjukkan dirinya dan menantang semua orang "Come and get me!", persis seperti warna armor Iron Man atau jacket Rita Vrataski di All You Need Is Kill. Pokoknya kelihatan banget dari jauh, dan membuat lawan sempat lempar koin dulu sebelum memutuskan untuk memburu atau menghindarinya.
Replika Triplane Fokker Dr. I Von Richthofen
Kok sombong banget sih, di saat orang lain berusaha terbang diam-diam tanpa ketahuan? Menurut cerita adiknya, Lothar, yang juga merupakan anak buah dan wingman-nya, pada awal karir sebagai pilot tempur Manfred merasa terganggu karena ia merasa terlalu mudah dilihat oleh lawannya dalam pertempuran udara, dan sudah berusaha menggunakan berbagai macam warna untuk penyamaran, tapi kamuflase tidak ada gunanya untuk benda bergerak seperti pesawat. Akhirnya, supaya mudah dikenali oleh rekan-rekannya di udara, ia memilih warna merah menyala.

Pada awalnya hanya Manfred sendirian yang menggunakan pesawat berwarna merah. Awalnya ia dijuluki "Le petit rouge", dan pernah dikira "Joan of Arc" atau wanita sekaliber itu karena warna merah identik dengan wanita. Tapi segera semua orang tahu siapa yang duduk di dalam pesawat merah. Setiap kehadirannya dapat langsung meningkatkan semangat pasukan darat dan mengendurkan semangat pasukan lawan. Demi melindungi Manfred yang terlalu mencolok itulah, para anggota skuadronnya memutuskan untuk ikut mengecat merah pesawat mereka juga. Untungnya, kepiawaian tempur mereka membuktikan bahwa mereka juga pantas mengenakan simbol yang sama dengan pemimpin mereka.
Kompakan, yuuuk!
Korban Manfred kebanyakan penerbang Inggris, dan ia memang lebih suka menghadapi orang Inggris. Baginya, penerbang Prancis pengecut, karena lebih memilih kabur kalau bertemu dengannya. Penerbang Inggris umumnya berani menantangnya atau menerima tantangannya. Kalau dipikir-pikir, antara pintar dan pengecut atau berani dan bodoh itu memang tipis bedanya. Kalau sudah tahu lawan yang dihadapi adalah the Red Baron, memangnya salah kalau memilih kabur?

Karena itulah Inggris sampai membentuk skuadron khusus dengan tujuan utama menghancurkan Manfred von Richthofen. Pilot yang berhasil menembak jatuh atau menangkapnya akan mendapat Victoria Cross, promosi, pesawat pribadi, 5.000 poundsterling, dan hadiah khusus dari pabrik pesawat yang digunakan si pilot. Bersama skuadron itu akan terbang juru kamera yang akan merekam seluruh kejadian dengan tujuan film propaganda British Army. Apa yang dipikirkan Manfred von Richthofen ketika membaca berita spesial itu benar-benar kocak!

Pada tanggal 6 Juli 1917, Manfred terluka dalam sebuah dog-fight. Deskripsinya tentang apa yang terjadi ketika kepalanya tertembak dan pesawatnya jatuh benar-benar membuat kita dapat merasakan berada di kokpit pesawat dan terluka bersamanya. Ia selamat dengan luka parah di kepala dan dadanya. Tapi, karena beberapa waktu sebelumnya adiknya Lothar juga terluka dan dirawat di rumah sakit, yang terpikir olehnya malah siapa di antara mereka yang bisa terbang lebih dulu. Dasar kompetitif!

Foto bareng suster Kate yang merawatnya
Manfred von Richthofen menulis dan menerbitkan jurnal perangnya selama masa perawatan (berdasarkan instruksi bagian propaganda Angkatan Udara Jerman). Kalau sebelumnya ia sudah terkenal di kalangan militer baik di pihaknya sendiri maupun pihak lawan, kali ini ia mendadak jadi selebriti dan idola buat masyarakat kebanyakan, yang membanjirinya dengan surat penggemar. Bahkan London Times juga menulis review bukunya, padahal waktu itu perang belum berakhir. 

Meskipun sering bersenggolan dengan Maut, Manfred von Richthofen jarang benar-benar terluka. Namun, keberuntungannya berakhir pada tanggal 21 April 1918 ketika ia tertembak jatuh oleh Captain Roy Brown (catatan resmi demikian, meskipun sekarang terbukti bahwa peluru yang membunuh von Richthofen berasal dari anti-aircraft gun di darat). Ia dikebumikan secara militer dan penuh kehormatan oleh pihak Inggris.

Captain von Richthofen, the brave and worthy foe
Ia gugur di usia dua puluh lima tahun.

If I should live through this war, I shall have more luck than sense. 
-- Manfred von Richthofen
  
View all my reviews

Thursday, May 29, 2014

Degalings

DegalingsDegalings by Pandji Pragiwaksono
My rating: 3 of 5 stars

Buku ini merupakan versi fisik dari komik mingguan Pandji Pragiwaksono yang terbit setiap minggu di kolamkomik.com dari bulan April 2011 sampai Februari 2013. Gambar dan cerita dibuat oleh Pandji, sedangkan pewarnaan dilakukan oleh Shani Budi Pandita, co-owner kolamkomik.com. Iya, meskipun aku sudah membaca langsung di kolamkomik, tetap saja belum sah kalau belum punya versi bukunya. Jadi, pas menemukan buku ini di zona Mizan saat berkunjung ke Pesta Buku Jakarta, ya aku langsung main embat saja. Setelah bayar dulu di kasir, tentunya.

Dilihat dari covernya, buat yang belum pernah tahu Degalings sebelumnya juga pasti bisa menebak tema utamanya adalah hubungan ayah-anak dalam keluarga di Indonesia. Kisah yang disampaikan dalam 99 strip komik ini adalah kisah nyata dari Pandji sang "Ayah" dengan Dipo, putra pertamanya, yang di dalam komik ini dinamai "Jamie".

Namanya juga anak kecil, adaaa saja tingkah laku yang lucu dan koplak, yang bisa jadi membuat orang tua bahagia, sedih, terharu, dan kadang-kadang... malu. Sialnya, ketika sang anak sudah besar, yang paling berkesan dan teringat sepanjang masa lebih seringnya adalah kejadian-kejadian yang bikin malu. Dan biasanya, orang tua akan dengan senang hati me-rewind dan menceritakan aib-aib masa lalu itu di segala kesempatan, terutama dalam acara keluarga besar, di mana ada banyak orang yang masih ingat bagaimana kelakuan si anak waktu kecil #pengalamanpribadi #truestory

Karena hiruk-pikuk-suka-duka kisah hubungan orang tua-anak yang beraneka-ria ini pasti dialami hampir semua orang yang punya anak, maka kisah Pandji/Dipo kerap yang diabadikan dalam komik Degalings bisa nyambung dengan mereka, bahkan beberapa cerita juga menjadi bit-bit stand-up comedy Pandji. Misalnya cerita tentang Dipo/Jamie yang suka banget Angry Birds. Ia suka melompat menerjang sang ayah, dan mengaku sebagai angry birds. So, secara tidak langsung berarti ayahnya apa dong???

Masih soal Angry Birds, logika sang anak malah bisa meng-upgrade cerita dongeng klasik. Seperti waktu sang ayah membacakan buku dongeng The Three Little Pigs (Degalings #74):
Ayah : ... akhirnya 2 babi kecil yang rumahnya hancur ditiup serigala, lari ke rumah babi ketiga yang rumahnya dari batu bata. Serigala itu tiup rumahnya, tiup lagi, tapi rumahnya nggak roboh. Akhirnya, serigalanya pulang dan babi itu aman...
Jamie : Harusnya serigala itu pakai angry birds item, biar meledak rumahnya! Terus pakai angry birds merah, terus mati babinyaaa!
Lho, memangnya cuma John Connolly yang bisa bikin parodi dongeng? Itu juga kalau Jamie memang berniat bikin parodi. Tapi kelihatannya sih serius...

Atau kisah tentang kesulitan orang tua memberikan penjelasan tentang Tuhan kepada anak waktu menunjukkan lokasi negara-negara yang ada di bola dunia.

Ayah : Nah, sebelah sini Brasil yang ada di kartun Rio. Ini China, yang ada di Kungfu Panda. Ini Amerika yang ada di Toy Story. Nah, ini Indonesia tempat kita.
Jamie : Kalau Allah ada di mana?
Ayah : Ada di atas semua ini, nak (jari menunjuk ke atas).
Jamie : Kamar mama?
Ayah : Errr... lebih tinggi lagi.

Pandji juga memasang beberapa foto di buku ini, hanya untuk meyakinkan pembaca bahwa kisah-kisah di buku merupakan kejadian nyata. Dan dari foto-fotonya, kelihatan banget Dipo ternyata satu cetakan dengan Pandji (^.^). Ya iyalah...

Omong-omong, aku memang sengaja tidak memasang gambar-gambar komiknya di review ini. Kalau mau tahu seperti apa penampakannya, silakan mampir dan mengintipnya di kolamkomik. Atau lebih baik lagi, baca langsung bukunya saja... :))

View all my reviews

Tuesday, May 27, 2014

Cerita Cinta Enrico

Cerita Cinta EnricoCerita Cinta Enrico by Ayu Utami
My rating: 3 of 5 stars

Salah satu tema Posbar BBI bulan ini adalah Khatulistiwa Literary Award.

Ada sih, buku-buku KLA yang sudah pernah kubaca tapi belum sempat (baca: malas) kubuat reviewnya. Tapi setelah bongkar-bongkar tumpukan buku yang belum terbaca di sudut kamar kosku, ternyata ada juga beberapa judul buku KLA yang nyempil, baik yang juara maupun yang nominee. Nah, kesempatan nih, lumayan buat mengurangi jumlah tumpukan buku tak terbaca yang makin merajalela. Setelah cap-cip-cup kembang kuncup antara Cerita Cinta Enrico, 65, dan Pasung Jiwa, akhirnya aku memilih buku pertama untuk kubaca duluan untuk Posbar BBI 2014.

Setelah selesai membaca dan membuat draft review-nya... baru deh mengecek ke blog event BBI dan mengetahui bahwa yang seharusnya kubaca adalah KLA 2013, bukan sekadar KLA tahun berapa saja! Kuduna yang kubawa pulang untuk dibaca pas liburan buku Pasung Jiwa nih! T.T

Ya sudahlah. Keburu bikin draft reviewnya, tetap kuposting saja deh...

Buku ini ditulis dengan POV orang pertama, dari tokoh utama yang namanya terpampang di cover buku. Ah, oke, itu bukan nama yang sebenarnya, melainkan nama yang ingin disematkan ibunya di akte kelahiran tapi setelah kegagalan negosiasi dengan sang ayah, akhirnya hanya berakhir menjadi nama panggilan saja.

Mengapa harus dipanggil Enrico? Sang ibu menyiapkan nama itu berdasarkan nama penyanyi tenor Italia yang sudah mati pada tahun 1921, karena konon Enrico adalah anak yang begitu mencintai ibunya, sampai-sampai setiap kali ia  menyanyi yang terbayang adalah wajah ibunya. Dan... ya... benang merah buku ini memang kisah cinta Enrico pada ibunya... serta pada sang pengganti ibunya.

Mari kita review buku ini a'la suka-suka.

Cover
Tidak ada gambar sama sekali. Cuma judul dengan latar hijau stabilo dengan huruf-huruf yang setelah dilihat-lihat rupanya terdiri dari gambar tentara baret merah yang sedang berdiri sikap sempurna, atau sedang memanggul bazoka, sedang menembak, serta... pose-pose absurd macam sedang melompat melenting atau sedang nungging di atas bangku kayu. Tentu saja ada pose menari tango dengan wanita bergaun merah (tetap dalam sikap sempurna). Selain itu juga ada gambar sepatu pantovel untuk mengisi huruf N dan sasaran tembak untuk huruf O.

Sebelum membaca bukunya, tentu kita bertanya-tanya apa maksud dari si penata letak sampul. Tapi setelah membaca bukunya, yah... mungkin ada relevansinya sih. Enrico bukan tentara baret merah, tapi memang anak kolong. Sepatu pantovel dengan hak kokoh ada histori sendiri dengan sang ibu. Sementara wanita bergaun merah... anggap saja itu melambangkan pilihan Enrico untuk hidup bebas tanpa ikatan dengan wanita manapun.

Cerita
Aku membaca buku ini tanpa referensi apa-apa sebelumnya, dan toh sinopsisnya tidak mengungkapkan apa-apa selain bahwa ini kisah nyata seorang anak yang lahir bersamaan dengan pemberontakan PRRI, dan isinya tentang kisah cinta dalam bentangan sejarah Indonesia sejak era pemberontakan daerah hingga Reformasi.

Kuncinya adalah kisah nyata. Baru di bab-bab terakhir aku baru ngeh kalau si Enrico ini ternyata... suami si penulis buku, yang juga ikut tampil sebagai sosok wanita yang belakangan menjadi obsesi Rico dan akhirnya membuatnya rela melepas kebujangannya.

Iya, ternyata ini buku novel biografis, yang disusun penulis berdasarkan cerita suaminya, sejauh jangkauan ingatannya, dikait-kaitkan dengan sejarah Indonesia selama 50 tahun hidupnya. Tahun-tahun utama yang menjadi tonggak sejarah buku ini adalah 1958, 1968, 1978, 1988, 1998, dan 2008. Iya, sepuluh tahun sekali yang berakhir dengan angka 8. Singkatnya begini :
1958: tokoh utama lahir bersamaan dengan pemberontakan PRRI
1968: si penulis lahir bersamaan dengan dimulainya masa Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto
1978: tokoh utama merasakan hilangnya kebebasan dengan pembungkaman politik bagi mahasiswa
1988: tokoh utama sah jadi pemanjat tebing dan fotografer
1998: apa perlu kutulis di sini apa yang terjadi pada sejarah Indonesia di tahun 1998?
2008: tokoh utama mencoba bertanya pada si penulis, bagaimana bila suatu hari mereka menikah. Wow, itu memang tonggak sejarah, karena masing-masing berprinsip tidak menentang institusi pernikahan namun memilih untuk tidak menikah! Iya... tonggak sejarah sesungguhnya memang tanggal 17 Agustus 2011, waktu mereka akhirnya benar-benar menikah :)

Buku ini memang berkisah tentang Enrico dari waktu lahir (tentunya berdasarkan cerita orang tuanya), masa kanak-kanak sebagai anak kolong dan anak yang memuja ibunya, masa remaja yang mulai merasa terkekang oleh obsesi ibunya pada agama sehingga malah membuatnya menjurus atheis di kemudian hari, masa mahasiswa di mana kebebasan yang diperolehnya setelah lepas dari sang ibu malah direnggut oleh pemerintah yang otoriter. Lalu... apakah dicabutnya kebebasan berpendapat kemudian dikompensasikan pada kebebasan bermaksiat? Di sini penulis secara blak-blakan mengisahkan kehidupan Enrico yang serba freelance: tidak mau punya bos, tidak mau punya istri, tidak mau punya anak. Tidak mau berprokreasi tapi tetap melakukan kegiatan prokreasi dengan wanita manapun, atas dasar suka sama suka, tanpa ikatan. Meskipun pada akhirnya... cerita berakhir lain di penghujung novel. Semua... karena cinta... (ini kenapa jadi malah nyanyi...)

Akhir kata
Aku membaca buku ini sebagai novel, jadi tidak pengaruh apakah apa yang diceritakan dalam buku ini memang benar atau cuma sebagian saja yang benar. Lagipula, ingatan tentang masa kanak-kanak memang sulit diandalkan, begitu pula cerita orang lain tentang masa kanak-kanak kita.

Aku hanya ingin berkomentar sedikit tentang beberapa bagian yang sering diberi penekanan sehingga diceritakan berulang-ulang. Iya, sih, sebagai pemilik golongan darah A yang gemar mengulang-ngulang sesuatu kalau kita menganggap suatu hal itu penting (meskipun menurut orang lain tidak), aku juga sering melakukan dosa yang sama. Tapi kalau di setiap beberapa halaman terdapat pengulangan tentang seperempat puting susu yang tertelan...



View all my reviews

Tuesday, April 29, 2014

Ring of Fire: Indonesia Dalam Lingkaran Api

Ring of Fire: Indonesia Dalam Lingkaran ApiRing of Fire: Indonesia Dalam Lingkaran Api by Lawrence Blair
My rating: 5 of 5 stars

Menilik nama penulisnya, sudah jelas buku ini tidak ada kaitannya dengan Ekspedisi Kompas dan Tim Ring Of Fire Adventure (ROFA) yang mendaki gunung-gunung berapi yang teraktif di Negeri Cincin Api Indonesia.

Penulis buku ini adalah oleh Lawrence Blair, antropologis, petualang, dan pembuat film dokumenter. Bersama adiknya, Lorne Blair, selama sepuluh tahun ia memfilmkan secara independen sembilan ekspedisi terpisah di Indonesia. Setelah gagal menjual film tersebut selama lima belas tahun, nasib baik membuat PBS/BBC memilih karya mereka dan memadatkannya menjadi empat episode masing-masing satu jam, dengan judul Ring of Fire: An Indonesian Odyssey. Buku ini ditulis sebagai companion dari serial TV yang memenangkan Emmy Award 1989 untuk National Education Film itu.

Awalnya, kunjungan pertama Blair Bersaudara ke Indonesia adalah untuk menapak tilas penjelajahan Alfred Russel Wallace, menggunakan kapal pinisi Bugis dalam mencari burung Cendrawasih Kuning Besar ke Kepulauan Aru. Berbekal buku klasik Wallace, The Malay Archipelago, bersama berbagai peralatan rekaman dan P3K (tapi tanpa izin merekam film), mereka terbang dari London ke Jakarta.

Namun demikian, sebelum sampai ke Lautan Aru dan melihat-lihat burung cendrawasih, Blair Bersaudara sempat terdampar di Makassar karena belum mendapat kapal. Karena itu mereka sempat mengunjungi Tana Toraja dan mengikuti upacara pemakaman raja Puang Sangalla (yang berlangsung berminggu-minggu!).

Kembali ke masalah kapal, selain demi otentisitas napak tilas Wallace, Blair Bersaudara juga ngotot harus menggunakan kapal pinisi, karena mungkin  itu adalah kesempatan terakhir melakukan mereka pelayaran bersejarah sebelum pinisi Bugis hilang untuk selamanya. Oh ya, di sini aku baru tahu kalau kata 'Boogie man' rupanya berasal dari suku Bugis, para pelaut di Nusantara yang rupanya sedemikian menakutkan bagi para saudagar Eropa, dengan kebengisan dan kemampuan melaut mereka yang bagaikan iblis.
Pinisi Sinar Surya yang kondisinya cukup meragukan
Ketika akhirnya mereka mendapatkan pinisi bernama Sinar Surya, kondisi kapalnya masih perlu banyak perbaikan, sehingga harus menunggu berminggu-minggu lagi untuk berlayar. Waduh, benar-benar ujian kesabaran, deh. Tapi sambil menunggu, mereka sempat mengikuti perburuan ular boa, atau snorkeling di terumbu karang. Di luar dugaan, yang terakhir ternyata sama berbahayanya dengan yang pertama. Brrr!

Sayangnya, ketika akhirnya berlayar, mimpi mereka indah mereka akan pelayaran bak Wallace hancur berantakan, karena ternyata pelaut Bugis yang mereka sewa tidak secanggih leluhurnya yang penguasa lautan. Namun demikian, ekspedisi tetap jalan terus. Sempat mampir di Buton, Ambon, dan Banda, sebelum akhirnya Blair Bersaudara mencapai tujuan utama mereka: Kepulauan Aru dan Cendrawasih Kuning-Besar.
Akhirnya...

Petualangan berikutnya yang diceritakan adalah perjalanan ke Desa Onatjep, di wilayah Agats, Papua, untuk memfilmkan suku Asmat di sana. Sebelum datang bersama Lawrence, tahun sebelumnya Lorne telah datang dengan ekspedisi yang lain, sehingga ia disambut dengan hangat dan menjadi bintang tamu. Belum apa-apa, mereka sudah mendapati salah seorang penduduk mati dengan anak panah mematikan menembus kerongkongan! Dan di sini pula, kita mengetahui nasib yang menimpa Michael Rockefeller, yang hilang tanpa jejak dalam perjalanannya 'berbelanja' koleksi seni Asmat.

Blair Bersaudara juga sering berkunjung ke Pulau Komodo, terutama sebagai pemandu wisata Lindblad Explorer, yang mengangkut penumpang yang membayar mahal dan ilmuwan-ilmuwan selama enam minggu melalui perairan Indonesia. Banyak cerita kocak antara Blair Bersaudara dengan para komodo, dari yang semula susah dicari sehingga harus dipancing dengan "kurban persembahan", sampai yang tidak perlu dicari serombongan datang sendiri saat Blair Bersaudara dengan pedenya tidak membawa hewan kurban, sehingga boleh dibilang mereka sendirilah "kurban persembahan" yang dinanti-nanti para komodo!
Komodo makan hewan kurban: adegan yang ditunggu-tunggu wisawatan
Peristiwa lain yang susah ditebak waktunya untuk diliput adalah ritual Pasola, olahraga perang tahunan di Pulau Sumba, antara dua tim yang terdiri dari ratusan prajurit berkuda yang melontarkan lembing ke antara prajurit atau ke... penonton. Butuh bertahun-tahun bagi Blair Bersaudara untuk mendapat kesempatan menyaksikannya, karena waktunya sangat tergantung keputusan para Ratu, para pendeta lokal (meskipun ternyata bisa saja berlangsung gara-gara dipaksa pemerintah!). Pasola berlangsung sepanjang pagi, terus sampai petang, sampai sejumlah darah tumpah. Benarkah ritual ini merupakan pengurbanan manusia terselubung sebagaimana dugaan Blair Bersaudara?
Ritual Pasola

Petualangan besar lain yang dibahas cukup panjang di buku ini adalah kisah Blair Bersaudara mencari suku nomaden Punan di belantara Kalimantan, dengan berjalan kaki hampir 1.000 kilometer! Wow, luar biasa memang dedikasi para petualang ini! Ditemani para portir yang rupanya suku Punan yang sudah berbaur dengan masyarakat modern, rombongan pun menempuh perjalanan berminggu-minggu, bertemu berbagai binatang baik yang indah maupun yang mematikan, melintasi berbagai kondisi rimba dari tanah gambut, rawa, dan sungai, sampai nyaris kelaparan karena perbekalan makanan mulai menipis. Untungnya, pemandu mereka juga pemburu jagoan, sehingga ada saja hasil buruan yang bisa dimakan, termasuk siamang yang dipanggang di atas api. Untungnya, perjalanan jauh dan melelahkan ini tidak sia-sia karena Blair Bersaudara akhirnya menemukan suku Punan yang dianggap sudah punah itu!

Membaca buku hardcover setebal 391 halaman ini sama sekali tidak terasa, karena gaya bertutur Lawrence yang kocak. Sense of humor Blair Bersaudara dalam menghadapi berbagai macam ujian, cobaan, dan tantangan unik pada berbagai penjelajahan di Indonesia ini juga membuat pembaca jadi asyik mengikuti petualangan mereka. Membaca buku ini juga menyadarkan para pembaca, khususnya pembaca Indonesia, bahwa ada begitu banyak tempat di Indonesia yang menarik untuk dikunjungi dan dijelajahi, yang tidak kalah indah dan eksotisnya dibanding negara lain, dan mungkin membuat kita ingin menyanyikan salah satu lagu Ismail Marzuki...

Tanah airku Indonesia
Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang kupuja sepanjang masa...




View all my reviews

Thursday, March 20, 2014

It's Not Just Dinner, It's An Adventure

Strange Foods: Bush Meat, Bats, and Butterflies; An Epicurean Adventure Around the WorldStrange Foods: Bush Meat, Bats, and Butterflies; An Epicurean Adventure Around the World by Jerry Hopkins
My rating: 5 of 5 stars

Pernah mencoba menyantap makanan yang tidak biasa dimakan?

Sejauh ini, makanan yang tidak biasa yang pernah kucicipi cuma sedikit variasinya, di antaranya telur penyu, ubur-ubur, dan belalang goreng. Sementara itu, banyak makanan yang sudah dianggap biasa di Indonesia, barangkali malah termasuk makanan aneh bagi warga negara asing, misalnya buah durian yang aromanya begitu luar biasa (dan aku termasuk yang tidak begitu suka rajanya buah ini gara-gara aromanya).

Jerry Hopkins, penulis buku ini, adalah koresponden dan editor majalah Rolling Stone selama hampir dua puluh tahun. Ia juga telah menulis puluhan buku,  termasuk biografi Jim Morrison dan Elvis Presley. Buku-bukunya mengulas beragam hal, dari sejarah, humor, jurnalisme, makanan, lingkungan, kebudayaan, dan tentu saja biografi. Ia juga bekerja sebagai penulis feature, reporter, dan kritikus musik. Tapi di atas segalanya, ia seorang petualang, bukan hanya sebagai traveler, tapi juga petualang makanan. Prinsipnya: "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung", dan makanan bukan perkecualian.

When in Rome, do as the Romans do

Buku ini dibagi dalam enam segmen, yaitu enam jenis bahan makanan, yang terdiri dari:
- mamalia
- reptil dan makhluk air;
- serangga, laba-laba dan kalajengking;
- burung;
- tumbuhan;
- leftover

Mamalia
Sebagai bahan makanan, mamalia bukan hal yang aneh. Toh kita biasa makan daging sapi dan kambing, atau daging babi buat yang nonmuslim dan nonyahudi. Mamalia yang dibahas Hopkins di sini mencakup yang berukuran kecil macam tikus dan kelelawar, sampai yang berukuran raksasa seperti gajah dan ikan paus. Oh tentu saja, anjing juga umum sebagai bahan makanan di Asia (termasuk di beberapa daerah Indonesia). Para aktivis animal rights di Eropa dan Amerika sudah pasti mencak-mencak, karena anjing dan kucing di sana adalah binatang peliharaan di Eropa, dan tidak diternakkan untuk bahan makanan. Dan bahan makanan yang juga memancing protes dan bisa menimbulkan ketegangan antara negara yang berbeda budaya kuliner termasuk primata dan ikan paus.

Kepala gorila, anyone?

Omong-omong tentang primata, Hopkins juga membahas bahan makanan dari mamalia yang paling akrab dengan kita: manusia. Bukan berarti Hopkins sudah menyantap daging manusia sih (meskipun dia membuat dan memakan hidangan yang berbahan dasar plasenta), tapi sejarah kanibalisme dari zaman prasejarah sampai zaman modern dibahas total di sini.

Reptil & Makhluk Air
Takut dimakan ular, buaya dan ikan hiu? Tenang, statistik membuktikan jauuuuuh lebih banyak ular, buaya dan ikan hiu yang dimakan manusia. Sebagai omnivora yang bisa makan apa saja, manusia juga tidak sungkan-sungkan menyantap kadal (termasuk iguana dan komodo!), katak dan kodok, ikan fugu, ubur-ubur, siput, ulat, dan telur ikan.

Ih, seladanya layu! #salahfokus


Burung
Saat ini, burung paling populer sebagai bahan makanan di dunia adalah ayam. Berikutnya, kalkun, bebek, angsa, dan itik. Saat ini, burung unta dan kasuari juga sudah mulai masuk katalog bahan makanan. Dan meskipun kecil, burung-burung seperti merpati, gagak, dan walet juga biasa dimakan di banyak tempat. Dan bukan hanya telurnya yang juga disantap, tapi sarangnya juga. Buatku tidak ada yang aneh, sampai ketemu balut: telur bebek rebus berisi embrio berusia enam belas sampai delapan belas hari. Sudah hampir jadi anak bebek!

Serangga, Laba-laba, dan Kalajengking

Kalau bahan makanan yang ini, baru deh kuanggap aneh (meskipun aku pernah makan belalang goreng, yang rasanya memang enak, renyah kriuk-kriuk, asal tidak memperhatikan kepala, kaki dan sayapnya :P). Katanya sih kandungan protein dan nutrisinya luar biasa, tapi... makan capung, semut (ini juga pernah, tapi nggak sengaja biasanya), rayap, laba-laba, kalajengking, kumbang, jangkrik, tonggeret, kupu-kupu...

Asparagus-nya kelihatan enak, ya?


Tumbuhan
Bahan makanan yang dianggap aneh di sini adalah jamur beracun, buah keluak, kelopak bunga, kaktus, dan iya... buah durian.

Leftover
Yang dimaksud di sini memang makanan sisa, atau bahan yang umumnya tidak dipakai bahan makanan, seperti darah misalnya. Tapi selain itu dibahas juga bahan makanan yang disantap hidup-hidup macam ikan, udang, gurita, belut, atau lobster... di mana makanannya masih bergerak-gerak, setengah hidup, malah bisa kabur sekalian.

Jangankan sampai mencicipi makanan yang aneh-aneh, membaca buku meja kopi (apa sih terjemahan yang benar dari coffee table book?) yang tebal dan bersampul keras ini sudah merupakan petualangan tersendiri. Foto-foto makanannya asyik-asyik dan kelihatan lezat pula, meskipun mungkin aku tidak seberani itu untuk menyantap sebagian besar di antaranya.

Berani mencoba tantangan ini?


View all my reviews

Saturday, January 7, 2012

Sleepers

SleepersSleepers by Lorenzo Carcaterra
My rating: 5 of 5 stars

Empat orang sahabat masuk ke penjara anak-anak, dan keluar dari tempat itu dengan trauma dan dendam yang terkubur dalam ingatan akibat perlakuan keji para penjaganya.

Dua orang menjadi penjahat, satu orang menjadi reporter, dan satu orang lagi menjadi asisten jaksa wilayah.

Setelah belasan tahun berlalu, dua dari empat sahabat itu membunuh salah satu mantan penjaga penjara yang menyiksa mereka, dan dua sahabat yang lain bekerja sama untuk membebaskan mereka sekaligus membongkar kebusukan sistem penjara anak-anak termasuk para penyiksa mereka yang selama ini lolos dari hukum.

Kisah nyata ini diangkat ke layar lebar dengan sutradara Barry Levinson dan didukung ensambel aktor berbobot, dari Robert De Niro, Dustin Hoffman, Brad Pitt, Jason Patric dan Kevin Bacon.

How I hated the character played by Bacon, and how I ended up crying at the end of the movie...

View all my reviews