Tuesday, March 7, 2017

The Hidden Oracle

Judul : The Hidden Oracle

Serial : The Trials of Apollo #1

Penulis : Rick Riordan

Penerbit : Mizan Fantasi

Tebal : 472 halaman

Dibeli di : Gramedia.com

Harga beli : Rp. 67.150,- (off 15%)

Dipesan tanggal : 27 Februari 2017

Diperoleh tanggal : 2 Maret 2017

Dibaca tanggal : 6 - 7 Maret 2017

Review :
Setelah membaca keluh kesah tokoh utama cerita ini di sepanjang buku dari halaman awal sampai halaman akhir, aku hanya bisa mengutip kata-kata bijak di bawah ini:


Meskipun setiap kali terbit sudah pasti kubeli, aku sudah nyaris bosan dengan serial fantasi hasil produksi Rick Riordan (iya, sudah kayak pabrik saja soalnya). Dari serial demigod Dewa-Dewi Yunani, demigod Dewa-Dewi Romawi, demigod Dewa-Dewi Mesir, demigod Dewa-Dewi Viking, dan entah apakah suatu hari nanti dunia Dewa-Dewi India bakal dibahas juga atau tidak. Apalagi, ternyata semua serial itu masih satu universe! Yang namanya cerita berbasis mitologi bisa jadi sumber bahan cerita yang tidak ada habisnya, bisa diulik dari berbagai segi dan sudut pandang, bahkan untuk cerita yang pada dasarnya sama bisa dibuat dalam berbagai versi.

Namun ternyata... buku yang satu ini tidak bikin bosan, malah sangat menghibur saking kocak dan ancurnya!

Kali ini, Riordan masih mengambil cerita dari dunia Dewa-Dewi Yunani, tapi narator dan tokoh utamanya bukan demigod lagi, melainkan seorang dewa malang yang dihukum buang menjadi manusia fana gara-gara tidak becus mendidik anak. Ya, dari nama serialnya sudah jelas siapa: Apollo.

Mau tidak mau, otomatis aku jadi teringat dan membandingkannya dengan cerita dewa lain (yang dibuang ke bumi dan menjadi manusia fana juga) dari universe yang berbeda, Marvel Cinematic Universe, tepatnya Thor. Di situ Odin cuma membuat Thor kehilangan kesaktiannya, sementara tampang dan body-nya masih oke, minimal mirip-mirip Chris Hemsworth-lah.

Zeus tidak sebaik itu. Apollo dijadikan berwujud remaja 16 tahun yang penampilan dan namanya tidak ada keren-kerennya. Kesaktian? Tidak ada yang tersisa, dipalak preman kelas teri pun ia babak belur tak berdaya. Fasilitas pun tidak ada lagi, ia cuma dapat bekal seratus dolar di dompet bututnya. Mana cukup buat hidup di New York.

Untungnya, Apollo tidak dibuat lupa ingatan. Minimal ia bisa memikirkan cara untuk survive dan kalau bisa mencari cara untuk kembali ke khittahnya sebagai dewa. Masalahnya, ia tidak tahu apa misi yang harus dijalankannya di dunia, karena ketiadaan oracle yang juga mempengaruhi nasib para demigod yang jadi pengangguran banyak acara. Tapi sebagai (mantan) dewa ramalan, tentu saja Apollo tetap merasa bertanggung jawab untuk memulihkan keadaan.

Kisah perjuangan hidup Apollo ini asyik untuk diikuti karena kita dibawa melihat dunia dengan sudut pandang dan cara berpikir seorang dewa yang super egois dan narsis berat. Saking terlalu biasanya hidup mudah, adaaaaa saja yang dikeluhkan Apollo. Mungkin hampir semua hal yang terjadi di sekelilingnya menjadi bahan komentar dan curhatnya, yang selalu membandingkannya dengan kondisi seandainya ia masih seorang dewa.

Namun demikian, apabila kita bisa tahan menelan keluhan dan kesombongan Apollo sepanjang buku, kita juga bakal tahu kok kalau ia ternyata punya banyak kelebihan juga, yang dapat membuat kita menjadi jatuh simpati dan respek kepadanya, sehingga berharap ia mampu dan tabah menjalani cobaan, serta berhasil menyelamatkan dunia dengan segala keterbatasannya.

Omong-omong, sepertinya Riordan menganggap pembaca buku ini sudah pernah membaca buku-buku sebelumnya, karena banyak cameo dan referensi numpang lewat yang mungkin bisa memuaskan para pembaca setia, namun dijamin bisa membuat bingung mereka yang baru berkenalan dengan karya Riordan lewat buku ini.

Kesimpulan :
Ditunggu sekuelnya, Om Riordan!

Review singkat buku ini dibuat dalam rangka mengikuti tantangan ini:
Kategori : Fantasy Fiction

Monday, March 6, 2017

CockaDoodle-Doo, Mr Sultana!


Judul : CockaDoodle-Doo, Mr Sultana!

Penulis : Michael Morpurgo

Penerbit : HarperCollins' Children Books

Tebal : 96 halaman

Dibeli di ; Bybooks FX Senayan

Harga beli : Rp. 10.000,-

Dibeli tanggal : 11 Februari 2017

Dibaca tanggal : 23 Februari 2017

Review :
Membaca buku-buku Michael Morpurgo belakangan ini, rasanya cuma buku ini yang jelas sangat berbeda.

Mengapa?

Pada umumnya latar belakang cerita Morpurgo cukup suram, ya peranglah, ya sakitlah, etc, etc. Buku ini berbeda, karena murni cerita anak-anak... yang absurd!

Plotnya sederhana saja, tentang seorang sultan di kerajaan antah berantah yang sangat kaya, sangat pemalas, sangat tamak, dan sangat gendut!

Begitu kayanya, sampai istananya terbuat dari marmer dan emas berkilauan. Sampai kancing pakaian sutranya terbuat dari berlian. Begitu pemalasnya,  sampai untuk gosok gigi pun ada pelayan yang khusus mengerjakannya. Begitu tamaknya, sampai setiap saat makan pagi/siang/malam, ia makan seekor merak gemuk dan semangkuk besar daging sendirian. Semua itu membuatnya sangat gendut dan kasurnya saja bisa muat lima orang!

Nah, tapi, yang paling ia sukai tentu saja hartanya. Saking sayangnya, ke manapun ia pergi ia membawa kotak hartanya. Sayangnya, sang sultan ternyata pelit luar biasa, karena rakyatnya hanya bisa hidup seadanya.

Itu baru pembukaan sih. Cerita sebenarnya dimulai ketika sang sultan pergi berburu, lalu kudanya yang sudah tua ambruk karena tak kuat menahan beban yang luar biasa. Ndilalah, salah satu kancing berlian sultan copot di luar pengetahuannya, dan baru ketahuan waktu pemiliknya sudah balik ke istana. Sang sultan pun mengamuk dan menginstruksikan pencarian sebutir berlian itu.

Eh, ternyata berlian itu ditemukan oleh seekor ayam jago milik seorang wanita miskin. Dan si ayam ternyata punya prinsip: Finders Keepers!

Begitu ketahuan oleh sang sultan, karena tak ada yang mau mengalah, akhirnya anak buah sultan berebut berlian dengan si ayam! Si ayam berhasil lolos, tapi berliannya jatuh dan kembali ke tangan sultan.

Berakhirkah cerita ini? Belum. Karena si ayam jago akhirnya membalas dendam, berubah jadi teroris, yang masuk ke istana, meneror sang sultan, menganggu ketenangan hidupnya sambil terus berseru: "Kukuruyuk, Mr. Sultana!"

Bagaimana akhir kisah perang antara sultan vs ayam jago ini? Apakah kita memihak tirani? Atau kita memihak teroris?

Kesimpulan :
Ambil sendiri setelah membaca cerita absurd pembalasan dendam sang ayam ini.

Review ini dibuat dalam rangka memenuhi tantangan di bawah ini:
Kategori : Children Literature

Toro! Toro!

Judul : Toro! Toro!

Penulis : Michael Morpurgo

Penerbit : HarperCollins' Children Books

Tebal : 128 halaman

Dibeli di : Bybooks FX Senayan

Harga beli : Rp.10.000,-

Dibeli tanggal : 11 Februari 2017

Dibaca tanggal : 1 Maret 2017

Review :
Pada novel ini, meskipun tetap bertema perang, kali ini latar belakangnya adalah Perang Saudara Spanyol di tahun 1930-an, yaitu perang antara kaum Republikan, golongan sosialis kiri, dengan kaum Nasionalis, golongan fasis kanan.

Seperti gaya Morpurgo pada umumnya, kisahnya diceritakan di masa kini oleh orang yang mengisahkan masa lalunya. Ini adalah kisah seorang kakek pada cucunya.

Sang kakek, yang semasa kecilnya dipanggil Antonito, tinggal di Andalusia, di sebuah tanah pertanian kecil di Sauceda. Ia tinggal bersama orang tuanya dan kakak perempuan yang lebih tua sepuluh tahun. Mereka memelihara berbagai ternak, tapi utamanya sapi, banteng hitam untuk atraksi banteng. Dan dari puluhan banteng, Antonito paling dekat dengan anak banteng yang dinamai Paco, karena ia memeliharanya sejak kelahirannya, sampai mereka berdua dipisahkan agar Paco dapat dibesarkan sebagai banteng sejati.

Antonito baru menyadari nasib yang akan menimpa Paco yang disayanginya ketika untuk pertama kalinya ia ikut menonton atraksi banteng. Kebetulan, pamannya Juan adalah seorang matador yang dijuluki El Bailarin, Sang Penari, karena keahliannya  menari bersama banteng. Namun ternyata, matador tidak cuma "menari" bersama para banteng, tapi bersama para banderillero dan picador, menusuk dan membunuh banteng sampai mati di lapangan.

I didn't tell Paco what I'd seen that day -- I didn't ever want him to know.
"I'll take you away so you can live wild up in the hills, where you'll be safe for ever and ever. I'll work something out, I promise you."

Demi menolong Paco, Antonito bertekad untuk membawanya kabur dari pertanian. Di tengah suasana perang yang mulai mempengaruhi kehidupan desa tanpa terlalu dipahaminya, Antonito menyusun ide dan mencari waktu yang tepat untuk melaksanakan rencananya. Namun demikian, Antonito tak pernah menduga apabila waktu yang dipilihnya bertepatan dengan pemboman yang dilakukan beberapa pesawat yang melintas di atas desanya.

Apakah itu nasib baik? Atau nasib buruk? Ia berhasil membebaskan Paco ke alam liar, namun seluruh keluarganya tewas dalam api dan bara.

Antonito mengakhiri ceritanya dengan perjuangannya untuk bertahan hidup dalam peperangan. Dan tentang legenda The Black Phantom, banteng muda yang melindungi pasukan kaum Republikan dari kejaran Guardia Civil. Sepanjang hayatnya, Antonito selalu meyakini bahwa banteng itu adalah Paco, yang telah hidup liar di alam bebas.

Kesimpulan :
Seperti biasa, Michael Morpurgo bertutur tanpa eufemisme. Kita dibawa ke medan corrida, dan diajak menahan nafas saat menyaksikan tarian maut antara matador dan banteng. Kita dibawa menyaksikan pembantaian banteng demi atraksi massa. Ada di manakah kita? Di sisi para penonton yang bersorak melihat bagaimana ahlinya sang matador menghabisi sang banteng? Atau di sisi mereka yang memiliki sudut pandang yang sama dengan Antonito? Bahwa corrida hanyalah panggung kematian para banteng yang telah dibesarkan dengan penuh kasih sayang?

Kita juga dibawa menyaksikan kekejaman perang dari sisi anak-anak yang tidak memahami politik dan ideologi, namun tetap menjadi korban.

Selain itu, kita jadi sadar mengapa Morpurgo senang bercerita dengan model dongeng seorang kakek kepada cucunya.

Well, saat menuliskan cerita-cerita belakangan ini, Morpurgo sudah menjadi seorang kakek.

Review singkat ini dibuat dalam rangka mengikuti tantangan di bawah ini:
Kategori: Lima Buku dari Penulis Yang Sama















The Butterfly Lion

Judul : The Butterfly Lion

Penulis : Michael Morpurgo

Penerbit : HarperCollins' Children Book

Tebal : 112 halaman

Dibeli di : Bybooks FX Senayan

Harga beli : Rp. 10.000,-

Dibeli tanggal : 11 Februari 2017

Dibaca tanggal : 1 Maret 2017

Review :
Cerita yang dituturkan Michael Morpurgo ini lagi-lagi berlatar belakang perang, dan kali ini Perang Dunia I, sama seperti cerita War Horse. Benang merah ceritanya pun agak mirip dengan War Horse: seseorang yang mendaftarkan diri untuk terjun sebagai prajurit di pasukan Inggris demi bertemu kembali dengan binatang peliharaannya. Bedanya, di novel ini binatangnya adalah seekor singa berbulu putih!

Cerita diawali dengan seorang anak laki-laki yang kabur dari sekolah berasrama gara-gara sering dibully. Tanpa sengaja, ia masuk ke sebuah rumah besar yang dihuni seorang nenek tua bersama anjing peliharaannya.

Bukan, anak laki-laki itu bukan tokoh utama cerita ini.

Sang nenek, yang belakangan diketahui bernama Millie, kemudian bercerita tentang anak laki-laki lain yang zaman dahulu kala juga kabur dari sekolah asrama yang sama dan juga nyasar ke rumahnya. Anak laki-laki lain itu bernama Bertie, dan ia punya cerita lain yang menarik.

Bertie lahir dan besar di tanah pertanian di Afrika Selatan, tanpa saudara dan teman untuk bermain. Suatu saat, ia menyelamatkan seekor anak singa berbulu putih dari gerombolan hyena, yang selanjutnya menjadi binatang peliharaan kesayangannya dan dinamai . Namun saat tiba waktunya untuk berangkat sekolah ke Inggris, singa kesayangannya terpaksa dilepas dan dijual ke pemilik sirkus berkebangsaan Prancis. Bertie bersumpah akan mencari singanya kembali kalau ia sudah besar nanti.

Sementara itu Bertie akhirnya bersahabat dengan Millie, dan akhirnya berkembang ke hubungan yang lebih romantis. Namun hubungan mereka tidak berjalan mulus karena pecahnya Perang Dunia I. Bertie yang saat itu sudah kuliah masuk ke ketentaraan. Motivasinya pergi berperang tidak murni nasionalisme: menemukan kembali singa putihnya di Prancis!

Apakah Bertie bisa bertemu kembali dengan sahabat semasa kanak-kanaknya? Tentu saja. Tapi bagaimana caranya ia bisa sampai bertemu kembali adalah cerita lain, karena kita tetap harus dibawa melewati terlebih dahulu neraka perang parit di Prancis, dan menyaksikan banyaknya para prajurit muda yang tewas berguguran di sekitar Bertie.

Kisah Bertie di medan perang bukanlah cerita yang ringan untuk dibaca anak-anak, namun cerita itu pun sudah banyak disensor, karena pada dasarnya Bertie tidak banyak bercerita tentang kengerian di sana kepada Millie. Untunglah, cerita berakhir manis untuk Bertie. Yah, namanya juga buku cerita anak-anak,agak riskan jadinya kalau Bertie diceritakan tewas di medan perang.

Ada dua twist ending untuk novel ini, yang cukup mengejutkan karena aku tidak mengira endingnya bakal seperti itu. Tapi cuma satu yang akan kuspoiler di sini: anak laki-laki pertama yang kabur dari sekolah dan akhirnya mendengarkan dongeng tentang Bertie dan singa putihnya ternyata adalah... Michael Morpurgo! Well, kan jadi menimbulkan pertanyaan deh: apakah cerita ini diangkat dari kisah nyata, atau hanya khayalan belaka?

Omong-omong, kalau penasaran dan ingin tahu kenapa judulnya The Butterfly Lion, bukannya The White Lion, lebih baik baca bukunya sendiri saja, ya.

Review singkat ini kubuat dalam rangka mengikuti tantangan di bawah ini:
Kategori : Lima Buku dari Penulis Yang Sama




Cool!

Judul : Cool!

Penulis : Michael Morpurgo

Penerbit : HarperCollins' Children Books

Tebal : 112 halaman

Dibeli di : Bybooks FX Senayan

Harga beli : Rp. 10.000,-

Dibeli tanggal : 11 Februari 2017

Dibaca tanggal : 1 Maret 2017

Review: 
Bagaimana rasanya apabila kita berada dalam keadaan koma?

Buku ini dituturkan dari sudut pandang Robbie Ainsley, 10 tahun, yang sedang mengalami koma setelah tertabrak mobil di depan rumahnya, saat mencoba menyelamatkan Lucky, anjingnya. Ia hanya bisa terbaring di ranjang rumah sakit, tak bisa bergerak, berbicara atau apapun. Namun, sebenarnya, ia sadar, mengetahui apa yang terjadi di sekitarnya, dan mendengarkan semuanya.

Keluarga dan teman-temannya berupaya keras untuk "membangunkan"-nya. Mereka berbicara kepadanya, meskipun sepertinya tidak terlalu yakin kalau Robbie bisa mendengarkan mereka. Tahu-tahu, Robbie malah jadi tempat mereka curcol dan membuka rahasia. Robbie jadi tahu urusan pribadi perawat favoritnya. Ayahnya, yang pisah rumah dengan ibunya, untungnya membawa cerita baik, ingin rujuk dengan ibunya.

Selain keluarga, teman-temannya juga datang untuk menyanyi dan memberikan semangat. Bahkan, pemain bola favoritnya, Gianfranco Zola, juga datang dan menghadiahkannya kaos yang baru dikenakannya dalam pertandingan (sudah dicuci dulu, tentu saja!). Duh, sayang ia tetap tidak bisa bangun!

Berapa lama Robbie harus terus terlelap? Dan mengapa ia tak dapat pulih? Apakah karena Robbie merasa bersalah telah mencelakakan anjingnya? Bagaimana caranya agar Robbie bisa benar-benar bangun?

Jangan khawatir, Michael Morpurgo mengemas cerita ini dengan ringan, sehingga meskipun kondisinya suram bagi semua orang yang mengkhawatirkan Robbie, kita takkan dibawa pada depresi dan keputusasaam yang berkepanjangan. Endingnya pun sangat khas cerita anak-anak!

Review singkat buku ini dibuat dalam rangka mengikuti tantangan di bawah ini:
Kategori: Lima Buku dari Penulis Yang Sama


Friend or Foe

Judul : Friend or Foe

Penulis : Michael Morpurgo

Penerbit : Egmont

Tebal : 122 halaman

Dibeli di : Bybooks FX Senayan

Harga beli : Rp. 20.000,-

Dibeli tanggal : 18 Februari 2017

Dibaca tanggal : 1 Maret 2017

Review :

Jacqueline pernah menulis di salah satu memoarnya bahwa ia kurang menyukai buku anak-anak ala Enid Blyton, karena di sana ceritanya kurang membumi, karena tidak bercerita secara realistis tentang kehidupan sehari-hari seorang anak, terutama yang hidup dalam situasi yang tidak menguntungkan. Oleh karena itu, tema cerita Jacqueline Wilson seringkali cerita tentang anak dari keluarga broken home.

Beda penulis tentu saja beda lagi pendekatannya. Michael Morpurgo banyak menulis novel anak-anak dengan latar belakang yang juga cukup gelap: masa perang dunia.

Dalam buku ini, seperti halnya awal kisah Narnia, David dan temannya Tucky, sebagaimana kebanyakan anak pada masa perang, harus mengungsi dari London yang rawan dihujani bom ke daerah pedesaan yang lebih aman. Selama pengungsian itu, mereka ditampung oleh Bapak dan Ibu Reynolds.

Cerita mulai berkembang ketika dalam peristiwa pemboman kedua anak itu melihat ada pesawat terbang Jerman yang jatuh. Kesaksian mereka tidak diterima pihak berwenang karena tidak ada bukti, sehingga mereka berdua nekad mencari sendiri. Pada saat mencari itulah David mengalami kecelakaan, hampir tenggelam di sungai, kalau saja tidak ditolong oleh salah seorang penerbang Jerman yang mereka cari-cari (omong-omong saat membaca adegan ini aku malah jadi teringat adegan serupa di buku The Eagle Has Landed-nya Jack Higgins).

Kejadian itu menimbulkan dilema. Apakah mereka akan melaporkan kedua penerbang Jerman yang mereka temukan, padahal salah satu dari mereka telah menyelamatkan jiwa David? Dan apabila tidak melaporkan, apakah itu berarti mereka telah mengkhianati negara? Mana yang lebih penting? Sikap manakah yang akhirnya dipilih oleh David dan Tucky?

Buku Friend or Foe ini termasuk salah satu buku Michael Morpurgo yang telah diangkat menjadi film, yaitu pada tahun 1982. Meskipun karena dibuat secara independen film ini tidak seterkenal War Horse yang disutradarai oleh Steven Spielberg, namun film ini telah menjadi bukti bahwa film anak-anak pun dapat menampilkan tema yang sulit dan tidak biasa.

Review buku ini kubuat dalam rangka mengikuti tantangan ini:
Kategori: Lima Buku dari Penulis yang Sama

Farm Boy

Judul : Farm Boy

Penulis : Michael Morpurgo

Penerbit : HarperCollins' Children Books

Tebal : 128 halaman

Dibeli di : Bybooks FX Senayan

Harga beli : Rp. 10.000,-

Dibeli tanggal : 11 Februari 2017

Dibaca tanggal : 23 Februari 2017

Review :
Cover buku ini menyebutkan bahwa buku ini merupakan sekuel dari buku War Horse (yang juga pernah kubahas secara singkat di blog ini), namun demikian setelah kubaca, cerita yang disampaikan dalam buku ini sebenarnya berdiri sendiri, bahkan apabila nama tokoh-tokohnya diganti (termasuk Joey si pensiunan kuda perang), tidak akan mengubah cerita sama sekali.

Buku ini mengisahkan hubungan yang erat antara seorang anak laki-laki yang lahir dan besar di kota dengan kakeknya dari pihak ibu, yang tinggal di daerah pertanian di pedesaan. Berbeda dengan orang tuanya, terutama ayahnya, yang sangat kota-centris dan cenderung tidak menyukai kehidupan di desa, sang anak terobsesi dengan kehidupan pedesaan dan sangat senang apabila berlibur ke rumah kakeknya.

Hal yang disukai sang anak terutama apabila sang kakek bercerita tentang masa lalu, termasuk masa lalu ayahnya, sang kakek buyut, yang ternyata tokoh pemeran pembantu di cerita War Horse. Sekilas dikisahkan juga sedikit cerita tentang sang kakek buyut yang pergi berperang demi bertemu kembali dengan Joey, kuda kesayangannya, sampai akhirnya ia (yang kemudian dijuluki Pak Kopral sesuai pangkatnya) dan Joey disambut warga desa saat mereka kembali dengan selamat. Namun tentu saja, bukan itu inti cerita buku ini (kalau mau cerita lengkapnya, silakan baca buku prekuelnya, atau nonton versi filmnya sekalian, lumayan ada Benedict Cumberbatch dan Tom Hiddlestone numpang lewat di situ). Tema cerita selanjutnya adalah bagaimana kehidupan Pak Kopral dan Joey setelah kembali ke dunia pertanian.

Ada cerita dalam cerita di buku ini. Setelah sang cucu mengajari sang kakek menulis dan membaca (terutama supaya sang kakek bisa membaca sendiri novel-novel Agatha Christie yang merupakan penulis favoritnya), ternyata kemudian sang kakek menuliskan cerita dengan bahasa yang sederhana tentang ayahnya dan kuda-kuda kesayangannya, dalam menghadapi perubahan teknologi yang mulai merambah dunia pertanian. Keberadaan kuda tidak dibutuhkan lagi untuk membajak tanah, karena sekarang sudah ada traktor yang bisa menggantikan tenaga kuda!

Cerita pendek sang kakek diakhiri dengan lomba plus taruhan yang menegangkan antara Pak Kopral dengan kuda-kuda kesayangannya, Joey dan Zoey, melawan petani modern yang menggunakan traktornya: untuk membuktikan siapa yang bisa membajak ladang lebih banyak dalam waktu yang sama. 

Review singkat ini dibuat dalam rangka mengikuti tantangan ini:
Kategori: Lima Buku dari Penulis Yang Sama