Sunday, December 28, 2014

In The Tall Grass

In the Tall Grass (Kindle Single)In the Tall Grass by Stephen King
My rating: 4 of 5 stars

Synopsis:
Could there be any better place to set a horror story than an abandoned rest stop? In the Tall Grass begins with a sister and brother who pull off to the side of the road after hearing a young boy crying for help from beyond the tall grass. Within minutes they are disoriented, in deeper than seems possible, and they lost one another. The boy's cries are more and more desperate. What follows is a terrifying, entertaining, and masterfully told tale, as only Stephen King can deliver.

It's a classic!

What can I say? Novella hasil kolaborasi ayah-anak Stephen King dan Joe Hill ini, meskipun menggunakan tema cerita horor yang klasik (baca: klise), tetap gregetable (bahasa apa pula ini :P, pokoknya bikin gregetan) dan bikin merinding kayak digerumuti kepinding.

Cerita diambil dari sudut pandang kakak beradik Cal dan Becky DeMuth yang melewati Kansas dalam perjalanan ke California. Di tengah jalan, karena radio dimatikan dan kaca jendela dibuka, mereka bisa mendengar seorang anak laki-laki berteriak meminta pertolongan karena tersesat dari padang rumput yang tingginya lebih jangkung daripada tinggi manusia dewasa.

Seperti bocoran sinopsisnya, mereka pun menepikan mobil dan memasuki kerimbunan rerumputan demi memberikan pertolongan, lantas keduanya pun ikut tersesat di dalamnya...

Sumpah. Ini asli predictable banget. Horor klasik yang bahkan formulanya sudah sering dipakai Stephen King di cerpen-cerpennya yang terdahulu. Tapi yang membedakan memang bagaimana cara menyajikannya...

Premis cerita sudah bisa diraba ketika Cal dan Becky mendengar suara lain selain suara sang anak, yaitu suara ibunya. Sementara sang anak menjerit-jerit minta tolong, sang ibu malah berusaha mencegahnya...

Setelah berputar-putar tak karuan, Cal dan Becky sendiri akhirnya menyadari ada yang tidak beres setelah meloncat ke ketinggian untuk melihat posisi mereka. Meskipun baru masuk beberapa puluh langkah, mereka mendapati telah berada jauh di tengah padang rumput, bagai terhanyut gelombang ke tengah-tengah samudra luas. Dan setiap usaha kembali ke tepian malah membuat mereka terhanyut lebih jauh...

Silakan masuk ke sarangku, kata laba-laba kepada lalat

Asli, meskipun ini cuma novella, aku menghabiskan waktu cukup lama untuk membacanya karena... takut. Saking klasiknya cerita model begini, aku sampai takut melanjutkan cerita karena khawatir atas apa yang akan terjadi pada kakak-beradik DeMuth. I know something bad will happen to them!

Bisa-bisanya aku mau saja ditakut-takuti oleh ayah-anak ini! XD

Tapi tentu saja aku akhirnya nekad melanjutkan baca. Kagok sih, dan penasaran juga.

Dan... ugh! Ugh! Ugh! Tentu saja prediksiku menjadi kenyataan in the worst worst worst way! Dan endingnya... membuatku malah jadi berpikir... the importance of being ignorance and not helping the other people!

Bagiku, ayah-anak ini memang The Kings of Horror, sesuai nama mereka!

View all my reviews

Aruna & Lidahnya

Aruna & LidahnyaAruna & Lidahnya by Laksmi Pamuntjak
My rating: 3 of 5 stars

Sinopsis:
Aruna Rai, 35 tahun, belum menikah. Pekerjaan: Epidemiologist (Ahli Wabah), Spesialisasi: Flu Unggas. Obsesi: Makanan.

Bono, 30 tahun, terlalu sibuk untuk menikah. Pekerjaan: Chef. Spesialisasi: Nouvelle Cuisine. Obsesi: Makanan.

Nadezhda Azhari: 33 tahun, emoh menikah. Pekerjaan: Penulis. Spesialisasi: Perjalanan dan Makanan. Obsesi: Makanan.

Ketika Aruna ditugasi menyelidiki kasus flu unggas yang terjadi secara serentak di delapan kota seputar Indonesia, ia memakai kesempatan itu untuk mencicipi kekayaan kuliner lokal bersama kedua karibnya. Dalam perjalanan mereka, makanan, politik, agama, sejarah lokal, dan realita sosial tak hanya bertautan dengan korupsi, kolusi, konspirasi, dan misinformasi seputar politik kesehatan masyarakat, namun juga dengan cinta, pertemanan, dan kisah-kisah mengharukan yang mempersatukan sekaligus merayakan perbedaan antarmanusia.


Review (atau sekedar komentar?):

Ini buku wisata kuliner yang menyaru sebagai novel.

Penyelidikan kasus flu burung dengan berkeliling Indonesia boleh jadi sekedar plot driver yang memungkinkan karakternya untuk berburu dan mencicipi makanan/jajanan/apasajayangbisadimakan lokal yang sudah kondang ke mana-mana dan tercantum (atau tidak tercantum sama sekali) dalam Daftar Sakti yang jadi primbon Bono.

Misalnya, pas ke Surabaya, tim yang lebih terobsesi pada makanan daripada wabah flu burung itu mencicipi  botok pakis dan rujak soto. Menyeberang sedikit ke pulau Madura, yang dicari-cari adalah bebek goreng Bangkalan:
yang konon sama lezatnya dengan duck confit yang sempurna. Dan dari buku ini juga aku sama kecewanya dengan Aruna ketika tahu kalau yang namanya Sate Lalat yang tersohor itu cuma sate ayam seukuran lalat:
Iya... aku benar-benar berharap begitu esktrimnya makanan di Indonesia sehingga lalat sekalipun bisa menjadi sumber bahan makanan yang melimpah, menyaingi belalang, capung, dan teman-temannya yang memang lazim dikonsumsi oleh lidah sebagian (kecil? besar?) orang Indonesia.

Menyeberang ke pulau Andalas, tentu saja pempek di Palembang tak boleh dilewatkan. Atau penganan khas Medan yang konon cuma beredar setiap hari Jumat di seputaran Masjid Agung: gulo puan. Atau naniura. Atau rujak Aceh. Atau ayam tangkap.

Dan kalau menyeberang lagi ke pulau Borneo, setelah menginjakkan kaki di Pontianak, yang dipikirkan para karakter pertama kali adalah pengkang:
Dan tidak cukup itu, wisata kuliner di Kalimantan Barat tidaklah lengkap kalau tidak sekalian melipir ke Singkawang untuk mencari mi/kwetiauw, tak peduli harus menempuh jalan darat 150 km dari Pontianak. Namanya juga di Singkawang, bisa dipastikan hidangannya mengandung vitamin B, alias babi.

Intinya, wabah flu burung yang disinggung sekali-sekali tidaklah begitu penting dibandingkan obsesi para karakternya terhadap makanan, yang bahkan ketika bermimpi pun temanya tidak jauh-jauh dari makanan.

Namun, sikap terhadap makanan dalam buku ini kadang terasa kontradiktif. Salah satu karakter berusaha sebisa mungkin menghindari makanan yang mengandung daging/minyak babi karena diharamkan oleh agama. Tapi, ia tidak menghindari zina, atau seks di luar nikah. Apakah dosa memakan makanan haram lebih berat dibandingkan melakukan perbuatan haram? Ataukah ini memang sekedar potret sebagian (kecil? besar?) orang Indonesia yang ingin tampak alim di mata masyarakat agamis tapi ternyata zalim pada diri sendiri sepanjang rasanya enak dan tidak banyak orang yang tahu?

Anyway, bagiku yang makan untuk hidup dan bukan hidup untuk makan, buku ini sukses membuatku kepikiran, mengapa kalau aku sedang dalam perjalanan dinas ke kota/provinsi/pulau lain, aku tidak pernah sengaja/niat banget untuk mencari-cari/mencicipi hidangan kuliner lokal. Kalau kebetulan menemukan dan mencobanya, ya dinikmati. Kalau cuma nemu ayam penyet (yang dibilang Bono sebagai penjajah kuliner negeri ini!), ya tetap disyukuri.Tipe orang ignorance terhadap makanan seperti aku ini memang tipe yang dipandang sebelah mata oleh para karakter di buku ini. Lah, passion, obsession dan prioritas setiap orang memang lain, jeng, tidak bisa dipaksakan.

Sebagai tambahan, bagi para calon pembaca buku ini, diusahakan agar makan kenyang dulu sebelum mulai membaca. Pecinta kuliner ataupun bukan, deskripsi penulis atas berbagai makanan nusantara di buku ini sedikit banyak akan membuat pembaca ngiler dan lapar.


View all my reviews

Sunday, December 21, 2014

Horns

HornsHorns by Joe Hill
My rating: 4 of 5 stars

Bagaimana bila kau tiba-tiba memiliki sepasang tanduk, dan kau tiba-tiba memiliki kekuatan ajaib yang membuat semua orang ingin mencurahkan isi hatinya padamu? Bukan hal yang baik-baik, tapi keinginan jahat, niat buruk, rahasia tergelap, yang selama ini disimpan jauh-jauh di laci ingatan yang paling bawah?

Ig Parrish telah menjadi pariah di kotanya. Ketika kekasih yang amat dicintainya, Merrin, diperkosa dan dibunuh, ia menjadi satu-satunya tersangka. Ia tidak pernah ditangkap dan diadili, tapi semua orang, bahkan orang tuanya, telah mendakwanya bersalah.

Tapi Ig kemudian memiliki sepasang tanduk dan kekuatan supranatural yang dapat mengetahui masa lalu orang yang disentuhnya. Setiap orang yang ditemuinya tanpa dipaksa mengaku dosa padanya, menceritakan rahasia dan niat jelek mereka, bahkan malah seperti meminta atau menunggu persetujuan Ig supaya mereka bisa menjalankan niatnya dengan senang hati dan tanpa rasa bersalah. Apapun tanduk itu, Ig pada akhirnya menerimanya sebagai blessing-in-disguise, dan menggunakannya untuk menemukan pembunuh kekasihnya. Dan membalaskan dendamnya.

Oke, sebelum aku membeli dan membaca buku ini, aku sudah terlanjur menonton filmnya duluan.
Itu pun bukan karena sudah pernah melihat trailernya atau tahu ceritanya seperti apa, tapi semata-mata hanya karena ada foto Daniel Radcliffe bertanduk di sampul DVD-nya. Biasalah, ingin tahu perkembangan kemampuan aktingnya demi membebaskan diri dari imej Harry Potter.

Dan alasan aku membeli buku ini juga bukan karena aku suka banget filmnya. Tapi lebih karena penulisnya adalah Joe Hill. Iya, dia memang anak salah satu penulis favoritku, Stephen King, dan kurasa jalur yang ditempuhnya dengan menulis cerita horor plus absurd sedikit banyak gara-gara pengaruh ayahnya. Tapi menurut pendapatku bukan berarti ia hanya numpang beken. Sebagai penulis, ia punya gaya tersendiri.

Meskipun jalan cerita buku ini sepertinya tampak suram-kelam-gulita, dari gaya penuturannya, terutama di bagian-bagian awal saat Ig mulai menyadari efek tanduknya pada orang-orang di sekelilingnya malah menjurus kocak dan komedi. Black comedy, memang. Tapi itu yang membuatku tetap tertarik untuk terus membaca, meskipun gara-gara menonton filmnya sudah spoiled dan tidak ada kejutan lagi.

Aku juga suka novel pertama Joe Hill, Heart-Shaped Box, dan akan mencoba membaca novel atau karya-karyanya yang lain. I'm looking forward to read In the Tall Grass.

View all my reviews

Friday, December 19, 2014

Schlegelmilch 50 Years of Formula 1 Photography

Schlegelmilch 50 Years of Formula 1 PhotographySchlegelmilch 50 Years of Formula 1 Photography by Rainer W. Schlegelmilch
My rating: 5 of 5 stars

Buku ini buku terberat yang pernah kubeli dan kubaca... secara harfiah. Beratnya 5,17 kg. Jelas bukan tipe buku yang bisa ditenteng ke mana-mana.

Perbandingan dimensi dengan novel mass market paperback
99,99% dari 664 halaman buku ini berisi foto-foto sang fotografer spesialis F1, dan meskipun ada tulisannya itu hanya berupa pengantar dari Bernie Ecclestone, Sebastian Vettel, dan Rainer W. Schlegelmilch sendiri. Namun, pengantar tersebut disajikan dalam delapan bahasa: Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Italia, Portugis dan Swedia.

Bagi penggemar F1, menemukan buku kumpulan foto dengan harga miring mendekati curam ini seperti menemukan harta karun yang amat sangat berharga.

Kita bisa melihat perkembangan F1 dari masa ke masa, dari profil para pembalapnya, para juara dunia, desain mobil, desain helm, sampai desain setir...

Starting line in black and white
Desain mobil jadul mirip selongsong peluru beroda, ya?
Bruce McLaren
James Hunt
Niki Lauda
Ayrton Senna
Desain setir dari masa ke masa
 Sampai ada pula foto penonton balapan yang nekat naik tiang model gini:


Salah satu ciri khas Schlegelmilch adalah foto yang berfokus pada pembalap atau mobil balap, sehingga area di luar fokus menjadi mirip sapuan cat pada lukisan.


Buat yang penasaran, beginilah sosok Schlegelmilch yang telah 50 tahun berkarya di arena F1, dengan ciri khas kumisnya yang tetap lebat sampai tua:

Before and after

View all my reviews

Sunday, December 14, 2014

Pendekar Pemanah Rajawali

Pendekar Pemanah Rajawali, Jilid 1Pendekar Pemanah Rajawali, Jilid 1 by Jin Yong
My rating: 4 of 5 stars

Ini baca ulang entah yang kesekian puluh kalinya, barangkali.

Tapi ini pertama kali aku membaca Sia Tiauw Eng Hiong dengan ejaan Mandarin, yang terus terang saja, tidak familiar di mata dan tidak sinkron di otak. Mau bagaimana lagi, seumur-umur tahunya cuma Sia Tiauw Eng Hiong versi ejaan Hokkian (di teks terjemahan serial TVB sekalipun, meskipun pengucapan para aktor dan aktrisnya memang beda) XD

Bukan itu saja, semua nama julukan dan jurus yang biasanya pada cerita silat (saduran maupun bukan) dipertahankan menggunakan bahasa asli (ejaan Hokkian, tentunya) juga diterjemahkan jadi bahasa Indonesia. Mengurangi ketidaksinkronan? Mungkin saja. Tapi bila biasa dengan istilah Kiu-im Cin-keng atau Hang-liong Sip-pat-ciang, siap-siap saja, jangan berharap menemukannya dalam bentuk teks.

Terlepas dari ejaannya (risiko yang sudah kusadari benar saat membeli edisi ini), rupa-rupanya buku ini adalah terjemahan ini dari Edisi Revisi Baru (kalau menurut halaman pendahuluan dari Jin Yong, ini revisi ketiga). Jadi, jelas, ada beberapa perbaikan dari sang master untuk cerita yang mungkin dianggap kurang pas atau kurang nyambung.

Di awal cerita, yang biasanya dimulai dengan pertemuan pertama Kwee Siauw Thian (Guo Xiaotian) dan Yo Tiat Sim (Yang Tiexin) dengan imam Coan-cin-kauw (aliran Quanzhen) Khu Ci Kee (Qiu Chuji), direvisi dengan menampilkan tetangga mereka yang rajin mencuri harta dan benda berharga lainnya dari istana. Tentunya revisi ini, meskipun hanya terasa bagai tempelan, bertujuan untuk memberikan koneksi dengan jalan cerita di masa yang akan datang, yang bakal mengungkapkan bahwa tetangga mereka itu ternyata mantan murid Oey Yok Su (Huang Yaoshi), yang mencuri harta karun demi merebut kembali hati sang guru.

Di akhir cerita, revisi yang mencolok adalah asal usul Yo Ko (Yang Guo). Di versi awal, Yo Ko adalah anak dari gadis pencari ular yang diperkosa oleh Yo Kang (Yang Kang). Berbeda dengan versi sinetron, eh, video silat, di mana Yo Ko adalah anak Bok Liam Cu (Mu Nianci). Mungkin demi kemaslahatan umat perlu dilakukan sinkronisasi antara kedua versi yang berbeda, atau mungkin juga untuk mengurangi kadar kebejatan Yo Kang, yang kalau di versi lama mengaku cinta pada Bok Liam Cu tapi tetap tega memperkosa gadis lain yang diculik dan dipersembahkan oleh Tiat-ciang-pang. Ini murni opini nuduh dariku sih :)

Pada penutup kisah pertama dari Trilogi Rajawali Jin Yong ini, timbul pemikiran filosofis tentang eksistensialisme, yang dirasakan oleh dua orang yang masing-masing telah mencapai puncak kejayaan yang berbeda: Auwyang Hong (Ouyang Feng) yang menjadi nomor satu di dunia persilatan, dan Jenghis Khan yang menjadi penguasa nomor satu di kolong langit.

Sebenarnya siapa aku?
Dalam hidup ini siapa aku?
Sesudah meninggal bagaimana?
Siapa yang berhasil, siapa yang gagal, akhirnya apa bedanya?

View all my reviews

Friday, December 12, 2014

An Abundance of Katherines

An Abundance of Katherine - Tentang KatherineAn Abundance of Katherine - Tentang Katherine by John Green
My rating: 5 of 5 stars

Setelah membaca beberapa buku John Green, baru buku ini yang membuatku merasa "ini gue banget".

Bagi Colin Singleton, tokoh utama buku ini, banyak hal yang menarik untuk dipelajari (seremeh temeh dan setidakpenting apapun) dan disharingkan kepada orang lain, meskipun sebenarnya mereka tidak tertarik pada apa yang ia bicarakan.

Aku bisa mengidentifikasikan diri pada tokoh utamanya, simply karena aku juga punya penyakit yang sama dengan si Colin yang satu ini (bukan CSL alias Colin Satu Lagi, salah satu tokoh bernama sama yang akan kautemukan dalam buku ini). Memang aku bukan anak ajaib dengan ingatan luar biasa dan jago otak-atik anagram seperti Colin, tapi aku gemar membaca apa saja yang menurutku menarik, dan suka menyampaikan apa yang menurutku menarik (dari bahan bacaanku yang segitu banyak dan randomnya) pada orang lain. Padahal mungkin saja mereka yang mendengarkanku dengan sopan sebenarnya tidak tertarik, atau tidak mau tahu. Hm, harus ada orang seperti Hassan (satu-satunya sahabat Colin) yang bisa secara tegas bicara terus terang padaku "Tidak tertarik" atau "Tidak menarik" pada omonganku yang kadang random abis.

Tapi hanya sampai di sana persamaannya. Colin yang susah move on dari mantan-mantannya yang bernama sama, Katherine I sampai dengan Katherine XIX (yang ternyata Katherine I juga), yang sampai pundung berhari-hari sampai harus melakukan perjalanan untuk menghibur hati yang luka, bukan gayaku sama sekali. Untuk yang satu ini, aku bersyukur menjadi orang pelupa, sehingga untuk urusan mantan, aku mudah melupakan dan malah kalau ada mengungkit cuma bisa bilang "X yang mana ya?" #kejam \(^.^)/

Overall, aku jauh lebih menyukai buku ini dari buku-buku (terjemahan) John Green lainnya yang sudah pernah kubaca. Penyebabnya mungkin bukan hanya jalan cerita dan penuturannya yang lebih menarik, tapi juga faktor terjemahan dan editorialnya. Percuma saja kalau buku aslinya bagus tapi terjemahannya bikin bete. Begitu melihat ke halaman copyright buku ini, aku cuma bisa bilang, pantas saja... :)

View all my reviews

Tuesday, December 2, 2014

SS-GB

SS-GBSS-GB by Len Deighton
My rating: 4 of 5 stars

Aku suka berandai-andai.

Karena itu, aku termasuk yang menyukai cerita dengan setting What-If, atau alternate history.

Serial TV Sliders (1995-2000) yang bercerita tentang parallel universes, di mana sejarah di dunia-dunia lain berjalan ke arah yang berbeda-beda dengan dunia kita, juga salah satu serial TV favoritku. Untuk komik, serial Elseworlds-nya DC atau manga Zipang juga jadi bacaan favoritku.

Bagaimana dengan novel?

Sejauh ini Fatherland-nya Robert Harris, yang bersetting di Jerman setelah usai Perang Dunia II di mana Jerman menjadi pemenangnya, masih berada di urutan teratas novel kesukaanku. Tapi, ternyata konon Robert Harris sendiri mendapatkan inspirasi dari novel Len Deighton yang satu ini.

SS-GB bersetting di Inggris pada bulan November 1941, sembilan bulan setelah invasi Jerman yang kemudian menaklukkan dan menduduki Inggris.

Tokoh utamanya adalah Detective Superintendent Douglas Archer, detektif pembunuhan Scotland Yard yang terkenal dengan julukan Archer of the Yard, atau Sherlock Holmes tahun 1940an. Sebagai polisi, ia tetap bersikap profesional, tanpa mempedulikan siapapun yang berkuasa di Inggris.

Ceritanya sendiri dimulai dari penyelidikan pembunuhan di sebuah toko barang antik, yang entah kenapa menimbulkan perhatian pemerintah pusat di Jerman. SS Standartenfuhrer Huth diutus untuk memimpin penyelidikan, dan mengusik ketenangan Gruppenfuhrer Kellerman, yang menjabat sebagai kepala kepolisian di Inggris.

Penyelidikan pembunuhan itu membawa Archer pada kelompok bawah tanah Inggris yang ingin membebaskan sang Raja yang ditahan di Menara London serta penelitian bom atom yang dilakukan secara diam-diam oleh militer Jerman di Inggris. Bukan hanya itu, Archer juga terjebak di tengah-tegah perebutan kekuasaan antara militer Jerman dengan SS, bahkan dalam tubuh SS sendiri, karena Kellerman ingin menyingkirkan Huth yang berpotensi mengambil alih "kerajaan"-nya, sedangkan Huth ingin membersihkan kepolisian Inggris dari pejabat yang korup sekaligus berusaha mencegah militer Jerman mengambil alih kekuasaan di Inggris dari tangan sipil.

Archer yang semula hanya berprinsip menunaikan tugas sebagai detektif dengan sebaik-baiknya pun harus memilih untuk berada di pihak yang mana untuk tetap survive tanpa mengorbankan integritasnya. Membantu kelompok bawah tanah yang pernah berusaha membunuhnya karena profesinya sebagai polisi membuatnya dianggap anjing pemburu Jerman? Membantu Huth membersihkan kepolisian Inggris yang korup? Atau cukup jadi polisi yang lurus dan jujur tanpa peduli apapun yang terjadi di sekitarnya?

Dalam novel ini, karakter yang paling kusukai bukan tokoh utamanya, melainkan Standartenfuhrer Huth. Meskipun ia memilih masuk SS karena prinsip memilih pihak yang menang, dan termasuk jenis atasan yang mementingkan hasil tanpa mau tahu prosesnya, ia adalah gambaran polisi yang efektif, efisien, dan yang paling penting: bersih. Kemampuannya memahami karakter manusia dengan sangat baik membuatnya sanggup membaca strategi dan arah permainan lawan. Pada akhir novel, Huth-lah, dan bukan Archer, yang mengungkap dan menguraikan apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang akan terjadi, dalam kaitannya dengan benang kusut konspirasi dan tragedi yang melibatkan Archer.

Omong-omong, kalau membaca tentang Raja Inggris di kurun waktu ini, mau tak mau yang kubayangkan adalah Colin Firth, sebagaimana penampilannya di film The King's Speech. Sayangnya, nasib Raja Inggris di kisah sejarah alternatif ini kurang menguntungkan. Sudah kalah perang, invalid, ditawan di Menara London, lalu masih juga harus... *spoiler alert*


View all my reviews

Sunday, November 30, 2014

F in Exams: The Very Best Totally Wrong Test Answers

Waktu sedang iseng berselancar di TUEBL, tak sengaja aku kepentok buku ini:


Membaca judulnya saja, jelas ini buku humor yang merangkum jawaban ngaco dalam ulangan atau ujian, yang ditulis para siswa gara-gara nge-blank total saat membaca soal. Hm, prinsip yang mereka anut pasti lebih baik mengisi jawaban daripada kosong sama sekali, siapa tahu ada upah nulis. Tapi sial, kayaknya tetap dikasih nilai F untuk usahanya

Di sini aku hanya mau mengutip beberapa jawaban ngaco yang membuatku senyum-senyum sendiri, bahkan sampai terkekeh-kekeh saat membacanya.

What type of attractive force or bond holds the sodium ions and chloride ions together in a crystal of sodium chloride?

James Bond.

Over the last 50 years there has been a significant change in the concentration of carbon dioxide. Give a reason for this.

It's easily distracted.

Write the first and second Law of Thermodynamics.

First rule of thermodynamics is you do not talk about thermodynamics.

Second rule of thermodynamics is you do not talk about thermodynamics.

Describe the term "stakeholder"

A vampire hunter.
Buffy being the most famous.

Name six animals that live specifically in the Arctic

Two polar bears.
Four seals.

Where was the Declaration of Independence signed?

At the bottom.

Why was the Berlin Wall built?

Germany was competing with China.

What is having only one spouse called?

Monotony.


Aku jadi berpikir kenapa dulu aku lurus-lurus saja, selalu mengosongkan lembar jawaban kalau tidak tahu jawabannya. Padahal, kalau murid-murid menjawab dengan kreatif, kan bisa dijadikan bahan oleh guru untuk menyusun buku model begini.

Friday, November 28, 2014

The 500 Hats of Bartholomew Cubbins

The 500 Hats of Bartholomew CubbinsThe 500 Hats of Bartholomew Cubbins by Dr. Seuss
My rating: 4 of 5 stars

In the beginning, Bartholomew Cubbins didn't have five hundred hats. He had only one hat. It was an old one that had belonged to his father and his father's father before him. It was probably the oldest and the plainest hat in the whole Kingdom of Didd, where Bartholomew Cubbins lived. But Bartholomew liked it--especially because of the feather that always pointed straight up in the air.

Demikian paragraf pembukaan cerita bergambar ini. Ingat lho ya, awalnya topinya cuma ada 1. Lalu bagaimana ceritanya bisa jadi 500 topi?

Bartholomew Cubbins hidup di Kerajaan Didd yang dipimpin oleh Raja Derwin. Nah, dari pertemuan antara Bartholomew dan Derwin inilah timbul plot cerita yang nyleneh.

Pada suatu hari, kereta Raja Derwin lewat di jalan raya. Seperti biasa, rakyat diperintahkan membuka topi untuk menghormati sang raja. Mendadak kereta agung berhenti di tengah jalan hanya gara-gara... Bartholomew masih mengenakan topi. Padahal ia yakin banget sudah buka topi, wong ia memegangi topi dengan kedua tangannya. Kenapa masih ada topi menclok di kepalanya?


Raja jelas ngamuk waktu Bartholomew tidak juga menurut untuk buka topi saja. Padahal, begitu Bartholomew mengambil kembali topi yang ada di kepalanya, dan ia sudah pegang 2 buah topi, tetap saja ada topi yang bertengger di kepalanya.

Bartholomew pun dituduh tukang sulap kurang ajar, dan melakukan penghinaan besar buat raja! Buntutnya ia diciduk ke istana untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tapi, diseret ke balairung dan dipaksa buka topi berkali-kali pun (sampai dicatat oleh Sir Aldric si Juru Hitung kerajaan segala), Bartholomew tetap mengenakan topi!


Raja memanggil para sesepuh istana yang dianggap serba tahu (tapi tidak punya solusi), menyuruh para pemanah jagoan memanah lepas topi Bartholomew berkali-kali (tapi tiada guna), sampai akhirnya memanggil para penyihir istana untuk melenyapkan kutukan topi ajaib itu.

Berhasilkah sang Raja? Atau ia tetap penasaran sampai akhir?

Dibandingkan dengan buku-buku Dr. Seuss lainnya yang cenderung pendek dan penuh dengan kalimat berima, penuturan buku yang satu ini layaknya buku cerita anak-anak biasa, meskipun tetap saja jalan ceritanya tidak biasa dan tetap asyik untuk diikuti karena memang bikin penasaran dan geregetan.

Anyway, sampai akhir cerita (solusinya baru ketemu setelah topi Bartholomew mencapai 500 biji), aku tidak tahu kenapa Bartholomew tidak bisa membuka topinya. Dan Dr. Seuss juga cuma bilang "But neither Bartholomew Cubbins, nor King Derwin himself, nor anyone else in the Kingdom of Didd could ever explain how the strange thing had happened."

Moral cerita yang bisa kita ambil adalah: It just "happened to happen" and was not very likely to happen again.

Atau pendeknya: udah, nggak usah dipikirin. Gitu aja kok repot.

Sebagai pembaca, kita nikmati saja jalan cerita yang nyeleneh bin absurd. Toh, di dunia ini memang terdapat banyak hal yang susah dijelaskan. Hanya orang-orang seperti Fox Mulder saja yang terus penasaran dan berusaha untuk mengungkap rahasia yang kadang tak ada jawabnya.

Oh ya, review singkat buku ini kubuat dalam rangka berpartisipasi dalam event:
Tema Angka dalam Judul Buku
View all my reviews

Thursday, November 27, 2014

The Story of Mankind

Dalam rangka berpartisipasi dalam event BBI pada bulan November ini yaitu:
Tema Newbery Book List
aku mengintip daftar buku Newbery di Wikipedia. Ternyata aku sudah punya beberapa, sudah kubaca tapi belum pernah kureview, tapi bukunya sudah tidak ada di Jakarta. Ya sudahlah, setelah dipikir-pikir lebih baik kalau aku membaca buku Newbery yang belum pernah kubaca. Selanjutnya, seperti biasa kalau kepepet dalam mencari kandidat, aku terpaksa menggunakan the last resort: mengunduh mencari bukunya di dunia maya. Setelah membaca Flora and Ulysses: The Illuminated Adventure-nya Kate DiCamillo dan Doll Bones-nya Holly Black, akhirnya aku malah memilih buku ini :
1922 Newbery Medal Winner
Mengapa aku memilih buku ini untuk kukomentari?
1. Buku ini adalah buku anak-anak pertama yang memenangkan John Newbery Medal;
2. Buku ini ternyata buku nonfiksi/sejarah untuk anak-anak;
3. Kemungkinan sebagian besar teman-teman BBI memilih untuk mereview buku-buku Newbery kontemporer. Sekedar untuk menambah variasi XD; dan tentu saja
4. Buku ini membuatku gatal kepingin mengomentari.

Apa yang menarik dari buku ini?
Buku ini adalah buku sejarah. Period. Tapi gaya penulisan, penuturan, dan bahasa yang digunakan lebih sederhana dan awam, sehingga diharapkan target pembaca buku ini, anak-anak tentu saja, lebih tertarik membacanya.

Penulis buku ini, Hendrik Willem van Loon, adalah sejarawan dan jurnalis Amerika (berdarah Belanda, dan lahir serta dibesarkan di Belanda). Namun selain menulis, ia juga membuat ratusan ilustrasi pendukung seperti ini:



Aku bisa membayangkan Meneer Van Loon sebagai guru sejarah yang berdiri di depan kelas, menjelaskan sejarah peradaban manusia sambil menggambar di papan tulis. Gambarnya tidak mesti bagus-bagus amat, yang penting murid-murid bisa tertarik, dan tidak ketiduran di tengah pelajaran atau kabur keluar kelas.

Buku ini berusaha menyampaikan sejarah secara kronologis (meskipun kadang-kadang melompat ke belakang dan ke depan), dimulai sejak bumi masih berupa bola yang amat panas, yang kemudian dihuni makhluk-makhluk pertama di lautan, di daratan, hingga akhirnya muncul manusia. Jelas karena terbit setelah era Darwin, teori asal-usul manusia yang disampaikan Van Loon adalah teori evolusi, bukan sebagai makhluk surga yang terbuang ke bumi.

Setelah menggambarkan perkembangan manusia zaman prasejarah, Van Loon menuturkan perkembangan sejarah di Mesir, Mesopotamia, Sumeria, Yunani, Romawi, dan terus berlanjut sampai sejarah Eropa di masa zaman pertengahan sampai zaman revolusi industri. Tidak lupa ia mencantumkan juga sejarah beberapa nabi (dan agama) seperti Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad, Buddha, termasuk Confusius dan Lao-tse.

Apa yang tidak kusukai dari buku ini
1. Judul buku
Ketimbang disebut The Story of Mankind, mungkin lebih baik bila disebut sebagai The History of Western Civilization. Atau mungkin kalau mau lebih tepatnya lagi The Story of Mankind as I Know It.

Mengapa? Karena Van Loon hanya menceritakan peradaban manusia dari satu segi, perspektif barat, Eropa dan sekitarnya, tanpa sedikit pun mencantumkan peradaban-peradaban besar lainnya yang sebenarnya hadir pada kurun waktu yang sama: peradaban di Cina, India, Amerika, atau peradaban Islam.

Aku tidak tahu alasan Van Loon tidak mencantumkan peradaban lainnya. Kalau mau berpikir positif, anggaplah sejarah yang ditekuninya memang berfokus pada riwayat peradaban barat, sehingga ia tidak tahu atau hanya tahu sedikit tentang peradaban lainnya. Kalau mau berpikir negatif, mungkin saja Van Loon sebenarnya mengetahui peradaban dunia lainnya, tapi cenderung tidak mengindahkannya dalam penulisan buku ini. Apalagi literatur sejarah barat saja sudah segambreng banyaknya, kalau harus ditambah peradaban lainnya, bisa-bisa bukunya jadi setebal bantal dan tidak menarik bagi anak-anak.

2. Opini pribadi Van Loon
Memang sih, namanya sejarah, bukan ilmu pasti. Siapapun pasti punya interpretasi dan opini sendiri tentang apa yang dipelajarinya. Sama halnya dengan aku yang punya opini sendiri tentang buku ini, yang mungkin berbeda dengan opini pembaca lain :)

Masih sejalan dengan "tidak mencantumkan peradaban lainnya", menurut pendapatku Van Loon cenderung bias dalam teorinya, dan sangat mengagungkan peradaban barat yang modern di atas bangsa-bangsa lain yang (pada zaman buku ini ditulis dan diterbitkan) dianggap lebih terbelakang dan sebagian besar masih berada di bawah jajahan negara-negara Eropa.

Saat menulis tentang sejarah Nabi Muhammad dan agama Islam, ia memang menyebutkan tentang keberhasilan agama Islam (yang menurut pendapatnya karena 2 hal utama: ajarannya yang sangat sederhana, dan tidak serumit agama lain, serta ajaran tentang pahala bagi yang mati syahid sehingga menjadi keuntungan besar bagi pasukan Islam dalam perang melawan pasukan Kristen dalam Perang Salib). Tapi di sisi lain, ia menuliskan bahwa dengan ajaran yang berserah diri pada Allah Yang Maha Kuasa, "such an attitude towards life did not encourage the Faithful to go forth and invent electrical machinery or bother about railroads and steamship lines".

Catatan tambahan itu membuatku merasa Van Loon mungkin hanya mengetahui dunia Islam di masa 1900-an. Mungkin ia tidak tahu bahwa pada masa Eropa berada di Zaman Kegelapan, dunia sains Islam berkembang begitu pesat, membawa obor pengetahuan dari masa Yunani dan Romawi yang terlupakan. Tanpa perkembangan sains pada peradaban Islam, takkan ada renaissance pada peradaban Eropa yang begitu dibanggakannya.

Kesimpulan
Pada bagian belakang, Van Loon menyampaikan bahwa buku ini hanya appetizer, yang bertujuan agar anak-anak tertarik untuk mempelajari sejarah, hal-hal yang tidak semuanya dibahas dalam buku ini. Mungkin apabila anak-anak tertarik untuk belajar sejarah lebih jauh, wawasannya dapat lebih luas dan tidak terjebak hanya dari satu sudut pandang sejarah peradaban manusia. Tapi yang terpikirkan olehku, bagaimana apabila sang anak tidak tertarik untuk belajar lebih lanjut dan hanya terpaku pada buku ini sebagai referensinya? Apakah ia akan tumbuh dengan wawasan yang terbatas?

Untuk bacaan sejarah bagi anak-anak yang tersedia zaman sekarang, aku lebih merekomendasikan Kartun Riwayat Peradaban-nya Larry Gonick. Selain disajikan dengan full gambar kartun yang menarik, full humor yang bisa membuat sejarah peradaban manusia yang penuh kekerasan dan berdarah-darah bisa ditelan anak-anak, serial kartun ini juga menceritakan hampir semua peradaban yang diketahui manusia, dan menurut pendapatku pribadi, obyektif dan bercerita apa adanya tanpa menempatkan satu bangsa atau peradaban lebih tinggi di atas bangsa atau peradaban yang lain.

Aku masih belum membeli ulang koleksi favorit yang turut raib ini. Ada yang bisa membantu?

Selain Kartun Riwayat Peradaban, aku juga merekomendasikan serial Horrible Histories-nya Terry Deary, yang meskipun bukan dalam bentuk kartun, juga disajikan secara jenaka dengan gambar-gambar yang kocak dan, menurutku pribadi, juga obyektif dan bercerita apa adanya.

Aku baru punya sebagian dari serial ini, tapi memang belinya senemunya saja sih

Saturday, November 8, 2014

Seandainya Saya Wartawan TEMPO

Seandainya Saya Wartawan TEMPOSeandainya Saya Wartawan TEMPO by Goenawan Mohamad
My rating: 4 of 5 stars

Di Goodreads, buku ini tidak bisa ku-combine dengan buku edisi sebelumnya.

Tanya kenapa?

Pada buku edisi sebelumnya, Goenawan Mohamad hanya tercatat sebagai penulis kata pengantar saja. Tapi di halaman copyright buku jilid ini, jelas tercantum nama beliau sebagai penulisnya, meskipun kalau melihat sampul depan dan sampul belakang, sama sekali tidak ada tanda-tanda dan penampakannya. Waktu aku membeli buku ini di stand Tempo Publishing di IIBF 2014, mbak penjaga standnya sampai membuka segel plastik salah satu buku hanya supaya aku bisa mengintip dulu halaman copyright-nya karena ingin tahu siapa (atau siapa saja) penulisnya sebelum memutuskan untuk membeli (itu pun yang kubeli akhirnya malah buku yang masih tersegel, bukan buku yang sudah dibuka segelnya oleh si mbak!). Yah, meskipun yang menulis bukan GM pun kemungkinan besar aku tetap membeli buku ini sih...

Singkatnya, setelah membaca buku tipis yang tidak sampai 100 halaman ini (kecuali kalau halaman pengantar dihitung), pembaca akan mengetahui garis-garis besar penyusunan feature, yang jelas sangat berbeda dengan penulisan straight news.

Sebagai majalah mingguan, feature merupakan salah satu kekuatan utama majalah TEMPO, dan sifatnya memang long lasting, sehingga apabila kita membaca edisi lama TEMPO, bahkan terbitan belasan atau puluhan tahun yang lalu, artikel yang berupa feature masih tetap terasa enak dibaca dan perlu.

GM membaca buku untuk belajar penulisan feature karya Daniel R. Williamson, dan kemudian mengadaptasinya bersama alm. Slamet Djabarudi dengan bumbu-bumbu spesial, dan mencetaknya untuk bahan pendidikan di dalam TEMPO. Tapi sekarang, buku ini resmi dipublikasikan untuk para peminat jurnalisme pada umumnya. TEMPO mencoba menulis jujur, jelas, jernih, dan jenaka. Dengan buku ini, diharapkan yang dapat ditularkan bukan sekedar keterampilan menulis, melainkan juga jiwa yang bebas.

Secara prinsip, batasan klasik penulisan feature adalah artikel yang kreatif, subyektif, informatif, menghibur, awet, dengan panjang tulisan tidak terbatas (sepanjang masih menarik). Menulis feature bak menulis cerita pendek, karena pada hakikatnya penulis feature adalah seorang yang berkisah, seorang yang bertutur. Namun selain imajinasi (yang penting dalam cerpen guna menjalin kata dan kalimat jadi menarik), yang paling penting adalah akurasi, pengumpulan informasi yang tepat, pengejaan dan pemakaian kata (penulis itu harus profesional, bung!).

Tapi, yang asyik dalam buku ini adalah teknik-teknik penulisan feature, dengan contoh-contoh kasus, yang terus terang mampu merangsang minat pembaca untuk menulis feature!

View all my reviews

Saturday, November 1, 2014

The Eagle Has Landed

The Eagle Has Landed (Liam Devlin, #1)The Eagle Has Landed by Jack Higgins
My rating: 4 of 5 stars

Minggu lalu, aku menonton film David Ayer terbaru yang berjudul Fury. Sudah lama aku tidak menonton film dengan tema Perang Dunia II, apalagi yang sudut pandangnya murni dari satu pihak saja. Setelah selesai menonton kisah tentang para prajurit AS, yang menunjukkan bahwa sebaik dan sesaleh apapun mereka, dapat berubah menjadi monster di medan perang dan membantai para prajurit Jerman tanpa pandang bulu (mau Gestapo, SS, Wehrmacht, atau anak-anak yang tergabung dalam Hitlerjugend, pokoknya kill or be killed!), aku malah ingin menonton film atau membaca buku tentang Perang Dunia II dari sudut pandang prajurit Jerman.

Karena itulah aku membaca ulang buku karya Jack Higgins ini, yang juga salah satu novel PD II favoritku (selain The Guns of Navarone). Dan setelah menyadari tahun pertama terbitnya, ya sudahlah, sekalian saja kutambahkan sebagai bagian dari event BBI bulan ini:

Tema 1st Published on The Year You Are Born
Mengapa buku ini menjadi salah satu buku perang favoritku?

1. Tokoh protagonisnya tentara Jerman

Aku sudah terlalu banyak membaca novel atau menonton film Perang Dunia II yang tokoh protagonisnya orang AS atau Inggris. Dan kebanyakan para tentara Jerman dalam novel atau film itu digambarkan secara satu dimensi. Nazi. Pokoknya jahat. Sekian.

Padahal kenyataan dalam setiap perang, di masing-masing pihak yang terlibat selalu ada good people dan bad people. Kita tidak bisa menyamaratakan setiap orang, bahkan satu negara, hanya dengan memandang siapa pemimpin negaranya.

Fokus utama novel ini adalah tim pasukan khusus Jerman, yaitu Letkol Kurt Steiner dan pasukan para di bawah pimpinannya. Letkol Steiner dan anak buahnya adalah war decorated heroes yang telah terjun dalam berbagai medan perang termasuk di Eastern Front yang ganas. Namun karena mereka ikut campur menolong seorang gadis Yahudi kabur dari para prajurit SS yang sedang mengumpulkan kaum Yahudi untuk dikirim ke kamp konsentrasi, mereka dijatuhi hukuman militer: misi menyerang kapal Sekutu di Selat Inggris dengan menunggangi torpedo a'la kamikaze. Hukuman mati terselubung sebenarnya. Mereka dibebaskan dari hukuman untuk menjalankan misi lain: menculik PM Winston Churchill dari rumah peristirahatannya di Norfolk, Inggris.

2. Berdasarkan kisah nyata

Penulisan novel ini berawal dari Jack Higgins yang ketika sedang melakukan riset di Norfolk, Inggris, untuk artikel majalah, malah tak sengaja menemukan makam seorang Letnan Kolonel Kurt Steiner dan 13 orang pasukan para Jerman yang gugur dalam tugas pada tanggal 6 November 1943. Menurut Jack Higgins, setidaknya lima puluh persen dari novel ini adalah fakta sejarah yang terdokumentasi. Kita sebagai pembaca dipersilakan menduga-duga, bagian mana yang hanya spekulasi dan fiksi.

3. Story

Dimulai setelah Otto Skorzeny berhasil melakukan misi yang semula dianggap mustahil, yaitu membebaskan mantan diktator Italia, Benito Mussolini, dari penahanan di Gran Sasso. Terinspirasi oleh keberhasilan tersebut, Hitler yang didukung Himmler (komandan militer SS), memerintahkan Canaris (kepala intelijen militer) mengkaji kemungkinan untuk menangkap Winston Churchill (hidup atau mati), untuk menimbulkan demotivasi di pihak Sekutu, atau sebagai senjata negosiasi.

Canaris sebenarnya menganggap perintah itu tidak masuk akal dan berharap Hitler bakal segera lupa, tapi karena tahu Himmler bakal tetap ingat, setidaknya ia menugaskan anak buahnya, Kolonel Radl, untuk melakukan kajian.

Di luar dugaan, ternyata terdapat kemungkinan rencana itu bisa dilaksanakan. Berdasarkan informasi dari salah satu mata-mata di Inggris, Churchill akan berada di wilayah pedesaan Norfolk pada awal November 1943. Radl pun menyusun skema detail  untuk menangkap Churchill dan membawanya ke Jerman. Sayangnya setelah skema final jadi, Canaris meminta Radl membatalkannya. Namun, entah mengapa Himmler bisa tahu dan memerintahkan Radl menjalankan rencananya, sekaligus memberikan katebelece bertanda tangan Hitler kepada Radl, yang memungkinkan Radl punya kuasa untuk melakukan apa saja dan meminta bantuan siapa saja di kalangan militer Jerman untuk mensukseskan misi rahasianya.

Radl merekrut Liam Devlin, seorang teroris IRA yang terdampar di Berlin untuk menjadi penghubung utama di lokasi misi. Ia juga merekrut tim Letkol Kurt Steiner sebagai pelaksana misi dengan membebaskan mereka dari hukuman militer di Selat Inggris. Terlepas dari catatan militer yang cemerlang, tim Steiner terpilih karena latar belakang Kurt Steiner yang berdarah separuh Amerika dan pernah menjalani pendidikan di Inggris, sehingga bahasa Inggrisnya fasih.

Berdasarkan informasi intelijen, lokasi peristirahatan Churchill di Norfolk biasa menjadi tempat latihan pasukan Inggris maupun pasukan Sekutu lainnya. Karena hanya beberapa orang dari tim Steiner yang bisa berbahasa Inggris, maka diputuskanlah mereka terjun ke Norfolk dengan menyamar sebagai pasukan Polandia yang datang untuk berlatih. Tapi karena mematuhi Konvensi Den Haag tentang larangan bagi tentara untuk menggunakan seragam lawan dan kalau sampai tertangkap akan diperlakukan dan dihukum sebagai mata-mata dan bukan tentara, maka Letkol Steiner dan anak buahnya tetap mengenakan seragam tentara Jerman di balik seragam Polandia mereka.

Setelah persiapan berminggu-minggu, tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Tim khusus Steiner sukses mendarat di Inggris dengan kode: The Eagle Has Landed.

Bagaimana perkembangan misi berlanjut setelah tim sampai di tujuan? Kurekomendasikan agar kisah ini lebih baik dibaca sendiri, karena... serunya itu lebih dapat kalau kita baca sendiri bukunya!

4. Storytelling

Gaya penulisan Jack Higgins akan membuat kita merasa yakin bahwa, seabsurd apapun ide ceritanya, kisah ini benar-benar terjadi.

Pelaksanaan misi dituturkan secara detail, sejak Kolonel Radl mengumpulkan informasi intelijen, menyusun skema, mengumpulkan kru, sampai dengan "The Eagle Has Landed" di pantai Norfolk, Inggris.

Karakter para tokohnya juga diungkap bukan dengan narasi, tapi dengan ucapan dan tindakan mereka. Mau tak mau, sadar atau tidak sadar, pembaca akan merasa simpati dan empati pada Kurt Steiner dan anak buahnya. Pembaca juga akan tertarik pada karakter Liam Devlin, teroris IRA yang daredevil dan charming in a strange way (novel ini menjadi novel pertama dari serangkaian novel dengan Liam Devlin sebagai anchor-nya).

Dan yang lebih mengesankan lagi, pembaca jadi terdorong untuk mendukung misi Kurt Steiner cs (menculik atau membunuh PM Churchill!) ini dan mengharapkan keberhasilan mereka! How cool is that?

Para pembaca zaman sekarang mungkin jarang yang mengenal Jack Higgins, tapi pada masanya, ia adalah thriller master yang karya-karyanya pantas bestseller! Dan ada masanya juga, aku rajin membaca dan mengoleksi karya-karyanya.

5. Film

Pertama kali aku membaca novel ini adalah versi terjemahan terbitan Gramedia (tahun 1978) yang kutemukan di taman bacaan waktu aku masih SMP:

Tapi sebenarnya, sebelum menemukan dan membaca novel ini, aku sudah terlebih dahulu menonton filmnya melalui media video Betamax waktu masih SD. Maklumlah, ayahku penggemar film-film perang, dan otomatis aku juga jadi ikut menonton film-film perang yang disewa. Ceritanya yang sedikit beda dari film-film perang lainnya (yang American atau British minded) membuatnya memorable, sehingga aku langsung teringat ketika menemukan versi novelnya (tapi jelas membaca bukunya jauh lebih asyik!).


Versi filmnya hanya rilis satu tahun setelah novel ini terbit dan mendadak bestseller, disutradarai oleh John Sturges (The Magnificent Seven, The Great Escape). Castingnya sendiri aktor-aktor yang mumpuni dan terkenal sampai saat ini:
Michael Caine sebagai Kurt Steiner, dalam seragam Jerman dan Polandia
Robert Duvall sebagai Kolonel Radl
Donald Sutherland sebagai Liam Devlin


View all my reviews

Friday, October 31, 2014

Curtain: Poirot's Last Case

Curtain: Poirot's Last Case (Tirai)Curtain: Poirot's Last Case by Agatha Christie
My rating: 4 of 5 stars

And now, the end is here
And so I face the final curtain
My friend, I'll say it clear
I'll state my case, of which I'm certain
I've lived a life that's full
I traveled each and ev'ry high way
And more, much more than this, I did it my way

Sungguh, lirik lagu Frank Sinatra di atas terus terngiang ketika aku membaca ulang novel terakhir seri Poirot dalam rangka mengikuti event ini:
Tema 1st Published on the Year You Are Born
Dan, sungguh, ada masanya aku tidak menyukai novel ini, sehingga boleh dibilang novel ini termasuk yang amat sangat jarang kubaca ulang. Simply karena di sini Poirot... mati. Dan terutama karena Poirot melakukan dosa yang tak semestinya dilakukan seorang detektif yang biasanya mengungkap misteri pembunuhan: melakukan pembunuhan itu sendiri.



SPOILER ALERT! SPOILER ALERT! SPOILER ALERT!

Ups. Telat ya? Dan masih mau baca review ini?

Oke, sekalian saja kutekankan, dengan alasan for the greater good, Poirot melakukan pembunuhan tingkat pertama: pembunuhan terencana. Sebagai detektif vigilante, ia tidak mengambil jalur Batman, tapi jalur Punisher. Tanpa senapan mesin, tentu saja.

Mengapa seorang Poirot harus berbuat sejauh itu? Oke, simak sinopsis di sampul belakang novel ini:

Lima pembunuhan di tempat berbeda, dengan motif berbeda. Hanya satu kesamaannya: X. X terlibat dalam kelima pembunuhan itu dan berada di sekitar lima tempat itu ketika pembunuhan terjadi. X-lah otak kelima pembunuhan itu. Tapi dengan licik dia berhasil menghindar dari kecurigaan orang. Kelima pembunuhan itu begitu sempurna. Sekarang X berada di Styles. Berarti tak lama lagi akan ada pembunuhan di sana.

Baru kali ini Poirot menemukan lawan yang seimbang. Sayangnya Poirot sudah tua. Jantungnya sudah lemah. Memang otaknya masih tetap tajam. Tapi fisiknya sudah uzur dan jantungnya bisa berhenti berdenyut setiap saat. Tinggal menunggu waktu. Dan waktunya yang singkat itu mungkin takkan cukup untuk bisa menyeret X ke pengadilan.

Sebagaimana tercantum dalam sinopsis, kasus terakhir Poirot adalah perfect crimes. Mengapa? Karena lawannya adalah seorang puppetmaster piawai yang menggunakan keahlian berbicaranya untuk mempengaruhi orang lain untuk membunuh. Dan ia melakukan semua itu tanpa motivasi pembunuhan pada umumnya: harta, tahta dan wanita, melainkan hanya demi kesenangan pribadi. Perfect serial killer!

Hanya dengan deduksi tanpa bukti kuat, Poirot harus mencegah orang itu membunuh lagi. Tapi bagaimana caranya, sementara waktunya sudah kian dekat? Okelah, sebagai vigilante yang baik ia pun memanggil sidekick-nya yang setia, Kapten Arthur Hastings, ke Styles (Oh, sengaja betul Dame Agatha Christie menggunakan lokasi di Styles sebagai bookend petualangan Poirot!).

Dan berdasarkan deskripsi Hastings pulalah, kita melihat bagaimana kondisi Porot di penghujung kejayaannya:

Sahabatku yang malang. Aku sudah sering bercerita tentangnya, kukira. Sekarang dia sudah hampir lumpuh diserang penyakit artritis, jadi kalau hendak bergerak ke mana-mana, dia harus menggunakan kursi rodanya. Perawakannya yang dulu gemuk sekarang sudah tidak kelihatan lagi. Sekarang dia sudah menjadi lelaki kecil yang kurus. Wajahnya dihiasi garis-garis ketuaan dan penuh kerut-merut di sana-sini.


Intinya, karena meskipun otaknya masih cemerlang, Poirot sudah susah bergerak sehingga ia meminta sobatnya Hastings untuk membantu di bagian yang lebih aktif dalam rencananya menghentikan aksi si X.

Tapi, seperti biasa, karena Hastings tidak punya poker face, meskipun Poirot sudah tahu siapa si X ini, Hastings tidak diberi tahu, dan akibatnya Hastings (dan pembaca) dibiarkan berada dalam kegelapan dan berusaha menebak-nebak sendiri siapa di X dari sekian banyak tamu di hotel Styles.

Tragedi apa saja yang terjadi di Styles gara-gara lidah berbisa X?

Seorang pria hampir membunuh istrinya dengan alasan yang nggak banget: "salah tembak kukira kelinci liar".

Arthur Hastings sendiri hampir meracuni lelaki buaya darat yang dicurigainya mendekati putrinya, Judith.

Seorang wanita tewas keracunan.

Seorang pria mati tertembak tepat di tengah dahinya.

Benar-benar produktif, apalagi ditutup dengan matinya Poirot karena serangan jantung,


Pada awal novel, dengan nada berat dan sedih Hercule Poirot berkata kepada Hastings: "Akan ada pembunuhan di sini--di tempat ini." Dan itu bukan merujuk pada pembunuhan yang akan dilakukan si misterius X, namun lebih pada pembunuhan yang akan dilakukan Poirot terhadap si X!

Tanpa perlu berpanjang lebar menjelaskan plotnya, salah satu hal yang perlu diperhatikan pembaca (atau calon pembaca) adalah: Poirot sudah biasa menipu Hastings yang jujur, polos dan gampang percaya seumur persahabatan mereka, dan ia tetap melakukannya sampai akhir. Tapi seperti biasa juga, Poirot melempar banyak petunjuk ke hadapan Hastings, dan kalau saja Hastings (dan pembaca) cukup jeli dan sigap menangkap semua sinyal Poirot, sebenarnya tidak sulit untuk menebak identitas X, dan trik yang dilakukan Poirot dalam melaksanakan aksi kriminalnya.

Dalam penjelasan tertulis pada sahabatnya, Poirot tidak menyampaikan justifikasi atas pembunuhan yang dilakukannya.

Aku tak tahu, Hastings, apakah yang kulakukan ini bisa dibenarkan atau tidak. Tidak--aku tidak tahu. Aku tidak percaya bahwa orang boleh main hakim sendiri, boleh menetapkan hukum bagi dirinya sendiri.

Pada akhirnya, boleh dikatakan Poirot mati karena bunuh diri. Serangan jantungnya bisa diatasi andai saja ia meminum obat amyl nitrite-nya. Namun Poirot sengaja menyingkirkan obatnya agar kematian segera datang menjemputnya. Apakah ia melakukannya demi menebus dosa karena telah mengambil nyawa orang lain?

Regrets, I've had a few
But then again, too few too mention
I did what I had to do and saw it through without exemption
I planned each charted course, each careful step along the byway
And more, much more than this, I did it my way

So true. In the end, Hercule Poirot did it his way.




View all my reviews

Thursday, October 30, 2014

Sengsara Membawa Nikmat


Awal bulan ini, aku mudik ke Cirebon. Pada kesempatan itu, aku mengobok-obok perpustakaan pribadi guna mencari buku terbitan Balai Pustaka yang bisa dibaca ulang untuk bahan event :
Tema Balai Pustaka
Hasilnya? Kalau dibilang ada memang ada sih... tapi... penampakannya berupa koleksi Sejarah Nasional Indonesia Jilid I sampai VI susunan Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto:

Gambar dari stalinebooks.com
Terima kasih, deh. Pass.

Ternyata, kalau diingat-ingat, buku-buku sastra Balai Pustaka yang kubaca memang rata-rata kupinjam dari perpustakaan sekolah. Itu pun dibacanya dalam rangka menunaikan tugas dari mata pelajaran Bahasa Indonesia saja, bukan karena memang berminat untuk mempelajari sejarah literatur dan sastra Indonesia.

Demi memenuhi target membuat review dari semua tema posbar BBI tahun ini, aku pun beralih ke dunia maya dan akhirnya memilih untuk membaca ulang buku ini:

Judul : Sengsara Membawa Nikmat

Penulis : Tulis Sutan Sati

Penerbit : Balai Pustaka

Diterbitkan pertama kali : Tahun 1929

Sinopsis:
Kisah Midun, anak petani yang menjalani berbagai cobaan sebelum akhirnya hidup berbahagia bersama istrinya, Halimah.



Mengapa aku memilih novel ini?

Dari judulnya yang menyiratkan menyuratkan bahwa cerita ini happy ending.

Bukannya aku tidak suka membaca novel yang akhirnya sedih, membuat syok, atau menggantung tanpa kejelasan (yang terakhir ini asyik kok untuk dikarang sendiri lanjutannya), tapi aku sadar sesadar-sadarnya bahwa membaca buku angkatan 1920-an bakal bikin sengsara, jadi minimal aku memilih yang endingnya tidak bikin nyesek dan bete.

Lalu? Benarkah kesengsaraan membawa kenikmatan?

Seperti kata peribahasa: berakit-rakit dahulu, berenang-renang ke tepian.

Yang artinya...? Bersakit-sakit dahulu, mati tenggelam kemudian.

Mau gimana lagi... aku kan tidak bisa berenang, mana nggak ada pelampung lagi. Kalau sampai jatuh dari rakit dan kecebur ke sungai, ya wassalam sayonara bye-bye.

Ehm, maksudnya... membaca buku ini di abad 21 benar-benar membuatku pusing dan memaksakan diri untuk ekstra sabar dalam mentransfer gaya bahasa jadul ke dalam gaya bahasa saat ini. Sungguh, kadang-kadang sampai perlu googling demi memahami maksudnya.

Contoh:

1. Permainan sepak raga.

Yang terbayang:
Cantona sepak raga hooligan
Maksud sebenarnya:
Permainan tradisional yang berevolusi menjadi sepak takraw

2. Bertukar pikiran

Yang terbayang:
Berdiskusi
Maksud sebenarnya:
Gila
Dan masih banyak lagi...

Seru sih menemukan banyak kosa kata yang sudah mengalami pergeseran makna. Tapi tetap saja...

Selain gaya bahasa yang jadul habis, kesengsaraan ditambah dengan narasi yang bertele-tele dan melompat-lompat. Kadang cerita tiba-tiba melompat ke masa lalu, demi menjelaskan akibatnya pada masa kini, dengan panjang lebar pula.

Belum lagi tokoh utamanya, Midun, yang benar-benar Gary Stu banget. Segitu perfect-nya! Nggak percaya? Begini deskripsinya:

Midun seorang muda yang sangat digemari orang di kampungnya. Budi pekertinya amat baik dan tertib sopan santun kepada siapa jua pun. Tertawanya manis, sedap didengarl tutur katanya lemah lembut. Ia gagah berani lagi baik hati, penyayang dan pengasih, jarang orang yang sebaik dia hatinya. Sabar dan tak lekas marah, serta tulus ikhlas dalam segala hal. Hati tetap dan kemauannya keras; apa yang dimaksudkannya jika tidak sampai, belum ia bersenang hati. Adalah pula padanya suatu sifat yang baik, yakni barang siapa yang berdekatan atau bercampur dengan dia, tak dapat tiada senang hatinya, hilang sedih olehnya. Karena itu, tua muda, kecil besar di kampung itu kasih dan sayang kepada Midun. Hampir semua orang di kampungnya kenal akan dia. Sebab itu namanya tergantung di bibir banyak orang, dan budi pekertinya diambil orang jadi teladan.

Iya sih, penokohan seperti ini dibuat untuk memberikan teladan kepada pembaca. Tapi justru karakteristik yang too damn perfect membuat sang tokoh jadi terasa membosankan. Segala tindak tanduk dan keputusannya menjadi mudah ditebak. No surprise here!

Tokoh antagonisnya, Kacak, sama membosankannya. Intinya, ia jadi musuh Midun hanya karena iri hati dan dengki, gara-gara Midun yang cuma anak petani miskin ternyata jadi idola kampung, lebih populer dari dirinya yang kemenakan pemimpin desa yang kaya raya.

Permusuhan Kacak-Midun yang dibuat hitam putih menjadi plot driver novel ini. Kacak berbuat apa saja demi menjatuhkan Midun, bahkan sampai menyewa orang untuk mencelakakan bahkan membunuh Midun. Gara-gara percobaan pembunuhan itu, Midun malah dipenjara di Padang, hanya karena berusaha membela diri.

Tapi sesengsara apapun, lihat sisi baiknya. Kalau Midun tidak dipenjara, ia tidak akan bertemu Halimah, bakal calon istrinya. Kalau tidak bertemu Halimah, ia tidak akan menyeberang ke tanah Jawa. Kalau tidak menyeberang ke tanah Jawa, ia tidak bakal jadi polisi (reserse narkoba, pula!) dan belakangan mutasi sekaligus promosi menjadi asisten demang di tanah kelahirannya...

Sementara itu, Kacak yang jadi penghulu kepala di kampung, ketahuan korupsi, dihukum 2 tahun dan dibuang ke Padang.

Happy ending, anyone?

Kesimpulan

Intinya novel ini dapat disamakan dengan dongeng kartun Disney. Siapa yang berbuat baik, akan mendapat pahalanya. Siapa yang berbuat jahat, akan mendapat ganjarannya.

Tapi, meskipun perlu kesabaran ekstra untuk menuntaskannya, membaca novel zaman baheula selalu ada hiburannya sendiri. Selain pergeseran makna yang drastis, ada pula pergeseran budaya yang cukup bikin senyum simpul: adegan Midun menembak Halimah dalam perjalanan kapal ke Jawa. Kukutip di sini saja ya:

"Kenang-kenangan yang akan sampai, mimpi yang boleh terjadi," ujar Midun tiba-tiba. "Susahnya yang sebagai si pungguk merindukan bulan. Badan loyang disangka emas."

Midun menyesal, karena perkataan itu tidak sengaja terhambur saja dari mulutnya. 

Rasakan hendak dijahitnya bibirnya, karena terdorong itu. "Di manakah Midun yang saleh itu? Apakah arti perkataan yang demikian? Senonoh dan layakkah itu? Tidakkah melanggar kesopanan hidup pergaulan? Pantaskah seorang yang telah mengaku kakak kepadanya mendengar perkataan semacam itu?" Berbagai-bagai pertanyaan timbul dalam pikiran Midun. Malu benar ia akan dirinya, apalagi jika Halimah salah tampa pula.

"Apa boleh buat," kata Midun sendirinya. "Kata terlanjur emas padahannya!"

Repot ya, jadi anak muda jaman dulu. Kayaknya nggak mungkin banget langsung ngomong, "Aku suka kamu. Jadian, yuk?" Cuma kelepasan ngomong pakai kiasan saja, malu dan takut tidak sopannya setengah mati. Untungnya, biarpun hanya pakai kiasan, lawan bicaranya mengerti, dan... membalas perasaannya.

Muka Halimah merah padam mendengar perkataan Midun yang amat dalam pengertiannya itu. Ia memalingkan muka kemalu-maluan. Dalam hati Halimah, "Rupanya bertepuk tidak mau sebelah tangan."

Maka ia pun berkata, "Ah, terlampau tinggi benar pikiran Udo itu. Tiap-tiap sesuatu dengan padannya. Biar bagaimana pipit itil akan tinggal pipit jua. Mudah-mudahan yang dicita datang, yang dimaksud sampai."

Dan Midun, langsung bahagia bukan kepalang mendengar jawaban itu! Padahal kalau dengan ukuran sekarang, jawaban kiasan Halimah itu muter-muter nggak jelas. Jawab saja "aku juga suka kamu", napa!

Oh ya, sebagai informasi tambahan, novel roman ini sudah pernah dibuat versi live action-nya, lho:
Tayang di TVRI tahun 1991
dengan Sandy Nayoan sebagai Midun dan Desy Ratnasari sebagai Halimah.