Showing posts with label Colin Firth. Show all posts
Showing posts with label Colin Firth. Show all posts

Tuesday, March 17, 2015

A Thousand Acres

A Thousand AcresA Thousand Acres by Jane Smiley
My rating: 3 of 5 stars

Sinopsis:
When Larry Cook, the aging patriarch of a rich, thriving farm in Iowa, decides to retire, he offers his land to his three daughters. For Ginny and Rose, who live on the farm with their husbands, the gift makes sense--a reward for years of hard work, a challenge to make the farm even more successful. But the youngest, Caroline, a Des Moines lawyer, flatly rejects the idea, and in anger her father cuts her out--setting off an explosive series of events that will leave none of them unchanged. A classic story of contemporary American life, A Thousand Acres strikes at the very heart of what it means to be a father, a daughter, a family.

Review:
Buku yang memenangkan Pulitzer Prize for Fiction pada tahun 1992 ini terkadang disebut sebagai modernisasi dari King Lear yang bersetting di sebuah pertanian di Iowa, Amerika Serikat. Dan jalan ceritanya, setidaknya sebagian besar, memang mirip dengan King Lear, apalagi keluarga Cook, yang menjadi sentral cerita memang terdiri dari satu orang ayah, Larry Cook, dan tiga orang anak perempuannya, Ginny, Rose dan Caroline.

Bertutur dari sudut pandang Ginny, putri tertua dari Keluarga Cook, kisahnya sendiri dimulai dengan pesta kecil Harold Clark, tetangga mereka, yang menyambut kembalinya anak pertamanya, Jess Clark, yang tidak diketahui keberadaannya selama 13 tahun. Konon pada usia 17 tahun, Jess ikut wajib militer, namun setelah beberapa bulan nama Jess pantang disebut-sebut lagi di keluarga Clark.

Ginny telah lama menikah dengan Ty, meskipun tidak dikaruniai anak karena selalu mengalami keguguran, namun tak urung ia tetap senang bertemu kembali dengan Jess, yang notabene lebih muda darinya itu. Dari deskripsinya tentang Jess, yang memang good-looking, dan memiliki gaya yang berbeda dengan para lelaki petani di sekeliling Ginny, kita tahu bahwa Ginny, diakui atau tidak, merasa tertarik kepada Jess.

Pada pesta homecoming Jess itulah, Larry Cook memutuskan untuk menjadikan pertaniannya semacam perusahaan dan membagi pengelolaannya kepada para putrinya. Keputusan itu merupakan kabar gembira bagi Ginny dan Rose, yang bersama suami mereka memang terlibat dalam pertanian sang ayah. Namun Caroline, satu-satunya putri yang punya profesi sendiri sebagai pengacara sehingga tidak terlibat langsung, mempertanyakan keputusan itu. Akibatnya, Larry Cook malah langsung mencoretnya dari semua dokumen terkait sehingga tak punya hak lagi atas tanah keluarga Cook.

Masalah mulai dimulai ketika sikap Larry Cook kemudian berubah. Mungkin awalnya post power syndrome setelah pengelolaan tanah dialihkan pada kedua putri dan menantunya. Ia merasa kehilangan kekuasaan dan diabaikan. Belakangan ia malah merasa Ginny dan Rose serta kedua menantunya telah merebut tanahnya, dan akhirnya meminta bantuan pada Caroline untuk menuntut mereka ke pengadilan! Ia lupa bahwa ia sendiri yang telah menyerahkan segalanya, dengan dokumen hukum yang lengkap! Apakah ia sudah gila, atau sebenarnya sudah pikun?

Di luar masalah tanah, sebenarnya masih ada masalah lain yang akhirnya terungkap antara Larry dan kedua putrinya, yang selama ini dirahasiakan oleh Ginny dan Rose. Bahwa Larry, waktu mereka masih kanak-kanak dan remaja, telah melakukan perundungan seksual kepada mereka. Rahasia lama ini menjadi bom waktu antara hubungan ayah-anak dan juga hubungan antara istri-suami. Rose, yang lebih banyak terekspos dibandingkan Ginny yang sudah melupakan perbuatan ayahnya, apalagi dibandingkan Caroline yang rupanya tak pernah mengalami, merasakan bahwa sudah waktunya ia melawan ayahnya. Terutama apabila sang ayah malah mengajukan tuntutan hukum untuk hal yang sebenarnya merupakan keputusannya sendiri.

Selain bermasalah dengan sang ayah, Ginny dan Rose juga sebenarnya punya masalah dengan Ty dan Ted, suami mereka. Hubungan mereka sebenarnya tidak sebaik yang tampak di permukaan. Ty sudah lama tidak menyentuh istrinya, karena khawatir istrinya akan hamil dan keguguran lagi. Ted tidak mau melihat istrinya tanpa pakaian, karena tidak mau melihat payudaranya yang telah diangkat karena kanker. Kehadiran Jess yang ganteng dan penuh perhatian, lambat laun membuat Ginny tergoda untuk berselingkuh dengannya. Mana ia tahu, bahwa di saat yang sama, Rose juga tergoda dan jatuh ke pelukan Jess?

Sebenarnya, Jane Smiley membuat novel ini jauh lebih kompleks ketimbang King Lear. Temanya tidak hanya berkisar tentang perebutan harta dan kekuasaan, tapi juga mengolah sisi psikologis para korban perundungan seksual, dan akibatnya pada hubungan mereka dengan pelakunya, atau hubungan mereka dengan para suami yang terkena imbasnya. Belum lagi Smiley juga menambahkan plot sampingan tentang hubungan Jess Clark dengan ayahnya, Harold Clark, yang ternyata punya misi tersembunyi saat mengundang sang anak hilang kembali ke keluarganya. Benang kusut keluarga Cook dan keluarga Clark yang dikisahkan di sini diceritakan apa adanya, dan sebagai pembaca, kita tak perlu berharap ada happy ending untuk semua cerita.

Movie adaptation:
Dirilis pada tahun 1997, film yang disutradarai oleh Jocelyn Moorhouse ini dibintangi oleh Jessica Lange sebagai Ginny Cook, Michelle Pfeiffer sebagai Rose Cook, dan Jennifer Jason-Leigh sebagai Caroline Cook.


Colin Firth sendiri di sini hanya supporting cast, menjadi Jess Clark yang tampan menawan dan menggoda kakak beradik Cook. Jangan-jangan kalau Caroline Cook tidak tinggal di kota lain, bisa-bisa terkena rayuannya juga.



Bagiku film drama ini terasa datar-datar saja, kurang daya ledaknya. Affair Jess Clark dengan Ginny maupun Rose terasa kurang meyakinkan. Kalau Ginny dan Rose tertarik kepada Jess ya wajar saja karena Jess memang keren dan charming. Tapi apa yang membuat Jess meniduri kedua wanita Cook yang tampak lelah dan sudah melewati masa primanya? Motivasinya tidak jelas, kecuali karena aji mumpung, tidak ada kerjaan, atau memang dasar kucing garong yang tidak akan menolak kalau ditawari ikan asin.

Lebih parah lagi, versi film yang bisa kudapatkan ternyata audio-nya dubbing bahasa Italia. Untung saja ada teks bahasa Inggrisnya. Tapi jadinya kita bisa mendapat gambaran seperti apa kalau Colin Firth sedang bercakap-cakap dengan bahasa Italia...


View all my reviews

The End of the Affair

The End of the AffairThe End of the Affair by Graham Greene
My rating: 4 of 5 stars

Oke sebelum salah paham, langsung saja, ini bukan buku di mana karakternya diperankan oleh Colin Firth dalam film adaptasinya. Ini buku di mana Colin Firth membacakan ceritanya :)

Tokoh utama buku ini, Maurice Bendrix, dalam versi filmnya diperankan oleh Ralph Fiennes. Dan kalau dipikir-pikir lagi, kenapa sih Ralph Fiennes terus-terusan dicasting sebagai laki-laki yang hobi jatuh cinta dan menyelingkuhi istri teman? Nggak cukup rupanya jadi Count Almasy di The English Patient. Etapi yang lebih epik sebenarnya perannya di The Grand Budapest Hotel, yang nggak kira-kira dan nggak pandang umur kalau milih selingkuhan :P

Review cerita:
Ini kisah seorang lelaki pencemburu.
Ini kisah seorang lelaki yang mencemburui semua orang yang terlibat dengan mantan selingkuhannya.
Ia mencemburui suami mantan selingkuhannya, karena ketimbang memilihnya, sang selingkuhan lebih memilih memutuskan hubungan dan tetap berada di sisi suaminya.
Ia mencemburui para pria yang dicurigainya sekarang berselingkuh dengan mantan selingkuhannya.
Ia mencemburui Tuhan, yang memutuskan nasib mantan selingkuhannya.

Ini kisah seorang lelaki pencemburu yang dilanda cinta buta yang tak tersalurkan.
Dan sebenarnya aku kurang suka cerita ini, karena tidak bisa bersimpati pada tokoh utamanya.
Mungkin aku bisa berempati dengan perasaan cinta yang tak tersalurkan, tapi aku tak bisa berempati pada laki-laki yang berselingkuh dengan istri orang lain. Jadi, kalau ia merasa keberatan dan merasa marah, karena pasangan berselingkuhnya telah insaf dan bertobat, ya... salah sendiri sih. Wajar saja.

Review audiobook:
Ehm, aku memberikan satu bintang tambahan karena puas mendengarkan suara smooth dan seksi Colin Firth dengan aksen British khasnya selama enam setengah jam...


Buat yang mengharapkan audiobook ini dibawakan ala tukang dongeng, yang membeda-bedakan gaya bicara dan aksen masing-masing karakter, mungkin akan kecewa. Colin Firth di sini murni membacakan buku. Tapi parameter kepuasan masing-masing orang mendengarkan buku ini dibacakan memang berbeda-beda sih. Aku sudah cukup puas kok hanya dengan mendengarkan suaranya saja :P

Dan terlepas dari faktor-faktor apa saja dari audiobook yang memuaskan pendengar, Colin Firth dan Audible Studios memenangkan Audiobook of the Year pada Audie Awards tahun 2013 untuk edisi audiobook The End of the Affair ini. Untuk pencapaian ini, Colin Firth memberikan pernyataan resmi:

I'm grateful for this honor, and grateful for the opportunity to narrate one of my favorite stories--a great novel told in the first person makes for the best script an actor could imagine. None better than The End of the Affair... Theatre and film each offer their own challenges and rewards, but narration is a new practice for me and the audiobook performance provides exhilarating possibilities for both actors and listeners.


View all my reviews

Monday, March 16, 2015

Where the Truth Lies

Where the Truth Lies: A NovelWhere the Truth Lies: A Novel by Rupert Holmes
My rating: 4 of 5 stars

Sinopsis:
O’Connor, a vivacious, free-spirited young journalist known for her penetrating celebrity interviews, is bent on unearthing secrets long ago buried by the handsome showbiz team of singer Vince Collins and comic Lanny Morris. These two highly desirable men, once inseparable (and insatiable, where women were concerned), were driven apart by a bizarre and unexplained death in which one of them may have played the part of murderer. As the tart-tongued, eye-catching O’Connor ventures deeper into this unsolved mystery, she finds herself compromisingly coiled around both men, knowing more about them than they realize and less than she might like, but increasingly fearful that she now knows far too much.

Review:
Jujur saja, aku takkan pernah tahu, ataupun sengaja mencari dan membaca novel ini, seandainya aku belum menonton versi film adaptasinya, yang dibintangi oleh Colin Firth dan Kevin Bacon. Sesuai rencana yang dicanangkan pada bulan Februari, bahwa selain menonton film-film Colin Firth aku akan membaca versi bukunya apabila ada, akhirnya aku menemukan dan membaca buku ini.

Novel misteri yang bersetting pada tahun 1972 ini dituturkan dengan menggunakan dua sudut pandang.

Sudut pandang pertama adalah dari sisi Karen O'Connor, gadis muda ambisius yang bersedia menggunakan segala cara (termasuk di antaranya menawarkan tubuhnya sebagai bagian paket ekslusif pada selebriti yang diwawancarainya).

Proyek terbaru Karen adalah biografi Vince Collins dan Lanny Morris, yang pada tahun 1950-an merupakan pasangan komedian sukses yang tak terpisahkan. Pasangan itu pecah kongsi lima belas tahun lalu, yang ditandai dengan kehebohan karena ditemukannya mayat seorang gadis muda bernama Maureen O'Flaherty di bak mandi kamar hotel mereka di New York. Meskipun gadis itu ditengarai punya hubungan dengan Vince dan Lanny, karena ia bekerja di hotel tempat mereka berdua tampil sebelumnya di Miami, kematiannya tak bisa dikaitkan dengan mereka. Waktu kematian Maureen diperkirakan baru beberapa jam, sementara Vince dan Lanny baru saja tiba di New York setelah selesai merampungkan telethon 39 jam berturut-turut di Miami.

Mengapa Maureen bisa berada di kamar hotel Vince dan Lanny di New York? Apakah gadis itu mendahului mereka ke New York dan menyelinap masuk ke kamar mereka, lalu entah bagaimana bisa mati di bak mandi mereka?

Misteri yang meliputi kematian gadis itu, dan hubungannya dengan Vince dan Lanny, adalah hal besar yang ingin diungkapkan Karen dalam bukunya. Ia tidak mau membuat buku biografi biasa-biasa saja, ia ingin menjadikannya hit yang sensasional. Untuk itu, ia membutuhkan kerja sama dari kedua komedian itu.

Sayangnya, hanya Vince Collins yang bersedia bekerja sama dengan Karen dan perusahaan penerbitnya, dengan nilai imbalan sebesar satu juta dollar (dan janji tidur bareng kalau proyek buku sudah rampung). Lanny Morris menolak bekerja sama, dengan alasan ia sedang menulis biografinya sendiri. Tapi, melalui biro hukumnya, Lanny bersedia memperlihatkan bab awal bukunya, sekedar menunjukkan bahwa apapun yang ditulis Karen tidak akan ada apa-apanya dibandingkan biografi yang ditulis sendiri oleh sumbernya.

Sudut pandang kedua adalah dari sisi Lanny Morris, yang kita dapatkan dari naskah buku Lanny yang dibaca oleh Karen. Meskipun semula Karen hanya boleh melihat bab pertama, namun ia menerima bab-bab lanjutannya yang dikirimkan ke alamatnya secara misterius,

Dari naskah Lanny, yang diceritakan dengan penuh humor, blak-blakan bahkan cenderung vulgar, pembaca disuguhi kehidupan Vince dan Lanny sebagai selebriti. Sebagai pasangan komedian, mereka tidak hanya kompak di atas panggung. Di luar panggung pun, mereka kompak dalam mengkonsumsi obat bius dan wanita. Saking eratnya hubungan mereka, bahkan mereka tidak akan segan-segan menghajar penonton yang berani menghina pasangannya. Urusan tuntutan hukum di kemudian hari mudah diselesaikan, karena status kebintangan mereka.

Boffing ladies and bashing gentlemen. I tell you, there was nothing under the sun Vince and I wouldn't do for each other.

Kedekatan dan kekompakan Vince dan Lanny, yang bahkan seolah bisa saling membaca pikiran masing-masing, membuat perpecahan mereka sulit diterima oleh publik dan menjadi misteri selama belasan tahun. Karen yakin bahwa semuanya berkaitan dengan kematian Maureen O'Flaherty. Betatapun ia terpesona pada kedua selebriti itu, bahkan dengan senang hati naik ke ranjang mereka, betapapun tipis kemungkinannya karena kuatnya alibi Vince dan Lanny, ia yakin bahwa Vince dan Lanny, bersama-sama, atau salah satu dari mereka, bertanggung jawab atas kematian Maureen lima belas tahun yang lalu.

Pengungkapan misteri dikupas sedikit demi sedikit melalui penuturan Karen dan Lanny. Bahkan seandainya saja pembaca (atau Karen) teliti, Lanny telah menyisipkan kebenaran dalam naskahnya dengan menggunakan pilihan kata dan metafora yang tidak kentara.

Namun demikian, sebenarnya usaha Karen menyusun biografi sekaligus pembongkaran misteri otomatis membuka luka-luka lama. Karena rahasia yang selama ini ditutupi Vince dan Lanny, bukan hanya disebabkan rasa takut, namun juga rasa sayang di antara mereka yang sebenarnya tetap selalu ada, meskipun secara profesional hubungan mereka telah lama putus.

Secara prinsip, sulit untuk menyukai para karakter dalam novel ini. Karen O'Connor yang menjadi narator, sudah membuat sebal dari awal dengan paket panas yang ditawarkannya pada narasumber. Lanny Morris juga tidak menimbulkan simpati dari pengungkapan gaya hidupnya yang vulgar. Vince Collins juga sama saja, apalagi ketika ia mencoba memeras Karen demi mengarahkan penyusunan buku biografi menjadi sesuai keinginannya. Dan bahkan Maureen O'Flaherty sendiri, yang menjadi korban pembunuhan, rasanya wajar saja kalau ia mati gara-gara ulahnya sendiri.

Tapi pada akhirnya, aku tetap jatuh simpati pada pasangan Vince dan Lanny. Aku memang lemah pada hubungan emosional yang kuat di antara para karakter.

Movie adaptation:
Sebenarnya, pasangan komedian Vince Collins-Lanny Morris jelas didasarkan pada pasangan legendaris Dean Martin-Jerry Lewis:


Karakterisasinya jelas, karena sama halnya dengan Dean Martin, Vince Collins keturunan Italia yang jago menyanyi. Selain itu, berdasarkan deskripsinya juga digambarkan bahwa Lanny, yang meskipun tidak jelek, tapi kalah tampan dari Vince. Lagipula dalam aksi panggung, justru perbedaan yang ditonjolkan memang perbedaan karakter mereka, antara Vince yang charming dan Lanny yang membadut.

Dalam adaptasi filmnya, mungkin karena casting Colin Firth, Vince Collins berubah menjadi keturunan Inggris, dan dalam aksi panggung Lanny yang lebih banyak menyanyi. Tapi secara umum, karakter panggung Vince sebagai laki-laki Inggris berkelas dan Lanny sebagai pemabuk konyol memang tak terlalu berbeda.



Dalam versi film, karakter Karen O'Connor juga dipoles menjadi sedikit lebih baik, dengan didramatisir bahwa masa lalunya pernah bersilangan dengan masa lalu Vince-Lanny. Mungkin perubahan itu dibuat supaya penonton bisa lebih menaruh simpati kepadanya daripada pada versi novelnya.

Perubahan juga dibuat pada alur cerita menjadi lebih cepat, tapi dapat dimaklumi karena pemangkasan memang perlu dilakukan demi jam tayang.

Namun demikian, semua perubahan yang dilakukan tidak mengubah inti cerita secara umum, dan pemangkasan membuat ceritanya tidak terasa bertele-tele. Selain itu, aku lebih menyukai ending versi filmnya, yang menurutku lebih masuk akal dibandingkan versi novelnya.


View all my reviews

Wednesday, March 11, 2015

Camille

CamilleCamille by Alexandre Dumas-fils
My rating: 3 of 5 stars

Sinopsis:
Marguerite Gautier is the most beautiful, brazen—and expensive—courtesan in all of Paris. Despite being ill with consumption, she lives a glittering, moneyed life of nonstop parties and aristocratic balls and savors every day as if it were her last.

Into her life comes Armand Duval. Young, handsome, and recklessly headstrong, he is hopelessly in love with Marguerite, but not nearly rich enough. Yet Armand is Marguerite’s first true love, and against her better judgment, she throws away her upper-class lifestyle for him. But as intense as their love for each other is, it challenges a reality that cannot be denied.


Review:
Aku membaca ulang kisah cinta klasik dan tragis antara Marguerie Gautier dan Armand Duval ini, karena... pada film adaptasi yang rilis tahun 1984 yang berperan sebagai Armand Duval adalah Colin Firth:


Casting yang pas, tentunya. Armand Duval memang dideskripsikan sebagai pemuda polos yang tampan rupawan yang sanggup membuat seorang courtesan veteran jatuh cinta:

Apanya yang kurang rupawan dari tampang seperti ini?
Setelah menuntaskan film pertamanya, Another Country, pada bulan Agustus 1983 Colin Firth mengikuti audisi untuk peran Armand di film ini. Awalnya, meskipun tampang kerennya tidak bisa dipungkiri, pihak produser merasa Colin tidak cukup romantis untuk peran Armand. Colin mengubah pandangan mereka saat melakukan screen test, dengan menghirup aroma mawar dalam penampilannya. Buat seorang aktor pemula, menjadi pemeran utama dalam film keduanya bagaikan mimpi yang menjadi kenyataan. Apalagi ia bisa bermain bersama aktor sekaliber Ben Kingsley!

Kisah yang dituturkan novel ini sebenarnya kisah cinta yang sederhana, namun tetap indah dalam kesederhanaannya.

Siapa yang mengira, seorang courtesan kelas atas dengan tarif selangit, akan jatuh cinta pada salah satu pengagumnya, pemuda miskin yang uang saku setahunnya hampir tidak mungkin bisa menutupi pengeluaran sang courtesan dalam satu bulan?

Tapi memang, sebelum bertemu Armand, Marguerite belum pernah jatuh cinta dalam hubungannya dengan sekian banyak pria dalam karirnya. Selanjutnya, demi Armand, Marguerite tidak lagi menerima tamu lain. Akibatnya, kondisi keuangannya malah merosot drastis, sampai membuatnya terpaksa menjual dan menggadaikan hartanya untuk tetap dapat bersama Armand.

Armand sendiri bukannya tidak menyadari kalau ia membuat Marguerite berkorban. Harga dirinya sebagai laki-laki menuntutnya untuk bisa menafkahi wanita yang dicintainya, bukan malah menjadi cowok simpanan yang dinafkahi. Tapi keputusannya untuk mengambil jalan pintas dengan berjudi malah membuat keadaan semakin parah.

Lalu, ayah mana yang tidak khawatir apabila putranya terlibat skandal yang bukan saja dapat menghancurkan masa depannya sendiri, tapi juga merusak nama baik keluarga dan masa depan adik perempuannya? Salahkah bila ia ikut campur dan meminta agar perempuan yang mengaku mencintai putranya, mau meninggalkannya demi kebaikannya sendiri?

Novel ini bukan hanya bercerita tentang cinta, tapi juga tentang benci dan dendam. 

Bisakah seorang pria menerima ditinggalkan begitu saja tanpa tahu duduk permasalahannya, hanya tahu kekasihnya kembali ke kehidupan lamanya, kembali ke menjadi simpanan pria kaya raya? Bukankah itu membuatnya seolah hanya dianggap sebagai selingan sesaat, karena ia takkan pernah bisa memenuhi gaya hidup yang glamor dan mewah?

Sakit hati, cemburu, benci. Armand membalas dendam dengan cara yang menurutnya setimpal. Keberuntungannya di meja judi digunakannya untuk memelihara courtesan lain yang jauh lebih muda dan cantik. Dan ia memamerkan hubungan mereka secara terang-terangan di depan Marguerite, pada setiap kesempatan, hingga semakin lama Marguerite semakin hilang dari peredaran.

Tapi, puaskah Armand? Cukupkah semua itu untuk melenyapkan sakit hati, menghapuskan cinta yang tak kunjung hilang? Dapatkah ia memaafkan Marguerite, dan memaafkan dirinya sendiri, jika pada akhirnya ia tahu alasan di balik keputusan yang diambil wanita itu? Penyesalan memang kerap datang terlambat.

Khusus untuk versi film adaptasi yang dibintangi Colin Firth, dibandingkan kisah aslinya penyelesaiannya terasa terlalu terburu-buru, dipaksakan sedikit lebih manis, yang pada akhirnya memudahkan permasalahan, meskipun tidak mengurangi tragedinya. 



View all my reviews

Tuesday, March 10, 2015

The Last Legion

The Last Legion

My rating: 3 of 5 stars

What if... akhir dari Kekaisaran Romawi merupakan awal dari mitos King Arthur?

Valerio Massino Manfredi bermain-main dengan kemungkinan ini dalam novel The Last Legion yang dirilisnya pada tahun 2002.

Kekaisaran Romawi Barat runtuh pada tahun 476 M, oleh serangan tentara barbar di bawah pimpinan Odoacer. Kaisar terakhir, Romulus Augustus, yang masih berumur 13 tahun, ditangkap dan dibuang ke Pulau Capri. Berdasarkan permintaan terakhir Orestes, ayah Romulus, yang tewas dalam serangan itu, salah seorang tentara dari Legiun Nova Invicta, Aurelius Ambrosius Ventidius, bersumpah untuk membebaskan putranya dari cengkeraman kaum barbar.

Meskipun legiunnya telah hancur, Aurelius tidak bergerak sendirian. Ia mendapat bantuan dari dua legiunnya yang selamat, Rufius Vatrenus dan Cornelius Batiatus, mantan prajurit Yunani Orosius dan Ambrosius, serta "pendekar wanita" dari Venesia, Livia Prisca. Ia berhasil membebaskan Romulus dari Pulau Capri, sekaligus gurunya, laki-laki Celtic misterius dengan nama latin Meridius Ambrosinus. Bukan itu saja, selama ditawan Romulus malah menemukan harta karun, pedang buatan suku Calibia warisan Julius Caesar, Konon, menurut legendanya, barang siapa yang berhasil memiliki pedang itu akan menjadi penguasa. Entah kenapa sampai di sini, aku malah teringat cerita silat To-liong-to.

Sudah, selesai ceritanya? Belum. Cerita baru saja dimulai.

Lolosnya Romulus tidak dapat dibiarkan oleh Odoacer, yang mengutus tangan kanannya Wulfila untuk memburu tawanannya yang kabur. Sial bagi Aurelius dan kawan-kawan, mereka tidak bisa meminta bantuan Kekaisaran Romawi Timur, yang lebih memihak kaum barbar. Pilihan terakhir mereka adalah menyeberang ke Britania, di mana konon masih terdapat Legiun Terakhir Romawi, Legiun XII Draco.

Tapi ternyata, lagi-lagi Aurelius cs harus kecewa, karena Legiun XII Draco sudah tidak ada lagi. Pulau Britania juga berada di bawah kekuasaan oleh Wortigern, yang dibujuk Wulfila untuk bekerja sama untuk menangkap buronannya.

Ke mana perginya Legiun XII Draco? Bisakah segelintir orang mempertahankan diri dari serangan ratusan orang dalam pertempuran terakhir? Dan yang paling penting, apa hubungan kisah legiun terakhir Romawi ini dengan legenda King Arthur?

Spoiler #1:
Nama tradisional Raja Britania adalah Pendragon, yang berarti "Kepala Naga" atau "Pemimpin Naga". Berdasarkan legendanya, ayah Raja Arthur bernama Uther Pendragon. Dalam novel, ada Legiun Keduabelas Naga, yang membuat Romulus, sebagai pemimpin utamanya, dijuluki Pendragon.

Spoiler #2:
Nama asli guru Romulus, Meridius Ambrosinus adalah Myrdin Emries, yang kemudian lama-lama lebih dikenal dengan nama Merlin.

Spoiler #3:
Pedang wasiat Julius Caesar berukiran "Cai.Iul.Caes. Ensis Caliburnus" yang berarti "Pedang buatan Calibia milik Caius Julius Caesar." Di akhir novel, Romulus melontarkan jauh-jauh pedang itu hingga menancap di batu. Seiring dengan berjalannya waktu, ukiran huruf asli memudar, sehingga yang dapat terbaca hanya:



Movie Adaptation:

The Turn of the Screw

The Turn of the ScrewThe Turn of the Screw by Henry James
My rating: 3 of 5 stars

Sinopsis:
A chilling ghost story, wrought with tantalising ambiguity, Henry James's The Turn of the Screw is edited with an introduction and notes by David Bromwich in Penguin Classics. In what Henry James called a 'trap for the unwary', The Turn of the Screw tells of a nameless young governess sent to a country house to take charge of two orphans, Miles and Flora. Unsettled by a dark foreboding of menace within the house, she soon comes to believe that something malevolent is stalking the children in her care. But is the threat to her young charges really a malign and ghostly presence or something else entirely?

Andai saja Colin Firth tidak ambil bagian dalam versi film yang diproduksi ITV pada tahun 1999,
entah kapan aku bakal membaca buku karya Henry James ini. Padahal, sebagai salah satu buku yang tercantum dalam "1001 Books You Must Read Before You Die", buku ini sudah termasuk dalam RBB, alias Rencana Baca Buku, meskipun tidak jelas kapan pelaksanaannya.

Review :
Cerita ini bertutur dari sudut pandang seorang gadis muda berusia dua puluh tahun, yang menjawab iklan dari seorang pria muda bujangan dan kaya raya (selanjutnya disebut saja sebagai si Master) di London. Si Master ini membutuhkan governess untuk mengasuh kedua keponakan yang telah yatim piatu, dan ia bersedia membayar sangat mahal untuk itu. Syarat utamanya: si governess tidak boleh sekali-kali menghubunginya untuk alasan apapun. Semua urusan keuangan akan dilakukan melalui pengacara. Pokoknya si Master bebas dari tanggung jawab mengurus para keponakannya.

Setelah berpikir panjang (dan mungkin juga karena terpesona pada manisnya bujuk rayu si Master yang memang tampan menawan), si gadis muda bersedia menjadi governess. Ia pun berangkat ke rumah si Master di pedesaan, dan mendapati dirinya bukan saja menjadi pengasuh bagi anak lelaki bernama Miles dan adik perempuannya yang bernama Flora, tapi juga membawahi seluruh pengurus dan pelayan rumah tangga di sana.

Namun, ternyata tugasnya tidak mudah. Ia mendapatkan surat dari kepala sekolah Miles, kalau anak itu dikeluarkan dari sekolah. Sulit dipercaya karena kedua anak yang diasuhnya bukan hanya pintar tapi juga menawan. Ia mengalami kesulitan untuk menanyakan duduk permasalahannya pada si bocah, dan tidak bisa pula meminta bantuan dari pamannya yang tidak mau tahu. Tapi masalah terbesarnya dimulai ketika ia melihat penampakan seorang pria dan seorang wanita. Mereka tidak bisa dilihat oleh para penghuni rumah yang lain, tapi kemungkinan besar bisa dilihat oleh Miles dan Flora.

Dari deskripsinya tentang kedua sosok yang dilihatnya kepada pengurus rumah tangga, Mrs Grose, ia mengetahui bahwa kedua orang itu adalah Mr. Quint, mantan valet si Master, dan Miss Jessel, governess sebelumnya. Kalau gosip bisa dipercaya, mereka berdua punya hubungan khusus. Tapi yang lebih parah, informasi bahwa mereka berdua sudah meninggal dunia.

Kemunculan Mr. Quint dan Miss Jessel yang makin sering terjadi membuat si governess panik, apalagi mereka tidak peduli pada kehadirannya dan sepertinya lebih berminat pada Miles dan Flora. Apa maksud kemunculan mereka? Apakah hanya bermaksud mengganggu saja? Atau membawa anak-anak ke sisi mereka?

Kalau kita percaya pada penuturan si governess bahwa ia bisa melihat hantu, maka cerita ini bisa digolongkan sebagai cerita horor. Kurang apa coba? Penampakan hantu-hantu di tempat dan waktu yang salah? Anak-anak yang tampaknya juga bisa melihat dan mengenali para hantu dan bisa-bisa terbawa ke dunia lain?

Tapi kalau kita skeptis pada hal gaib dan supranatural, maka cerita ini bisa jadi kita anggap cuma omong kosong dan karangan si governess belaka. Lho, tapi untuk apa juga ia berbohong? Banyak alasan untuk itu. Bisa jadi si governess cuma mau mencari perhatian. Meskipun sudah terikat janji dengan si Master untuk tidak menghubunginya dengan cara apapun, tapi bisa lain ceritanya kalau terjadi hal luar biasa yang tidak bisa diabaikan oleh si paman yang egois.

Dan bukan tidak mungkin kalau semua cerita itu cuma delusi dari si governess yang ternyata sinting, karena ia melihat hal-hal yang sebenarnya tidak ada. Kemungkinan ini cukup besar, kalau kita memperhatikan perubahan sikap para penghuni rumah, termasuk anak-anak, kepada si governess

Henry James tidak memberikan konklusi jelas tentang apa yang sebenarnya inti cerita ini, dan membebaskan pembaca untuk membuat interpretasi sendiri. Apalagi cerita ini dibuat sebagai cerita seseorang tentang dari temannya, yang ternyata teman si governess, alias sudah mulut kesekian.

Versi film TV tahun 1999 boleh dibilang cukup setia pada jalan cerita novelnya. Tapi karena penonton diberi kesempatan untuk melihat penampakan makhluk-makhluk tak diundang yang kadang muncul di siang bolong, diiringi musik yang juga mencekam, secara otomatis penonton tergiring menahbiskan cerita ini memang cerita horor.

Poster filmnya sendiri sungguh sangat misleading. Colin Firth cuma muncul beberapa menit, di awal film, karena ia berperan sebagai si Master super egois, yang menggunakan ke-charming-an dan rayuan mautnya agar si nona muda polos mau menjadi governess bagi kedua keponakannya, dan ia sendiri bisa terbebas dari tanggung jawab.

Castingnya pas sih, karena si Master dideskripsikan seperti ini dalam novel:

One could easily fix his type; it never, happily, dies out. He was handsome and bold and pleasant, offhand and gay and kind. He struck her, inevitably, as gallant and splendid, but what took her most of all and gave her the courage she afterward showed was that he put the whole thing to her as a kind of favor, an obligation he should gratefully incur. She conceived him as rich, but as fearfully extravagant-- saw him all in a glow of high fashion, of good looks, of expensive habits, of charming ways with women.  

Kalau dimintai tolong dengan tatapan seperti itu sih...

Saturday, March 7, 2015

The Secret Service


Serial komik enam jilid yang ceritanya ditulis oleh Mark Millar (Civil War, The Ultimates, Wanted, Kick Ass) dan ilustrasinya digambar oleh Dave Gibbons (Watchmen) ini kubaca dalam rangka persiapan untuk menonton film adaptasinya: Kingsman: The Secret Service.

Review:
Gary, remaja dari keluarga broken-home, kerap membuat masalah yang membuatnya ditangkap polisi. Seperti biasa, Jack London, pamannya, terpaksa menggunakan jabatannya sebagai agen pemerintah untuk membebaskan Gary. Selama ini keluarga Jack hanya tahu ia seorang anggota fraud squad, tapi sebenarnya ia seorang spy. Sadar bahwa ia telah lama mengabaikan keluarganya, Jack London memutuskan untuk memperbaiki masa depan keponakannya dengan merekrut dan memasukkannya ke sekolah mata-mata. KKN, dong? Ya sudah pastilah. Tapi rekomendasi Jack diterima, karena Jack sendiri berasal dari lingkungan yang sama dengan Gary, dan toh berhasil menjadi superspy andalan.

Sementara Gary mulai menempuh pelatihan wajib tiga tahun di bawah Rupert Greaves (dari pelatihan standar militer sampai bagaimana membuat wanita orgasme, every time!), Jack sibuk menyelidiki penculikan para selebriti, terutama para bintang dari film sci-fi seperti Star Wars dan Star Trek. Gary mampu membuktikan kepiawaiannya dalam hal teknis militer, tapi latar belakangnya membuatnya gagal dalam ujian merayu wanita dari kalangan atas. Ketika Gary bolos dari pelatihan dan kembali membuat keributan, terpaksa Jack turun tangan sendiri untuk melatih keponakannya secara pribadi, sekaligus melibatkannya dalam misi rahasia yang sedang ditanganinya.

Latihan khusus dari Jack termasuk tips penampilan. Mari kita simak baik-baik tipsnya:
To dress smart you need to start with your feet and work your way up. A man is always judged by his shoes and from this moment on you wear brown or black.
Select a haircut that demand respect. That's tight on the sides and a sharp left-parting. Anything else is not acceptable.
A crisp white shirt is the backbone on any wardrobe.
Every man needs at least one good suit. My recommendation would be navy blue, a sum lapel, three button and three pockets.
Setelah memperbaiki penampilan keponakan dan kehidupan adik perempuannya, Jack mendapat info intelejen terbaru bahwa mastermind di balik penculikan para selebriti ternyata Dr. James Arnold, cell-phone entrepreneur dan orang terkaya ke-127 di dunia. Ia pun membawa Gary untuk menyelidiki rencana Dr, Arnold. Dan tentu saja, kunci pertama untuk mendapatkan informasi adalah dengan... bertanya pada pacar dari target.
Wines and girlfriends are always the key. Every mission I've ever worked on. This is where your seduction-training comes in handy because megalomaniacs are never very good in bed.
Dan Gary harus mengakui keahlian Jack di bidang yang so very James Bond itu! Apalagi selama "proses pencarian informasi", Gary memantaunya secara live!

Lalu, berhasilkah mereka mengetahui rencana besar Dr. Arnold? Dan bagaimana caranya menggagalkan rencana itu menjadi kenyataan?


Comics versus Movie Adaptation
Pertanyaan pertama bila kita mengetahui adanya adaptasi layar lebar dari buku atau komik yang sudah kita baca: sejauh mana adaptasinya setia pada versi aslinya?

Tentu saja, aku gatal untuk membandingkan dan membahasnya... dengan cukup detail. 

SPOILER ALERT, everybody!


Saturday, February 28, 2015

The King's Speech

Judul : The King's Speech: How One Man Saved The British Monarchy

Penulis: Mark Logue & Peter Conradi

Pertama kali terbit: 2010

Pertama kali dibaca tanggal : 21 April 2011

Dibaca ulang tanggal : 26 Februari 2015

Review:

"The Quack who saved a King", begitukah julukan di sebuah surat kabar Inggris tahun 1930-an bagi speech therapist Lionel Logue. Sebagai rakyat biasa, bukan warga negara Inggris pula, melainkan Australia, ia sangat berjasa bagi Keluarga Kerajaan Inggris di paruh awal abad ke-20.

Berjasa? Dalam hal apa?

Logue menolong Pangeran Albert Frederick Arthur George, Duke of York, yang terkenal gagap dan susah bicara (di depan publik pada umumnya), menyelamatkan reputasi dan harga dirinya, yang menjadi lebih penting ketika sang pangeran terpaksa harus naik takhta dan menjadi King George VI, setelah kakak sang pangeran, King Edward VIII melepaskan gelar dan jabatannya demi cinta.

Buku ini merupakan biografi singkat, dari sisi Lionel Logue maupun King George VI, yang menceritakan hubungan erat antara speech therapist dan pasiennya, dengan sumber antara lain surat-surat dan dokumen pribadi keluarga Logue.

Awalnya, Mark Logue, cucu dari Lionel Logue, didatangi pihak produser yang tengah mempersiapkan pembuatan film The King's Speech (yang disutradarai oleh Tom Hooper dan dibintangi oleh, tentu saja, Colin Firth), dan membutuhkan bahan-bahan otentik yang bisa mendukung cerita. Setelah mencari-cari di gudang pribadi, maupun gudang saudara-saudara yang lain, terkumpullah dokumen yang cukup lengkap, yang juga dipakai para aktor untuk lebih mendalami peran mereka.

Karena bentuknya berupa biografi, bagi yang berharap mendapatkan isinya berupa novelisasi versi filmnya, jelas akan kecewa. Tapi buku ini penting sebagai pelengkap versi film. Mengapa? Kita akan lebih mengetahui masa lalu Lionel Logue dan King George VI. Bagaimana Logue bisa menjadi speech therapist? Seperti apa masa kanak-kanak King George VI (status pangeran malah membuatnya jadi korban bully di sekolah)? Dan tentu saja, bagaimana mereka akhirnya bertemu dan kemudian tetap bersahabat sampai akhir hayat.

Setelah membaca fakta-fakta sejarah dalam buku ini, tentu saja kita akan menyadari bahwa versi film merupakan dramatisasi, dengan timeline yang dipersingkat, dan sudah pasti banyak adegan atau dialog yang mungkin direka-reka sendiri, misalnya, metode yang digunakan Logue, karena tidak ada catatan sama sekali.

Dari latihan vokal...

Latihan diafragma...
Sampai latihan mengumpat...
Ada untungnya saudara perempuan Colin Firth juga seorang speech therapist, sehingga meskipun belum tentu terapi aneh-aneh yang digunakan dalam versi film sama dengan yang sebenarnya, kemungkinan besar memang metodenya memang efektif.

Dan tentu saja, buku ini dilengkapi foto-foto. Jadi jangan kaget kalau ternyata tampang para tokoh utamanya berbeda jauh dengan aktor-aktor yang memerankannya. Yah... namanya juga film, yang dibutuhkan adalah kemampuan akting yang membuat penonton terpesona sehingga segala perbedaan fisik bisa dimaafkan dan dilupakan :)

... wajar kalau sempat ada yang memprotes waktu casting CF sebagai King George VI diumumkan
Minimal sisiran rambutnya mirip sih...
Yah... sudahlah....
Buku ini kubaca dan kureview dalam rangka mengikuti event BBI bulan Februari ini:

Tema : Profesi
In the past, all a King had to do was look respectable in uniform and not fall off his horse. Now we must invade people's homes and ingratiate ourselves with them. This family's been reduced to those lowest, basest of all creatures. We've become actors!

Friday, February 27, 2015

Shakespeare in Love: A Screenplay

Judul: Shakespeare In Love: A Screenplay

Penulis: Marc Norman & Tom Stoppard

Sinopsis:

The screenplay to the critically acclaimed film which New York Newsday called one of the funniest, most enchanting, most romantic, and best written tales ever spun from the vast legend of Shakespeare. Marc Norman and renowned dramatist, Tom Stoppard have created the best screenplay of the year according to the Golden Globes and the New York Film Critics Circle.

Review, or how to see the villain from the other perspective:

Umm, well... setelah di film Oscar sebelumnya, The English Patient, istri Colin Firth diselingkuhi oleh Ralph Fiennes, kali ini di film Oscar yang satu ini, calon istri Colin Firth diserobot oleh Joseph Fiennes. Dua kosong buat Fiennes bersaudara :P

Tapi berbeda dengan karakter Geoffrey Clifton di TEP yang lebih sebagai pelengkap penderita, kali ini karakter yang diperankan Colin Firth di SIL ini jelas-jelas ditahbiskan sebagai pihak antagonis, seperti dituliskan oleh Marc Norman dan Tom Stoppard dalam naskah mereka ketika memperkenalkan kemunculannya pertama kali bersamaan dengan karakter Viola-nya Gwuneth Paltrow:


Now we meet VIOLA. VIOLA DE LESSEPS is twenty five and beautiful, and she is laughing with great natural enjoyment. She sits slightly apart from her small family group--her parents, SIR ROBERT DE LESSEPS and LADY MARGARET DE LESSEPS. Part of the group but seated behind as befits her lower status is VIOLA'S NURSE.
Elsewhere is LORD WESSEX, our villain. Wessex is in his forties, dark cruel, self-important. He has notices VIOLA. The nurse notices him.
Karakter Lord Wessex adalah tipikal bangsawan berdompet cekak yang butuh pengantin dari keluarga kaya. Ia menginginkan Viola sebagai istri murni karena faktor uang, bukan personal. 
Wessex: Is she fertile?
Sir Robert: She will breed. If she do not, send her back.
Wessex: Is she obedient?
Sir Robert: She is as stubborn as 'any mule in Christendom--but if you are the man to ride her, there are rubies in the saddlebag.
Wessex: I like her.
Ketimbang merasa simpati seperti yang bisa kita rasakan pada karakter Geoffrey Clifton di SEP, kita murni diajak untuk membenci Lord of Wessex. Apalagi pada akhirnya ia berhasil memboyong Viola ke Amerika, tak peduli gadis itu masih mencintai Shakespeare atau tidak. 

Tapi bagi Colin Firth, ia selalu menemukan cara untuk dapat bersimpati pada karakter ini, seperti yang dilakukannya pada semua karakter yang diperankannya. Baginya, keinginan Lord of Wessex untuk melakukan perjalanan ke dunia baru, menunjukkan keberaniannya untuk mencoba hal-hal yang baru, dan berpetualang.

"His crime is that he is unintelligent and has no sense of humour, but for his times, at least he hadn't used his power to kill anyone, unlike many men in his position, and as fot going off to the Carolinas, that was not exactly a quick trip on Concorde in those days."

Dan, karakter antagonis atau bukan, gelar Lord of Wessex dipilih oleh Prince Edward ketika menikahi tunangannya Sophie Rhys-Jones, yang konon terinspirasi setelah menonton SIL. 

By the way, Colin Firth juga pernah memerankan William Shakespeare, kok, di film TV Blackadder: Goes and Forth.



Meskipun Shakespeare-nya di sini jadi korban pukulan dan tendangan Rowan Atkinson, gara-gara di masa depan ia membuat banyak murid sekolah yang menderita karena harus mempelajari karya-karyanya, dan banyak aktor yang terpaksa bercelana ketat untuk memerankan karakter-karakter ciptaannya :P



The Importance of Being Earnest

Belakangan ini, aku membaca buku-buku yang terkait dengan film-filmnya Colin Firth. Buku The Importance of Being Earnest ini kubaca ulang dalam rangka membuat review Colin Firth Month. And you know what? Versi film tahun 2002 yang dibintangi oleh Colin Firth dan Rupert Everett ini merupakan salah satu film yang sangat setia pada sumber aslinya.

Naskah drama panggung tiga babak karya Oscar Wilde yang diadaptasi menjadi film ini penuh dengan dialog yang kocak, cerdas dan witty. Mungkin karena itulah sayang rasanya merusak karya yang sempurna. Modifikasinya cukup dengan mengubah setting yang terbatas menjadi lebih banyak dan... ehm, sedikit alterasi di akhir kisah.

The Name Is The Game

Begitulah tagline versi filmnya. Dan sejarahnya diawali dengan taktik John Worthing (Jack), pemuda kaya raya yang menggunakan nama Ernest Worthing kalau sedang bertualang ke London, sementara di rumahnya di pedesaan ia mengaku punya adik bermasalah di kota, sehingga punya alasan untuk ke kota untuk mengurus si adik.

Di London, ia berteman dengan Algernon Moncrieff (Algy), sepupu dari gadis yang diincarnya, Gwendolen. Algy mulai curiga kalau Ernest bukan nama asli Jack, karena ia menemukan kotak rokok Jack bertuliskan "Uncle Jack" yang berupa hadiah dari gadis bernama Cecily. Dengan sedikit ancaman, akhirnya Jack pun mengakui nama aslinya, tapi tetap merahasiakan alamat rumahnya. Seperti halnya Jack, dalam rangka menghindari hutang dan kerabatnya (terutama ibu Gwendolen, Lady Bracknell), Algy selalu berpura-pura mengunjungi temannya yang sakit-sakitan Bunbury di pedesaan. Ia butuh alamat Jack sebagai alternatif kaburnya, dan agak penasaran dengan Cecily, anak perwalian Jack.

Algy (Everett) dan Jack (Firth)
Sebenarnya, cinta Jack tidak bertepuk sebelah tangan. Sayangnya, Gwendolen sangat menyukai nama Ernest, sehingga Jack susah berterus terang. Belum lagi, Lady Bracknell tidak sudi anak gadisnya dinikahi oleh Jack, apalagi setelah diwawancara (diinterogasi tepatnya), Jack mengaku tidak tahu siapa orang tuanya, karena ia dibesarkan oleh seseorang yang menemukannya waktu masih bayi dalam sebuah tas di stasiun kereta api.
You can hardly imagine that I and Lord Bracknell would dream of allowing our only daughter—a girl brought up with the utmost care—to marry into a cloak-room, and form an alliance with a parcel? 
Meskipun Jack nyaris patah semangat dengan penolakan Lady Bracknell, 
You don’t think there is any chance of Gwendolen becoming like her mother in about a hundred and fifty years, do you, Algy?
demi Gwendolen ia tetap berusaha mencari tahu siapa orangtuanya supaya bisa menikahi gadis itu. Tapi usaha kerasnya di perpustakaan mencari iklan puluhan tahun lalu tentang orang yang kehilangan bayi dalam tas mengalami kegagalan.


Cerita berkembang ketika Algy yang menguping pembicaraan Jack dan Gwendolen mendapatkan alamat Jack di pedesaan, dan langsung pergi ke sana dengan mengaku sebagai Ernest Worthing, adik Jack. Di sana ia bertemu dengan Cecily, dan mereka berdua saling jatuh cinta. Tentu saja Jack, yang merasa privasinya dilanggar (dan anak perwaliannya diganggu), jadi marah. Keadaan makin kacau ketika Gwendolen juga datang, dan pada akhirnya kedua gadis itu merasa tertipu karena kekasih mereka telah berbohong dengan mengaku bernama Ernest.

Adegan paling epik dari Jack dan Algy waktu ditinggal pergi Gwendolen dan Cecily adalah adegan pertengkaran mereka saat... berebut muffin.


Untunglah dengan sedikit nyanyian dan rayuan, Jack dan Algy bisa meluluhkan kembali hati Gwendolen dan Cecily.

Lady, come down...
Baru selesai satu masalah, masih timbul masalah lain: Lady Bracknell juga akhirnya datang menjemput anak gadisnya yang kabur ke rumah Jack!

Bagaimana akhir kisah komedi romantis ini? Well, kalau kau tidak keberatan dengan jalan cerita yang penuh kebetulan...

Tanpa mengecilkan peran Frances O'Connor dan Reese Witherspoon sebagai Gwendolen dan Cecily, drama ini merupakan panggung Colin Firth, Rupert Everett, dan Judi Dench (Lady Bracknell). Chemistry antara Firth dan Everett solid, meskipun konon hubungan mereka tidak begitu baik sejak syuting film Another Country belasan tahun sebelumnya.

Menariknya pula, di sini, karakter Jack Worthing bukan tipe English gentleman yang biasa diperankan Colin Firth. Meski berusaha tetap noble dalam hal-hal prinsip, ia juga suka menghalalkan segala cara. Dari menyaru sebagai Ernest (yang bereputasi tukang kemplang tagihan makan malam di Savoy), mengancam Lady Bracknell demi memuluskan niatnya menikahi Gwendolen, sampai... mengaku bahwa pada akhirnya, namanya ternyata benar-benar Ernest!
I've now realised for the first time in my life the vital Importance of Being Earnest. 

The English Patient

Sinopsis:

With ravishing beauty and unsettling intelligence, Michael Ondaatje's Booker Prize-winning novel traces the intersection of four damaged lives in an Italian villa at the end of World War II. Hana, the exhausted nurse; the maimed thief, Caravaggio; the wary sapper, Kip: each is haunted by the riddle of the English patient, the nameless, burned man who lies in an upstairs room and whose memories of passion, betrayal, and rescue illuminate this book like flashes of heat lightning.

Review Gerundelan:

Iya, ini bukan review. Ini gerundelan.

Plis, deh, dulu sekali waktu aku pertama menonton film ini, aku nggak suka. Sinematografinya memang indah... tapi kisah cinta antara kedua tokoh utamanya, Count Almasy dan Katharine Clifton... meh. Itupun kalau affair mereka memang bisa digolongkan sebagai kisah cinta, bukan kisah nafsu belaka. Aku dulu tidak bisa merasa bahwa kisah mereka merupakan kisah cinta abad ini. Aku merasa bahwa masalah dan kesulitan yang mereka alami memang sengaja dicari sendiri. Dan akhir kisah mereka yang mengenaskan (dan yang katanya seharusnya bikin nangis kejer), memang sudah sewajarnya. Bermain air basah, bermain api hangus. 

Dulu sekali waktu aku pertama menonton film ini, aku merasa jauh lebih simpati pada Geoffrey Clifton, suami yang dikhianati. Padahal dulu aku belum ngeh (dan peduli) kalau yang memerankan si suami adalah Colin Firth.


Mungkin ada banyak alasan bagi Katherine Clifton untuk bermain api dengan laki-laki lain. Mungkin ia memang tidak pernah mencintai suaminya. Mungkin ia menikahi Geoffrey hanya karena selama ini laki-laki itu selalu berada di sampingnya, a shoulder to cry on, tempatnya kembali, apabila kisah cintanya berakhir dengan kegagalan. Tapi apakah setelah menikah pun, hanya itu peran Geoffrey baginya? Rasa bersalahnya membuatnya meninggalkan Almasy dan kembali pada suaminya, tapi cukupkah semua itu untuk menghapus sebuah pengkhianatan?

Adegan paling romantis bagiku bukan di kala Almasy dan Katherine bergelinjang di atas ranjang memadu hasrat membara. Adegan itu adalah saat Geoffrey Clifton duduk menunggu di taksi, menanti istrinya selesai berselingkuh.


Apakah saat itu hatinya langsung hancur berkeping-keping, atau rontok sepotong demi sepotong, sementara benaknya merajut keputusasaan yang berlanjut menjadi keputusan untuk mati bersama?

Versi novelnya agak berbeda dengan versi film. Dikisahkan bahwa Geoffrey dan Katherine saling mencintai dan masih dalam suasana bulan madu ketika pertama kali bertemu dengan Almasy. Apakah kemudian Katherine mendapati lelaki yang jauh lebih tua dan lebih matang tampak lebih menarik dari suaminya yang masih muda dan kekanakan?

Tapi di versi manapun, Geoffrey terlalu percaya pada Katherine, dan mungkin karena besarnya rasa cintanya sendiri, sampai tidak bisa melihat perubahan sikap istrinya. Meskipun ia ternyata bukan seorang anak muda Inggris biasa. Ia anggota intelijen Inggris, sehingga jauh sebelum ia tahu apa yang terjadi, perselingkuhan istrinya malah sudah diketahui lebih dulu oleh intelijen. Dan laki-laki dengan posisi sepertinya tewas, sudah jelas siapa yang dituduh membunuhnya.


“Planes supposedly ‘lost’ you, but you were being tracked very carefully. You were not the spies, we were the spies. Intelligence thought you had killed Geoffrey Clifton over the woman. They had found his grave in 1939, but there was no sign of his wife. You had become the enemy not when you sided with Germany but when you began your affair with Katharine Clifton.”

Thursday, February 26, 2015

The Picture of Dorian Gray

Sinopsis:
Enthralled by his own exquisite portrait, Dorian Gray exchanges his soul for eternal youth and beauty. Influenced by his friend Lord Henry Wotton, he is drawn into a corrupt double life, indulging his desires in secret while remaining a gentleman in the eyes of polite society. Only his portrait bears the traces of his decadence.

Review:
Bagaimana kalau kau memiliki lukisan yang bisa menampung semua kerusakan lahir dan batinmu? Akankah kau manfaatkan sebaik-baiknya, dalam hal ini tetap muda berwajah rupawan tanpa dosa meskipun berfoya-foya seumur hidupmu?

Kebetulan, Dorian Gray memiliki lukisan ajaib seperti itu, yang diwujudkan oleh seorang pelukis muda berbakat yang (meskipun hanya tersirat dalam novelnya) jatuh hati setengah mati kepadanya, Basil Hallwart.

Dan nasib membawanya bertemu dengan Lord Henry Wotton, yang tertarik pada keluguan dan kepolosan Dorian, dan lebih gawat lagi, tertarik untuk bereksperimen dengan jiwa labil Dorian. Sejauh mana kata-kata dan tindakannya bisa mengubah kertas putih menjadi abu-abu... atau malah hitam?

Banyak kutipan yang menarik dari Lord Henry Wotton yang hilarious. Sebagian motto-nya benar-benar menggoda iman...

"The only way to get rid of a temptation is to yield to it. Resist it, and your soul grows sick with longing for the things it has forbidden to itself, with desire for what its monstrous laws have made monstrous and unlawful. It has been said that the great events of the world take place in the brain. It is in the brain, and the brain only, that the great sins of the world take place also."

Well, kalau dipikir-pikir Lord Henry ada benarnya sih... Coba kalau kita tergoda buat beli buku yang bikin penasaran, terus berusaha menahan diri, pasti kepikiran terus kan? Hati dan pikiran kita pasti baru akan tenang kalau kita langsung melampiaskan nafsu... langsung membeli bukunya pada godaan pertama. Masalahnya, godaan yang dimaksud Lord Henry bukan godaan buat bookaholic sih :P

Atau omongan Lord Henry lainnya tentang buku:

"Those who find ugly meanings in beautiful things are corrupt without being charming. This is a fault. Those who find beautiful meanings in beautiful things are the cultivated. For these there is hope. They are the elect to whom beautiful things mean only Beauty. There is no such thing as a moral or an immoral book. Books are well written, or badly written. That is all."

Yang ini menurutku ada benarnya juga... Pertama kali aku baca buku historical romance Johanna Lindsey, yang berjudul Defy Not The Heart, aku masih cupu dan cuma tahu adegan hot di novel terjemahan Sidney Sheldon dan Jackie Collins (padahal pasti sudah kena babat sensor). Adegan olahranjangnya eksplisit dan wow gitu... tapi ceritanya juga bagus kok. Dan bukan berarti karena membaca buku kipas lantas pembacanya spontan get rid the temptation by yield it right away... :)) 

The Movie

Iya, seperti gambar cover buku yang kupilih, pada tahun 2009 dirilis versi film dengan Ben Barnes sebagai Dorian Gray, Ben Chaplin sebagai Basil Hallwart, dan tentu saja... Colin Firth sebagai Lord Henry Wotton.

Film ini jauh lebih gothic dari versi bukunya, dan... ehm, gaya hidup hedonistik dan dosa-dosa daging Dorian Gray digambarkan sangat eksplisit. Buat penggemar Ben Barnes, red alert, film ini penuh adegan hot bersama seabrek wanita dan... meskipun tidak ditampilkan secara frontal, bersama Ben Chaplin. Dan banyak jalan cerita yang diubah, bahkan termasuk endingnya.

Tapi sama seperti halnya di film Easy Virtue, aku merasa Ben Barnes kembali kebanting dalam hal akting oleh supporting cast-nya, Colin Firth sebagai Lord Henry Wotton. Pendapat ini bukan hanya karena bias kok. Sungguh. Colin Firth bisa begitu meyakinkan sebagai sin whisperer, dan melancarkan dialog-dialog mematikan Lord Henry dengan begitu meyakinkan. Meskipun... Lord Henry ini ternyata cuma omong doang, sedangkan Dorian benar-benar terjun bebas ke jurang maksiat.

"You will always be fond of me. I represent to you all the sins you never had the courage to commit."