Showing posts with label children. Show all posts
Showing posts with label children. Show all posts

Tuesday, January 28, 2020

Will My Cat Eat My Eyeballs?

Judul : Will My Cat Eat My Eyeballs? Big Questions from Tiny Mortals About Death

Penulis : Caitlin Doughty

Penerbit : W.W. Norton Company

Tebal : 222 halaman

Penghargaan : Goodreads Choice Award for Science and Technology (2019)

Dibaca tanggal : 25 Januari 2020

Sinopsis :
Best-selling author and mortician Caitlin Doughty answers real questions from kids about death, dead bodies, and decomposition.

Every day, funeral director Caitlin Doughty receives dozens of questions about death. What would happen to an astronaut’s body if it were pushed out of a space shuttle? Do people poop when they die? Can Grandma have a Viking funeral?

In Will My Cat Eat My Eyeballs?, Doughty blends her mortician’s knowledge of the body and the intriguing history behind common misconceptions about corpses to offer factual, hilarious, and candid answers to thirty-five distinctive questions posed by her youngest fans. In her inimitable voice, Doughty details lore and science of what happens to, and inside, our bodies after we die. Why do corpses groan? What causes bodies to turn colors during decomposition? And why do hair and nails appear longer after death? Readers will learn the best soil for mummifying your body, whether you can preserve your best friend’s skull as a keepsake, and what happens when you die on a plane. Beautifully illustrated by DiannĂ© Ruz, Will My Cat Eat My Eyeballs? shows us that death is science and art, and only by asking questions can we begin to embrace it.

Review singkat :

Judul bukunya bikin penasaran.

Itu alasan aku memilih untuk membaca buku ini duluan dalam rangka memenuhi tantangan baca Goodreads Indonesia bulan Januari 2020, padahal ada banyak buku yang mendapatkan penghargaan di tahun 2019. The Institute-nya Stephen King saja kutunda bacanya, bisa jadi kapan-kapan kalau sudah punya buku fisiknya. The Calculating Stars-nya Mary Robinette Kowal juga kutunda bacanya, padahal pemenang Hugo Award 2019 untuk kategori Best Novel.

Buku ini ditujukan bagi future corpses of all ages, jadi aku yang sisa usianya sudah semakin sedikit ini juga termasuk di dalamnya. Namun demikian, pertanyaannya berasal dari anak-anak dan jawaban serta pembahasannya menggunakan bahasa yang ringan dan mudah untuk dipahami anak-anak pula. Humor yang digunakan penulisnya juga asyik, sehingga pembaca tidak akan merasa jijik meskipun pembahasannya kadang-kadang memang menjijikkan secara harfiah. Ini sains gitu loh! Yang dibahas seputar kematian pula! Jadi mayat, darah, organ tubuh, kotoran dan segala macamnya tak mungkin dikecualikan dari pembicaraan.

Karena pertanyaannya berasal dari anak-anak yang rasa ingin tahunya memang besar, kadang-kadang pertanyaan nyeleneh, tapi penulis buku ini bisa menyajikan jawabannya dengan serius tapi santai, dan tetap berdasarkan fakta. Ada banyak pertanyaan lain selain yang dijadikan judul buku ini. Ingin tahu apakah kita masih bisa duduk atau berbicara (atau buang kotoran) setelah mati? Atau kenapa warna tubuh kita berubah setelah mati? Atau apakah orang kembar siam meninggal di waktu yang sama? Apakah kita boleh dikubur bersama hamster peliharaan kita? Atau apakah darah jenazah bisa digunakan untuk transfusi?

Kalau ingin tahu jawabannya, silakan baca buku ini. Recommended, dan di Goodreads kuberi bintang:




Spoiler:
Untuk judul buku ini, jawabannya YA! Terutama kalau kita cuma hidup berdua dengan si kucing peliharaan di tempat terpencil, lalu kita mati mendadak tanpa diketahui orang selama berhari-hari. Karena peran kita sebagai penyedia makanan berakhir, kucing yang kelaparan bisa makan apa saja yang ada di rumah. Termasuk bagian tubuh mayat kita... Ingat, kucing itu adalah predator, yang punya kesamaan DNA sebanyak 95,6% dengan singa.


Buku ini kubaca dan kureview dalam rangka memenuhi Tantangan Baca Goodreads Indonesia Tahun 2020 untuk bulan Januari :


Monday, March 6, 2017

CockaDoodle-Doo, Mr Sultana!


Judul : CockaDoodle-Doo, Mr Sultana!

Penulis : Michael Morpurgo

Penerbit : HarperCollins' Children Books

Tebal : 96 halaman

Dibeli di ; Bybooks FX Senayan

Harga beli : Rp. 10.000,-

Dibeli tanggal : 11 Februari 2017

Dibaca tanggal : 23 Februari 2017

Review :
Membaca buku-buku Michael Morpurgo belakangan ini, rasanya cuma buku ini yang jelas sangat berbeda.

Mengapa?

Pada umumnya latar belakang cerita Morpurgo cukup suram, ya peranglah, ya sakitlah, etc, etc. Buku ini berbeda, karena murni cerita anak-anak... yang absurd!

Plotnya sederhana saja, tentang seorang sultan di kerajaan antah berantah yang sangat kaya, sangat pemalas, sangat tamak, dan sangat gendut!

Begitu kayanya, sampai istananya terbuat dari marmer dan emas berkilauan. Sampai kancing pakaian sutranya terbuat dari berlian. Begitu pemalasnya,  sampai untuk gosok gigi pun ada pelayan yang khusus mengerjakannya. Begitu tamaknya, sampai setiap saat makan pagi/siang/malam, ia makan seekor merak gemuk dan semangkuk besar daging sendirian. Semua itu membuatnya sangat gendut dan kasurnya saja bisa muat lima orang!

Nah, tapi, yang paling ia sukai tentu saja hartanya. Saking sayangnya, ke manapun ia pergi ia membawa kotak hartanya. Sayangnya, sang sultan ternyata pelit luar biasa, karena rakyatnya hanya bisa hidup seadanya.

Itu baru pembukaan sih. Cerita sebenarnya dimulai ketika sang sultan pergi berburu, lalu kudanya yang sudah tua ambruk karena tak kuat menahan beban yang luar biasa. Ndilalah, salah satu kancing berlian sultan copot di luar pengetahuannya, dan baru ketahuan waktu pemiliknya sudah balik ke istana. Sang sultan pun mengamuk dan menginstruksikan pencarian sebutir berlian itu.

Eh, ternyata berlian itu ditemukan oleh seekor ayam jago milik seorang wanita miskin. Dan si ayam ternyata punya prinsip: Finders Keepers!

Begitu ketahuan oleh sang sultan, karena tak ada yang mau mengalah, akhirnya anak buah sultan berebut berlian dengan si ayam! Si ayam berhasil lolos, tapi berliannya jatuh dan kembali ke tangan sultan.

Berakhirkah cerita ini? Belum. Karena si ayam jago akhirnya membalas dendam, berubah jadi teroris, yang masuk ke istana, meneror sang sultan, menganggu ketenangan hidupnya sambil terus berseru: "Kukuruyuk, Mr. Sultana!"

Bagaimana akhir kisah perang antara sultan vs ayam jago ini? Apakah kita memihak tirani? Atau kita memihak teroris?

Kesimpulan :
Ambil sendiri setelah membaca cerita absurd pembalasan dendam sang ayam ini.

Review ini dibuat dalam rangka memenuhi tantangan di bawah ini:
Kategori : Children Literature

Toro! Toro!

Judul : Toro! Toro!

Penulis : Michael Morpurgo

Penerbit : HarperCollins' Children Books

Tebal : 128 halaman

Dibeli di : Bybooks FX Senayan

Harga beli : Rp.10.000,-

Dibeli tanggal : 11 Februari 2017

Dibaca tanggal : 1 Maret 2017

Review :
Pada novel ini, meskipun tetap bertema perang, kali ini latar belakangnya adalah Perang Saudara Spanyol di tahun 1930-an, yaitu perang antara kaum Republikan, golongan sosialis kiri, dengan kaum Nasionalis, golongan fasis kanan.

Seperti gaya Morpurgo pada umumnya, kisahnya diceritakan di masa kini oleh orang yang mengisahkan masa lalunya. Ini adalah kisah seorang kakek pada cucunya.

Sang kakek, yang semasa kecilnya dipanggil Antonito, tinggal di Andalusia, di sebuah tanah pertanian kecil di Sauceda. Ia tinggal bersama orang tuanya dan kakak perempuan yang lebih tua sepuluh tahun. Mereka memelihara berbagai ternak, tapi utamanya sapi, banteng hitam untuk atraksi banteng. Dan dari puluhan banteng, Antonito paling dekat dengan anak banteng yang dinamai Paco, karena ia memeliharanya sejak kelahirannya, sampai mereka berdua dipisahkan agar Paco dapat dibesarkan sebagai banteng sejati.

Antonito baru menyadari nasib yang akan menimpa Paco yang disayanginya ketika untuk pertama kalinya ia ikut menonton atraksi banteng. Kebetulan, pamannya Juan adalah seorang matador yang dijuluki El Bailarin, Sang Penari, karena keahliannya  menari bersama banteng. Namun ternyata, matador tidak cuma "menari" bersama para banteng, tapi bersama para banderillero dan picador, menusuk dan membunuh banteng sampai mati di lapangan.

I didn't tell Paco what I'd seen that day -- I didn't ever want him to know.
"I'll take you away so you can live wild up in the hills, where you'll be safe for ever and ever. I'll work something out, I promise you."

Demi menolong Paco, Antonito bertekad untuk membawanya kabur dari pertanian. Di tengah suasana perang yang mulai mempengaruhi kehidupan desa tanpa terlalu dipahaminya, Antonito menyusun ide dan mencari waktu yang tepat untuk melaksanakan rencananya. Namun demikian, Antonito tak pernah menduga apabila waktu yang dipilihnya bertepatan dengan pemboman yang dilakukan beberapa pesawat yang melintas di atas desanya.

Apakah itu nasib baik? Atau nasib buruk? Ia berhasil membebaskan Paco ke alam liar, namun seluruh keluarganya tewas dalam api dan bara.

Antonito mengakhiri ceritanya dengan perjuangannya untuk bertahan hidup dalam peperangan. Dan tentang legenda The Black Phantom, banteng muda yang melindungi pasukan kaum Republikan dari kejaran Guardia Civil. Sepanjang hayatnya, Antonito selalu meyakini bahwa banteng itu adalah Paco, yang telah hidup liar di alam bebas.

Kesimpulan :
Seperti biasa, Michael Morpurgo bertutur tanpa eufemisme. Kita dibawa ke medan corrida, dan diajak menahan nafas saat menyaksikan tarian maut antara matador dan banteng. Kita dibawa menyaksikan pembantaian banteng demi atraksi massa. Ada di manakah kita? Di sisi para penonton yang bersorak melihat bagaimana ahlinya sang matador menghabisi sang banteng? Atau di sisi mereka yang memiliki sudut pandang yang sama dengan Antonito? Bahwa corrida hanyalah panggung kematian para banteng yang telah dibesarkan dengan penuh kasih sayang?

Kita juga dibawa menyaksikan kekejaman perang dari sisi anak-anak yang tidak memahami politik dan ideologi, namun tetap menjadi korban.

Selain itu, kita jadi sadar mengapa Morpurgo senang bercerita dengan model dongeng seorang kakek kepada cucunya.

Well, saat menuliskan cerita-cerita belakangan ini, Morpurgo sudah menjadi seorang kakek.

Review singkat ini dibuat dalam rangka mengikuti tantangan di bawah ini:
Kategori: Lima Buku dari Penulis Yang Sama















The Butterfly Lion

Judul : The Butterfly Lion

Penulis : Michael Morpurgo

Penerbit : HarperCollins' Children Book

Tebal : 112 halaman

Dibeli di : Bybooks FX Senayan

Harga beli : Rp. 10.000,-

Dibeli tanggal : 11 Februari 2017

Dibaca tanggal : 1 Maret 2017

Review :
Cerita yang dituturkan Michael Morpurgo ini lagi-lagi berlatar belakang perang, dan kali ini Perang Dunia I, sama seperti cerita War Horse. Benang merah ceritanya pun agak mirip dengan War Horse: seseorang yang mendaftarkan diri untuk terjun sebagai prajurit di pasukan Inggris demi bertemu kembali dengan binatang peliharaannya. Bedanya, di novel ini binatangnya adalah seekor singa berbulu putih!

Cerita diawali dengan seorang anak laki-laki yang kabur dari sekolah berasrama gara-gara sering dibully. Tanpa sengaja, ia masuk ke sebuah rumah besar yang dihuni seorang nenek tua bersama anjing peliharaannya.

Bukan, anak laki-laki itu bukan tokoh utama cerita ini.

Sang nenek, yang belakangan diketahui bernama Millie, kemudian bercerita tentang anak laki-laki lain yang zaman dahulu kala juga kabur dari sekolah asrama yang sama dan juga nyasar ke rumahnya. Anak laki-laki lain itu bernama Bertie, dan ia punya cerita lain yang menarik.

Bertie lahir dan besar di tanah pertanian di Afrika Selatan, tanpa saudara dan teman untuk bermain. Suatu saat, ia menyelamatkan seekor anak singa berbulu putih dari gerombolan hyena, yang selanjutnya menjadi binatang peliharaan kesayangannya dan dinamai . Namun saat tiba waktunya untuk berangkat sekolah ke Inggris, singa kesayangannya terpaksa dilepas dan dijual ke pemilik sirkus berkebangsaan Prancis. Bertie bersumpah akan mencari singanya kembali kalau ia sudah besar nanti.

Sementara itu Bertie akhirnya bersahabat dengan Millie, dan akhirnya berkembang ke hubungan yang lebih romantis. Namun hubungan mereka tidak berjalan mulus karena pecahnya Perang Dunia I. Bertie yang saat itu sudah kuliah masuk ke ketentaraan. Motivasinya pergi berperang tidak murni nasionalisme: menemukan kembali singa putihnya di Prancis!

Apakah Bertie bisa bertemu kembali dengan sahabat semasa kanak-kanaknya? Tentu saja. Tapi bagaimana caranya ia bisa sampai bertemu kembali adalah cerita lain, karena kita tetap harus dibawa melewati terlebih dahulu neraka perang parit di Prancis, dan menyaksikan banyaknya para prajurit muda yang tewas berguguran di sekitar Bertie.

Kisah Bertie di medan perang bukanlah cerita yang ringan untuk dibaca anak-anak, namun cerita itu pun sudah banyak disensor, karena pada dasarnya Bertie tidak banyak bercerita tentang kengerian di sana kepada Millie. Untunglah, cerita berakhir manis untuk Bertie. Yah, namanya juga buku cerita anak-anak,agak riskan jadinya kalau Bertie diceritakan tewas di medan perang.

Ada dua twist ending untuk novel ini, yang cukup mengejutkan karena aku tidak mengira endingnya bakal seperti itu. Tapi cuma satu yang akan kuspoiler di sini: anak laki-laki pertama yang kabur dari sekolah dan akhirnya mendengarkan dongeng tentang Bertie dan singa putihnya ternyata adalah... Michael Morpurgo! Well, kan jadi menimbulkan pertanyaan deh: apakah cerita ini diangkat dari kisah nyata, atau hanya khayalan belaka?

Omong-omong, kalau penasaran dan ingin tahu kenapa judulnya The Butterfly Lion, bukannya The White Lion, lebih baik baca bukunya sendiri saja, ya.

Review singkat ini kubuat dalam rangka mengikuti tantangan di bawah ini:
Kategori : Lima Buku dari Penulis Yang Sama




Cool!

Judul : Cool!

Penulis : Michael Morpurgo

Penerbit : HarperCollins' Children Books

Tebal : 112 halaman

Dibeli di : Bybooks FX Senayan

Harga beli : Rp. 10.000,-

Dibeli tanggal : 11 Februari 2017

Dibaca tanggal : 1 Maret 2017

Review: 
Bagaimana rasanya apabila kita berada dalam keadaan koma?

Buku ini dituturkan dari sudut pandang Robbie Ainsley, 10 tahun, yang sedang mengalami koma setelah tertabrak mobil di depan rumahnya, saat mencoba menyelamatkan Lucky, anjingnya. Ia hanya bisa terbaring di ranjang rumah sakit, tak bisa bergerak, berbicara atau apapun. Namun, sebenarnya, ia sadar, mengetahui apa yang terjadi di sekitarnya, dan mendengarkan semuanya.

Keluarga dan teman-temannya berupaya keras untuk "membangunkan"-nya. Mereka berbicara kepadanya, meskipun sepertinya tidak terlalu yakin kalau Robbie bisa mendengarkan mereka. Tahu-tahu, Robbie malah jadi tempat mereka curcol dan membuka rahasia. Robbie jadi tahu urusan pribadi perawat favoritnya. Ayahnya, yang pisah rumah dengan ibunya, untungnya membawa cerita baik, ingin rujuk dengan ibunya.

Selain keluarga, teman-temannya juga datang untuk menyanyi dan memberikan semangat. Bahkan, pemain bola favoritnya, Gianfranco Zola, juga datang dan menghadiahkannya kaos yang baru dikenakannya dalam pertandingan (sudah dicuci dulu, tentu saja!). Duh, sayang ia tetap tidak bisa bangun!

Berapa lama Robbie harus terus terlelap? Dan mengapa ia tak dapat pulih? Apakah karena Robbie merasa bersalah telah mencelakakan anjingnya? Bagaimana caranya agar Robbie bisa benar-benar bangun?

Jangan khawatir, Michael Morpurgo mengemas cerita ini dengan ringan, sehingga meskipun kondisinya suram bagi semua orang yang mengkhawatirkan Robbie, kita takkan dibawa pada depresi dan keputusasaam yang berkepanjangan. Endingnya pun sangat khas cerita anak-anak!

Review singkat buku ini dibuat dalam rangka mengikuti tantangan di bawah ini:
Kategori: Lima Buku dari Penulis Yang Sama


Friend or Foe

Judul : Friend or Foe

Penulis : Michael Morpurgo

Penerbit : Egmont

Tebal : 122 halaman

Dibeli di : Bybooks FX Senayan

Harga beli : Rp. 20.000,-

Dibeli tanggal : 18 Februari 2017

Dibaca tanggal : 1 Maret 2017

Review :

Jacqueline pernah menulis di salah satu memoarnya bahwa ia kurang menyukai buku anak-anak ala Enid Blyton, karena di sana ceritanya kurang membumi, karena tidak bercerita secara realistis tentang kehidupan sehari-hari seorang anak, terutama yang hidup dalam situasi yang tidak menguntungkan. Oleh karena itu, tema cerita Jacqueline Wilson seringkali cerita tentang anak dari keluarga broken home.

Beda penulis tentu saja beda lagi pendekatannya. Michael Morpurgo banyak menulis novel anak-anak dengan latar belakang yang juga cukup gelap: masa perang dunia.

Dalam buku ini, seperti halnya awal kisah Narnia, David dan temannya Tucky, sebagaimana kebanyakan anak pada masa perang, harus mengungsi dari London yang rawan dihujani bom ke daerah pedesaan yang lebih aman. Selama pengungsian itu, mereka ditampung oleh Bapak dan Ibu Reynolds.

Cerita mulai berkembang ketika dalam peristiwa pemboman kedua anak itu melihat ada pesawat terbang Jerman yang jatuh. Kesaksian mereka tidak diterima pihak berwenang karena tidak ada bukti, sehingga mereka berdua nekad mencari sendiri. Pada saat mencari itulah David mengalami kecelakaan, hampir tenggelam di sungai, kalau saja tidak ditolong oleh salah seorang penerbang Jerman yang mereka cari-cari (omong-omong saat membaca adegan ini aku malah jadi teringat adegan serupa di buku The Eagle Has Landed-nya Jack Higgins).

Kejadian itu menimbulkan dilema. Apakah mereka akan melaporkan kedua penerbang Jerman yang mereka temukan, padahal salah satu dari mereka telah menyelamatkan jiwa David? Dan apabila tidak melaporkan, apakah itu berarti mereka telah mengkhianati negara? Mana yang lebih penting? Sikap manakah yang akhirnya dipilih oleh David dan Tucky?

Buku Friend or Foe ini termasuk salah satu buku Michael Morpurgo yang telah diangkat menjadi film, yaitu pada tahun 1982. Meskipun karena dibuat secara independen film ini tidak seterkenal War Horse yang disutradarai oleh Steven Spielberg, namun film ini telah menjadi bukti bahwa film anak-anak pun dapat menampilkan tema yang sulit dan tidak biasa.

Review buku ini kubuat dalam rangka mengikuti tantangan ini:
Kategori: Lima Buku dari Penulis yang Sama

Farm Boy

Judul : Farm Boy

Penulis : Michael Morpurgo

Penerbit : HarperCollins' Children Books

Tebal : 128 halaman

Dibeli di : Bybooks FX Senayan

Harga beli : Rp. 10.000,-

Dibeli tanggal : 11 Februari 2017

Dibaca tanggal : 23 Februari 2017

Review :
Cover buku ini menyebutkan bahwa buku ini merupakan sekuel dari buku War Horse (yang juga pernah kubahas secara singkat di blog ini), namun demikian setelah kubaca, cerita yang disampaikan dalam buku ini sebenarnya berdiri sendiri, bahkan apabila nama tokoh-tokohnya diganti (termasuk Joey si pensiunan kuda perang), tidak akan mengubah cerita sama sekali.

Buku ini mengisahkan hubungan yang erat antara seorang anak laki-laki yang lahir dan besar di kota dengan kakeknya dari pihak ibu, yang tinggal di daerah pertanian di pedesaan. Berbeda dengan orang tuanya, terutama ayahnya, yang sangat kota-centris dan cenderung tidak menyukai kehidupan di desa, sang anak terobsesi dengan kehidupan pedesaan dan sangat senang apabila berlibur ke rumah kakeknya.

Hal yang disukai sang anak terutama apabila sang kakek bercerita tentang masa lalu, termasuk masa lalu ayahnya, sang kakek buyut, yang ternyata tokoh pemeran pembantu di cerita War Horse. Sekilas dikisahkan juga sedikit cerita tentang sang kakek buyut yang pergi berperang demi bertemu kembali dengan Joey, kuda kesayangannya, sampai akhirnya ia (yang kemudian dijuluki Pak Kopral sesuai pangkatnya) dan Joey disambut warga desa saat mereka kembali dengan selamat. Namun tentu saja, bukan itu inti cerita buku ini (kalau mau cerita lengkapnya, silakan baca buku prekuelnya, atau nonton versi filmnya sekalian, lumayan ada Benedict Cumberbatch dan Tom Hiddlestone numpang lewat di situ). Tema cerita selanjutnya adalah bagaimana kehidupan Pak Kopral dan Joey setelah kembali ke dunia pertanian.

Ada cerita dalam cerita di buku ini. Setelah sang cucu mengajari sang kakek menulis dan membaca (terutama supaya sang kakek bisa membaca sendiri novel-novel Agatha Christie yang merupakan penulis favoritnya), ternyata kemudian sang kakek menuliskan cerita dengan bahasa yang sederhana tentang ayahnya dan kuda-kuda kesayangannya, dalam menghadapi perubahan teknologi yang mulai merambah dunia pertanian. Keberadaan kuda tidak dibutuhkan lagi untuk membajak tanah, karena sekarang sudah ada traktor yang bisa menggantikan tenaga kuda!

Cerita pendek sang kakek diakhiri dengan lomba plus taruhan yang menegangkan antara Pak Kopral dengan kuda-kuda kesayangannya, Joey dan Zoey, melawan petani modern yang menggunakan traktornya: untuk membuktikan siapa yang bisa membajak ladang lebih banyak dalam waktu yang sama. 

Review singkat ini dibuat dalam rangka mengikuti tantangan ini:
Kategori: Lima Buku dari Penulis Yang Sama





Tuesday, February 28, 2017

George Speaks

Judul : George Speaks

Penulis : Dick King-Smith

Penerbit : Puffin Books

Tebal : 92 halaman

Dibeli di : Bybooks FX Senayan

Harga beli : Rp. 20.000,-

Dibeli tanggal : 18 Februari 2017

Dibaca tanggal : 22 Februari 2017

Sinopsis :
George is no ordinary baby.
He looks ordinary, with his round face and squashy nose. But his sister Laura soon discovers that he's absolutely extraordinary. Everyone's life is turned upside down from the day George speaks!

Review :

1. Cover
Tanpa perlu membaca sinopsis di sampul belakang buku ini, calon pembaca sudah dapat mengira-ngira bagaimana isi buku ini kalau dikaitkan dengan judul dan gambar di sampul depannya. George Speaks. Padahal George masih bayi lho!

2. Cerita
Plot utamanya persis seperti yang tersirat di sampul bukunya. George yang masih bayi sudah bisa berbicara sejak lahir!

Lupakan cerita serupa tentang bayi lain yang juga sudah bisa berbicara sejak lahir. Kita tidak akan pernah tahu sebab-musababnya di balik kemampuan George atau hal-hal supranatural yang mungkin saja ada, karena alur buku ini murni membawa ceritanya ke ranah komedi situasi.

Meskipun sudah bisa berbicara sejak lahir, George baru berbicara dengan kakaknya yang sudah berumur tujuh tahun, Laura, ketika usianya menginjak empat minggu. Bayangkan seperti apa kagetnya Laura, karena mendadak adiknya bisa berbicara dengan fasih dan lancar, dengan tutur kata yang layaknya orang dewasa. Bukan itu saja, George jauh lebih pintar dari Laura, sampai membantunya untuk menghafal tabel perkalian segala!

Karena rahasia mereka tidak bisa disimpan lama-lama, George mulai berbicara sedikit-sedikit kepada orang tuanya. Mulanya satu-dua kata dulu, mengulangi kata-kata orang lain seperti beo. Lama-lama, ketika akhirnya George mulai berbicara dengan kalimat pendek, mereka sudah tidak kaget lagi.

"George speaks!"

Tentu saja George tidak puas kalau tidak bisa berbicara dengan bebas, sehingga akhirnya menentukan untuk mulai berbicara normal dengan siapa saja pada pesta ulang tahunnya yang pertama. Ia menentukan sendiri menu pesta, hadiah ulang tahun (ensiklopedia, tentu saja), dan tamu undangannya. Tidak, ia tidak mau tamu sesama bayi, melainkan orang dewasa semua (kecuali Laura tentunya)! Kakek-nenek, paman-bibi, semuanya diundang. Sederhananya, George ingin coming out!

3. Kesimpulan
Ceritanya absurd!

Membaca kalimat-kalimat yang diucapkan George, rasanya dia bukan seperti bayi yang terlalu pintar sehingga dewasa sebelum waktunya. Ia malah seperti orang dewasa yang terjebak dalam tubuh seorang bayi!

Well, coba tebak, dengan keahlian berbicara seperti itu, akan menjadi apa George saat benar-benar dewasa kelak!


Review ini dibuat dalam rangka mengikuti tantangan ini:
Kategori: Lima Buku dari Penulis Yang Sama




Mr Ape

Judul : Mr Ape

Penulis : Dick King-Smith

Penerbit : Corgi Yearling Books

Tebal : 128 halaman

Dibeli di : Bybooks FX Senayan

Harga beli : Rp. 15.000,-

Dibeli tanggal : 18 Februari 2017

Dibaca tanggal : 23 Februari 2017

Sinopsis :
Abandoned by his bossy wife and children, old Mr Ape finds himself living all alone in his huge and rambling house. And then he gets a brilliant idea: he can fill the house with animals, the pets his wife and children would never let him have. But pets have a habit of increasing and soon every room is stuffed to the brim with animals.

Review :

1. Cover
Iya, gambar sampulnya menipu. Kukira seperti cerita-cerita Dick King-Smith yang kubaca belakangan, tokoh utamanya binatang, yang dari judulnya sempat kukira seekor monyet, yang penampakannya seperti di film Planet of the Apes dan sekuel-sekuelnya. Gambar guinea pig yang terpajang di cover depan malah tambah bikin bingung. Apakah ini guinea pig yang dinamai Mr Ape?

2. Cerita
APE di sini ternyata singkatan nama tokoh utamanya, Archibald Peregrine Edmund Spring-Russell. Panjang benar ya namanya, mungkin karena itu disingkat jadi Mr. A.P.E. Spring-Russell.

Pertama kita berkenalan dengan Mr. Ape, ternyata ia hidup di rumah besar yang sunyi, sepi, sendirian. Setelah 30 tahun menikah, istrinya pergi meninggalkannya, dengan kalimat perpisahan yang menyakitkan,

"Right, Ape, i'm sick of this ugly great house and i'm tired of you, so I'm off."

Tiba-tiba saja Mr Ape kepikiran, daripada tinggal sendirian, ia bisa mengisi rumah dengan binatang, yang selama ini tidak bisa dipeliharanya karena dilarang oleh istri dan anak-anaknya.

Setelah melakukan garage sale sehingga isi rumahnya benar-benar kosong,  Mr Ape mulai menjalankan niatnya mengoleksi binatang. Dimulai dari ayam-ayam betina yang ditaruh di ruang tengah, lalu guinea pig di ruang makan, lantas keledai di kebun, disusul kelincim anjing, burung beo, dan seterusnya! Bagaimana lagi, rumahnya kan besar dan luas, bisa diisi banyak binatang!

Selain hidup bersama banyak binatang, Mr Ape juga berkenalan dan berteman dengan anak gipsi, Jake dan ayahnya Joe, hal yang menimbulkan gosip miring dari tetangga yang nyinyir, mengingat reputasi kaum gipsi yang kurang sedap, apalagi di lingkungan bangsawan. Hanya saja, Mr Ape sudah tidak peduli lagi pandangan orang lain, yang penting happy!

Dipikir-pikir, urusan Mr. Ape dan kebun rumah binatangnya ini mengingatkanku pada penulis buku ini, Dick King-Smith, yang penjelasan di Goodreads berbunyi : "Dick King-Smith was born and raised in Gloucestershire, surrounded by pet animals." Wajar saja kalau buku anak-anak yang ditulisnya kebanyakan bertema binatang!

Anyway, terlepas dari jalan ceritanya, judul-judul dari bab di buku ini membuatku teringat pada judul-judul episode (atau buku) dari serial Mr. Monk (detektif, bukan biksu), yang bisa dilihat dari daftar bawah ini:
- Ape Has a Brainwave
- Ape Goes to Market
- Ape Has Visitors
- Ape Has Gets Some Pets
- Ape Has a Birthday
- Ape Get Nice Surprises
- Ape Does a Deal
- Ape Starts a Fire
- Ape Hits Rock Bottom
- Ape Buys a House
- Ape Makes a Decision

3. Pelajaran yang bisa diambil
Jangan main api sembarangan, kalau tidak mau kebakaran!


Review singkat ini dibuat dalam rangka mengikuti tantangan ini:
Kategori: Lima Buku dari Penulis Yang Sama


Fat Lawrence

Judul : Fat Lawrence

Penulis : Dick King-Smith

Penerbit : Puffin Books

Tebal : 64 halaman

Dibeli di : Bybooks FX Senayan

Harga beli : Rp. 10.000,-

Dibeli tanggal : 18 Februari 2017

Dibaca tanggal : 23 Februari 2017

Sinopsis :
Lawrence is indeed a very fat cat. Well, he does manage to eat four good meals a day. But even Lawrence begins to think a cat can be just too fat. What can he do?

Review :
Lawrence, kucing hitam yang luar biasa gendut, hanya makan satu hari sekali.

Tapi, yang namanya satu kali itu:
- satu kali sarapan di rumah Mrs Higgins (di mana ia dikenal sebagai Lawrence Higgins)
- satu kali makan siang di rumah keluarga Norman (di mana ia dikenal sebagai Lawrence Norman)
- satu kali minum teh di rumah Mr Mason (di mana ia dikenal sebagai Lawrence Mason)
- satu kali makan malam di kediaman Barclay-Lloyds (di mana ia dikenal sebagai Lawrence Barclay-Lloyds).

Well, dia punya empat majikan, dan semuanya bingung karena Lawrence begitu gendutnya, padahal mereka cuma memberi makanan satu kali sehari.

Lawrence sendiri bukannya happy-happy saja. Lama-lama karena makin gendut, ia makin capek berkeliling dari rumah ke rumah. Belum lagi, ia jadi tidak pede untuk mendekati gebetannya, kucing betina bernama Bella. Mulailah ia cari petunjuk ke teman-teman di lingkungan rumah majikannya. Saran mereka serupa tapi tak sama: diet dong, bro!

"Tapi aku kan cuma makan satu kali sehari," rengek Lawrence pada masing-masing temannya, Bert, Fred, dan Percy.

Cuma Darius teman yang tahu alasan Lawrence menjadi gendut dengan makan satu kali sehari. Dan cuma Darius yang memberikan nasehat yang menggentarkan: Lawrence benar-benar harus makan satu kali sehari, dengan mengunjungi setiap majikannya secara bergantian setiap hari.

Tips diet dari Darius mulanya membuat Lawrence lapar dan para majikannya bingung, tapi jelas efektif karena Lawrence menjadi kurus dan fit.

Tapi... ada tapinya. Begitu Lawrence berani pedekate ke Bella...



Bella ternyata sudah jatuh cinta pada seekor kucing jantan hitam gendut yang sering dilihatnya berkeliaran di jalan!

Verdict :
Twist ending-nya, yang mengubah diet Lawrence kembali seperti semula membuatku merasa wajib memberi ponten lebih pada cerita ini:



Oh, Bella... You just wait!


Review (atau ringkasan cerita ya?) ini kubuat untuk mengikuti tantangan berikut:

Kategori: Lima Buku dari Penulis Yang Sama



The Hodgeheg

Judul : The Hodgeheg

Penulis : Dick King-Smith

Penerbit : Puffin Books

Tebal : 86 halaman

Dibeli di : Bybooks FX Senayan

Harga beli : Rp. 10.000,-

Dibeli tanggal : 18 Februari 2017

Dibaca tanggal : 23 Februari 2017

Sinopsis :
The story of Max, the hedgehog who becomes a hodgeheg, who becomes a hero!
Max's family dreams of reaching the Park. But no one has ever found a safe way of crossing the very busy road. Can Max really solve the problem?

Review :
Pertanyaan pertama yang timbul: mengapa landak menyeberang jalan?
Padahal biasanya pertanyaan yang standar adalah mengapa ayam menyeberang jalan.
Jawabannya sesuai keterangan di sinopsis buku: sampai ke tanah impian yang dijanjikan: taman.

Premis cerita buku anak-anak ini sederhana saja: bagaimana cara menyeberang jalan dengan aman, mengingat kakek, sepupu, dan tante dari tokoh utama buku ini telah menjadi korban.

Tokoh utama buku ini adalah seekor landak bernama Victor Maximilian St George, atau disingkat Max. Max bukan tipe yang hanya bermimpi untuk bisa mencapai Taman, tapi juga mau berusaha sampai ke tujuan dengan menempuh banyak risiko utama: tertabrak kendaraan yang lalu lalang di jalan raya!

Pertayaan kedua: mengapa judulnya Hodgeheg, bukan Hedgehog?

Begini ceritanya...Max nekad mencoba menyeberangi jalan, raya. Meskipun sebenarnya sudah sesuai aturan dengan berusaha menyeberang di zebra cross, tapi tetap saja ia tertabrak sepeda. membentur trotoar, dan mengalami gegar otak. Akibatnya, otaknya mulai korslet, terutama dalam berbicara. Setelah tertabrak, omongan Max mulai ngaco, tidak sinkron antara apa yang dipikirkan dan ada yang diucapkan. Hedgehog menjadi Hodgeheg, OK menjadi KO!

Meskipun otak dan mulutnya sudah tidak sinkron, tapi Max tetap gigih dalam upayanya menyeberangi jalan untuk mencapai ke taman. Masalahnya, menyeberang sendirian saja sudah amat sangat berbahaya sekali, bagaimana kalau ia mau mengajak rombongan keluarganya sekaligus? Bagaimana caranyaa?

Hikmah yang bisa diambil:
Do not give up, even if you cannot talk right again because of it!

Review ini dibuat dalam rangka memenuhi tantangan berikut :
Kategori: Lima Buku dari Penulis Yang Sama





Horse Pie

Judul : Horse Pie

Penulis : Dick King-Smith

Penerbit : Young Corgi

Tebal : 64 halaman

Dibeli di : Bybooks FX Senayan

Harga beli : Rp. 10.000,-

Dibeli tanggal : 18 Februari 2017

Dibaca tanggal : 22 Februari 2017

Sinopsis :
Captain, Ladybird and Herbert - two Shire horses and a Suffolk Punch - are not pleased when Jenny, a retired seaside donkey, arrives at the Old Horses' Home. It's supposed to be a home for horses, and they don't want to share their field with a common little donkey.
Then rustlers are spotted in the area: thieves who like nothing better than to steal horses and ship them abroad - to be made into horse pie! Can Jenny and her friends save the huge heavy horses?


Review :

1. Cover
Unyuuuu! Eh salah, unguuuu!
Kalau tidak membaca cover belakangnya, bisa jadi ada pertanyaan yang muncul saat melihat gambar cover depannya seperti ini : "Judulnya sih Horse Pie, tapi kenapa gambar sampulnya keledai?"
Catatan: ini kalau yang memberi komentar bisa membedakan gambar kuda dan keledai.

2. Cerita
Oke, seperti ditunjukkan gambar di cover buku ini, tokoh utama cerita ini adalah seekor keledai bernama Jenny.

Lalu apa hubungannya dengan judul yang secara harfiah berarti Pie Daging Kuda?

Jenny adalah satu-satunya keledai yang dititipkan di Old Horses' Home. Kehadirannya di sana tidak disukai oleh beberapa kuda, khususnya yang bernama Captain, Ladybird dan Herbert. Namanya juga tempat penampungan kuda tua, masa ada spesies yang derajatnya lebih rendah ikutan numpang. Ih, dideportasi sana!

Cerita jadi lain waktu mulai timbul rumor tentang pencuri kuda yang berkeliaran di sekitar tempat penampungan kuda. Dan gosip semakin sip karena konon kuda-kuda yang dicuri dikirim ke Prancis buat disembelih dan dijadikan pie daging kuda! Siap-siap saja, kuda yang kelihatan gemuk dan sehat pasti bakal diincar untuk dicuri. Captain, Ladybird dan Herbert termasuk ke golongan ini!

Cuma Alfie, salah seekor kuda yang mau berteman dengan Jenny. Tapi berbeda pandangan dengan Alfie, Jenny merasa perlu untuk berusaha menolong kuda-kuda lainnya dari nasib mengenaskan berakhir di perut orang Prancis. Dan semua itu tidak mudah. Perlu kerja sama yang kompak dengan para kuda, termasuk tiga kuda gemuk yang demen membully Jenny!

3. Pelajaran yang bisa dipetik
Pertama, orang Prancis suka makan daging kuda, terutama dalam bentuk pie.
Kedua, jangan rasis, ah. Kuda dan keledai memang berbeda spesies, tapi kan masih satu Ordo, Ordo Perissodactyla, masih sama-sama mamalia, masih sama-sama makhluk Tuhan.
Ketiga, jangan terjebak stereotype yang menuduh keledai itu bodoh dan keras kepala.


Review ini dibuat untuk mengikuti tantangan :
Kategori : Lima Buku dari Penulis Yang Sama

E.S.P.

Judul : E.S.P.

Penulis : Dick King-Smith

Penerbit : Young Corgi

Tebal : 80 halaman

Dibeli di: Bybooks FX Senayan

Harga beli : Rp. 10.000,-

Dibeli tanggal : 18 Februari 2017

Dibaca tanggal : 22 Februari 2017

Sinopsis :
Old Smelly loves to bet on the horse races, but he never has much luck - until he meets Eric Stanley Pigeon, that is. For this young bird has a very unusual talent... Old Smelly dreams of winning a fortune, but will his dreams come true?

Review :

1. Cover
Aku suka warna merah oranye yang mendominasi cover buku ini. Aslinya, di lapak Bybooks ada dua jilid buku ini dengan dua macam cover yang berbeda. Jilid yang pertama kucomot covernya didominasi warna biru muda, sementara jilid yang kutemukan berikutnya adalah jilid dengan cover di atas. Sebagai pecinta warna merah, sudah pasti yang kubeli jilid buku yang terakhir.

2. Cerita
Apa arti E.S.P. di judul ini?

Apakah singkatan dari Extra Sensory Perception? Apakah ini buku tentang seekor burung yang memiliki kekuatan ajaib?

Yah, memang itu sih plot utama cerita ini. Buku tentang burung merpati yang mungkin saja seekor esper. Tapi ESP juga bisa berarti singkatan dari Eric Stanley Pigeon, nama burung merpati yang bersangkutan.

Lahir dan bersarang di tumpukan koran di puncak gedung bertingkat, ESP ternyata punya hobi mematuk-matuk koran. Segmen koran yang dipatuknya spesial pula: pacuan kuda. Sudah begitu, ternyata nama kuda yang dipatuk ESP ternyata nama kuda pemenang pacuan!

Meski ESP tidak tahu kebetulan tersebut, ternyata hasil patukannya dibaca oleh seorang gelandangan yang dijuluki Old Smelly (kira-kira asal usul julukannya sudah cukup jelas). Karena sehari-harinya ia hobi tidur beralas dan berselimutkan koran, tanpa sengaja ia menemukan bahwa ada seekor burung yang suka mematuk pemenang pacuan! (Iya, ini aslinya permainan kata, pecked a winner dari picked a winner).

Namanya juga manusia. Begitu dapat kesempatan untuk menguji teori kekuatan ajaib ESP, langsung deh Old Smelly memasang taruhan di pacuan yang akan datang, dan... menang! Begitu dicoba lagi... eh ternyata menang lagi!

Jangan-jangan, ESP memang punya kekuatan ESP!
Jangan-jangan Old Smelly bisa kaya raya!
Jangan-jangan Old Smelly bisa tidak bau lagi!
Eh, yang terakhir mah kayaknya belum tentu deh... tapi yang pertama dan kedua juga belum tentu!

3. Hikmah
Sebagaimana layaknya buku cerita anak-anak, selalu ada hikmah yang bisa dipetik dan dipelajari oleh pembaca. Di sini, intinya jelas: jangan menggantungkan diri pada keberuntungan, melainkan pada usaha dan kerja keras!


Review singkat ini kubuat dalam rangka mengikuti tantangan ini:

Kategori: Children Literature


The Sheep-Pig

Judul : The Sheep-Pig

Penulis : Dick King-Smith

Penerbit : Puffin Books

Tebal : 134 halaman

Literary Awards : Guardian's Children's Fiction Prize (1984)

Dibeli di : Bybooks

Harga beli : Rp. 20.000,-

Dibeli tanggal : 18 Februari 2017

Dibaca tanggal : 22 Februari 2017

Sinopsis :
When Babe, the little orphaned piglet, is won at a fair by Farmer Hogget, he is adopted by Fly, the kind-hearted sheep-dog. Babe is determined to learn everything he can from Fly. He knows he can't be a sheep-dog. But maybe, just maybe, he might be a sheep-pig.

Review :
Pernah menonton film Babe (1995)?


Kisah tentang babi penggembala domba ini ternyata merupakan adaptasi dari buku anak-anak karya Dick King-Smith, yang pertama kali terbit pada tahun 1983.

Kisahnya sederhana, tentang seekor anak babi (yang kemudian dipanggil Babe, karena ia ingat ibu kandungnya pernah memanggilnya demikian), yang dipelihara oleh seorang petani bernama Hogget, yang memperolehnya secara tak sengaja karena berhasil menebak beratnya dengan tepat. Karena Pak Hogget tidak memelihara babi, rencananya Bu Hogget akan menyembelihnya untuk hidangan natal.

Sebagai babi sebatang kara, akhirnya Babe menjadi anak angkat Fly, anjing gembala betina yang tengah membesarkan anak-anaknya.  Justru karena salah asuhan itulah tingkah laku Babe meniru dan menyerupai anjing, sampai belajar pula bagaimana menggiring ternak. Begitu anak-anak Fly dibeli orang untuk bekerja sebagai anjing gembala profesional di tempat lain, Fly mencurahkan segala perhatian dan usahanya untuk mendidik Babe.

Lalu, bagaimana cara Babe menggiring kawanan domba? Apakah benar-benar sama dengan ajing gembala pada umumnya?

Ternyata tidak. Kawanan domba patuh kepada anjing gembala karena ketakutan, karena bagi mereka para anjing sama dengan srigala. Mereka patuh dan menurut kepada Babe, justru karena babi kecil itu selalu bersikap sopan dan meminta mereka untuk melakukan apa yang disampaikannya secara baik-baik.

Tapi tentu saja, bakat Babe tidak terlewatkan begitu saja oleh Pak Hogget. Diam-diam ia mendaftarkan babinya pada kompetisi anjing gembala yang disiarkan di televisi secara nasional! Masalahnya, semua domba di pertanian Hogget mematuhi perintah Babe karena mereka sudah mengenalnya dan menganggapnya teman baik, sementara para domba yang ada di kompetisi benar-benar domba asing yang tidak mengenal Babe! Bagaimana caranya agar Babe bisa mengalahkan para anjing gembala profesional yang menjadi saingannya?

Babe, versi adaptasi film buku ini dibuat di Australia, dengan sutradara Chris Noonan, sedangkan visual effect dikerjakan oleh Rhythm & Hues Studios dan Jim Henson's Creature Shop. Selain sukses secara finansial, filmnya juga sukses menuai pujian (saat ini rating di Rotten Tomatoes masih 97%!), mendapatkan tujuh nominasi Academy Award, termasuk Best Picture, Best Director, Best Adapted Screenplay, dan menang di kategori Best Visual Effect. Selain itu, film Babe juga memenangkan Best Motion Picture - Musical or Comedy di Golden Globe Award.

Omong-omong, ternyata salah satu pengisi suaranya adalah Hugo Weaving, lho. Sayangnya tokoh yang diperankannya adalah tokoh tambahan yang tidak ada di versi bukunya.

Best quote :
"That'll do, Pig. That'll do."

Verdict :


Review ini dibuat dalam rangka mengikuti :

Kategori: Award Winning Books



Friday, November 28, 2014

The 500 Hats of Bartholomew Cubbins

The 500 Hats of Bartholomew CubbinsThe 500 Hats of Bartholomew Cubbins by Dr. Seuss
My rating: 4 of 5 stars

In the beginning, Bartholomew Cubbins didn't have five hundred hats. He had only one hat. It was an old one that had belonged to his father and his father's father before him. It was probably the oldest and the plainest hat in the whole Kingdom of Didd, where Bartholomew Cubbins lived. But Bartholomew liked it--especially because of the feather that always pointed straight up in the air.

Demikian paragraf pembukaan cerita bergambar ini. Ingat lho ya, awalnya topinya cuma ada 1. Lalu bagaimana ceritanya bisa jadi 500 topi?

Bartholomew Cubbins hidup di Kerajaan Didd yang dipimpin oleh Raja Derwin. Nah, dari pertemuan antara Bartholomew dan Derwin inilah timbul plot cerita yang nyleneh.

Pada suatu hari, kereta Raja Derwin lewat di jalan raya. Seperti biasa, rakyat diperintahkan membuka topi untuk menghormati sang raja. Mendadak kereta agung berhenti di tengah jalan hanya gara-gara... Bartholomew masih mengenakan topi. Padahal ia yakin banget sudah buka topi, wong ia memegangi topi dengan kedua tangannya. Kenapa masih ada topi menclok di kepalanya?


Raja jelas ngamuk waktu Bartholomew tidak juga menurut untuk buka topi saja. Padahal, begitu Bartholomew mengambil kembali topi yang ada di kepalanya, dan ia sudah pegang 2 buah topi, tetap saja ada topi yang bertengger di kepalanya.

Bartholomew pun dituduh tukang sulap kurang ajar, dan melakukan penghinaan besar buat raja! Buntutnya ia diciduk ke istana untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tapi, diseret ke balairung dan dipaksa buka topi berkali-kali pun (sampai dicatat oleh Sir Aldric si Juru Hitung kerajaan segala), Bartholomew tetap mengenakan topi!


Raja memanggil para sesepuh istana yang dianggap serba tahu (tapi tidak punya solusi), menyuruh para pemanah jagoan memanah lepas topi Bartholomew berkali-kali (tapi tiada guna), sampai akhirnya memanggil para penyihir istana untuk melenyapkan kutukan topi ajaib itu.

Berhasilkah sang Raja? Atau ia tetap penasaran sampai akhir?

Dibandingkan dengan buku-buku Dr. Seuss lainnya yang cenderung pendek dan penuh dengan kalimat berima, penuturan buku yang satu ini layaknya buku cerita anak-anak biasa, meskipun tetap saja jalan ceritanya tidak biasa dan tetap asyik untuk diikuti karena memang bikin penasaran dan geregetan.

Anyway, sampai akhir cerita (solusinya baru ketemu setelah topi Bartholomew mencapai 500 biji), aku tidak tahu kenapa Bartholomew tidak bisa membuka topinya. Dan Dr. Seuss juga cuma bilang "But neither Bartholomew Cubbins, nor King Derwin himself, nor anyone else in the Kingdom of Didd could ever explain how the strange thing had happened."

Moral cerita yang bisa kita ambil adalah: It just "happened to happen" and was not very likely to happen again.

Atau pendeknya: udah, nggak usah dipikirin. Gitu aja kok repot.

Sebagai pembaca, kita nikmati saja jalan cerita yang nyeleneh bin absurd. Toh, di dunia ini memang terdapat banyak hal yang susah dijelaskan. Hanya orang-orang seperti Fox Mulder saja yang terus penasaran dan berusaha untuk mengungkap rahasia yang kadang tak ada jawabnya.

Oh ya, review singkat buku ini kubuat dalam rangka berpartisipasi dalam event:
Tema Angka dalam Judul Buku
View all my reviews

Thursday, November 27, 2014

The Story of Mankind

Dalam rangka berpartisipasi dalam event BBI pada bulan November ini yaitu:
Tema Newbery Book List
aku mengintip daftar buku Newbery di Wikipedia. Ternyata aku sudah punya beberapa, sudah kubaca tapi belum pernah kureview, tapi bukunya sudah tidak ada di Jakarta. Ya sudahlah, setelah dipikir-pikir lebih baik kalau aku membaca buku Newbery yang belum pernah kubaca. Selanjutnya, seperti biasa kalau kepepet dalam mencari kandidat, aku terpaksa menggunakan the last resort: mengunduh mencari bukunya di dunia maya. Setelah membaca Flora and Ulysses: The Illuminated Adventure-nya Kate DiCamillo dan Doll Bones-nya Holly Black, akhirnya aku malah memilih buku ini :
1922 Newbery Medal Winner
Mengapa aku memilih buku ini untuk kukomentari?
1. Buku ini adalah buku anak-anak pertama yang memenangkan John Newbery Medal;
2. Buku ini ternyata buku nonfiksi/sejarah untuk anak-anak;
3. Kemungkinan sebagian besar teman-teman BBI memilih untuk mereview buku-buku Newbery kontemporer. Sekedar untuk menambah variasi XD; dan tentu saja
4. Buku ini membuatku gatal kepingin mengomentari.

Apa yang menarik dari buku ini?
Buku ini adalah buku sejarah. Period. Tapi gaya penulisan, penuturan, dan bahasa yang digunakan lebih sederhana dan awam, sehingga diharapkan target pembaca buku ini, anak-anak tentu saja, lebih tertarik membacanya.

Penulis buku ini, Hendrik Willem van Loon, adalah sejarawan dan jurnalis Amerika (berdarah Belanda, dan lahir serta dibesarkan di Belanda). Namun selain menulis, ia juga membuat ratusan ilustrasi pendukung seperti ini:



Aku bisa membayangkan Meneer Van Loon sebagai guru sejarah yang berdiri di depan kelas, menjelaskan sejarah peradaban manusia sambil menggambar di papan tulis. Gambarnya tidak mesti bagus-bagus amat, yang penting murid-murid bisa tertarik, dan tidak ketiduran di tengah pelajaran atau kabur keluar kelas.

Buku ini berusaha menyampaikan sejarah secara kronologis (meskipun kadang-kadang melompat ke belakang dan ke depan), dimulai sejak bumi masih berupa bola yang amat panas, yang kemudian dihuni makhluk-makhluk pertama di lautan, di daratan, hingga akhirnya muncul manusia. Jelas karena terbit setelah era Darwin, teori asal-usul manusia yang disampaikan Van Loon adalah teori evolusi, bukan sebagai makhluk surga yang terbuang ke bumi.

Setelah menggambarkan perkembangan manusia zaman prasejarah, Van Loon menuturkan perkembangan sejarah di Mesir, Mesopotamia, Sumeria, Yunani, Romawi, dan terus berlanjut sampai sejarah Eropa di masa zaman pertengahan sampai zaman revolusi industri. Tidak lupa ia mencantumkan juga sejarah beberapa nabi (dan agama) seperti Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad, Buddha, termasuk Confusius dan Lao-tse.

Apa yang tidak kusukai dari buku ini
1. Judul buku
Ketimbang disebut The Story of Mankind, mungkin lebih baik bila disebut sebagai The History of Western Civilization. Atau mungkin kalau mau lebih tepatnya lagi The Story of Mankind as I Know It.

Mengapa? Karena Van Loon hanya menceritakan peradaban manusia dari satu segi, perspektif barat, Eropa dan sekitarnya, tanpa sedikit pun mencantumkan peradaban-peradaban besar lainnya yang sebenarnya hadir pada kurun waktu yang sama: peradaban di Cina, India, Amerika, atau peradaban Islam.

Aku tidak tahu alasan Van Loon tidak mencantumkan peradaban lainnya. Kalau mau berpikir positif, anggaplah sejarah yang ditekuninya memang berfokus pada riwayat peradaban barat, sehingga ia tidak tahu atau hanya tahu sedikit tentang peradaban lainnya. Kalau mau berpikir negatif, mungkin saja Van Loon sebenarnya mengetahui peradaban dunia lainnya, tapi cenderung tidak mengindahkannya dalam penulisan buku ini. Apalagi literatur sejarah barat saja sudah segambreng banyaknya, kalau harus ditambah peradaban lainnya, bisa-bisa bukunya jadi setebal bantal dan tidak menarik bagi anak-anak.

2. Opini pribadi Van Loon
Memang sih, namanya sejarah, bukan ilmu pasti. Siapapun pasti punya interpretasi dan opini sendiri tentang apa yang dipelajarinya. Sama halnya dengan aku yang punya opini sendiri tentang buku ini, yang mungkin berbeda dengan opini pembaca lain :)

Masih sejalan dengan "tidak mencantumkan peradaban lainnya", menurut pendapatku Van Loon cenderung bias dalam teorinya, dan sangat mengagungkan peradaban barat yang modern di atas bangsa-bangsa lain yang (pada zaman buku ini ditulis dan diterbitkan) dianggap lebih terbelakang dan sebagian besar masih berada di bawah jajahan negara-negara Eropa.

Saat menulis tentang sejarah Nabi Muhammad dan agama Islam, ia memang menyebutkan tentang keberhasilan agama Islam (yang menurut pendapatnya karena 2 hal utama: ajarannya yang sangat sederhana, dan tidak serumit agama lain, serta ajaran tentang pahala bagi yang mati syahid sehingga menjadi keuntungan besar bagi pasukan Islam dalam perang melawan pasukan Kristen dalam Perang Salib). Tapi di sisi lain, ia menuliskan bahwa dengan ajaran yang berserah diri pada Allah Yang Maha Kuasa, "such an attitude towards life did not encourage the Faithful to go forth and invent electrical machinery or bother about railroads and steamship lines".

Catatan tambahan itu membuatku merasa Van Loon mungkin hanya mengetahui dunia Islam di masa 1900-an. Mungkin ia tidak tahu bahwa pada masa Eropa berada di Zaman Kegelapan, dunia sains Islam berkembang begitu pesat, membawa obor pengetahuan dari masa Yunani dan Romawi yang terlupakan. Tanpa perkembangan sains pada peradaban Islam, takkan ada renaissance pada peradaban Eropa yang begitu dibanggakannya.

Kesimpulan
Pada bagian belakang, Van Loon menyampaikan bahwa buku ini hanya appetizer, yang bertujuan agar anak-anak tertarik untuk mempelajari sejarah, hal-hal yang tidak semuanya dibahas dalam buku ini. Mungkin apabila anak-anak tertarik untuk belajar sejarah lebih jauh, wawasannya dapat lebih luas dan tidak terjebak hanya dari satu sudut pandang sejarah peradaban manusia. Tapi yang terpikirkan olehku, bagaimana apabila sang anak tidak tertarik untuk belajar lebih lanjut dan hanya terpaku pada buku ini sebagai referensinya? Apakah ia akan tumbuh dengan wawasan yang terbatas?

Untuk bacaan sejarah bagi anak-anak yang tersedia zaman sekarang, aku lebih merekomendasikan Kartun Riwayat Peradaban-nya Larry Gonick. Selain disajikan dengan full gambar kartun yang menarik, full humor yang bisa membuat sejarah peradaban manusia yang penuh kekerasan dan berdarah-darah bisa ditelan anak-anak, serial kartun ini juga menceritakan hampir semua peradaban yang diketahui manusia, dan menurut pendapatku pribadi, obyektif dan bercerita apa adanya tanpa menempatkan satu bangsa atau peradaban lebih tinggi di atas bangsa atau peradaban yang lain.

Aku masih belum membeli ulang koleksi favorit yang turut raib ini. Ada yang bisa membantu?

Selain Kartun Riwayat Peradaban, aku juga merekomendasikan serial Horrible Histories-nya Terry Deary, yang meskipun bukan dalam bentuk kartun, juga disajikan secara jenaka dengan gambar-gambar yang kocak dan, menurutku pribadi, juga obyektif dan bercerita apa adanya.

Aku baru punya sebagian dari serial ini, tapi memang belinya senemunya saja sih