My rating: 4 of 5 stars
And now, the end is here
And so I face the final curtain
My friend, I'll say it clear
I'll state my case, of which I'm certain
I've lived a life that's full
I traveled each and ev'ry high way
And more, much more than this, I did it my way
Sungguh, lirik lagu Frank Sinatra di atas terus terngiang ketika aku membaca ulang novel terakhir seri Poirot dalam rangka mengikuti event ini:
Tema 1st Published on the Year You Are Born |
SPOILER ALERT! SPOILER ALERT! SPOILER ALERT!
Ups. Telat ya? Dan masih mau baca review ini?
Oke, sekalian saja kutekankan, dengan alasan for the greater good, Poirot melakukan pembunuhan tingkat pertama: pembunuhan terencana. Sebagai detektif vigilante, ia tidak mengambil jalur Batman, tapi jalur Punisher. Tanpa senapan mesin, tentu saja.
Mengapa seorang Poirot harus berbuat sejauh itu? Oke, simak sinopsis di sampul belakang novel ini:
Lima pembunuhan di tempat berbeda, dengan motif berbeda. Hanya satu kesamaannya: X. X terlibat dalam kelima pembunuhan itu dan berada di sekitar lima tempat itu ketika pembunuhan terjadi. X-lah otak kelima pembunuhan itu. Tapi dengan licik dia berhasil menghindar dari kecurigaan orang. Kelima pembunuhan itu begitu sempurna. Sekarang X berada di Styles. Berarti tak lama lagi akan ada pembunuhan di sana.
Baru kali ini Poirot menemukan lawan yang seimbang. Sayangnya Poirot sudah tua. Jantungnya sudah lemah. Memang otaknya masih tetap tajam. Tapi fisiknya sudah uzur dan jantungnya bisa berhenti berdenyut setiap saat. Tinggal menunggu waktu. Dan waktunya yang singkat itu mungkin takkan cukup untuk bisa menyeret X ke pengadilan.
Sebagaimana tercantum dalam sinopsis, kasus terakhir Poirot adalah perfect crimes. Mengapa? Karena lawannya adalah seorang puppetmaster piawai yang menggunakan keahlian berbicaranya untuk mempengaruhi orang lain untuk membunuh. Dan ia melakukan semua itu tanpa motivasi pembunuhan pada umumnya: harta, tahta dan wanita, melainkan hanya demi kesenangan pribadi. Perfect serial killer!
Hanya dengan deduksi tanpa bukti kuat, Poirot harus mencegah orang itu membunuh lagi. Tapi bagaimana caranya, sementara waktunya sudah kian dekat? Okelah, sebagai vigilante yang baik ia pun memanggil sidekick-nya yang setia, Kapten Arthur Hastings, ke Styles (Oh, sengaja betul Dame Agatha Christie menggunakan lokasi di Styles sebagai bookend petualangan Poirot!).
Dan berdasarkan deskripsi Hastings pulalah, kita melihat bagaimana kondisi Porot di penghujung kejayaannya:
Sahabatku yang malang. Aku sudah sering bercerita tentangnya, kukira. Sekarang dia sudah hampir lumpuh diserang penyakit artritis, jadi kalau hendak bergerak ke mana-mana, dia harus menggunakan kursi rodanya. Perawakannya yang dulu gemuk sekarang sudah tidak kelihatan lagi. Sekarang dia sudah menjadi lelaki kecil yang kurus. Wajahnya dihiasi garis-garis ketuaan dan penuh kerut-merut di sana-sini.
Intinya, karena meskipun otaknya masih cemerlang, Poirot sudah susah bergerak sehingga ia meminta sobatnya Hastings untuk membantu di bagian yang lebih aktif dalam rencananya menghentikan aksi si X.
Tapi, seperti biasa, karena Hastings tidak punya poker face, meskipun Poirot sudah tahu siapa si X ini, Hastings tidak diberi tahu, dan akibatnya Hastings (dan pembaca) dibiarkan berada dalam kegelapan dan berusaha menebak-nebak sendiri siapa di X dari sekian banyak tamu di hotel Styles.
Tragedi apa saja yang terjadi di Styles gara-gara lidah berbisa X?
Seorang pria hampir membunuh istrinya dengan alasan yang nggak banget: "salah tembak kukira kelinci liar".
Arthur Hastings sendiri hampir meracuni lelaki buaya darat yang dicurigainya mendekati putrinya, Judith.
Seorang wanita tewas keracunan.
Seorang pria mati tertembak tepat di tengah dahinya.
Benar-benar produktif, apalagi ditutup dengan matinya Poirot karena serangan jantung,
Pada awal novel, dengan nada berat dan sedih Hercule Poirot berkata kepada Hastings: "Akan ada pembunuhan di sini--di tempat ini." Dan itu bukan merujuk pada pembunuhan yang akan dilakukan si misterius X, namun lebih pada pembunuhan yang akan dilakukan Poirot terhadap si X!
Tanpa perlu berpanjang lebar menjelaskan plotnya, salah satu hal yang perlu diperhatikan pembaca (atau calon pembaca) adalah: Poirot sudah biasa menipu Hastings yang jujur, polos dan gampang percaya seumur persahabatan mereka, dan ia tetap melakukannya sampai akhir. Tapi seperti biasa juga, Poirot melempar banyak petunjuk ke hadapan Hastings, dan kalau saja Hastings (dan pembaca) cukup jeli dan sigap menangkap semua sinyal Poirot, sebenarnya tidak sulit untuk menebak identitas X, dan trik yang dilakukan Poirot dalam melaksanakan aksi kriminalnya.
Dalam penjelasan tertulis pada sahabatnya, Poirot tidak menyampaikan justifikasi atas pembunuhan yang dilakukannya.
Aku tak tahu, Hastings, apakah yang kulakukan ini bisa dibenarkan atau tidak. Tidak--aku tidak tahu. Aku tidak percaya bahwa orang boleh main hakim sendiri, boleh menetapkan hukum bagi dirinya sendiri.
Pada akhirnya, boleh dikatakan Poirot mati karena bunuh diri. Serangan jantungnya bisa diatasi andai saja ia meminum obat amyl nitrite-nya. Namun Poirot sengaja menyingkirkan obatnya agar kematian segera datang menjemputnya. Apakah ia melakukannya demi menebus dosa karena telah mengambil nyawa orang lain?
Regrets, I've had a few
But then again, too few too mention
I did what I had to do and saw it through without exemption
I planned each charted course, each careful step along the byway
And more, much more than this, I did it my way
So true. In the end, Hercule Poirot did it his way.
View all my reviews