My rating: 3 of 5 stars
Novel detektif adalah novel yang membutuhkan logika. Tapi... ada tapinya, jangan pernah memikirkan usia sang detektif ataupun tokoh-tokoh tetap lain yang selalu ada di sekitarnya. Catat ini baik-baik: mereka bisa hidup di segala zaman, menembus ruang dan waktu, tanpa adanya penuaan, atau kalaupun ada, proses penuaannya berjalan amat lambat, tidak sejalan dengan pergerakan zaman. Ingat protesku di sini tentang tokoh-tokoh di serial komik Detektif Conan yang tidak menua padahal sudah belasan kali merayakan malam tahun baru? Pembelaan terbaik yang bisa kuberikan: namanya juga komik. Tapi membaca buku ini, aku diingatkan bahwa penyimpangan ruang dan waktu juga berlaku untuk serial novel misteri, terutama yang tokoh utamanya Hercule Poirot.
Bayangkan saja, waktu pertama kali muncul, dengan setting di akhir Perang Dunia I, Hercule Poirot digambarkan sudah tua karena sudah pensiun (meskipun tidak jelas berapa usianya, katakan saja 60 tahun). Dan di novel yang baru kubaca ulang ini, setting-nya di awal tahun 1940-an, karena buku Gone With the Wind-nya Margaret Mitchell sudah terbit. Apakah usia Poirot di sini sudah 80 tahun? Bagaimana dengan usianya di novel Curtain yang terbit tahun 1975, dong? Kalau masih penasaran dengan topik ini, teori tentang usia Poirot bisa dibaca di situs ini.
Terlepas dari topik tentang usia Poirot, membaca novel ini membuatku memikirkan beberapa topik lain yang cukup menarik untuk dibahas.
Pertama: Mengapa misteri/kejahatan selalu terjadi di saat liburan?
Pernah bertanya-tanya nggak sih, kenapa kebanyakan buku Enid Blyton (selain yang settingnya dunia sekolah asrama), terutama yang bertema misteri dan petualangan, selalu terjadi pada saat para tokohnya sedang liburan sekolah? Sangat mungkin karena temanya kerjasama kelompok, yang para anggotanya baru bisa bertemu saat liburan. Kalau misalnya Fatty menemukan kejanggalan di sekolah asramanya, tak mungkin ia meminta teman-teman di desanya datang. Paling banter ia selesaikan sendiri, atau dengan bantuan teman asramanya, dan tahu-tahu kita punya serial misteri di sekolah asrama putra. Dan kalau dipikir-pikir, pola misteri saat liburan sekolah ini kok ya bertolak belakang dengan serial Harry Potter misalnya, yang para penjahatnya lebih sering menunggu sampai anak-anak masuk sekolah untuk melancarkan aksinya.
Sama halnya dengan serial novel/manga detektif, di mana pada saat tokoh utamanya sama sekali tidak berniat bekerja, kepingin beristirahat, tapi "kebetulan" saja kejahatan terjadi di tempatnya berlibur. Dan kehadirannya di lokasi sama sekali tak menyurutkan niat pelaku untuk berbuat jahat, malah seperti berjudi atau tertantang untuk mengelabui si detektif!
Hercule Poirot punya teori sendiri tentang mengapa kejahatan umum terjadi pada saat liburan, seperti dijelaskannya pada halaman 19 buku ini.
Umpama Anda punya musuh. Kalau Anda ingin mendekatinya di tempat tinggalnya, di kantornya, di jalan--eh, bagaimana ya, Anda harus mempunyai alasan--Anda harus bisa menjelaskan kehadiran Anda di dekatnya. Tapi di sini, di pantai, orang tidak perlu menjelaskan kehadirannya.Anda berada di Teluk Leathercombe, mengapa? Waduh! Ini kan bulan Agustus-- orang pergi ke pantai pada bulan Agustus--orang sedang berlibur. Jadi Anda lihat semuanya amat normal kalau Anda berada di sini, dan Mr. Lane berada di sini, dan Mayor Barry berada di sini, dan Mrs. Redfern berada di sini beserta suaminya. Karena sudah menjadi kebiasaan di Inggris bahwa pada bulan Agustus orang-orang pergi ke pantai.Cukup masuk akal, kan? Atau kau punya teori sendiri?
Kedua: Apa yang dapat dilakukan seorang detektif bila bisa melihat bahwa kejahatan akan terjadi?
Setelah kasus pembunuhan di buku ini, Hercule Poirot menjelaskan pada Hastings mengapa ia tidak mencegah kejahatan yang sudah jelas kelihatan, pada saat pembunuhan belum terjadi. Ia berkata, bahwa jika seseorang sudah nekat mau membunuh, tidak mudah mencegahnya. Ia tidak menyalahkan dirinya untuk apa yang telah terjadi. Itu, menurutnya, tidak bisa dihindari.
Oh, ya...? Lalu, mengapa Hercule Poirot melanggar teorinya sendiri di akhir hidupnya? Bahkan sampai melanggar prinsipnya, dan melakukan pembunuhan demi mencegah kejahatan terjadi? Itu kita bahas nanti saja ya, saat review novel terakhirnya... :)
Jadi, itu dua hal yang terpikirkan olehku di bab-bab awal buku ini...
Oke, buku ini kubaca dalam rangka menyelesaikan Program BUBU yang sepertinya jadi program tiada akhir, karena banyak buku yang sudah kubeli ulang dan masih menanti kubaca ulang, termasuk buku-buku Agatha Christie. Padahal beli ulang seperempat buku yang hilang saja kayaknya belum sampai.
Di buku ini, Hercule Poirot sedang liburan musim panas. Banyak orang menarik yang tinggal di hotelnya, lumayan untuk orang yang hobinya observasi. Tapi apa mau dikata, terjadi pembunuhan yang membuatnya harus melupakan liburannya sebentar.
Korban pembunuhan adalah Arlena marshall, wanita cantik berambut merah, yang dipuja banyak lelaki dan dibenci banyak wanita, gara-gara daya tarik seksualnya.
Ada beberapa orang yang memiliki motivasi untuk membunuhnya. Bisa suaminya, Kenneth Marshall, yang mungkin baru tahu kalau istrinya berselingkuh. Bisa anak tirinya, Linda Marshall, yang mencoba menggunakan santet--eh, sihir--untuk mengguna-guna mati sang ibu tiri. Bisa juga Christine Redfern, yang suaminya, Patrick, berselingkuh dengan Arlena. Bisa saja...siapa saja, yang mungkin motivasinya tidak begitu jelas.
Pembaca digiring menelusuri alibi dari masing-masing tersangka, yang dikaitkan dengan waktu pembunuhan sang korban. Ini kuncinya: waktu pembunuhan. Pembunuhnya piawai mempermainkan waktu... tapi hanya Poirot yang bisa menemukan celah dalam plot sandiwara yang dirancang untuk menipu semua orang...
View all my reviews
No comments:
Post a Comment