My rating: 3 of 5 stars
Salah satu tema Posbar BBI bulan ini adalah Khatulistiwa Literary Award.
Ada sih, buku-buku KLA yang sudah pernah kubaca tapi belum sempat (baca: malas) kubuat reviewnya. Tapi setelah bongkar-bongkar tumpukan buku yang belum terbaca di sudut kamar kosku, ternyata ada juga beberapa judul buku KLA yang nyempil, baik yang juara maupun yang nominee. Nah, kesempatan nih, lumayan buat mengurangi jumlah tumpukan buku tak terbaca yang makin merajalela. Setelah cap-cip-cup kembang kuncup antara Cerita Cinta Enrico, 65, dan Pasung Jiwa, akhirnya aku memilih buku pertama untuk kubaca duluan untuk Posbar BBI 2014.
Setelah selesai membaca dan membuat draft review-nya... baru deh mengecek ke blog event BBI dan mengetahui bahwa yang seharusnya kubaca adalah KLA 2013, bukan sekadar KLA tahun berapa saja! Kuduna yang kubawa pulang untuk dibaca pas liburan buku Pasung Jiwa nih! T.T
Ya sudahlah. Keburu bikin draft reviewnya, tetap kuposting saja deh...
Buku ini ditulis dengan POV orang pertama, dari tokoh utama yang namanya terpampang di cover buku. Ah, oke, itu bukan nama yang sebenarnya, melainkan nama yang ingin disematkan ibunya di akte kelahiran tapi setelah kegagalan negosiasi dengan sang ayah, akhirnya hanya berakhir menjadi nama panggilan saja.
Mengapa harus dipanggil Enrico? Sang ibu menyiapkan nama itu berdasarkan nama penyanyi tenor Italia yang sudah mati pada tahun 1921, karena konon Enrico adalah anak yang begitu mencintai ibunya, sampai-sampai setiap kali ia menyanyi yang terbayang adalah wajah ibunya. Dan... ya... benang merah buku ini memang kisah cinta Enrico pada ibunya... serta pada sang pengganti ibunya.
Mari kita review buku ini a'la suka-suka.
Cover
Tidak ada gambar sama sekali. Cuma judul dengan latar hijau stabilo dengan huruf-huruf yang setelah dilihat-lihat rupanya terdiri dari gambar tentara baret merah yang sedang berdiri sikap sempurna, atau sedang memanggul bazoka, sedang menembak, serta... pose-pose absurd macam sedang melompat melenting atau sedang nungging di atas bangku kayu. Tentu saja ada pose menari tango dengan wanita bergaun merah (tetap dalam sikap sempurna). Selain itu juga ada gambar sepatu pantovel untuk mengisi huruf N dan sasaran tembak untuk huruf O.
Sebelum membaca bukunya, tentu kita bertanya-tanya apa maksud dari si penata letak sampul. Tapi setelah membaca bukunya, yah... mungkin ada relevansinya sih. Enrico bukan tentara baret merah, tapi memang anak kolong. Sepatu pantovel dengan hak kokoh ada histori sendiri dengan sang ibu. Sementara wanita bergaun merah... anggap saja itu melambangkan pilihan Enrico untuk hidup bebas tanpa ikatan dengan wanita manapun.
Aku membaca buku ini tanpa referensi apa-apa sebelumnya, dan toh sinopsisnya tidak mengungkapkan apa-apa selain bahwa ini kisah nyata seorang anak yang lahir bersamaan dengan pemberontakan PRRI, dan isinya tentang kisah cinta dalam bentangan sejarah Indonesia sejak era pemberontakan daerah hingga Reformasi.
Kuncinya adalah kisah nyata. Baru di bab-bab terakhir aku baru ngeh kalau si Enrico ini ternyata... suami si penulis buku, yang juga ikut tampil sebagai sosok wanita yang belakangan menjadi obsesi Rico dan akhirnya membuatnya rela melepas kebujangannya.
Iya, ternyata ini buku novel biografis, yang disusun penulis berdasarkan cerita suaminya, sejauh jangkauan ingatannya, dikait-kaitkan dengan sejarah Indonesia selama 50 tahun hidupnya. Tahun-tahun utama yang menjadi tonggak sejarah buku ini adalah 1958, 1968, 1978, 1988, 1998, dan 2008. Iya, sepuluh tahun sekali yang berakhir dengan angka 8. Singkatnya begini :
1958: tokoh utama lahir bersamaan dengan pemberontakan PRRI
1968: si penulis lahir bersamaan dengan dimulainya masa Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto
1978: tokoh utama merasakan hilangnya kebebasan dengan pembungkaman politik bagi mahasiswa
1988: tokoh utama sah jadi pemanjat tebing dan fotografer
1998: apa perlu kutulis di sini apa yang terjadi pada sejarah Indonesia di tahun 1998?
2008: tokoh utama mencoba bertanya pada si penulis, bagaimana bila suatu hari mereka menikah. Wow, itu memang tonggak sejarah, karena masing-masing berprinsip tidak menentang institusi pernikahan namun memilih untuk tidak menikah! Iya... tonggak sejarah sesungguhnya memang tanggal 17 Agustus 2011, waktu mereka akhirnya benar-benar menikah :)
Buku ini memang berkisah tentang Enrico dari waktu lahir (tentunya berdasarkan cerita orang tuanya), masa kanak-kanak sebagai anak kolong dan anak yang memuja ibunya, masa remaja yang mulai merasa terkekang oleh obsesi ibunya pada agama sehingga malah membuatnya menjurus atheis di kemudian hari, masa mahasiswa di mana kebebasan yang diperolehnya setelah lepas dari sang ibu malah direnggut oleh pemerintah yang otoriter. Lalu... apakah dicabutnya kebebasan berpendapat kemudian dikompensasikan pada kebebasan bermaksiat? Di sini penulis secara blak-blakan mengisahkan kehidupan Enrico yang serba freelance: tidak mau punya bos, tidak mau punya istri, tidak mau punya anak. Tidak mau berprokreasi tapi tetap melakukan kegiatan prokreasi dengan wanita manapun, atas dasar suka sama suka, tanpa ikatan. Meskipun pada akhirnya... cerita berakhir lain di penghujung novel. Semua... karena cinta... (ini kenapa jadi malah nyanyi...)
Akhir kata
Aku membaca buku ini sebagai novel, jadi tidak pengaruh apakah apa yang diceritakan dalam buku ini memang benar atau cuma sebagian saja yang benar. Lagipula, ingatan tentang masa kanak-kanak memang sulit diandalkan, begitu pula cerita orang lain tentang masa kanak-kanak kita.
Aku hanya ingin berkomentar sedikit tentang beberapa bagian yang sering diberi penekanan sehingga diceritakan berulang-ulang. Iya, sih, sebagai pemilik golongan darah A yang gemar mengulang-ngulang sesuatu kalau kita menganggap suatu hal itu penting (meskipun menurut orang lain tidak), aku juga sering melakukan dosa yang sama. Tapi kalau di setiap beberapa halaman terdapat pengulangan tentang seperempat puting susu yang tertelan...
View all my reviews
No comments:
Post a Comment