My rating: 4 of 5 stars
Hercule Poirot (lagi-lagi) tak mau berinisiatif melakukan pencegahan pembunuhan. Kali ini dengan menolak tawaran perkara dan uang yang mengiringinya dari seseorang yang merasa jiwanya terancam.
"Kalau Anda mau memaafkan saya karena alasan pribadi--terus terang saja, saya menolak tawaran Anda karena saya tak suka pada wajah Anda."Kalau kita hanya membaca yang tersurat, pasti kita bilang, ebuset, Poirot pilih-pilih klien berdasarkan tampang! Tapi tentunya kita juga harus membaca yang tersirat. Poirot adalah seorang pengamat yang mampu melihat karakter asli seseorang, bisa melihat sifat binatang di balik penampilan luar yang tidak tercela. Jadi, karena Poirot tahu orang yang ingin menggunakan jasanya adalah orang jahat, ia memilih tidak mau membantunya. Habis perkara.
Dalam waktu enam jam, orang yang berbicara kepada Poirot itu meninggal. Poirot otomatis diminta untuk mencari pembunuhnya. Lantas, kalau Poirot berhasil mengetahui pelakunya... apa yang akan ia lakukan?
Selesai bertugas di Siria, Poirot berencana berlibur selama beberapa hari di Istanbul. Tapi karena mendadak dipanggil ke London berkaitan dengan perkembangan suatu kasus yang ditanganinya, Poirot pun bermaksud menggunakan kereta Simplon Orient. Sayangnya, entah kenapa gerbong kelas satu penuh, padahal bukan peak season. Untung saja Poirot bertemu kenalan lamanya, Monsieur Buoc, direktur perusahaan kereta api, yang mengatur agar sebuah kamar khusus diberikan kepada Poirot.
Ternyata, kehadiran Poirot membuat skenario sebuah pembunuhan yang telah dirancang rapi menjadi sedikit terganggu. Belum lagi ditambah kereta api yang tertahan salju di Pegunungan Balkan, sehingga teori bahwa pelaku pembunuhan sudah tidak ada di kereta tak bisa digunakan.
Poirot mendapati gerbong kelas satu terdiri dari orang-orang dari berbagai negara dan belahan bumi yang berbeda, dan ia harus mencari tahu siapakah gerangan dari belasan orang itu yang memiliki motif. Boleh dibilang, Poirot tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menyimpulkan deduksi atas kasus ini ini. Ia cukup meminta kesaksian dari setiap orang yang ada di gerbong, lantas duduk merenung dan berpikir. Berbagai kesaksian yang bertolak belakang malah membawanya kepada kesimpulan yang nyata. Kunci utama kasus ini adalah bahwa gerbong itu merupakan melting pot dengan beragamnya latar belakang penumpang yang ada.
Hal yang dapat menjadi bahan diskusi dan renungan setelah membaca buku ini antara lain sebagai berikut:
Apakah hukuman yang pantas bagi pelaku pembunuhan, apabila korbannya adalah seseorang yang amat sangat jahat yang telah menimbulkan penderitaan bagi banyak orang?
Apakah karena korban pembunuhan benar-benar jahat, maka pelaku yang telah merencanakan dan melaksanakan pembunuhan boleh dibebaskan?
Well, ini pertanyaan yang juga timbul jika kita menonton serial TV Dexter. Korban Dexter Morgan semuanya psikopat pembunuh serial yang jahat. Jadi, meskipun Dexter juga psikopat pembunuh serial yang membunuh, memutilasi, lantas membuang ke laut para psikopat lainnya, apakah Dexter adalah pahlawan masyarakat yang seharusnya mendapat penghargaan, bukannya dikurung di penjara?
Err... kira-kira begitulah analoginya. Bedanya, Dexter memang memiliki kebutuhan untuk membunuh sebagaimana halnya para psikopat yang menjadi korbannya, hanya saja ia memiliki kode etik bahwa yang dibunuhnya adalah mereka yang pantas mendapatkannya (baca: para pembunuh yang lolos dari hukum). Sedangkan pelaku pembunuhan di novel ini membunuh demi melampiaskan dendam.
Tunggu sebentar... ini juga pertanyaan yang timbul jika kita menonton atau membaca serial silat. "You kill my teacher/father/brother/lover/etc, I'll kill you!!" lantas penonton/pembaca akan merasa puas dan bertepuk tangan jika di akhir cerita si tokoh utama berhasil membalas dendam dengan membunuh musuhnya yang konon jahat kabina-bina. Sepertinya hanya hukum rimba dan hukum dunia persilatan yang berlaku di sana, yang kuat dan yang menang adalah yang benar. Seolah tidak ada hukum negara yang akan memastikan apakah jagoan kita penjahat atau tidak di mata negara. Ini tergantung posisi si tokoh antagonis juga sih, kalau negara menganggapnya orang baik, tentu jagoan kita jadi penjahat. Susah kan jadinya? Perlu seorang Judge Bao agar jagoan kita bisa diadili dengan layak.
Sementara itu, apabila kita membaca manga Detektif Conan, tidak ada perkecualian sama sekali bagi pelaku pembunuhan. Oke, kita tahu latar belakang mengapa seseorang melakukan pembunuhan. Kita tahu bahwa korbannya mungkin saja "pantas" mendapat ganjarannya. Tapi itu tidak berarti si pelaku layak dibebaskan. Kogoro Mouri (kalau lagi serious mode on) selalu berkata: "Aku tidak mau mendengar alasan seorang pembunuh."
Jadi, apabila kau seorang detektif yang telah berhasil melacak seorang pelaku pembunuhan, apakah kau akan mempertimbangkan motif sang pelaku, sebagai dasar untuk melepaskan atau menangkapnya? Apakah bila kau anggap korban layak dibunuh, maka kau akan melepaskan pelakunya? Atau kau akan tetap menangkapnya, dan membiarkan pengadilan yang memutuskan seperti apa hukuman yang wajar baginya?
Keputusan Poirot di novel ini memang kontroversial. Sama kontroversialnya dengan kita yang setia mendukung Dexter dalam setiap episodenya, dan berharap ia takkan pernah dicurigai dan ditangkap oleh pihak yang berwajib.
View all my reviews
No comments:
Post a Comment