Friday, February 27, 2015

The English Patient

Sinopsis:

With ravishing beauty and unsettling intelligence, Michael Ondaatje's Booker Prize-winning novel traces the intersection of four damaged lives in an Italian villa at the end of World War II. Hana, the exhausted nurse; the maimed thief, Caravaggio; the wary sapper, Kip: each is haunted by the riddle of the English patient, the nameless, burned man who lies in an upstairs room and whose memories of passion, betrayal, and rescue illuminate this book like flashes of heat lightning.

Review Gerundelan:

Iya, ini bukan review. Ini gerundelan.

Plis, deh, dulu sekali waktu aku pertama menonton film ini, aku nggak suka. Sinematografinya memang indah... tapi kisah cinta antara kedua tokoh utamanya, Count Almasy dan Katharine Clifton... meh. Itupun kalau affair mereka memang bisa digolongkan sebagai kisah cinta, bukan kisah nafsu belaka. Aku dulu tidak bisa merasa bahwa kisah mereka merupakan kisah cinta abad ini. Aku merasa bahwa masalah dan kesulitan yang mereka alami memang sengaja dicari sendiri. Dan akhir kisah mereka yang mengenaskan (dan yang katanya seharusnya bikin nangis kejer), memang sudah sewajarnya. Bermain air basah, bermain api hangus. 

Dulu sekali waktu aku pertama menonton film ini, aku merasa jauh lebih simpati pada Geoffrey Clifton, suami yang dikhianati. Padahal dulu aku belum ngeh (dan peduli) kalau yang memerankan si suami adalah Colin Firth.


Mungkin ada banyak alasan bagi Katherine Clifton untuk bermain api dengan laki-laki lain. Mungkin ia memang tidak pernah mencintai suaminya. Mungkin ia menikahi Geoffrey hanya karena selama ini laki-laki itu selalu berada di sampingnya, a shoulder to cry on, tempatnya kembali, apabila kisah cintanya berakhir dengan kegagalan. Tapi apakah setelah menikah pun, hanya itu peran Geoffrey baginya? Rasa bersalahnya membuatnya meninggalkan Almasy dan kembali pada suaminya, tapi cukupkah semua itu untuk menghapus sebuah pengkhianatan?

Adegan paling romantis bagiku bukan di kala Almasy dan Katherine bergelinjang di atas ranjang memadu hasrat membara. Adegan itu adalah saat Geoffrey Clifton duduk menunggu di taksi, menanti istrinya selesai berselingkuh.


Apakah saat itu hatinya langsung hancur berkeping-keping, atau rontok sepotong demi sepotong, sementara benaknya merajut keputusasaan yang berlanjut menjadi keputusan untuk mati bersama?

Versi novelnya agak berbeda dengan versi film. Dikisahkan bahwa Geoffrey dan Katherine saling mencintai dan masih dalam suasana bulan madu ketika pertama kali bertemu dengan Almasy. Apakah kemudian Katherine mendapati lelaki yang jauh lebih tua dan lebih matang tampak lebih menarik dari suaminya yang masih muda dan kekanakan?

Tapi di versi manapun, Geoffrey terlalu percaya pada Katherine, dan mungkin karena besarnya rasa cintanya sendiri, sampai tidak bisa melihat perubahan sikap istrinya. Meskipun ia ternyata bukan seorang anak muda Inggris biasa. Ia anggota intelijen Inggris, sehingga jauh sebelum ia tahu apa yang terjadi, perselingkuhan istrinya malah sudah diketahui lebih dulu oleh intelijen. Dan laki-laki dengan posisi sepertinya tewas, sudah jelas siapa yang dituduh membunuhnya.


“Planes supposedly ‘lost’ you, but you were being tracked very carefully. You were not the spies, we were the spies. Intelligence thought you had killed Geoffrey Clifton over the woman. They had found his grave in 1939, but there was no sign of his wife. You had become the enemy not when you sided with Germany but when you began your affair with Katharine Clifton.”

No comments:

Post a Comment