Along the Way by Martin Sheen
My rating: 5 of 5 stars
Ada masanya aku menjadi penggemar aktor-aktor dari keluarga ini. Baik itu sang ayah, Martin Sheen alias Ramon Estevez, maupun anak-anaknya, Emilio Estevez dan Charlie Sheen. Di luar talenta akting mereka yang memang first class, alasan utama yang jelas sangat bias adalah... anggota keluarga Hispanik ini memang ganteng-ganteng semua. Setelah melihat foto hitam putih lama dari Fransisco Estevez, ayah Martin Sheen, yang keren habis, ini mah jelas faktor keturunan :D
Apa perlu bukti?
It runs in the family! Cowok Spanyol memang calon suami idaman. Ganteng-ganteng dan pulang cepat. #KenapaJugaNyerempetWorldCup2014 ;P
Karenanya, waktu menemukan buku ini, meskipun cuma buku seken, aku jelas kepingin punya.
Biografi tandem ini disusun dari dua sudut pandang, ayah-anak Martin Sheen dan Emilio Estevez, dan berdasarkan timeline yang sama, sehingga dari satu peristiwa atau dari satu episode yang sama kita dapat menyelami perasaan dan jalan pikiran keduanya. Setiap interaksi, baik dan buruknya, dapat dilihat dari dua sisi yang sangat berbeda.
Sebagai aktor yang menikah dan memiliki anak dalam usia muda, Ramon Estevez bekerja serabutan demi menafkahi keluarga. Tapi nama Spanyolnya membuatnya kesulitan mencari kerja, sehingga ia mengganti nama panggungnya menjadi Martin Sheen. Sepertinya sih tidak pakai bubur merah bubur putih, tapi punya nama baru rupanya keputusan yang tepat pada saat itu, meskipun membuat ayahnya sedih.
Emilio sendiri seharusnya dinamai Emilio Diogenes Estevez, tapi karena Martin tidak bisa mengeja nama tengah yang berasal dari ikonoklas Yunani itu, jadilah nama di akte kelahirannya malah berubah menjadi Emilio Dominic Estevez :) Biografi Emilio sendiri dimulai setelah ia berumur lima tahun, dengan kisah bagaimana ia di-bully dan dipalak anak-anak lain yang lebih besar. Tinggal di daerah kontrakan yang padat penduduk memang tidak nyaman. Baru setelah ia beranjak remaja, ayahnya bisa membeli rumah di lingkungan yang lebih baik. Beberapa anak tetangga mereka bahkan kelak menjadi terkenal sebagai aktor pula, seperti Sean dan Chris Penn, Rob dan Chad Lowe, sampai Robert Downey Jr.
Salah satu keuntungan jadi anak dari seorang aktor sayang keluarga macam Martin Sheen adalah seluruh keluarganya seringkali diboyong ke lokasi syuting. Jadilah Emilio ikut ke Meksiko saat ayahnya syuting film Catch-22, atau ke Roma waktu syuting The Cassandra Crossing, bahkan ke Filipina buat syuting Apocalypse Now.
Ada kejadian lucu waktu Martin ditawari peran di Apocalyse Now. Karena Martin sedang merampungkan film di Roma, produsernya meminta ia terbang ke lounge Philippines Airlines di LAX untuk bertemu Francis Ford Coppola yang akan bertolak ke Filipina. Buset, dah repot amat mau meeting sebentar doang. Tapi tahun 1970-an memang belum ada Skype atau teleconference, sih. Sekalian pulang, ia dititipi koper berisi baju anak-anak oleh istrinya. Tapi gara-gara dicurigai membawa "baju selundupan dari Eropa", ia malah ditahan dan diinterogasi lama di bea cukai LAX... sampai ia harus menunjukkan semuanya baju bekas pakai bahkan ada yang bolong-bolong segala. Buntutnya ia cuma sempat ketemu lima belas menit dengan sang sutradara.
Ternyata Martin Sheen mendadak harus menggantikan Harvey Keitel memerankan Kapten Willard di Apocalypse Now. Rencana syuting enam belas minggu, tapi kenyataannya molor jadi berbulan-bulan, bahkan sampai setahun harus tinggal di lokasi syuting di hutan Filipina.
Seperti biasa, keluarganya juga diboyong ke Filipina, mumpung bertepatan dengan libur sekolah. Hanya saja, Emilio minta ayahnya berjanji kalau ia bisa pulang pas sekolah dimulai. Ketika janji itu tak bisa ditepati karena jadwal syuting yang molor, terjadilah pertikaian besar antara ayah yang masih ingin mengatur anaknya dengan remaja yang mulai memberontak dari kungkungan orang tua. Pada akhirnya, Emilio diizinkan pulang sendiri ke Amerika supaya bisa sekolah. Duh, dasar murid teladan.
Bukan berarti Emilio tidak bersenang-senang di lokasi syuting. Ia bertemu dan berteman dengan aktor-aktor di sana, baik yang seumuran ayahnya maupun yang masih remaja. Hah, ternyata Laurence Fishburne yang main di film itu masih berusia lima belas tahun, cuma setahun lebih tua dari Emilio. Bersama putra Coppola, Gio, ia juga menjadi figuran. Berlatih menjadi tentara berhari-hari, mendapat sepotong dialog kecil, meskipun ternyata adegannya kena gunting edit.
Di masa sekolah, Emilio juga aktif di eskul drama. Meskipun ia siswa grade A dan atlet andalan, tapi cita-citanya sudah jelas di luar harapan guru-gurunya: menjadi aktor dan sutradara. Ia pun mengikuti jejak ayahnya, namun dengan sedikit perbedaan: ia tidak mengganti namanya. Hampir saja ia menggunakan nama panggung Emilio Sheen, yang akan memudahkannya karena koneksi, tapi berdasarkan saran Martin (yang mungkin menyesal telah membuat sedih ayahnya karena ganti nama) serta perubahan zaman di mana rasisme sudah berkurang, akhirnya Emilio tetap menggunakan nama aslinya (padahal Charlie tetap pakai nama Sheen, ya... tapi mungkin juga karena nama Carlos Estevez kurang catchy dibandingkan Emilio Estevez yang berinisial double E). Untungnya tanpa membawa nama besar ayahnya dan mengandalkan kekuatannya sendiri, ia bisa mendapat peran yang cukup berarti seperti di film Tex dan The Outsiders (bareng the Brat Pack: Matt Dillon, Patrick Swayze, Tommy Howell, Rob Lowe, Tom Cruise, Ralph Macchio).
My rating: 5 of 5 stars
Ada masanya aku menjadi penggemar aktor-aktor dari keluarga ini. Baik itu sang ayah, Martin Sheen alias Ramon Estevez, maupun anak-anaknya, Emilio Estevez dan Charlie Sheen. Di luar talenta akting mereka yang memang first class, alasan utama yang jelas sangat bias adalah... anggota keluarga Hispanik ini memang ganteng-ganteng semua. Setelah melihat foto hitam putih lama dari Fransisco Estevez, ayah Martin Sheen, yang keren habis, ini mah jelas faktor keturunan :D
Apa perlu bukti?
Fransisco Estevez |
Ramon Estevez aka Martin Sheen |
Emilio Estevez |
Carlos Estevez aka Charlie Sheen |
It runs in the family! Cowok Spanyol memang calon suami idaman. Ganteng-ganteng dan pulang cepat. #KenapaJugaNyerempetWorldCup2014 ;P
Karenanya, waktu menemukan buku ini, meskipun cuma buku seken, aku jelas kepingin punya.
Biografi tandem ini disusun dari dua sudut pandang, ayah-anak Martin Sheen dan Emilio Estevez, dan berdasarkan timeline yang sama, sehingga dari satu peristiwa atau dari satu episode yang sama kita dapat menyelami perasaan dan jalan pikiran keduanya. Setiap interaksi, baik dan buruknya, dapat dilihat dari dua sisi yang sangat berbeda.
Sebagai aktor yang menikah dan memiliki anak dalam usia muda, Ramon Estevez bekerja serabutan demi menafkahi keluarga. Tapi nama Spanyolnya membuatnya kesulitan mencari kerja, sehingga ia mengganti nama panggungnya menjadi Martin Sheen. Sepertinya sih tidak pakai bubur merah bubur putih, tapi punya nama baru rupanya keputusan yang tepat pada saat itu, meskipun membuat ayahnya sedih.
Emilio sendiri seharusnya dinamai Emilio Diogenes Estevez, tapi karena Martin tidak bisa mengeja nama tengah yang berasal dari ikonoklas Yunani itu, jadilah nama di akte kelahirannya malah berubah menjadi Emilio Dominic Estevez :) Biografi Emilio sendiri dimulai setelah ia berumur lima tahun, dengan kisah bagaimana ia di-bully dan dipalak anak-anak lain yang lebih besar. Tinggal di daerah kontrakan yang padat penduduk memang tidak nyaman. Baru setelah ia beranjak remaja, ayahnya bisa membeli rumah di lingkungan yang lebih baik. Beberapa anak tetangga mereka bahkan kelak menjadi terkenal sebagai aktor pula, seperti Sean dan Chris Penn, Rob dan Chad Lowe, sampai Robert Downey Jr.
Salah satu keuntungan jadi anak dari seorang aktor sayang keluarga macam Martin Sheen adalah seluruh keluarganya seringkali diboyong ke lokasi syuting. Jadilah Emilio ikut ke Meksiko saat ayahnya syuting film Catch-22, atau ke Roma waktu syuting The Cassandra Crossing, bahkan ke Filipina buat syuting Apocalypse Now.
Ada kejadian lucu waktu Martin ditawari peran di Apocalyse Now. Karena Martin sedang merampungkan film di Roma, produsernya meminta ia terbang ke lounge Philippines Airlines di LAX untuk bertemu Francis Ford Coppola yang akan bertolak ke Filipina. Buset, dah repot amat mau meeting sebentar doang. Tapi tahun 1970-an memang belum ada Skype atau teleconference, sih. Sekalian pulang, ia dititipi koper berisi baju anak-anak oleh istrinya. Tapi gara-gara dicurigai membawa "baju selundupan dari Eropa", ia malah ditahan dan diinterogasi lama di bea cukai LAX... sampai ia harus menunjukkan semuanya baju bekas pakai bahkan ada yang bolong-bolong segala. Buntutnya ia cuma sempat ketemu lima belas menit dengan sang sutradara.
Ternyata Martin Sheen mendadak harus menggantikan Harvey Keitel memerankan Kapten Willard di Apocalypse Now. Rencana syuting enam belas minggu, tapi kenyataannya molor jadi berbulan-bulan, bahkan sampai setahun harus tinggal di lokasi syuting di hutan Filipina.
Meski banyak adegan di atas perahu, Martin Sheen tidak bisa berenang |
Seperti biasa, keluarganya juga diboyong ke Filipina, mumpung bertepatan dengan libur sekolah. Hanya saja, Emilio minta ayahnya berjanji kalau ia bisa pulang pas sekolah dimulai. Ketika janji itu tak bisa ditepati karena jadwal syuting yang molor, terjadilah pertikaian besar antara ayah yang masih ingin mengatur anaknya dengan remaja yang mulai memberontak dari kungkungan orang tua. Pada akhirnya, Emilio diizinkan pulang sendiri ke Amerika supaya bisa sekolah. Duh, dasar murid teladan.
Bukan berarti Emilio tidak bersenang-senang di lokasi syuting. Ia bertemu dan berteman dengan aktor-aktor di sana, baik yang seumuran ayahnya maupun yang masih remaja. Hah, ternyata Laurence Fishburne yang main di film itu masih berusia lima belas tahun, cuma setahun lebih tua dari Emilio. Bersama putra Coppola, Gio, ia juga menjadi figuran. Berlatih menjadi tentara berhari-hari, mendapat sepotong dialog kecil, meskipun ternyata adegannya kena gunting edit.
Di masa sekolah, Emilio juga aktif di eskul drama. Meskipun ia siswa grade A dan atlet andalan, tapi cita-citanya sudah jelas di luar harapan guru-gurunya: menjadi aktor dan sutradara. Ia pun mengikuti jejak ayahnya, namun dengan sedikit perbedaan: ia tidak mengganti namanya. Hampir saja ia menggunakan nama panggung Emilio Sheen, yang akan memudahkannya karena koneksi, tapi berdasarkan saran Martin (yang mungkin menyesal telah membuat sedih ayahnya karena ganti nama) serta perubahan zaman di mana rasisme sudah berkurang, akhirnya Emilio tetap menggunakan nama aslinya (padahal Charlie tetap pakai nama Sheen, ya... tapi mungkin juga karena nama Carlos Estevez kurang catchy dibandingkan Emilio Estevez yang berinisial double E). Untungnya tanpa membawa nama besar ayahnya dan mengandalkan kekuatannya sendiri, ia bisa mendapat peran yang cukup berarti seperti di film Tex dan The Outsiders (bareng the Brat Pack: Matt Dillon, Patrick Swayze, Tommy Howell, Rob Lowe, Tom Cruise, Ralph Macchio).
Entah bagaimana pula, nasib membawa Emilio ke jalan hidup yang mirip dengan ayahnya. Tahu-tahu saja ia sudah punya anak di usia muda, padahal karirnya baru saja dimulai. Ia memang mendapat peran di film-film yang menjadi hit seperti The Breakfast Club dan St. Elmo's Fire, tapi kebutuhan finansial membuatnya tak bisa pilih-pilih film dan bermain dalam film-film kelas B seperti Stakeout, The Mighty Ducks, Loaded Weapon, dan lain-lain. Umm, karena aku lebih suka Emilio dibandingkan adiknya, dulu aku juga mengoleksi VCD film-film ini. Nggak jelek-jelek amat kok, terutama Mighty Ducks yang menurutku cukup asyik buat ditonton anak-anak. Sekarang kalau dipikir-pikir, film-film sukses Emilio kebanyakan ensemble ya... ditambah Young Guns dan Young Guns II.
Belakangan ini, Emilio berkarir sebagai sutradara, yang sudah dilakukannya sejak waktu masih kanak-kanak dengan anak-anak tetangga. Filmnya yang paling terkenal adalah Bobby, film semi dokumenter yang menceritakan saat-saat terakhir Robert F. Kennedy. Pada proyek terakhirnya, The Way, ia menyutradarai ayahnya sendiri. Proyek itulah yang mencetuskan ide buku biografi bersama ayah-anak ini.
Relieving our relationship in its entirety for this book wasn't always easy. It required painful, honest gazes backward, whereas I prefer to always look forward. But it was well worth the time. My father and I learned things about each other we'd never known, and we shared stories we'd forgotten or never told before. We spent time again with the people who are no longer with us, people who meant a great deal to us over the years. Remembering them and missing them all over again has made me all the more grateful for the people who are still here. And of course, first and foremost, my dad. Ramon. Otherwise known as Martin. The Man who so many years walked ahead of me, who briefly walked a separate path, and who now walks by my side.
And you know what? Membaca biografi ini aku jadi kepingin menonton ulang film-film ayah-anak ini :))
View all my reviews
Belakangan ini, Emilio berkarir sebagai sutradara, yang sudah dilakukannya sejak waktu masih kanak-kanak dengan anak-anak tetangga. Filmnya yang paling terkenal adalah Bobby, film semi dokumenter yang menceritakan saat-saat terakhir Robert F. Kennedy. Pada proyek terakhirnya, The Way, ia menyutradarai ayahnya sendiri. Proyek itulah yang mencetuskan ide buku biografi bersama ayah-anak ini.
Relieving our relationship in its entirety for this book wasn't always easy. It required painful, honest gazes backward, whereas I prefer to always look forward. But it was well worth the time. My father and I learned things about each other we'd never known, and we shared stories we'd forgotten or never told before. We spent time again with the people who are no longer with us, people who meant a great deal to us over the years. Remembering them and missing them all over again has made me all the more grateful for the people who are still here. And of course, first and foremost, my dad. Ramon. Otherwise known as Martin. The Man who so many years walked ahead of me, who briefly walked a separate path, and who now walks by my side.
And you know what? Membaca biografi ini aku jadi kepingin menonton ulang film-film ayah-anak ini :))
View all my reviews
No comments:
Post a Comment