Review ini ditulis dalam rangka:
|
Tema Sastra Asia |
Sinopsis
Dalam pergolakan menjelang dekade abad keenam belas, Kekaisaran Jepang menggeliat dalam kekacau-balauan ketika keshogunan tercerai-berai dan panglima-panglima perang musuh berusaha merebut kemenangan. Benteng-benteng dirusak, desa-desa dijarah, ladang-ladang dibakar.
Di tengah-tengah penghancuran ini, muncul tiga orang yang bercita-cita mempersatukan bangsa. Nobunaga yang ekstrem, penuh kharisma, namun brutal. Ieyasu yang tenang, berhati-hati, bijaksana, berani di medan perang, dan dewasa. Namun kunci dari tiga serangkai ini adalah Hideyoshi, si kurus berwajah monyet yang secara tak terduga menjadi juru selamat bagi negeri porak-poranda ini. Ia lahir sebagai anak petani, menghadapu dunia tanpa bekal apapun, namun kecerdasannya berhasil mengubah pelayan yang ragu-ragu menjadi setia, saingan menjadi teman, dan musuh menjadi sekutu. Pengertiannya yang mendalam terhadap sifat dasar manusia telah membuka kunci pintu-pintu gerbang benteng, membuka pikiran orang-orang, dan memikat hati para wanita. Dari seorang pembawa sandal, ia akhirnya menjadi Taiko, penguasa mutlak Kekaisaran Jepang.
Taiko merupakan karya besar Eiji Yoshikawa, penulis bestseller internasional, yang berisi pawai sejarah dan kekerasan, pengkhianatan dan pengorbanan diri, kelembutan dan kekejaman. Sebuah epik yang menggambarkan kebangkitan feodal Jepang secara nyata.
Mengapa aku memilih novel ini
Ya jelas... aku suka banget novel sejarah ini!
Waktu pertama kali aku membeli dan membaca novel ini pada tahun 1994 (waduh, ternyata sudah 20 tahun yang lalu, ya?), wujudnya belum berupa satu jilid novel hardcover yang bisa dijadikan bantal seperti sekarang, melainkan masih terdiri dari 10 jilid, dan diterbitkan secara bersambung. Aku harus menunggu dua minggu sampai dengan satu bulan untuk bisa membaca jilid berikutnya. Benar-benar menguji kesabaran untuk mengumpulkan dan membacanya!
Karena novel ini merupakan salah satu favoritku, maka ketika novel ini turut raib dari koleksiku, aku merasa wajib untuk membelinya lagi... tapi tetap yang versi 10 jilid. Terpaksa deh beli buku seken dengan harga yang lumayan menguras dompet. Padahal sudah ada cetak ulang hardcover dengan harga lebih murah, tapi tetap saja rasanya beda. Move on itu memang susah, Jenderal!
General Review
Seperti halnya Musashi, novel ini merupakan biografi bebas Toyotomi Hideyoshi karya Eiji Yoshikawa.
Pada zaman perang saudara di Jepang, di mana para daimyo/warlord berperang untuk memperebutkan wilayah dan kekuasaan setelah keshogunan Ashikaga ambruk, muncullah tiga tokoh yang sangat berpengaruh: Oda Nobunaga, Tokugawa Ieyasu, dan Toyotomi Hideyoshi. Ketiganya sama-sama bercita-cita menguasai dan mempersatukan Jepang, namun sifat mereka berbeda secara mencolok satu sama lain. Nobunaga: gegabah, tegas, brutal. Hideyoshi: sederhana, halus, cerdik, kompleks. Ieyasu: tenang, sabar, penuh perhitungan. Falsafah-falsafah yang berlainan itu sejak dulu diabadikan oleh orang Jepang dalam sebuah sajak yang diketahui oleh setiap anak sekolah:
Bagaimana jika seekor burung tidak mau berkicau?
Nobunaga menjawab,"Bunuh burung itu!"
Hideyoshi menjawab, "Buat burung itu ingin berkicau."
Ieyasu menjawab, "Tunggu."
Buku ini merupakan kisah laki-laki yang membuat burung ingin berkicau.
Sepanjang buku ini, kita tahu bahwa dalam rangka mencapai cita-citanya mempersatukan Jepang, Nobunaga menggunakan kekerasan dan perang untuk menghabisi semua musuh-musuhnya, dimulai dari pembersihan klannya sendiri, lalu menaklukkan daimyo lain yang tak mau bersekutu dengannya. Kemenangan demi kemenangan yang terus diraihnya membuat posisinya naik dengan amat cepat.
Di balik keberhasilannya, ada seorang Hideyoshi, yang berkarir dari seorang pembawa sandal hingga menjadi jenderal kepercayaan, seorang ahli strategi yang sangat cerdas dan pandai mempengaruhi orang lain. Kadangkala, dengan keahlian diplomasinya Hideyoshi mampu menaklukkan musuh hanya dengan kata-kata. Saat Nobunaga wafat sebelum cita-citanya tercapai, hanya Hideyoshi yang pantas mengambil alih dan menyelesaikan perjuangannya mempersatukan Jepang, dan akhirnya menjadi Taiko.
Bagaimana dengan Ieyasu? Sebenarnya ambisinya sama besarnya dengan Nobunaga dan Hideyoshi, namun ia seorang safety player yang amat sangat sabar. Sadar bahwa sulit mengambil alih Jepang selama Hideyoshi masih hidup, maka ia tidak mengambil risiko dan dengan sabar menunggu. Memang tidak diceritakan dalam novel ini, tapi sejarah menunjukkan bahwa Ieyasu baru bergerak setelah Hideyoshi wafat, berperang dan menang melawan keturunan Hideyoshi, kemudian mendirikan keshogunan Tokugawa yang bertahan ratusan tahun.
Hikmah yang bisa diambil: ada 3 cara untuk menjadi penguasa. Tipe seperti apakah Anda?
Reviews
Silakan berhenti membaca kalau kau merasa review novel ini terlalu panjang. Iya, aku akan membahas setiap jilidnya. Dan iya deh, daripada review sepertinya lebih pantas dibilang ringkasan per jilidnya :))
Taiko 1 - Tahun Temmon Kelima 1536 by
Eiji Yoshikawa
My rating:
5 of 5 stars
"Sambil mengembara dan mengamati golongan pendekar--jenderal-jenderal yang baik, jenderal-jenderal yang buruk, para penguasa provinsi besar dan kecil--hamba mencapai kesimpulan bahwa tak ada yang lebih penting daripada pandai memilih majikan."
Terlalu sombongkah pemikiran seorang pemuda miskin tanpa keahlian apa-apa, di saat kebanyakan orang sudah merasa bersyukur asal punya pekerjaan sekadar untuk menyambung hidup?
Terlahir sebagai anak Kinoshita Yaemon, anak seorang mantan prajurit infanteri yang menjadi petani setelah invalid, Hiyoshi kecil tidak bermimpi menjadi seorang samurai. Tapi setelah beranjak besar dan bekerja pada majikan yang berbeda-beda, ia sampai pada kesimpulan, bahwa tak ada yang lebih penting daripada pandai memilih majikan.
Bukan masalah baik tidaknya perlakuan seorang majikan, tapi apakah sang majikan dapat membuatnya rela berbuat apa saja, bahkan menyerahkan nyawa.
Hiyoshi pernah bekerja sebagai pelayan pada saudagar tembikar, ronin dari marga Hachisuka, dan terakhir pada Matsushita Kahei, seorang pengikut marga Imagawa.
Hidup di dunia pelayan memberikan kesempatan bagi Hiyoshi untuk mempelajari sifat-sifat manusia. Dan tidak seperti pelayan lainnya yang hanya bekerja untuk makan, pikiran Hiyoshi selalu terbuka untuk mempelajari situasi dan kondisi negerinya. Sayangnya, pelayan biasa yang terlalu cerdas dan terlalu disukai majikan mudah menimbulkan banyak musuh, dan pada akhirnya Hiyoshi terpaksa kembali ke kampung halamannya di Owari.
Di sanalah Hiyoshi terpikat pada Oda Nobunaga dan literally memohon di bawah kakinya untuk mengabdi. Mengapa demikian? Ia dapat melihat karakter asli Nobunaga di balik semua topeng kepandiran yang dipasang Nobunaga untuk mengelabui musuh-musuh terdekatnya, keluarganya sendiri. Untunglah Nobunaga tertarik pada semangat dan tekadnya, dan menerimanya sebagai pengikut.
Dengan nama baru Kinoshita Tokichiro, karirnya sebagai pengikut Nobunaga mulai berkembang. Awalnya hanya sebagai pembawa sandal, namun kesigapannya dalam perang melawan pemberontakan dari pengikut Nobunaga, Shibata Katsuie dan Hayashi Mimasaka, membuatnya mendapat perhatian khusus.
Tokichiro naik pangkat sebagai petugas dapur, dan membuat perubahan signifikan di dapur benteng Kiyosu. Setahun kemudian, ia ditugaskan menjadi pengawas arang dan kayu bakar untuk efisiensi. Taktiknya melonggarkan aturan pemakaian arang dan pendekatannya dengan para saudagar pemasok membuat tugasnya berhasil dengan gemilang. Ia juga mencanangkan reboisasi, penanaman lima ribu bibit untuk setiap seribu pohon yang ditebang! Atas jasanya sebagai problem solver, ia pun mendapat tugas baru untuk mengurus kandang.
Kenaikan gaji tidak ada apa-apanya dibandingkan kata-kata Nobunaga: "Kau telah bekerja dengan baik. Orang seperti kau di tempat seperti itu adalah sia-sia." Pengikut mana yang tidak bahagia mendapat pengakuan seperti itu?
Kesimpulannya adalah: Oda Nobunaga seorang pemimpin yang sangat memahami talent management.
Taiko 2 - Tahun Koji Kedua 1556 by
Eiji Yoshikawa
My rating:
5 of 5 stars
Sebuah bait dari Seni Perang karya Sun Tzu menyebutkan:
Prinsip utama
Untuk kemenangan dalam perang
Adalah membuat prajurit
Mati bahagia
Ada dua contoh dalam jilid ini yang menunjukkan bagaimana seorang pemimpin yang baik dapat memotivasi dan mendorong orang-orang di bawah pimpinannya untuk berjuang keras sampai titik darah penghabisan dengan penuh kerelaan dan kebahagiaan.
Skala kecilnya adalah ketika Kinoshita Tokichiro mampu memotivasi para pekerja bangunan yang semula ogah-ogahan melakukan renovasi dinding benteng pertahanan Kiyosu hingga bersedia membanting tulang tiga hari tiga malam tanpa istirahat demi penyelesaiannya.
Skala besarnya adalah ketika Oda Nobunaga membawa para pengikut dan tentaranya yang hanya beberapa ratus orang melakukan perlawanan terhadap serangan pasukan Imagawa Yoshimoto dari Provinsi Suruga. Pasukan Imagawa yang berjumlah sekitar empat puluh ribu orang sama sekali tidak membuat gentar. Pada pertempuran Okehazama, kepala Imagawa Yoshimoto jatuh dan pasukannya tercerai berai. Oda Nobunaga dari Owari pun mulai diperhitungkan dalam kancah perebutan kekuasaan.
Jilid ini ditutup dengan dua hal penting:
1. Tokichiro berhasil menikahi Nene, putri samurai yang telah lama didambakannya, malah dengan bantuan saingan cintanya.
2. Tokugawa Ieyasu dari Mikawa, yang semula merupakan pengikut Imagawa, bersedia menerima tawaran Nobunaga untuk membentuk persekutuan.
Taiko 3 - Tahun Eiroku Kelima 1562 by
Eiji Yoshikawa
My rating:
5 of 5 stars
Di jilid ini ditunjukkan bagaimana cara seorang Kinoshita Tokichiro mengubah lawan menjadi kawan.
Pertama, ssat mendapat tugas untuk membangun benteng di Sunomata yang berbatasan dengan wilayah marga Saito, Tokichiro berhasil membujuk mantan majikannya, Hachisuka Koroku yang membawahi ribuan ronin. Koroku sudah lama setia pada marga Saito meskipun sudah lama putus hubungan. Dengan keahliannya beragumentasi dan visi seorang biksu yang mampu membaca wajah dan karakter seseorang, Koroku pun pindah ke lain hati.
Benteng Sunomata yang gagal dibangun oleh beberapa pengikut Oda yang lebih senior mampu dituntaskan oleh Tokichiro. Atas prestasinya itu, ia menjadi komandan benteng tersebut dan memperoleh nama baru, Kinoshita Hideyoshi.
Kedua, dalam rangka menggoyahkan marga Saito dari dalam, ia berhasil menaklukkan hati Macan dari Unuma, salah satu jenderal Saito yang tidak turun tangan menyerbunya saat membangun Benteng Sunomata. Berkat sahabat barunya itu, Tiga Serangkai alias tiga jenderal yang menopang marga Saito berhasil ditarik satu demi satu ke pihak Oda.
Ketiga, usaha tak kenal lelahnya membujuk Takenaka Hanbei, penasehat utama marga Saito. Anehnya, gaya Hideyoshi mengetuk pintu hati Hanbei persis gaya Liu Bei membujuk Zhuge Liang. Jadi penasaran, apakah bab ini benar-benar terjadi, ataukah hanya dijiplak dari Sam Kok.
Pada jilid ini juga, diceritakan bagaimana Oda Nobunaga yang kekuatannya sudah besar membantu shogun pengembara Ashikaga Yoshiaki, yang terusir dari Kyoto dan kehadirannya nyaris ditolak di manapun ia mampir, kembali ke istananya.
Di jilid ini pula, Oda Nobunaga menyerang marga Asakura di utara dengan dalih "sama sekali tidak mau membantu pembangunan ulang Istana Kekaisaran". Sayangnya, ia tidak menduga adanya bokongan dari belakang oleh iparnya sendiri, Asai Nagamasa. Untungnya ia mampu bergerak cepat dengan menarik mundur pasukannya kembali ke bentengnya di Gifu. Inilah perang mundur Kanegasaki yang terkenal itu.
Omong-omong, sepertinya kisah manga Nobunaga no Chef dimulai waktu Oda Nobunaga dan Kinoshita Hideyoshi tengah berada di Kyoto sebelum penyerangan ke Asakura.
Taiko 4 - Tahun Genki Pertama 1570 by
Eijo Yoshikawa
My rating:
5 of 5 stars
Pada episode inilah Oda Nobunaga "dinobatkan" sebagai Musuh sang Budha. Ia melakukan pengepungan dan pembakaran Gunung Hiei, wilayah khusus dengan hak-hak istimewa yang dipenuhi biksu prajurit yang menentang Oda Nobunaga, dengan dukungan Sang Shogun serta marga-marga lainnya. Dua kali ia mengepung Gunung Hiei. Pada pengepungan pertama, ia mundur untuk menangani pemberontakan di provinsi sendiri serta ancaman dari Takeda Shingen. Pada pengepungan kedua, ia membumihanguskan gunung itu.
"Serang gunung itu dan bakar semuanya sampai hangus, mulai dari tempat persembahan, gedung utama, biara-biara, serta semua naskah kuno dan barang keramat. Kalau seseorang mengenakan jubah biksu, dia tidak boleh lolos. Jangan bedakan antara orang bijak dan pandir, bangsawan dan biksu biasa. Jangan beri ampun pada perempuan dan anak-anak. Seandainya ada orang berpakaian biasa, kalau dia bersembunyi di gunung dan lari karena kebakaran, kalian boleh menganggapnya sebagai bagian dari penyakit yang harus diberantas. Bantai semuanya, dan bakar gunung itu sampai tak ada tanda kehidupan tersisa di reruntuhannya!"
Buset memang.
Sementara itu, Shingen Takeda bergerak memasuki wilayah Tokugawa Ieyasu. Tanpa menunggu bala bantuan dari Owari, Ieyasu melawan dengan kekuatan terbatas dan mengalami kekalahan besar, namun berhasil menggagalkan rencana Shingen untuk maju ke ibu kota.
Setelah itu, Nobunaga yang mendapat kabar rahasia bahwa Shingen Takeda tiada, merasa lega luar biasa dan menganggap sudah tiba saatnya untuk mengubah sejarah. Ia menyingkirkan Shogun yang tidak tahu terima kasih, menaklukkan marga Asakura dari Echizen, dan akhirnya menghancurkan Asai Nagamasa.
Untuk yang terakhir, Hideyoshi berjasa sangat besar dengan melakukan penaklukkan dari dalam. Selain itu, Hideyoshi juga berjasa menyelamatkan Oichi, adik Nobunaga yang dinikahkan secara politik dengan Nagamasa, serta anak-anaknya. Atas jasanya, ia dianugerahi bekas wilayah Asai dan mendapatkan nama baru: Hashiba Hideyoshi.
Taiko 5 - Tahun Tensho Ketiga 1575 by
Eiji Yoshikawa
My rating:
5 of 5 stars
Jilid kelima ini memotret keruntuhan Kai setelah kematian Takeda Shingen. Putranya, Takeda Katsuyori, mewarisi kemampuan bertempurnya, tapi bukan kemampuan membaca keadaan.
Hal paling menyedihkan dari runtuhnya Kai adalah kekalahan pasukannya dari teknologi yang digunakan pasukan Oda Nobunaga. Pembantaian terjadi karena untuk menghadapi pasukan bersenapan, mereka menggunakan "perisai maut", yaitu menggunakan orang barisan terdepan sebagai tameng, dengan asumsi pasukan lawan harus mengisi peluru. Padahal pasukan senapan terdiri atas tiga lapis yang menembak bergantian, sehingga hujan peluru tak berjeda.
Highlight selanjutnya adalah usaha Hideyoshi yang ditugaskan menyerbu ke Barat, untuk menaklukkan provinsi-provinsi di bawah pengaruh marga Mori, dengan didampingi Takenaka Hanbei dan Kuroda Kanbei, pengikut baru Nobunaga yang berasal dari provinsi barat.
Berkat bantuan Hanbei dan Kanbei (kenapa nama mereka berima ya? Ini pasti tidak disengaja, kan?), pasukan Hideyoshi mampu menaklukkan wilayah Harima. Namun saat ia berhasil membuat marga Ukita mau bekerja sama, sehingga Provinsi Bizen dan Mimasaka menjadi sekutu tanpa pertumpahan darah, Nobunaga menyatakan ketidaksenangan karena Hideyoshi bertindak di luar kewenangannya.
Hideyoshi menyadari bahwa Nobunaga ingin menghancurkan marga Ukita, dan membagi-bagikan wilayahnya pada pengikutnya sendiri. Untunglah akhirnya Nobunaga melunak dan bersedia menerima persekutuan dengan marga Ukita. Namun di saat yang sama, salah satu jenderalnya, Araki Murashige, malah menyeberang ke pihak Mori!
Hideyoshi mengirim Kanbei untuk menjadi penengah, tapi berakhir dengan ditangkapnya anak muda itu oleh Murashige. Dan Nobunaga pun memerintahkan agar putra Kanbei yang dijadikan sandera dan dititipkan pada adik Hanbei di Kyoto, untuk dipenggal. Err, curiga anak buah bersalah sih boleh saja, tapi cek dan ricek dulu dong, bos! Tega benar...
Perintah itu jadi masalah serius, karena meskipun pemberontakan Murashige telah dianggap "selesai", sepertinya Hideyoshi dan Hanbei belum memberi kabar tentang pelaksanaannya...
Taiko 6 - Tahun Tensho Ketujuh 1579 by
Eiji Yoshikawa
My rating:
5 of 5 stars
Hideyoshi akhirnya berhasil menyelamatkan Kanbei, dan pembiaran Hanbei atas perintah Nobunaga yang cepat curiga pun dimaafkan. Tapi Kanbei cacat karena lututnya cedera saat melarikan diri dari benteng Murashige, sedangkan kesahatan Hanbei yang selama ini kurang baik pun semakin memburuk.
Hanbei pun wafat. Tapi sebelumnya, ia memberikan amanat yang luar biasa kepada Hideyoshi:
"Setelah mengamati tuanku dengan saksama, hamba tak dapat menemukan ambisi untuk menjadi penguasa seluruh negeri. Sampai sekarang, ini suatu kelebihan dan sebagian dari watak tuanku. Sesungguhnya, tak patut hamba menyinggungnya, tetapi ketika tuanku menjadi pembawa sandal Yang Mulia Nobunaga, tuanku melaksanakan tugas itu dengan segenap hati. Setelah mencapai kedudukan samurai, tuanku mengerahkan seluruh kemampuan untuk menjalankan tugas-tugas samurai. Tak sekalipun tuanku menoleh ke atas dan berusaha mencapai kedudukan yang lebih tinggi lagi. Yang hamba khawatirkan sekarang--sesuai dengan sifat tuanku ini--tuanku akan menyelesaikan tugas tuanku di provinsi-provinsi Barat, atau melaksanakan tugas yang diembankan Yang Mulia Nobunaga, atau menundukkan benteng Miki tanpa memperhatikan perkembangan dunia maupun mencari jalan untuk menonjolkan diri."
"Tetapi, kemampuan yang dibutuhkan seseorang untuk memegang kendali di zaman seperti ini merupakan anugerah para dewa. Para panglima perang saling bersaing memperebutkan kekuasaan, masing-masing mengaku bahwa hanya dia sendiri yang sanggup membawa fajar baru ke dunia yang dilanda kekacauan, dan menyelamatkan rakyat dari kesusahan. Tetapi Kenshin, yang begitu hebat, telah menemui ajal; Shingen dari Kai telah tiada; Motonari dari provinsi-provinsi Barat meninggalkan dunia dengan pesan agar penerusnya melindungi warisan mereka dengan mengenali kemampuan mereka; dan di samping itu, baik marga asakura maupun marga Asai telah tertimpa bencana akibat kesalahan sendiri. Siapa yang akan membaca pemecahan untuk masalah ini? Siapa yang memiliki kemampuan membentuk budaya baru untuk era berikut, dan diterima oleh rakyat? Orang seperti itu lebih sedikit dari jari sebelah tangan."
"Hamba maklum, tuanku tentu bingung mendengar ucapan hamba, sebab kini tuanku mengabdi pada Yang Mulia Nobunaga. Hamba memahami perasaan tuanku. Tuanku dan Yang Mulia Ieyasu tidak mempunyai semangat yang diperlukan untuk mendobrak situasi saat ini, maupun keyakinan untuk mengatasi segala persoalan yang timbul sampai sekarang. Siapa, selain Yang Mulia Nobunaga, yang sanggup memimpin negeri sejauh ini melalui kekacauan zaman? Tetapi ini tidak berarti bahwa dunia telah diperbaharui melalui sepak terjang beliau. Hanya dengan menundukkan provinsi-provinsi Barat, menyerang Kyushu, dan berdamai dengan Shikoku, bangsa ini belum tentu memperoleh kedamaian, keempat golongan rakyat belum tentu hidup berdampingan secara harmonis, budaya baru belum tentu terbentuk, dan landasan untuk kesejahteraaan generasi-generasi berikut pun belum tentu terwujud."
Well said.
Omong-omong tentang calon pemimpin di masa depan, sepertinya pada pilpres Indonesia tahun ini, ada sih capres yang roman muka dan karakternya rada mirip dengan Hideyoshi yang digambarkan Eiji Yoshikawa. Apakah takdirnya juga akan mirip, mencapai tampuk kekuasaan tertinggi dan membawa bangsanya pada masa keemasan? Tapi, ada tapinya nih, apakah setelah masanya berakhir, saingan politik terberatnya akan menghancurkan keluarga dan semua pengikutnya, lantas mendirikan dinasti yang akan berkuasa ratusan tahun?
Siapa ya kira-kira politisi di Indonesia yang karakternya mirip Tokugawa Ieyasu, sabar memendam ambisi yang menyala-nyala, demi merebut kekuasaan di tikungan terakhir lantas berkuasa tujuh turunan?
Taiko 7 - Tahun Tensho Kesepuluh 1582 by
Eiji Yoshikawa
My rating:
5 of 5 stars
Berhati-hatilah menangani anak buah, karena bila anak buah merasa tidak dihargai bahkan dipermalukan di depan umum, dapat menjadi bumerang.
Entah bagaimana, belakangan ini penilaian dan perlakuan Oda Nobunaga terhadap Akechi Mitsuhide sangat berubah. Ia memanggil Mitsuhide dengan "Kepala Jeruk" (karena kepalanya botak). Tapi itu tak seberapa, toh Hideyoshi pun tetap dipanggil "Monyet" meskipun sudah jadi jenderal. Mitsuhide juga dilewatkan dalam pemberian penghargaan dalam penaklukkan daerah. Ia juga dicopot dari tugasnya menyiapkan jamuan agung, dan ditugaskan pergi lebih dulu membantu Hideyoshi pada perang di provinsi Barat. Dan ia harus menunggu perintah dari Hideyoshi! Ia merasa terhina karena ditempatkan lebih rendah dari Hideyoshi!
Maka ia pun mengambil keputusan untuk menyingkirkan Nobunaga, ketika diketahuinya sang junjungan berangkat ke Kuil Honno di Kyoto hanya dengan ditemani segelintir pengikut.
Ketika mengetahui bahwa Akechi Mitsuhide mengkhianatinya, satu-satunya hal yang dipikirkan Nobunaga sebelum melakukan seppuku dalam kuil Honno yang terbakar api, adalah cita-citanya mempersatukan Jepang yang belum selesai.
Itu pula kesedihan yang dirasakan Hideyoshi ketika mengetahui Oda Nobunaga telah gugur, betapa besar penyesalan junjungannya karena harus mati di saat karya besarnya baru rampung setengahnya.
Di sanalah ia mengambil keputusan untuk meneruskan cita-cita Nobunaga. Namun pertama-tama, ia harus segera membereskan sang pengkhianat.
Pada bagian awal buku, di mana Hideyoshi menyerang Benteng Takamatsu dengan serangan air dengan membelokkan aliran beberapa sungai hingga benteng dan daerah sekitarnya kebanjiran, aku jadi bertanya-tanya apakah nenek moyang kita pernah ada yang berpikir untuk melakukan hal yang sama waktu menyerang Batavia.
Taiko 8 - Tahun Tensho Kesepuluh 1582, Musim Panas by
Eiji Yoshikawa
My rating:
5 of 5 stars
Setelah mengetahui kabar kematian junjungannya, Hideyoshi bergerak cepat. Dengan lihai, ia berhasil mengakhiri perang di provinsi Barat lewat membuat perjanjian damai dengan marga Mori yang belum tahu tentang berita itu. Lalu, ia segera mengarahkan pasukannya ke Kyoto untuk menumpas marga Akechi Mitsuhide. Dalam sebelas hari ia berhasil menyelesaikan kewajibannya.
Di sisi lain, pengikut senior Nobunaga lainnya, Shibata Katsuie terlambat datang dari wilayah utara dan masih dalam perjalanan ketika Hideyoshi sudah membereskan musuh bersama. Hal ini membuat pamornya jtuh di bawah jasa Hideyoshi yang gemilang.
Ujian berikutnya bagi Hideyoshi adalah perpecahan di kalangan para bekas pengikut Nobunaga yang berpotensi menghancurkan apa yang telah dicapai mendiang junjungannya. Putra sulung Nobunaga, Nobutada tewas bersama ayahnya di Kuil Honno, tapi ia meninggalkan putranya yang masih balita, Samboshi. Namun masih ada dua putra Nobunaga lain yang juga berambisi menggantikan kedudukan sang ayah sebagai pemimpin marga Oda.
Pada pertemuan di antara mantan bawahan Nobunaga, Shibata Katsuie terang-terangan mengusulkan Nobutaka, putra ketiga, sebagai pewaris, jelas-jelas melewatkan Nobuo, sang putra kedua. Satu-satunya orang yang berani menentangnya adalah Hideyoshi, yang mengusulkan Samboshi, yang merupakan keturunan garis pertama, sesuai hukum marga Oda. Perang kata-kata berlangsung sengit, tapi karena alasan Katsuie tidak cukup kuat, akhirnya usulan Hideyoshi yang diterima. Pada pembagian wilayah bekas marga Akechi pun, lagi-lagi usulan Hideyoshi yang akhirnya diterima.
Kekalahan berturut-turut membuat Katsuie semakin panas. Ia berkomplot untuk membunuh Hideyoshi pada acara jamuan makan untuk Yang Mulia Samboshi di Benteng Kiyosu. Tapi Hideyoshi berhasil lolos dari jeratannya dengan pulang ke bentengnya sendiri dengan alasan sakit. Hm... jurus pura-pura sakit begini rupanya bukan cuma keahlian para tersangka koruptor di Indonesia ya...
Taiko 9 - Tahun Tensho Kesepuluh 1582, Musim Dingin by
Eiji Yoshikawa
My rating:
5 of 5 stars
Clash of clans: Hideyoshi vs Katsuie (dan Nobutaka)
Katsuie berencana menyerang Hideyoshi dengan dukungan Nobutaka. Tapi sementara ia terjebak di bentengnya sendiri karena musim dingin di Echizen, Hideyoshi mendahului rencananya dengan menyerang Nobutaka lebih dulu, dengan alasan menyekap Samboshi di bentengnya sendiri, sehingga dapat dipandang sebagai penyanderaan terhadap ahli waris Oda yang sah. Tanpa bantuan dari Katsuie yang terlalu jauh, Nobutaka dan para pengikutnya menyerah, sedangkan perwalian Samboshi dialihkan pada Nobuo.
Perang antara kubu Hideyoshi dan Katsuie tak bisa dicegah lagi, tapi pengikut lama Oda yang bergabung dengan Hideyoshi lebih banyak dibandingkan yang bergabung dengan Katsuie, sehingga kekuatan mereka cukup timpang. Rencana Katsuie sendiri berantakan ketika pasukan keponakan tersayangnya, Sakuma Genba, yang menyusup ke wilayah musuh berhasil ditumpas, sedangkan pasukannya sendiri tercerai berai karena sebagian besar kabur dari medan perang. Katsuie kembali ke bentengnya, dan berakhir dengan melakukan seppuku dan tubuhnya terbakar habis dalam menara benteng.
Dengan kehancuran marga Shibata, Nobutaka pun kehilangan pegangan. Nobuo mengerahkan pasukan dan mengepung bentengnya, dan menganjurkan saudaranya pergi ke Owari. Salah satu pembantu Nobuo mendatangi Nobutaka dengan membawa perintah untuk melakukan seppuku.
Hideyoshi berhasil menyatukan kembali hampir seluruh wilayah Nobunaga.
Taiko 10 - Tahun Tensho Kesebelas 1583 by
Eiji Yoshikawa
My rating:
5 of 5 stars
Clash of clans: Hideyoshi vs Ieyasu (dan Nobuo)
Bukan hanya wilayah, namun kebesaran nama Nobunaga telah beralih kepada Hideyoshi sebagai penerusnya. Selain mengurusi pemerintahan di Kyoto, ia juga mewujudkan proyek raksasa: pembangunan benteng Osaka, yang kelak menjadi salah satu warisan budaya Jepang dan dunia.
Di antara kesibukan sampingannya itu, Hideyoshi masih mewaspadai Tokugawa Ieyasu, yang sikapnya tidak jelas setelah kematian Nobunaga. Ia meyakini bahwa orang yang paling menonjol di zaman itu, selain Nobunaga, adalah Ieyasu. Dan bentrokan di antara mereka berdua hampir tak terelakkan.
Penyulut api perang adalah Nobuo, putra Nobunaga yang merasa seharusnya setelah mewujudkan perdamaian, Hideyoshi menyerahkan seluruh kekuasaannya kepada pewaris bekas junjungannya. Tapi karena Samboshi masih terlalu kecil, sewajarnya kedudukan itu jatuh kepadanya. Karena mantan pengikut ayahnya berdiri di pihak Hideyoshi, ia pun meminta bantuan Ieyasu, mantan sekutu ayahnya.
Pucuk dicinta ulam tiba. Dengan dalih bahwa Hideyoshi menyebabkan Nobutaka melakukan bunuh diri dan memberontak terhadap Nobuo, Ieyasu memiliki alasan yang cukup kuat untuk mengangkat senjata terhadap Hideyoshi. Tapi sesungguhnya, siapapun yang menang nanti takkan mengubah nasib Nobuo. Ia hanya bidak atau boneka Ieyasu yang memiliki tujuan yang sama sekali berbeda dalam perang dengan Hideyoshi ini.
Perang pun tak dapat dihindari, dan korban pun berjatuhan dari kedua pihak, termasuk jenderal-jenderal veteran Hideyoshi.
Namun Hideyoshi tidak hanya ahli bertempur di medan perang, tapi juga ahli dalam siasat dan watak manusia. Dalam rangka menghindari perang dan korban yang lebih besar, cara yang ampuh adalah menangani sumber apinya. Ia menarik Nobuo ke pihaknya, dan berhasil membuat perjanjian damai di luar sepengetahuan Ieyasu. Dengan Nobuo berada di pihak Hideyoshi, Ieyasu tak punya lagi alasan untuk memerangi Hideyoshi. Ia terpaksa menelan pil pahit, dan mundur ke daerahnya sendiri.
Satu setengah tahun setelah Nobunaga wafat, kedudukan, popularitas, serta misi yang semula menjadi milik Nobunaga dengan cepat beralih kepada Hideyoshi. Ieyasu terpaksa mengakui kebodohannya karena telah melawan arus zaman. Meski tak terkalahkan di medan perang, ia pun menyerahkan kemenangan politik kepada Hideyoshi.
Dari seorang pembawa sandal, Hideyoshi akhirnya menjadi Taiko, penguasa mutlak Kekaisaran Jepang.
View all my reviews