Thursday, March 27, 2014

The Measure of a Man

The Measure of a Man: A Spiritual Autobiography The Measure of a Man: A Spiritual Autobiography by Sidney Poitier
My rating: 3 of 5 stars

Aku memperoleh buku ini secara tidak sengaja pada hari pertama event Festival Pembaca Indonesia 2013. Kebetulan, di lokasi yang akan digunakan "Cakrawala Gelinjang" alias Spank Club pada hari kedua, ada yang menjual buku impor bekas untuk sumbangan. Namanya juga asal nemu, buku ini termasuk yang kubeli dengan alasan yang biasa kupakai kalau belanja buku tanpa rencana: "sepertinya menarik". Sama sekali bukan karena ada stiker "Oprah's Book Club" di covernya, bukan pula gara-gara ingat daftar posting bareng BBI tahun 2014.

Lantas, apa yang menarik dari seorang Sidney Poitier?

Sidney Poitier adalah aktor kulit hitam pertama yang sukses memenangkan Piala Oscar untuk kategori Aktor Terbaik pada tahun 1963, atas perannya dalam film Lilies of the Field. Padahal waktu itu rasisme masih mengakar kuat di Amerika.
Menyusul film Oscarnya itu, di tahun 1968 yang penuh konflik dan gejolak (Martin Luther King dan Robert F. Kennedy tewas terbunuh), Sidney Poitier malah mencapai puncak karena tiga filmnya sekaligus bertengger di puncak box office (padahal isu ras dalam film-film itu kental, lho!) :
Great Teacher Onizuka Thackeray
Kamu polisi? Yang beneeer? Penjahat, kali?
Apa? Calon menantuku ternyata...?

Mengenai status kebintangan Sidney Poitier di masa itu, di mana ia juga disukai masyarakat kulit putih, terdapat pro kontra tersendiri di kalangan masyarakat kulit hitam. Yang pernah menonton film The Butler (2013) mungkin teringat adegan di mana sang butler dan istrinya digambarkan sangat memuja Sidney Poitier, sementara putra mereka yang tengah memperjuangkan persamaan hak malah bersikap sebaliknya. Hal ini dibahas khusus dalam Bab 6 buku ini, yang berjudul Why Do White Folks Love Sidney Poitier So?

Bagi sebagian kalangan garis keras (seperti Black Panther), Sidney Poitier dianggap seperti "Uncle Tom" atau "house negro", karena memainkan peran yang tidak mengancam bagi penonton kulit putih, karena memainkan "noble negro" yang memenuhi fantasi liberal kaum kulit putih. Sidney Poitier memerankan tokoh teladan, seperti insinyur muda yang menjadi guru sekolah di To Sir, With Love; atau detektif pembunuhan Philadelphia di In The Heat of The Night; atau dokter muda yang berpacaran dengan putri Spencer Tracy dan Katherine Hepburn di Guess Who's Coming to Dinner?. Semua perannya memang menampilkan pria cerdas, berpendidikan tinggi, dan gentleman sejati.

Pertanyaan yang timbul adalah, apa pesan yang ingin disampaikan film-film itu? Bahwa orang kulit hitam akan diterima oleh masyarakat kulit putih hanya jika mereka berprestasi tinggi? Bahwa orang kulit hitam harus berpura-pura menjadi orang lain? Atau bahwa masyarakat kulit hitam memang memiliki orang-orang cerdas, berpendidikan, dan berprestasi, sehingga masyarakat kulit putih harus mengakui kenyataan itu?

Buku ini diawali dengan kisah Sidney Poitier tentang masa kecilnya di Cat Island, sebuah pulau kecil di Kepulauan Bahama, sebelum keluarganya pindah ke Nassau. Di ibukota itulah ia pertama kali merasakan adanya perbedaan ras, dan adanya perbedaan kelas untuk masing-masing ras itu sendiri. Dan perbedaan itu makin terasa ketika ia merantau ke Miami. Namun diskriminasi yang dialaminya membuatnya terdorong untuk menjadi lebih baik dari orang lain, terlepas dari masalah warna kulit dan ras.

Dari Miami, Sidney pindah ke New York. Tapi butuh dua tahun sebelum ia tidak sengaja berkenalan dengan American Negro Theatre. Dan di audisi pertamanya, ia gagal total, gara-gara hampir tidak bisa membaca dan aksen Bahamanya yang kental. Kegagalannya membuat ia berusaha keras untuk belajar membaca dan melatih aksennya, sehingga akhirnya ia bisa bergabung dengan teater, meskipun awalnya sebagai tukang bersih-bersih. Berkat beberapa kebetulan (menggantikan pemeran utama yang tak bisa datang, akting buruk yang dipuji karena dianggap komedi segar, dll), Sidney terlibat panggung teater di dan di luar Broadway, sebelum akhirnya mendapat peran untuk film pertamanya, No Way Out (1950).

Karena aktor bukan pekerjaan mapan, Sidney bermain teater sambil tetap kerja serabutan, namun ia mulai mendapatkan beberapa peran yang bagus, bahkan pada tahun 1958 ia mulai mendapatkan nominasi aktor terbaik dari Golden Globe dan Academy Award untuk perannya sebagai Noah Cullen (yang pasti bukan sebagai vampir) di film Defiant Ones. Karirnya terus menanjak sampai masa keemasannya di tahun 60-an.

Buku ini tidak hanya berkisah tentang perjalanan karir Sidney Poitier sebagai aktor, namun kehidupannya secara keseluruhan. Dari masa kecil yang sederhana di pulau terpencil, kegagalannya bersekolah, kegagalannya sebagai tentara (mungkin karena niatnya cuma supaya dapat tempat tidur dan makanan secara teratur?), kegagalannya sebagai aktor, kegagalannya sebagai... Ya, buku ini bercerita tentang banyak kegagalan. Tapi dengan adanya bermacam kegagalan itu, ada banyak pelajaran yang bisa dipetik, dan usaha yang dikerahkan untuk memperbaiki diri. Bahkan di saat sukses pun, Sidney tetap berusaha memperbaiki diri.
Now that I'm older, with fewer axes to grind, I suspect that certain roadways that seemed to lead nowhere weren’t the dead-ends I saw, but simply roads marked with warning flares saying that some personal failure was destined to occur. On the other hand, I can’t help wondering whether, had I persevered, some of those roadways might have been the very paths I should have traveled most. Maybe along those untraveled pathways I would have found important lessons waiting to be learned.


View all my reviews

12 comments:

  1. Jadul amat ya mbak itu covernya? jadi ini gagal melulu apa ngak nyesek mbak? #eh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lho, kan banyak yang suksesnya juga, jadi aktor top kulit hitam di zaman 60-an?
      Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda #apasih

      Delete
  2. mbak indaaahhh... gara2 baca review ini aku jadi pengen tahu lebih lanjut siapa itu sidney pottier.. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sip. Dia dapat Lifetime Achievement Award juga dari Academy Award, lho.

      Delete
  3. Aku ingat banget waktu Oprah mengadakan perhelatan khusus untuk menghormati Sidney Portier, tokoh-tokoh khusus terpilih untuk menerima undangan jamuan malam bersama beliau dan Oprah, dari kalangan selibriti, tokoh politik hingga fans yang mengalami perubahan dlm hidupnya setelah membaca buku ini, asyik banget ... dan Sidney Portier memang mendapat jenius dalam aktingnya sehingga kaum kulit putih mengakui kelebihan kemampuannya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Harus kuakui kalo aku... hampir nggak pernah nonton shownya Oprah @.@

      Delete
  4. Menarik. Memang sampe sekarang yg namanya rasisme sulit diberantas habis, pemikiran itu masih ada. Dan ternyata mereka yg 'menerima' orang kulit hitam belum tentu juga tidak rasis

    ReplyDelete
    Replies
    1. Rasisme terselubung gitu ya?
      Piala Oscar yang diberikan pada aktor/aktris kulit hitam kadang dipertanyakan juga kalau ada isu rasisme terbalik.

      Delete
  5. Buku ini pas banget jadi pilihan Oprah, karena melambangkan salah satu kesuksesan orang kulit hitam di dunia Amrik yang dominan kulit putih :) btw jadi inget pas Sydney Poitier kemaren dateng di acara Oscar :) Udah tuwir...dulu aku nonton yg to sir with love itu dia masih muda buanget XD

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waktu mudanya Sidney Poitier juga ganteng kok... denzelnya waktu itu kali ya...

      Delete
  6. iya, mirip Denzel Washingtooon xD #apasih

    btw, resensinya keren ih *lovelovelove

    ReplyDelete
  7. Belum pernah nonton filmnya Sidney Poitier...jd pengen nonton...

    ReplyDelete