Thursday, February 27, 2014

Jaka Galing

Jaka GalingJaka Galing by Asmaraman S. Kho Ping Hoo
My rating: 2 of 5 stars

Kalau bicara tentang cerita silat (cersil) made in Indonesia, buat mereka yang segenerasi denganku, pasti teringat Asmaraman S. Kho Ping Hoo (KPH). Tapi kalau bicara tentang cersil di Indonesia, bisa jadi ingatnya malah SH Mintardja dengan Api di Bukit Menoreh atau Nagasasra Sabukinten-nya, Arswendo Atmowiloto dengan Senopati Pamungkas-nya, atau malah Bastian Tito dengan Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 (Dari dulu angka 212 ini bikin penasaran, karena sepertinya setting Wiro Sableng sebelum angka model begini masuk ke Indonesia). Padahal, selain menuliskan puluhan judul cersil yang bersetting di Tiongkok, KPH juga menuliskan banyak cersil dengan setting di Jawa, lho!

Karena itulah, demi memperkenalkan sisi lain karya KPH dan sekalian bernostalgia, aku sengaja membaca salah satu cersil beliau yang bersetting di Jawa untuk posting bareng BBI dengan tema historical fiction Indonesia.

Apakah cersil memenuhi syarat untuk dianggap historical fiction?

Menurut Mbah Wiki, historical fiction is a literary genre that takes place in the past. Dan berhubung cersil yang kubaca ini bersetting pada zaman Majapahit di bawah kekuasaan Prabu Brawijaya, maka kuanggap memenuhi syarat untuk dianggap historical fiction, meskipun tidak ada peristiwa bersejarah sama sekali di dalamnya.

Mengapa memilih cersil Jaka Galing?

Kebetulan cersil 4 jilid ini diberikan secara gratis oleh toko buku bekas langganan di Plaza Semanggi sebagai bonus setelah membeli ulang satu set cersil Sia Tiauw Eng Hiong dan satu set manga Akemi Yoshimura. Aku sih maunya dikasih cersil KPH yang berjudul Sejengkal Tanah Sepercik Darah yang 23 jilid, tapi orangnya cuma rela melepas gratis cersil yang serinya sedikit (ya iyalah...). Sebenarnya ada beberapa judul cersil pendek yang bisa kupilih, Bajak Laut Kertapati misalnya. Namun akhirnya kupilih Jaka Galing karena sepertinya match dengan rambutku yang Juga Galing.

Apakah tokoh utamanya benar-benar galing?

Ilustrasi sampulnya sih menunjukkan sedikit bukti bahwa rambut tokoh utamanya lumayan galing, meskipun pada ilustrasi dalam buku tokohnya mengenakan blangkon sehingga rambutnya tidak kelihatan. Tapi... kenapa juga sih terus membahas galing apa tidaknya? Lebih baik membahas ceritanya saja yuk.

Tersebutlah sebuah kadipaten di bawah kekuasaan Majapahit yang bernama Tandes, yang dipimpin seorang adipati bernama Gendrosakti. Sang adipati suatu malam bermimpi melihat api kecil menyala di dalam rumahnya, dan lama-lama api itu membesar hingga rumahnya menjadi lautan api dan terbakar habis. Seperti halnya dalam cerita Nabi Sulaiman, ia pun meminta bantuan orang pintar untuk mengartikan mimpinya. Tapi meskipun dapat menebak maknanya, tidak ada satupun cendekiawan yang berani berterus terang kepada sang adipati, sehingga akhirnya dipanggillah Panembahan Ciptaning yang terkenal sakti dan bijaksana.

Berbeda dengan cendekiawan lain yang main aman, Panembahan Ciptaning langsung menyatakan bahwa api kecil di rumah itu adalah siluman yang berwujud manusia yang akan mendatangkan bencana dan kehancuran pada sang adipati. Tanpa tedeng aling-aling lagi ia pun menyebutkan bahwa selir jelita kesayangan sang Adipati bernama Sariti-lah api yang dimaksud. Percayakah sang Adipati? Tentu tidak. Ujung-ujungnya ia malah membunuh sang panembahan.

Cerita akan berhenti sampai di sini, kalau saja sang panembahan tidak punya anak. Eh, cucu yang diaku sebagai anak, ding. Sang cucu yang bernama Jaka Galing itu pun bersumpah akan membalas dendam.
Belakangan ia dibantu banyak penduduk yang menderita di bawah kekuasaan Adipati Gendrosakti yang sewenang-wenang dalam pengaruh buruk selirnya. Ceritanya pun berkembang menjadi semacam cerita Robin Hood, karena Jaka Galing dan merry-men-nya bermarkas di hutan dan meneror sang adipati.

Meskipun ceritanya pendek dan sederhana, cukup banyak bumbu sinetron bertebaran di sini. Selain tema balas dendam, ada rencana pembunuhan istri tua adipati, ada perselingkuhan antara si selir dengan tamu negara, ada kisah cinta segitiga, bahkan sampai cerita anak raja yang baru pertama kali bertemu bapaknya.

Begitu saja? Nggak ada kesan lain?

Pasti ada lah. Yang lebih banyak membuat nostalgia malah gaya bahasa KPH yang jadul banget. Waktu aku membaca cersil KPH di masa SD sampai SMA saja sudah terasa lebay, apalagi sekarang, ya? Pembaca zaman sekarang bisa jadi gatal-gatal dibuatnya.

Contohnya dalam kalimat-kalimat seperti ini:
"Alangkah hebat pemuda itu!"
atau
"Duhai Eyang Panembahan yang tercinta..."
atau di kala memuji kecantikan seorang dara
"Bibirnya manis benar, coba kauperhatikan. Seperti potongan gendewa Sang Arjuna, lengkung lekuknya demikian sempurna, tipis-tipis penuh dan halus kemerah-merahan, senyumnya  melebihi madu manisnya, dan giginya bagaikan mutiara berderet. Dan... kau pernah melihat lesung pipit di sebelah kiri mulutnya? Aduh, memang manis benar mulut itu!"

Wadaw banget nggak sih. Belum lagi wejangan-wejangan yang cukup makan tempat di sana-sini. Eh, justru itu kelebihan cersil KPH, ya, tetap ada pesan moral untuk membimbing pembaca ke jalan yang benar meskipun yang dibaca cersil dan bukan buku filsafat apalagi buku agama.

Selain cersil ini, sebenarnya aku juga dapat cersil gratisan lain yang berjudul Rondo Kuning. Entah rondo muda atau rondo tua, dan entah apanya yang kuning. Mungkin giginya. Tapi aku tidak sepenasaran itu untuk segera membacanya. Mungkin aku perlu waktu sebelum mulai membaca cersil KPH lainnya.

Sebagai bonus, kutambahkan quote KPH dari cersil Jaka Galing ini, yang sepertinya relevan dengan kondisi politik Indonesia yang carut-marut:

Memang demikian sifat orang yang telah lupa. Yang bodoh memaki orang lain goblok, yang edan memaki orang lain gila.




View all my reviews

11 comments:

  1. ahahahahaa aduh aku jadi cekikikan sendiri baca reviewnya. xD bener bangett kak, aku baca buku silat juga gatel-gatel gara-gara bahasanya ituloh, sesuatu bangeeet..

    trus.. apa aku aja atau emang orang-orang lain juga merasa, tapi kok kalo baca buku silat .. agak kebayang adegan-adegan ecek-ecek ala naga terbang di stasiun tipi yang satu itu ya? xD xD

    ReplyDelete
    Replies
    1. Cocok ya sebagai bacaan kalau lagi cari bahan celaan, eh, hiburan :P

      Delete
    2. LOL banget deh mbaaaa XD terutama yang adegan bibir hihihi...kayaknya aku cukup baca reviewnya mba threzz aja dehhhh XD

      Delete
    3. Waah, padahal kalau mbak astrid mau, aku siap menghibahkan kok :)

      Delete
  2. Pertama kalinya baca review Mbak Indah yang jumlah bacaannya fenomenal itu, dan langsung suka.. :D
    Aku tahu KPH dari seorang guru yang hobi banget baca buku ini via e-book, sama beliau di print satu-satu, trus katanya buku-buku KPH mengingatkan beliau jaman muda x)

    @lucktygs
    http://luckty.wordpress.com/2014/02/27/review-the-jacatra-secret/

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih, mbak...

      Iya, baca KPH jadi ingat waktu mud... ehm, sekarang juga masih muda kok :D

      Delete
  3. Wah aku lebih jadul dr threez dulu cersil KPH itu bacaan wajib hehe
    quote jadul tp masih ada lho yg spt gitu sampai sekarang :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wahaha, Ceu, waktu belum jaman komik Jepang, aku kalo main ke taman bacaan banyaknya pinjam cersil.

      Satu seri KPH saja rentang waktunya bisa dari jaman kerajaan Song sampai jaman kerajaan Ceng. Dari zaman kakek buyut, kakek, ayah, anak, cicit, dan seterusnya bisa terus kuikuti :D

      KPH memang luar biasa...

      Delete
  4. Replies
    1. Setahuku sih Galing itu Ikal, Mbak...

      Jadi mungkin masih ada hubungan sodara dengan tokoh utama Laskar Pelangi :P

      Delete
  5. quote yang terakhir itu nendang, hahaha :)

    ReplyDelete