きのう何食べた? 1 by Fumi Yoshinaga
My rating: 4 of 5 stars
What did you eat yesterday?
Buatku itu pertanyaan mudah, karena aku termasuk orang yang... jarang makan. Eh, bukan ding, karena sebagai penghuni kosan yang malas masak aku kebanyakan beli makanan jadi dengan menu yang gampang diingat karena sedikit variasinya. Hm... kalau dipikir-pikir kok jadi menyedihkan ya... *lah kok mendadak curhat*. Buat yang doyan masak makanan sendiri, seharusnya itu juga pertanyaan mudah. Nggak mungkin kan, masak dan makan sambil sleep-walking, terus nggak ingat apa-apa.
Manga ini dibuka dengan pertanyaan simpel seorang rekan kerja tokoh utamanya: "Hey, what did you eat for dinner last night?"
Sementara beberapa rekan kerja lain masih berusaha mengingat-ingat apa saja yang mereka makan semalam, tokoh utama kita dengan lancarnya menjawab: "Miso soup with komatsuna, wakame, spring onion and aburaage. Mentaiko and nagaimo dressed with nihaizu, topped with wasabi and nori. Daikon with sweet and spicy chicken wings, broccoli okaakae, ang lastly white rice mixed with a third of brown rice." Wajar saja kalau mendadak ruangan sunyi senyap setelah mendengar jawaban itu.
Oh, iya, perkenalkan tokoh utama seri manga karya Fumi Yoshinaga yang sumpah bikin lapar hanya dengan membacanya:
Hah? Tokoh utamanya laki-laki 40 tahunan? Iya, ini manga seinen tentang pasangan gay berusia 40 tahunan yang hidup bersama. Tokoh utamanya Shirou Kakei, pengacara doyan masak yang penuh perhitungan (demi pengiritan anggaran makan), yang menyiapkan makan malam ala Jepang lengkap hampir tiap malam. Yang enak tentu saja pacarnya, Yabuki Kenji, meskipun kadang-kadang ia menyesali sok hematnya Kakei. Sekali-sekali pingin kan makan di luar atau beli es krim Haaden Dazs rasa terbaru, meskipun ya... memang mahal sih.
By the way, berbeda dengan Kenji yang status gay-nya sudah jelas bagi banyak orang (agak stereotip sih kalau dilihat dari profesinya), rekan sekantor Kakei tidak tahu kalau ia seorang gay, dan menganggapnya sebagai eligible bachelor yang belum ketemu jodoh saja. Orang tuanya sih sudah tahu orientasi seksualnya, tapi malah membuat Kakei merasa repot dengan dukungan mereka agar anaknya "come out" juga di lingkungan kerjanya. Kakei malah merasa Kenji lebih beruntung, tidak diakui lagi oleh orang tuanya begitu ketahuan gay. Minimal, tidak ada orang tua yang terus ikut campur dalam urusan pribadinya.
Sebagai orang yang penuh perhitungan dalam masalah keuangan, Kakei mirip dengan ibu-ibu pada umumnya. Kalau sedang belanja, pasti membanding-bandingkan harga, dan langsung memikirkan menu di benak begitu menemukan bahan makanan yang kebetulan sedang diskon. Begitu pulang ke rumah, langsung deh semuanya diracik dan dimasak. Duh... sedapnya kalau punya suami seperti Kakei :)
Cuma Fumi Yoshinaga yang bisa membuat kehidupan sehari-hari sepasang gay berumur 40 tahunan menjadi cerita yang menarik. Padahal hampir di setiap bab kita hanya mengikuti kegiatan Kakei yang (di luar pekerjaannya sebagai pengacara) setiap hari sibuk memikirkan menu yang cocok dengan bahan baku yang sedang diskon plus adegan memasaknya. Tapi seirit-iritnya Kakei, hidangan makan malam buatannya tetap selalu tampak lezat bin nikmat. Yummy!
Sayangnya, aku baru membaca manga ini secara online sampai volume 3 saja, dan tidak jelas apakah ada lanjutannya atau tidak. Dan tentunya, meskipun tidak ada adegan dewasa yang berbahaya satu halaman pun, aku tidak begitu yakin manga ini akan diterbitkan di Indonesia. Make a wish saja deh, dan... itadakimasu!
View all my reviews
Friday, February 28, 2014
A Chef of Nobunaga (Nobunaga No Chef)
Nobunaga no Chef 1 by Mitsuru Nishimura
My rating: 4 of 5 stars
Aku suka membaca manga, apapun genrenya. Dan tentu saja, manga bertema kuliner bukan perkecualian. Jadi, begitu menemukan judul komik ini yang sangat eye-catching ini di situs manga online, aku langsung tertarik membacanya. Kenapa? Karena dari judulnya saja sudah jelas premisnya: ini manga kuliner yang bersetting di zaman Oda Nobunaga alias periode Sengoku War, pada abad ke-16. Sebagai penggemar berat novel Taiko karya Eiji Yoshikawa, manga ini terlalu sayang untuk dilewatkan. Dan hal yang lebih penting adalah: seperti apa ya makanan di Jepang pada waktu itu?
Begitu membaca beberapa halaman pertama, aku langsung tertegun. Manga ini ternyata dibuka dengan adegan beberapa orang prajurit di zaman itu mengejar-ngejar dua orang pria berkostum chef. Iya, kostum chef yang putih-putih itu. Kayaknya ada yang salah deh... kecuali ini manga kuliner/sejarah ini juga bergenre... time travel.
Yap, ceritanya memang agak klise, tentang manusia zaman sekarang yang terlempar ke Kyoto masa lalu. Di samping itu, ternyata tokoh utama kita, chef bernama Ken yang lolos dari kejaran para prajurit (chef yang satunya lagi tewas) juga mengalami... amnesia. Waduh, tambah klise saja!
Ya sudahlah, karena toh artwork-nya bagus, aku tetap melanjutkan membaca manga multigenre kuliner/sejarah/time-travel/amnesia ini...
Untungnya, meskipun tidak ingat siapa diri dan masa lalunya, Ken tahu ia berasal dari masa depan. Ia juga masih hafal sejarah Jepang. Dan yang paling penting lagi, ia masih memiliki keahlian memasaknya. Dalam waktu singkat, keahlian memasaknya menjadi terkenal di lingkungan tempatnya tinggal. Tahu-tahu, datanglah seseorang yang merekrutnya menjadi juru masak Oda Nobunaga:
Bagi yang suka membaca sejarah Jepang, pasti tahu bahwa orang yang kelak menjadi Taiko dideskripsikan sebagai si kurus berwajah monyet. Jadi, sebelum perkenalan tokoh pun pembaca bisa menebak bahwa chara ini adalah Hideyoshi yang memang panggilannya Saru alias Monyet.
Sedangkan chara sang daimyo yang dipertuannya sendiri cocok dengan deskripsinya yang terkenal esktrem, penuh kharisma, namun brutal:
Rombongan Oda Nobunaga memboyong Ken dari Kyoto ke Gifu, dan orang baru itu langsung menjadi kepala juru masak, menggantikan juru masak lama yang keluarganya telah mengabdi secara turun-temurun selama beberapa generasi pada klan Oda. Lomba masak mempertaruhkan nyawa demi kedudukan kepala juru masak pun digelar. Apakah yang disajikan Ken pertama kali untuk Oda Nobunaga?
Hidangan yang belum pernah ada di Jepang pada saat itu, tentu saja. Ken juga menciptakan nasi kepal isi daging dan sayuran, yang bisa menjadi bekal bagi para prajurit di medan perang. Cara penyajiannya cukup dengan disiram air panas. Seperti mie instan, ya...
Berbagai tantangan harus dihadapi Ken sebagai juru masak Nobunaga. Dari menciptakan hidangan bercita rasa eropa bagi pastor jesuit dari Portugal, hidangan yang disajikan sebelum Nobunaga berangkat perang, sampai ikut pergi ke medan perang sebagai juru masak bagi pasukan Owari yang berangkat ke selatan Ise untuk menyerang Kitabatake Tomonori.
Pada perang pertama buat Ken ini, tampak seperti apa Hideyoshi sebagai seorang panglima perang. Sebagai seorang pemimpin, ia berada di garis terdepan, sehingga menjadi paling pertama kena serangan. Tapi meskipun kakinya terluka kena panah, ia tetap maju ke medan perang dan dengan piawai menaklukkan Benteng Asaka bersama Mori Yoshinori. Baru saat seperti itulah Hideyoshi yang pendek dan culun kelihatan menyeramkan. Lho, aku kok malah membahas Hideyoshi sih? Ini pasti gara-gara teringat novel Taiko. Padahal, fokus manga ini adalah hubungan si juru masak dan tuannya, ya?
Dalam manga ini, Ken berperan penting dalam taktik diplomasi Nobunaga. Untuk menunjukkan bahwa pengetahuan Nobunaga lebih tinggi dan luas daripada lawannya, sang juru masak menyajikan masakan yang belum ada pada masa itu, seperti membuat sushi dengan ikan mentah (ternyata sushi yang kita kenal sekarang baru muncul pada tahun 1830-an lho). Bahkan keahlian Ken yang membuat Shogun Ashikaga Yoshiaki ngiler abis, digunakan Nobunaga untuk menegaskan bahwa sang shogun tak lebih dari sekedar bonekanya!
Seiring dengan berjalannya waktu, Ken seperti menjadi salah satu senjata rahasia Nobunaga, khususnya apabila ia ingin menyampaikan pesan secara tidak langsung kepada kawan maupun lawan, dan berperan penting dalam perang-perang selanjutnya.
Secara tidak langsung, pembaca dapat melihat seperti apa Oda Nobunaga dari dekat, bagaimana pikiran dan tindakannya yang terlalu maju untuk orang-orang pada masanya, sehingga jangankan lawan, keluarga dan anak buahnya sendiri kadang tidak sanggup memahami visinya. Ken yang telah mengetahui sejarah, mendapati bahwa karakter Oda Nobunaga barangkali tidak sebrutal yang digambarkan dalam buku-buku sejarah. Apabila Nobunaga memang hanya otokrat tiran sekejam setan, mengapa para pengikutnya tetap setia dan mencintainya?
Lagipula, siapakah yang mencatat sejarah? Penggemar berat, atau musuh berat?
Rakyat Srilanka memuja Rahwana sebagai pahlawan dan menghujat Rama sebagai penjahat.
Sakit hati dan dendam dari zaman Perang Bubat memastikan tidak terdapat seruas pun jalan raya dengan nama Gajah Mada di wilayah Sunda.
Dan untuk seorang Oda Nobunaga, versi sejarah mana yang dapat kita percaya?
Apakah kita harus terlempar ke masa lalu hanya untuk mengetahui seperti apa sebenarnya seorang tokoh sejarah? Mungkin kita bisa mengetahuinya bila bisa berada di lingkaran dalam tokoh tersebut, tapi bagaimana bila kita hanya bisa berada di luar lingkaran? Bisa-bisa yang kita dapat hanya rumor belaka.
Kisah juru masak Oda Nobunaga ini masih berlanjut, dengan twist tersendiri karena Ken bukan satu-satunya chef dari masa depan yang terjebak di era perang saudara itu. Sampai jilid ketujuh, apa penyebab mereka bisa terjebak di zaman yang salah belum diketahui, apalagi bagaimana cara mereka bisa kembali ke masa depan.
Hal asyik yang bisa diperoleh pada halaman terakhir setiap jilid manga ini adalah salah satu resep masakan yang disajikan Ken pada jilid itu. Sebagai penutup, dan karena ini review tema kuliner, tidak ada salahnya kupajang resep dari ketujuh jilid yang sudah kubaca. Itadakimasu!
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
Tema Kuliner |
Aku suka membaca manga, apapun genrenya. Dan tentu saja, manga bertema kuliner bukan perkecualian. Jadi, begitu menemukan judul komik ini yang sangat eye-catching ini di situs manga online, aku langsung tertarik membacanya. Kenapa? Karena dari judulnya saja sudah jelas premisnya: ini manga kuliner yang bersetting di zaman Oda Nobunaga alias periode Sengoku War, pada abad ke-16. Sebagai penggemar berat novel Taiko karya Eiji Yoshikawa, manga ini terlalu sayang untuk dilewatkan. Dan hal yang lebih penting adalah: seperti apa ya makanan di Jepang pada waktu itu?
Begitu membaca beberapa halaman pertama, aku langsung tertegun. Manga ini ternyata dibuka dengan adegan beberapa orang prajurit di zaman itu mengejar-ngejar dua orang pria berkostum chef. Iya, kostum chef yang putih-putih itu. Kayaknya ada yang salah deh... kecuali ini manga kuliner/sejarah ini juga bergenre... time travel.
Yap, ceritanya memang agak klise, tentang manusia zaman sekarang yang terlempar ke Kyoto masa lalu. Di samping itu, ternyata tokoh utama kita, chef bernama Ken yang lolos dari kejaran para prajurit (chef yang satunya lagi tewas) juga mengalami... amnesia. Waduh, tambah klise saja!
Ya sudahlah, karena toh artwork-nya bagus, aku tetap melanjutkan membaca manga multigenre kuliner/sejarah/time-travel/amnesia ini...
Untungnya, meskipun tidak ingat siapa diri dan masa lalunya, Ken tahu ia berasal dari masa depan. Ia juga masih hafal sejarah Jepang. Dan yang paling penting lagi, ia masih memiliki keahlian memasaknya. Dalam waktu singkat, keahlian memasaknya menjadi terkenal di lingkungan tempatnya tinggal. Tahu-tahu, datanglah seseorang yang merekrutnya menjadi juru masak Oda Nobunaga:
Bagi yang suka membaca sejarah Jepang, pasti tahu bahwa orang yang kelak menjadi Taiko dideskripsikan sebagai si kurus berwajah monyet. Jadi, sebelum perkenalan tokoh pun pembaca bisa menebak bahwa chara ini adalah Hideyoshi yang memang panggilannya Saru alias Monyet.
Sedangkan chara sang daimyo yang dipertuannya sendiri cocok dengan deskripsinya yang terkenal esktrem, penuh kharisma, namun brutal:
Cukup menyeramkan di pertemuan pertama |
Roasted mallard duck, chestnut and kaki puree served with wild mushroom |
Berbagai tantangan harus dihadapi Ken sebagai juru masak Nobunaga. Dari menciptakan hidangan bercita rasa eropa bagi pastor jesuit dari Portugal, hidangan yang disajikan sebelum Nobunaga berangkat perang, sampai ikut pergi ke medan perang sebagai juru masak bagi pasukan Owari yang berangkat ke selatan Ise untuk menyerang Kitabatake Tomonori.
Pada perang pertama buat Ken ini, tampak seperti apa Hideyoshi sebagai seorang panglima perang. Sebagai seorang pemimpin, ia berada di garis terdepan, sehingga menjadi paling pertama kena serangan. Tapi meskipun kakinya terluka kena panah, ia tetap maju ke medan perang dan dengan piawai menaklukkan Benteng Asaka bersama Mori Yoshinori. Baru saat seperti itulah Hideyoshi yang pendek dan culun kelihatan menyeramkan. Lho, aku kok malah membahas Hideyoshi sih? Ini pasti gara-gara teringat novel Taiko. Padahal, fokus manga ini adalah hubungan si juru masak dan tuannya, ya?
Dalam manga ini, Ken berperan penting dalam taktik diplomasi Nobunaga. Untuk menunjukkan bahwa pengetahuan Nobunaga lebih tinggi dan luas daripada lawannya, sang juru masak menyajikan masakan yang belum ada pada masa itu, seperti membuat sushi dengan ikan mentah (ternyata sushi yang kita kenal sekarang baru muncul pada tahun 1830-an lho). Bahkan keahlian Ken yang membuat Shogun Ashikaga Yoshiaki ngiler abis, digunakan Nobunaga untuk menegaskan bahwa sang shogun tak lebih dari sekedar bonekanya!
Seiring dengan berjalannya waktu, Ken seperti menjadi salah satu senjata rahasia Nobunaga, khususnya apabila ia ingin menyampaikan pesan secara tidak langsung kepada kawan maupun lawan, dan berperan penting dalam perang-perang selanjutnya.
Secara tidak langsung, pembaca dapat melihat seperti apa Oda Nobunaga dari dekat, bagaimana pikiran dan tindakannya yang terlalu maju untuk orang-orang pada masanya, sehingga jangankan lawan, keluarga dan anak buahnya sendiri kadang tidak sanggup memahami visinya. Ken yang telah mengetahui sejarah, mendapati bahwa karakter Oda Nobunaga barangkali tidak sebrutal yang digambarkan dalam buku-buku sejarah. Apabila Nobunaga memang hanya otokrat tiran sekejam setan, mengapa para pengikutnya tetap setia dan mencintainya?
Lagipula, siapakah yang mencatat sejarah? Penggemar berat, atau musuh berat?
Rakyat Srilanka memuja Rahwana sebagai pahlawan dan menghujat Rama sebagai penjahat.
Sakit hati dan dendam dari zaman Perang Bubat memastikan tidak terdapat seruas pun jalan raya dengan nama Gajah Mada di wilayah Sunda.
Dan untuk seorang Oda Nobunaga, versi sejarah mana yang dapat kita percaya?
Apakah kita harus terlempar ke masa lalu hanya untuk mengetahui seperti apa sebenarnya seorang tokoh sejarah? Mungkin kita bisa mengetahuinya bila bisa berada di lingkaran dalam tokoh tersebut, tapi bagaimana bila kita hanya bisa berada di luar lingkaran? Bisa-bisa yang kita dapat hanya rumor belaka.
Kisah juru masak Oda Nobunaga ini masih berlanjut, dengan twist tersendiri karena Ken bukan satu-satunya chef dari masa depan yang terjebak di era perang saudara itu. Sampai jilid ketujuh, apa penyebab mereka bisa terjebak di zaman yang salah belum diketahui, apalagi bagaimana cara mereka bisa kembali ke masa depan.
Hal asyik yang bisa diperoleh pada halaman terakhir setiap jilid manga ini adalah salah satu resep masakan yang disajikan Ken pada jilid itu. Sebagai penutup, dan karena ini review tema kuliner, tidak ada salahnya kupajang resep dari ketujuh jilid yang sudah kubaca. Itadakimasu!
View all my reviews
Thursday, February 27, 2014
Jaka Galing
Jaka Galing by Asmaraman S. Kho Ping Hoo
My rating: 2 of 5 stars
Kalau bicara tentang cerita silat (cersil) made in Indonesia, buat mereka yang segenerasi denganku, pasti teringat Asmaraman S. Kho Ping Hoo (KPH). Tapi kalau bicara tentang cersil di Indonesia, bisa jadi ingatnya malah SH Mintardja dengan Api di Bukit Menoreh atau Nagasasra Sabukinten-nya, Arswendo Atmowiloto dengan Senopati Pamungkas-nya, atau malah Bastian Tito dengan Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 (Dari dulu angka 212 ini bikin penasaran, karena sepertinya setting Wiro Sableng sebelum angka model begini masuk ke Indonesia). Padahal, selain menuliskan puluhan judul cersil yang bersetting di Tiongkok, KPH juga menuliskan banyak cersil dengan setting di Jawa, lho!
Karena itulah, demi memperkenalkan sisi lain karya KPH dan sekalian bernostalgia, aku sengaja membaca salah satu cersil beliau yang bersetting di Jawa untuk posting bareng BBI dengan tema historical fiction Indonesia.
Apakah cersil memenuhi syarat untuk dianggap historical fiction?
Menurut Mbah Wiki, historical fiction is a literary genre that takes place in the past. Dan berhubung cersil yang kubaca ini bersetting pada zaman Majapahit di bawah kekuasaan Prabu Brawijaya, maka kuanggap memenuhi syarat untuk dianggap historical fiction, meskipun tidak ada peristiwa bersejarah sama sekali di dalamnya.
Mengapa memilih cersil Jaka Galing?
Kebetulan cersil 4 jilid ini diberikan secara gratis oleh toko buku bekas langganan di Plaza Semanggi sebagai bonus setelah membeli ulang satu set cersil Sia Tiauw Eng Hiong dan satu set manga Akemi Yoshimura. Aku sih maunya dikasih cersil KPH yang berjudul Sejengkal Tanah Sepercik Darah yang 23 jilid, tapi orangnya cuma rela melepas gratis cersil yang serinya sedikit (ya iyalah...). Sebenarnya ada beberapa judul cersil pendek yang bisa kupilih, Bajak Laut Kertapati misalnya. Namun akhirnya kupilih Jaka Galing karena sepertinya match dengan rambutku yang Juga Galing.
Apakah tokoh utamanya benar-benar galing?
Ilustrasi sampulnya sih menunjukkan sedikit bukti bahwa rambut tokoh utamanya lumayan galing, meskipun pada ilustrasi dalam buku tokohnya mengenakan blangkon sehingga rambutnya tidak kelihatan. Tapi... kenapa juga sih terus membahas galing apa tidaknya? Lebih baik membahas ceritanya saja yuk.
Tersebutlah sebuah kadipaten di bawah kekuasaan Majapahit yang bernama Tandes, yang dipimpin seorang adipati bernama Gendrosakti. Sang adipati suatu malam bermimpi melihat api kecil menyala di dalam rumahnya, dan lama-lama api itu membesar hingga rumahnya menjadi lautan api dan terbakar habis. Seperti halnya dalam cerita Nabi Sulaiman, ia pun meminta bantuan orang pintar untuk mengartikan mimpinya. Tapi meskipun dapat menebak maknanya, tidak ada satupun cendekiawan yang berani berterus terang kepada sang adipati, sehingga akhirnya dipanggillah Panembahan Ciptaning yang terkenal sakti dan bijaksana.
Berbeda dengan cendekiawan lain yang main aman, Panembahan Ciptaning langsung menyatakan bahwa api kecil di rumah itu adalah siluman yang berwujud manusia yang akan mendatangkan bencana dan kehancuran pada sang adipati. Tanpa tedeng aling-aling lagi ia pun menyebutkan bahwa selir jelita kesayangan sang Adipati bernama Sariti-lah api yang dimaksud. Percayakah sang Adipati? Tentu tidak. Ujung-ujungnya ia malah membunuh sang panembahan.
Cerita akan berhenti sampai di sini, kalau saja sang panembahan tidak punya anak. Eh, cucu yang diaku sebagai anak, ding. Sang cucu yang bernama Jaka Galing itu pun bersumpah akan membalas dendam.
Belakangan ia dibantu banyak penduduk yang menderita di bawah kekuasaan Adipati Gendrosakti yang sewenang-wenang dalam pengaruh buruk selirnya. Ceritanya pun berkembang menjadi semacam cerita Robin Hood, karena Jaka Galing dan merry-men-nya bermarkas di hutan dan meneror sang adipati.
Meskipun ceritanya pendek dan sederhana, cukup banyak bumbu sinetron bertebaran di sini. Selain tema balas dendam, ada rencana pembunuhan istri tua adipati, ada perselingkuhan antara si selir dengan tamu negara, ada kisah cinta segitiga, bahkan sampai cerita anak raja yang baru pertama kali bertemu bapaknya.
Begitu saja? Nggak ada kesan lain?
Pasti ada lah. Yang lebih banyak membuat nostalgia malah gaya bahasa KPH yang jadul banget. Waktu aku membaca cersil KPH di masa SD sampai SMA saja sudah terasa lebay, apalagi sekarang, ya? Pembaca zaman sekarang bisa jadi gatal-gatal dibuatnya.
Contohnya dalam kalimat-kalimat seperti ini:
"Alangkah hebat pemuda itu!"
atau
"Duhai Eyang Panembahan yang tercinta..."
atau di kala memuji kecantikan seorang dara
"Bibirnya manis benar, coba kauperhatikan. Seperti potongan gendewa Sang Arjuna, lengkung lekuknya demikian sempurna, tipis-tipis penuh dan halus kemerah-merahan, senyumnya melebihi madu manisnya, dan giginya bagaikan mutiara berderet. Dan... kau pernah melihat lesung pipit di sebelah kiri mulutnya? Aduh, memang manis benar mulut itu!"
Wadaw banget nggak sih. Belum lagi wejangan-wejangan yang cukup makan tempat di sana-sini. Eh, justru itu kelebihan cersil KPH, ya, tetap ada pesan moral untuk membimbing pembaca ke jalan yang benar meskipun yang dibaca cersil dan bukan buku filsafat apalagi buku agama.
Selain cersil ini, sebenarnya aku juga dapat cersil gratisan lain yang berjudul Rondo Kuning. Entah rondo muda atau rondo tua, dan entah apanya yang kuning. Mungkin giginya. Tapi aku tidak sepenasaran itu untuk segera membacanya. Mungkin aku perlu waktu sebelum mulai membaca cersil KPH lainnya.
Sebagai bonus, kutambahkan quote KPH dari cersil Jaka Galing ini, yang sepertinya relevan dengan kondisi politik Indonesia yang carut-marut:
Memang demikian sifat orang yang telah lupa. Yang bodoh memaki orang lain goblok, yang edan memaki orang lain gila.
View all my reviews
My rating: 2 of 5 stars
Kalau bicara tentang cerita silat (cersil) made in Indonesia, buat mereka yang segenerasi denganku, pasti teringat Asmaraman S. Kho Ping Hoo (KPH). Tapi kalau bicara tentang cersil di Indonesia, bisa jadi ingatnya malah SH Mintardja dengan Api di Bukit Menoreh atau Nagasasra Sabukinten-nya, Arswendo Atmowiloto dengan Senopati Pamungkas-nya, atau malah Bastian Tito dengan Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 (Dari dulu angka 212 ini bikin penasaran, karena sepertinya setting Wiro Sableng sebelum angka model begini masuk ke Indonesia). Padahal, selain menuliskan puluhan judul cersil yang bersetting di Tiongkok, KPH juga menuliskan banyak cersil dengan setting di Jawa, lho!
Karena itulah, demi memperkenalkan sisi lain karya KPH dan sekalian bernostalgia, aku sengaja membaca salah satu cersil beliau yang bersetting di Jawa untuk posting bareng BBI dengan tema historical fiction Indonesia.
Apakah cersil memenuhi syarat untuk dianggap historical fiction?
Menurut Mbah Wiki, historical fiction is a literary genre that takes place in the past. Dan berhubung cersil yang kubaca ini bersetting pada zaman Majapahit di bawah kekuasaan Prabu Brawijaya, maka kuanggap memenuhi syarat untuk dianggap historical fiction, meskipun tidak ada peristiwa bersejarah sama sekali di dalamnya.
Mengapa memilih cersil Jaka Galing?
Kebetulan cersil 4 jilid ini diberikan secara gratis oleh toko buku bekas langganan di Plaza Semanggi sebagai bonus setelah membeli ulang satu set cersil Sia Tiauw Eng Hiong dan satu set manga Akemi Yoshimura. Aku sih maunya dikasih cersil KPH yang berjudul Sejengkal Tanah Sepercik Darah yang 23 jilid, tapi orangnya cuma rela melepas gratis cersil yang serinya sedikit (ya iyalah...). Sebenarnya ada beberapa judul cersil pendek yang bisa kupilih, Bajak Laut Kertapati misalnya. Namun akhirnya kupilih Jaka Galing karena sepertinya match dengan rambutku yang Juga Galing.
Apakah tokoh utamanya benar-benar galing?
Ilustrasi sampulnya sih menunjukkan sedikit bukti bahwa rambut tokoh utamanya lumayan galing, meskipun pada ilustrasi dalam buku tokohnya mengenakan blangkon sehingga rambutnya tidak kelihatan. Tapi... kenapa juga sih terus membahas galing apa tidaknya? Lebih baik membahas ceritanya saja yuk.
Tersebutlah sebuah kadipaten di bawah kekuasaan Majapahit yang bernama Tandes, yang dipimpin seorang adipati bernama Gendrosakti. Sang adipati suatu malam bermimpi melihat api kecil menyala di dalam rumahnya, dan lama-lama api itu membesar hingga rumahnya menjadi lautan api dan terbakar habis. Seperti halnya dalam cerita Nabi Sulaiman, ia pun meminta bantuan orang pintar untuk mengartikan mimpinya. Tapi meskipun dapat menebak maknanya, tidak ada satupun cendekiawan yang berani berterus terang kepada sang adipati, sehingga akhirnya dipanggillah Panembahan Ciptaning yang terkenal sakti dan bijaksana.
Berbeda dengan cendekiawan lain yang main aman, Panembahan Ciptaning langsung menyatakan bahwa api kecil di rumah itu adalah siluman yang berwujud manusia yang akan mendatangkan bencana dan kehancuran pada sang adipati. Tanpa tedeng aling-aling lagi ia pun menyebutkan bahwa selir jelita kesayangan sang Adipati bernama Sariti-lah api yang dimaksud. Percayakah sang Adipati? Tentu tidak. Ujung-ujungnya ia malah membunuh sang panembahan.
Cerita akan berhenti sampai di sini, kalau saja sang panembahan tidak punya anak. Eh, cucu yang diaku sebagai anak, ding. Sang cucu yang bernama Jaka Galing itu pun bersumpah akan membalas dendam.
Belakangan ia dibantu banyak penduduk yang menderita di bawah kekuasaan Adipati Gendrosakti yang sewenang-wenang dalam pengaruh buruk selirnya. Ceritanya pun berkembang menjadi semacam cerita Robin Hood, karena Jaka Galing dan merry-men-nya bermarkas di hutan dan meneror sang adipati.
Meskipun ceritanya pendek dan sederhana, cukup banyak bumbu sinetron bertebaran di sini. Selain tema balas dendam, ada rencana pembunuhan istri tua adipati, ada perselingkuhan antara si selir dengan tamu negara, ada kisah cinta segitiga, bahkan sampai cerita anak raja yang baru pertama kali bertemu bapaknya.
Begitu saja? Nggak ada kesan lain?
Pasti ada lah. Yang lebih banyak membuat nostalgia malah gaya bahasa KPH yang jadul banget. Waktu aku membaca cersil KPH di masa SD sampai SMA saja sudah terasa lebay, apalagi sekarang, ya? Pembaca zaman sekarang bisa jadi gatal-gatal dibuatnya.
Contohnya dalam kalimat-kalimat seperti ini:
"Alangkah hebat pemuda itu!"
atau
"Duhai Eyang Panembahan yang tercinta..."
atau di kala memuji kecantikan seorang dara
"Bibirnya manis benar, coba kauperhatikan. Seperti potongan gendewa Sang Arjuna, lengkung lekuknya demikian sempurna, tipis-tipis penuh dan halus kemerah-merahan, senyumnya melebihi madu manisnya, dan giginya bagaikan mutiara berderet. Dan... kau pernah melihat lesung pipit di sebelah kiri mulutnya? Aduh, memang manis benar mulut itu!"
Wadaw banget nggak sih. Belum lagi wejangan-wejangan yang cukup makan tempat di sana-sini. Eh, justru itu kelebihan cersil KPH, ya, tetap ada pesan moral untuk membimbing pembaca ke jalan yang benar meskipun yang dibaca cersil dan bukan buku filsafat apalagi buku agama.
Selain cersil ini, sebenarnya aku juga dapat cersil gratisan lain yang berjudul Rondo Kuning. Entah rondo muda atau rondo tua, dan entah apanya yang kuning. Mungkin giginya. Tapi aku tidak sepenasaran itu untuk segera membacanya. Mungkin aku perlu waktu sebelum mulai membaca cersil KPH lainnya.
Sebagai bonus, kutambahkan quote KPH dari cersil Jaka Galing ini, yang sepertinya relevan dengan kondisi politik Indonesia yang carut-marut:
Memang demikian sifat orang yang telah lupa. Yang bodoh memaki orang lain goblok, yang edan memaki orang lain gila.
View all my reviews
Labels:
historical fiction,
PosBarBBI,
Review 2014
Location:
Indonesia
Wednesday, February 26, 2014
Tintin di Amerika #Program BUBU
Petualangan Tintin: Tintin Di Amerika by Hergé
My rating: 3 of 5 stars
"Dengar baik-baik... Tintin, wartawan nomor satu dunia akan datang ke sini untuk bersih-bersih. Ini gawat! Dia meringkus perdagangan gelap berlian di Congo dan memasukkan orang-orangku ke penjara... Jadi dia tidak boleh menghabiskan satu hari pun di Chicago... Oke?"
Demikian arahan A.C. eh Al Capone pada anak buahnya pada halaman pertama panel kedua komik ini. Bersih-bersih? Dikata cleaning service apa? Kalau begini jadi bingung sebenarnya Tintin itu cuma wartawan seleb atau interpol, karena kerjaannya bukan lagi meliput berita, tapi sudah rangkap jabatan sebagai pemberantas kejahatan internasional. Mana cuma sendirian nggak ada tim back-up, lagi. Zuper banget, ya! Tapi ya sudahlah, terserah Herge saja. Lanjuuut!
Maka, masih di halaman satu, Tintin yang baru saja menginjakkan kakinya di Chicago pun belum sempat ngapa-ngapain sudah diculik. Untung Tintin lebih siap dari MacGyver yang kemana-mana bawa pisau lipat, Tintin bisa lolos dari mobil berpenutup baja karena berbekal... gergaji. Zaman sekarang Tintin pasti ditangkap di bandara kalau ketahuan membawa-bawa barang tajam segede gaban begitu di kopernya.
Selamatkah Tintin? Bilangin nggak ya...?
Kagum juga sih melihat Tintin selamat dan kelihatan tetap sehat-sehat saja setelah mengalami: kecelakan mobil, dipentung (oleh penjahat dan polisi), dibius, diceburkan ke Danau Michigan, dan tentu saja ditembaki.
Belakangan Tintin berhasil membantu polisi menangkap para gangster, tapi karena salah satu gangster, Bobby Smiles lolos, Tintin pun dengan pede berjanji pada polisi, "Jangan khawatir, akan kutangkap Bobby Smiles!" Widiw, Tintin ngambil kerjaan di luar job desc lagi. Gratisan pula! Tapi... kelihatannya sih ini siasat Herge supaya punya alasan untuk pindah lokasi dari kota Chicago ke Wild Wild West, dan menampilkan para Indian. Yiiiha!
Indian di komik ini, suku Blackfoot, digambarkan terlalu gampang dibohongi orang. Bobby Smiles cukup bilang ada orang putih muda yang akan mencuri tanah mereka, dan mereka pun menangkap Tintin. Tapiii, ada tapinya sih. Belakangan Tintin tidak sengaja menemukan sumur minyak waktu diburu para Indian, dan ujug-ujug berdatanganlah para pengusaha menawarkan uang untuk membeli sumur minyaknya, sampai seratus ribu dolar. Eh, begitu tahu tanah itu milik suku Blackfoot, mereka cuma memberi dua puluh lima dolar pada si kepala suku dan mengusir seluruh suku keluar dari tanah mereka. Fitnah Bobby Smiles jadi kenyataan ya, gara-gara Tintin suku Blackfoot benar-benar kehilangan tanahnya!
Meninggalkan bekas tanah suku Blackfoot yang dalam sehari beralih rupa jadi kota minyak, Tintin melanjutkan petualangannya memburu Bobby Smiles. Seperti biasa, Tintin terus menerus celaka, kereta api yang dinaikinya meledaklah, hampir dihukum gantunglah, hampir kena kebakaranlah, sampai hampir digilas kereta api bak adegan film-film koboi jaman baheula. Dan seperti biasa pula, Tintin SELAMAT DENGAN AJAIB. Terlalu banyak kebetulan yang unbelievable, sih...
Lantas, bagaimana nasib para gangster Chicago selanjutnya? Apakah Tintin perlu meminta bantuan petugas federal untuk menangkap akuntan Al Capone? Lah, itu mah The Untouchables ya...
By the way, dari awal langsung tancap gas masuk ke cerita... Maafkan saja ya, namanya juga review suka-suka, jadi nggak ada format pakem sih. Okelah, sekarang sedikit komentar dari sisi lain deh.
Cuma mau protes untuk pemilihan judul edisi ini. Kalau sebelumnya niat banget pakai Sovyet dan Congo karena konon merujuk ejaan asli bahasa Prancis, kenapa sekarang tidak diberi judul Tintin di Amerique? #maksa
N.B. Ada cameo Rastapopoulos, lho!
And then, karena petualangan Tintin masih berlanjut, I say:
View all my reviews
My rating: 3 of 5 stars
"Dengar baik-baik... Tintin, wartawan nomor satu dunia akan datang ke sini untuk bersih-bersih. Ini gawat! Dia meringkus perdagangan gelap berlian di Congo dan memasukkan orang-orangku ke penjara... Jadi dia tidak boleh menghabiskan satu hari pun di Chicago... Oke?"
Demikian arahan A.C. eh Al Capone pada anak buahnya pada halaman pertama panel kedua komik ini. Bersih-bersih? Dikata cleaning service apa? Kalau begini jadi bingung sebenarnya Tintin itu cuma wartawan seleb atau interpol, karena kerjaannya bukan lagi meliput berita, tapi sudah rangkap jabatan sebagai pemberantas kejahatan internasional. Mana cuma sendirian nggak ada tim back-up, lagi. Zuper banget, ya! Tapi ya sudahlah, terserah Herge saja. Lanjuuut!
Cuma Al Capone tokoh penjahat di komik Tintin yang benar-benar ada di dunia nyata |
Selamatkah Tintin? Bilangin nggak ya...?
Kagum juga sih melihat Tintin selamat dan kelihatan tetap sehat-sehat saja setelah mengalami: kecelakan mobil, dipentung (oleh penjahat dan polisi), dibius, diceburkan ke Danau Michigan, dan tentu saja ditembaki.
Belakangan Tintin berhasil membantu polisi menangkap para gangster, tapi karena salah satu gangster, Bobby Smiles lolos, Tintin pun dengan pede berjanji pada polisi, "Jangan khawatir, akan kutangkap Bobby Smiles!" Widiw, Tintin ngambil kerjaan di luar job desc lagi. Gratisan pula! Tapi... kelihatannya sih ini siasat Herge supaya punya alasan untuk pindah lokasi dari kota Chicago ke Wild Wild West, dan menampilkan para Indian. Yiiiha!
Indian di komik ini, suku Blackfoot, digambarkan terlalu gampang dibohongi orang. Bobby Smiles cukup bilang ada orang putih muda yang akan mencuri tanah mereka, dan mereka pun menangkap Tintin. Tapiii, ada tapinya sih. Belakangan Tintin tidak sengaja menemukan sumur minyak waktu diburu para Indian, dan ujug-ujug berdatanganlah para pengusaha menawarkan uang untuk membeli sumur minyaknya, sampai seratus ribu dolar. Eh, begitu tahu tanah itu milik suku Blackfoot, mereka cuma memberi dua puluh lima dolar pada si kepala suku dan mengusir seluruh suku keluar dari tanah mereka. Fitnah Bobby Smiles jadi kenyataan ya, gara-gara Tintin suku Blackfoot benar-benar kehilangan tanahnya!
Meninggalkan bekas tanah suku Blackfoot yang dalam sehari beralih rupa jadi kota minyak, Tintin melanjutkan petualangannya memburu Bobby Smiles. Seperti biasa, Tintin terus menerus celaka, kereta api yang dinaikinya meledaklah, hampir dihukum gantunglah, hampir kena kebakaranlah, sampai hampir digilas kereta api bak adegan film-film koboi jaman baheula. Dan seperti biasa pula, Tintin SELAMAT DENGAN AJAIB. Terlalu banyak kebetulan yang unbelievable, sih...
Lantas, bagaimana nasib para gangster Chicago selanjutnya? Apakah Tintin perlu meminta bantuan petugas federal untuk menangkap akuntan Al Capone? Lah, itu mah The Untouchables ya...
By the way, dari awal langsung tancap gas masuk ke cerita... Maafkan saja ya, namanya juga review suka-suka, jadi nggak ada format pakem sih. Okelah, sekarang sedikit komentar dari sisi lain deh.
Cuma mau protes untuk pemilihan judul edisi ini. Kalau sebelumnya niat banget pakai Sovyet dan Congo karena konon merujuk ejaan asli bahasa Prancis, kenapa sekarang tidak diberi judul Tintin di Amerique? #maksa
N.B. Ada cameo Rastapopoulos, lho!
And then, karena petualangan Tintin masih berlanjut, I say:
View all my reviews
Tintin di Congo #Program BUBU
Petualangan Tintin: Tintin di Congo by Hergé
My rating: 3 of 5 stars
Oke ladies and gents, sesuai janji mari kita lanjutkan stripping membaca dan mereview semua komik Tintin. Ehm, mudah-mudahan aku tidak berhenti di tengah jalan dalam memenuhi janji yang satu ini. Ahem. Jadi mendadak teringat janji mereview tuntas semua novel Dresden Files, yang baru terpenuhi sekian persen gara-gara kehabisan bensin dan keburu terserang penyakit kronis "malas bikin review mendingan waktunya dipakai baca aja".
Sebelum basa-basinya kepanjangan dan aku melantur kemana-mana seperti biasa, mari kita mulai mengomentari buku ini yuk!
1. Cover
Komik Tintin di Congo pertama kali diterbitkan sebagai serial di Le Petit Vingtieme mulai tanggal 5 Juni 1930 selama periode satu tahun. Pada tahun 1931 komik ini pertama kali diterbitkan dalam bentuk buku, masih dalam format hitam putih. Buat yang belum tahu, di Indonesia komik ini diterbitkan pertama kali oleh penerbit Indira, dalam versi awal yang belum direvisi dan diwarnai itu:
Aku juga membeli buku terbitan Indira itu, tapi belum sempat mengecek apakah versi ini ikutan hilang seperti koleksi bundel Tintin lama ataukah masih ada di perpustakaan baru. Alasannya sederhana saja, aku belum punya waktu untuk membuat katalog buku fisik yang selamat (mungkin harus mengambil cuti panjang dengan alasan membereskan perpustakaan? #siap-siap dikepruk atasan).
2. Judul
Melihat cover buku versi Indira dan versi GPU, pasti timbul pertanyaan, untuk nama negara asing dalam bahasa Indonesia sesuai Ejaan Yang Disempurnakan, yang benar Congo atau Kongo, sih? Ini sebenarnya persis pertanyaan untuk judul buku sebelumnya (tapi lupa kubahas), yang benar Sovyet atau Soviet?
Setahuku sih, sesuai EYD yang benar untuk nama negara dalam bahasa Indonesia serapannya menjadi Kongo dan Soviet. Dan konon, pemberian judul pakai Congo dan Sovyet ini karena merujuk ke versi bahasa Prancisnya. Persis seperti Snowy menjadi Milo. CMIIW, ya...
3. Gambar
Kalau mereview versi Indira, sudah pasti kubilang formatnya hitam putih, dengan 6 panel per halaman, dan jumlah halaman yang lebih banyak dua kali lipat. Tapi karena sekarang yang kubaca versi GPU yang sudah hasil revisi dan pewarnaan, kita bahas saja versi terbarunya ini. Dan jelas pada versi terbaru, gambar karakter maupun latarnya sudah bagus dan detail, sehingga aku tidak banyak protes lagi tentang gambar yang seperti sketsa kasar.
Dan setelah membaca buku Michael Farr, aku sudah berniat kalau membaca ulang Tintin tidak akan asal baca lagi tapi juga melihat gambarnya dengan lebih teliti. Maka pada panel pertama halaman pertama saja aku langsung menemukan gambar yang menarik: saat dilepas untuk berangkat ke Kongo (iya, pakai ejaan ini karena ceritanya aku konsisten dengan pendapat pribadi), kita akan menemukan Kwik dan Flupke di antara para wartawan yang meliput keberangkatan si wartawan seleb ini, dan di antara para wartawan itu, ada Herge sendiri lho! Bergeser ke kanan sedikit, kita akan menemukanThomson dan Thomson Dupond dan Dupont yang juga mengomentari kepergian Tintin. Di versi asli hitam putihnya, pasangan detektif itu tidak ada, yang ada cuma sepasang petugas kereta api.
4. Cerita
Seperti sebelumnya waktu Tintin akan berangkat meliput ke Soviet, pada petualangan kali ini juga ada pihak yang berusaha dengan sekuat tenaga menggagalkan perjalanannya, dan kalau perlu membunuhnya. Bedanya, alasan kenapa Tintin perlu dilenyapkan baru diketahui belakangan, dan kalau menurut pendapatku alasannya kurang kuat sih kalau dibandingkan Tintin yang diperlakukan bak mata-mata borjuis di negeri komunis. Lagian, perjalanan Tintin ke Kongo ini niatnya cuma jalan-jalan doang kok, terutama berburu binatang liar.
Dalam petualangan Tintin yang kedua ini, Herge memang menunjukkan perilaku kolonial Eropa waktu itu. Herge sendiri mengakui bahwa gambarannya tentang orang-orang Afrika juga berasal dari sudut pandang stereotip yang borjuis dan paternalistik pada saat itu. Hal yang sangat mencolok tampak dari gambarannya tentang acara berburu dan perlakuan Tintin terhadap binatang.
Di mana lagi kita bisa menyaksikan bahwa Tintin bukan penyayang binatang (selain terhadap Milo)? Waktu berburu antelop, karena mengira tembakannya meleset melulu, Tintin sampai membunuh 15 ekor. Dan tentu saja, yang akhirnya dibawa dan dimakan hanya satu ekor (14 ekornya nggak jelas dikubur atau dibiarkan begitu saja). Waktu berusaha menolong Milo dari seekor monyet, Tintin membunuh seekor monyet lain dan langsung mengulitinya (dalam sekejap!), lantas mengenakan kulit tersebut sebagai kostum, untuk menyamar sebagai monyet! Untung waktu berburu singa, singanya bisa ditangkap hidup-hidup, itu pun karena si singa takut pada Milo.
Di sisi lain, aku jadi berpikir sekeren apa sih profesi wartawan waktu itu atau seseleb apakah Tintin? Berbeda dengan pada umumnya wartawan zaman sekarang yang datang tak diundang pulang tak diantar, kedatangan Tintin di Kongo disambut meriah bak sambutan terhadap raja. Yang terngiang saat membaca adegan seperti itu malah lirik lagunya si Boy: "Siapa tak kenal dia?" Koran-koran dari benua lain juga sampai berebut meminta hak ekslusif liputan petualangan Tintin. Hm... kalau saat ini Tintin setara dengan wartawan yang mana, ya?
Untuk sikap kolonial Tintin, di versi berwarna tidak terlalu terlihat, tapi di versi asli tampak pada adegan Tintin mengajar di sekolah misionaris. Di sana Tintin mengajarkan anak-anak Kongo itu tentang negeri mereka: Belgia. Ini sama halnya dengan kalau ada yang mengajari orang-orang Indonesia di masa lalu tentang negeri mereka: Belanda.
Pada versi baru dan berwarna, Tintin cuma menanyai anak-anak itu, siapa yang tahu jawaban 2 + 2, sebelum acara belajar-mengajar itu diganggu kedatangan seekor macan tutul.
5. Akhir kata
Menurut pendapatku pribadi, petualangan Tintin di Kongo terasa sebagai acara liburan Tintin saja, karena tidak jelas sih rencananya apa yang akan dia liput, selain bersafari dan berburu, baik dengan senapan maupun dengan kamera. Penjahatnya juga kurang meyakinkan. Begitu ada yang tertangkap pun, kurang tough, begitu ditanyai baik-baik langsung ember bocor dan memberi tahu siapa tuan besar berinisial A.C. yang menginginkan kematian Tintin. Motivasi si A.C. ini juga tidak meyakinkan, terlalu kegeeran Tintin bakal membongkar rencana besarnya mengendalikan industri berlian di Kongo. Lah, wong Tintin tadinya malah nggak tahu apa-apa kok, ini malah jadi nggak sengaja dapat liputan khusus :D
Tapi mungkin si A.C. yang orang Amerika itu cuma alasan saja buat Herge melanjutkan perjalanan Tintin ke benua berikutnya setelah edisi Afrika ini. Kalau Tintin pernah menonton filmnya Eddie Murphy, mungkin ia akan menyanyi : Oh say can you see, I'm coming to America.
View all my reviews
My rating: 3 of 5 stars
Oke ladies and gents, sesuai janji mari kita lanjutkan stripping membaca dan mereview semua komik Tintin. Ehm, mudah-mudahan aku tidak berhenti di tengah jalan dalam memenuhi janji yang satu ini. Ahem. Jadi mendadak teringat janji mereview tuntas semua novel Dresden Files, yang baru terpenuhi sekian persen gara-gara kehabisan bensin dan keburu terserang penyakit kronis "malas bikin review mendingan waktunya dipakai baca aja".
Sebelum basa-basinya kepanjangan dan aku melantur kemana-mana seperti biasa, mari kita mulai mengomentari buku ini yuk!
1. Cover
Komik Tintin di Congo pertama kali diterbitkan sebagai serial di Le Petit Vingtieme mulai tanggal 5 Juni 1930 selama periode satu tahun. Pada tahun 1931 komik ini pertama kali diterbitkan dalam bentuk buku, masih dalam format hitam putih. Buat yang belum tahu, di Indonesia komik ini diterbitkan pertama kali oleh penerbit Indira, dalam versi awal yang belum direvisi dan diwarnai itu:
Aku juga membeli buku terbitan Indira itu, tapi belum sempat mengecek apakah versi ini ikutan hilang seperti koleksi bundel Tintin lama ataukah masih ada di perpustakaan baru. Alasannya sederhana saja, aku belum punya waktu untuk membuat katalog buku fisik yang selamat (mungkin harus mengambil cuti panjang dengan alasan membereskan perpustakaan? #siap-siap dikepruk atasan).
2. Judul
Melihat cover buku versi Indira dan versi GPU, pasti timbul pertanyaan, untuk nama negara asing dalam bahasa Indonesia sesuai Ejaan Yang Disempurnakan, yang benar Congo atau Kongo, sih? Ini sebenarnya persis pertanyaan untuk judul buku sebelumnya (tapi lupa kubahas), yang benar Sovyet atau Soviet?
Setahuku sih, sesuai EYD yang benar untuk nama negara dalam bahasa Indonesia serapannya menjadi Kongo dan Soviet. Dan konon, pemberian judul pakai Congo dan Sovyet ini karena merujuk ke versi bahasa Prancisnya. Persis seperti Snowy menjadi Milo. CMIIW, ya...
3. Gambar
Kalau mereview versi Indira, sudah pasti kubilang formatnya hitam putih, dengan 6 panel per halaman, dan jumlah halaman yang lebih banyak dua kali lipat. Tapi karena sekarang yang kubaca versi GPU yang sudah hasil revisi dan pewarnaan, kita bahas saja versi terbarunya ini. Dan jelas pada versi terbaru, gambar karakter maupun latarnya sudah bagus dan detail, sehingga aku tidak banyak protes lagi tentang gambar yang seperti sketsa kasar.
Dan setelah membaca buku Michael Farr, aku sudah berniat kalau membaca ulang Tintin tidak akan asal baca lagi tapi juga melihat gambarnya dengan lebih teliti. Maka pada panel pertama halaman pertama saja aku langsung menemukan gambar yang menarik: saat dilepas untuk berangkat ke Kongo (iya, pakai ejaan ini karena ceritanya aku konsisten dengan pendapat pribadi), kita akan menemukan Kwik dan Flupke di antara para wartawan yang meliput keberangkatan si wartawan seleb ini, dan di antara para wartawan itu, ada Herge sendiri lho! Bergeser ke kanan sedikit, kita akan menemukan
4. Cerita
Seperti sebelumnya waktu Tintin akan berangkat meliput ke Soviet, pada petualangan kali ini juga ada pihak yang berusaha dengan sekuat tenaga menggagalkan perjalanannya, dan kalau perlu membunuhnya. Bedanya, alasan kenapa Tintin perlu dilenyapkan baru diketahui belakangan, dan kalau menurut pendapatku alasannya kurang kuat sih kalau dibandingkan Tintin yang diperlakukan bak mata-mata borjuis di negeri komunis. Lagian, perjalanan Tintin ke Kongo ini niatnya cuma jalan-jalan doang kok, terutama berburu binatang liar.
Dalam petualangan Tintin yang kedua ini, Herge memang menunjukkan perilaku kolonial Eropa waktu itu. Herge sendiri mengakui bahwa gambarannya tentang orang-orang Afrika juga berasal dari sudut pandang stereotip yang borjuis dan paternalistik pada saat itu. Hal yang sangat mencolok tampak dari gambarannya tentang acara berburu dan perlakuan Tintin terhadap binatang.
Di mana lagi kita bisa menyaksikan bahwa Tintin bukan penyayang binatang (selain terhadap Milo)? Waktu berburu antelop, karena mengira tembakannya meleset melulu, Tintin sampai membunuh 15 ekor. Dan tentu saja, yang akhirnya dibawa dan dimakan hanya satu ekor (14 ekornya nggak jelas dikubur atau dibiarkan begitu saja). Waktu berusaha menolong Milo dari seekor monyet, Tintin membunuh seekor monyet lain dan langsung mengulitinya (dalam sekejap!), lantas mengenakan kulit tersebut sebagai kostum, untuk menyamar sebagai monyet! Untung waktu berburu singa, singanya bisa ditangkap hidup-hidup, itu pun karena si singa takut pada Milo.
Di sisi lain, aku jadi berpikir sekeren apa sih profesi wartawan waktu itu atau seseleb apakah Tintin? Berbeda dengan pada umumnya wartawan zaman sekarang yang datang tak diundang pulang tak diantar, kedatangan Tintin di Kongo disambut meriah bak sambutan terhadap raja. Yang terngiang saat membaca adegan seperti itu malah lirik lagunya si Boy: "Siapa tak kenal dia?" Koran-koran dari benua lain juga sampai berebut meminta hak ekslusif liputan petualangan Tintin. Hm... kalau saat ini Tintin setara dengan wartawan yang mana, ya?
Untuk sikap kolonial Tintin, di versi berwarna tidak terlalu terlihat, tapi di versi asli tampak pada adegan Tintin mengajar di sekolah misionaris. Di sana Tintin mengajarkan anak-anak Kongo itu tentang negeri mereka: Belgia. Ini sama halnya dengan kalau ada yang mengajari orang-orang Indonesia di masa lalu tentang negeri mereka: Belanda.
Pada versi baru dan berwarna, Tintin cuma menanyai anak-anak itu, siapa yang tahu jawaban 2 + 2, sebelum acara belajar-mengajar itu diganggu kedatangan seekor macan tutul.
5. Akhir kata
Menurut pendapatku pribadi, petualangan Tintin di Kongo terasa sebagai acara liburan Tintin saja, karena tidak jelas sih rencananya apa yang akan dia liput, selain bersafari dan berburu, baik dengan senapan maupun dengan kamera. Penjahatnya juga kurang meyakinkan. Begitu ada yang tertangkap pun, kurang tough, begitu ditanyai baik-baik langsung ember bocor dan memberi tahu siapa tuan besar berinisial A.C. yang menginginkan kematian Tintin. Motivasi si A.C. ini juga tidak meyakinkan, terlalu kegeeran Tintin bakal membongkar rencana besarnya mengendalikan industri berlian di Kongo. Lah, wong Tintin tadinya malah nggak tahu apa-apa kok, ini malah jadi nggak sengaja dapat liputan khusus :D
Tapi mungkin si A.C. yang orang Amerika itu cuma alasan saja buat Herge melanjutkan perjalanan Tintin ke benua berikutnya setelah edisi Afrika ini. Kalau Tintin pernah menonton filmnya Eddie Murphy, mungkin ia akan menyanyi : Oh say can you see, I'm coming to America.
View all my reviews
Tuesday, February 25, 2014
Tintin di Tanah Sovyet #Program BUBU
Petualangan Tintin – Wartawan “Le Petit Vingtième” – di Tanah Sovyet by Hergé
My rating: 3 of 5 stars
Review komik Tintin di Tanah Sovyet? Lho, kayaknya sudah pernah deh!
Iya benar, review komik ini sudah pernah kuposting saat Posbar BBI bulan November 2012. Dan di situ dengan pedenya aku menyebutkan bahwa koleksi lengkap Tintin versi Indiraku aman sentausa di gudang rumah Cirebon. Padahal mah...
.·´¯`(>▂<)´¯`·.
Nah, akibat tragedi bablas bukune yang menyayat hati itu, aku memulai Program Beli-Ulang-Baca-Ulang alias #Program BUBU yang sangat menyayat dompet. Dan Program BUBU untuk Seri Tintin--dari Tintin di Tanah Sovyet sampai Tintin dan Alpha Art--ini rencananya bakal kureview juga satu-satu, seperti niat awalku waktu selesai membaca Tintin The Complete Companion-nya Michael Farr.
Oh iya, sebelum kita mulai, perlu ditegaskan bahwa aku belum pernah beli komik Tintin terbitan GPU sebelumnya. Alasan pertamanya jelas, aku sudah punya koleksi versi Indira (tadinya), dan alasan kedua... ya itu, nama-nama yang digunakan versi GPU tidak familiar, karena menggunakan nama versi asli, bukan versi Inggris seperti yang biasa kubaca sejak kecil. Ya sudahlah, berhubung kalau beli ulang versi Indira harganya bikin sakit hati, jadilah aku beli satu set versi GPU. Untungnya beberapa bulan lalu aku menemukan bundel Tintin 1-4 lengkap di Gramedia Central Park, dan kebetulan juga pas sedang ada program diskon 25%.
Nah, kali ini, apa sih yang ingin kukomentari dari komik Tintin edisi yang satu ini?
1. Cover
Dibandingkan cover komik Tintin lainnya, cover ini tampak simpel dan minimalis, hanya menampilkan Tintin danSnowy Milo, dengan latar belakang siluet istana Kremlin. Karakter Tintin versi awal juga tampak simpel, meskipun ciri khas rambut jambulnya sudah mulai terlihat. Karakter Milo sendiri yang merupakan anjing jenis fox terrier putih kelihatannya tak akan ada banyak perubahan di kemudian hari.
2. Ukuran
Buatku yang sejak kecil terbiasa dengan komik eropa yang lebar-lebar, ukurannya yang cuma sedikit lebih besar dari buku tulis ini membuatnya lebih mudah untuk dipegang dan dibaca. Khusus untuk buku pertama ini, tebalnya dua kali komik Tintin pada umumnya, yaitu 142 halaman, sedangkan buku-buku selanjutnya rata-rata 62 halaman. Kelihatannya ini berhubungan erat dengan banyaknya panel gambar per halaman, karena di buku ini umumnya 6 panel per halaman, sedangkan di buku-buku berikutnya bisa mencapai 12 panel per halaman.
3. Gambar
Namanya juga versi awal dari komik Tintin yang diserialisasikan di Le Petit Vingtieme, suplemen anak-anak Le XXe Siecle, formatnya hitam putih seperti layaknya komik strip. Jadi rasanya seperti membaca manga saja. Manga versi sederhana, tentunya, karena gambar karakternya masih sangat sederhana, sementara gambar latarnya juga terasa kasar dan seadanya. Tapi minimal, Herge sudah menunjukkan cikal bakal ciri khasnya yang mementingkan detail, dengan menggunakan foto sebagai referensi, untuk gambar kendaraan misalnya. Tintin juga belum menggunakan kostum khasnya di kemudian hari: kemeja putih, sweater biru muda, celana cokelat muda. Di bagian awal ia mengenakan setelan jas kotak-kotak yang jelek, meskipun belakangan gonta-ganti baju terus sesuai kebutuhan.
4. Cerita
Sebagaimana halnya komik strip bersambung, ceritanya penuh aksi, ber-pace cepat, penuh adegan slapstick dan cliffhanger. Kalau aku pembaca pada masa itu, mungkin aku menunggu dengan rasa penasaran sampai terbitan Le Petit Viengtieme berikutnya, apa yang akan terjadi setelah mobil Tintin tertabrak kereta api, atau Tintin dieksekusi mati misalnya. Solusi pada edisi lanjutannya kadang terasa digampangkan dan defying logic banget. Paling kalau menemukan hal-hal seperti ini, dimaafkan saja deh dengan alasan namanya juga komik. Nggak realistis juga nggak apa-apa, mau bagaimana lagi.
Cerita dimulai dengan Tintin, wartawan top, diutus oleh Le Petit Viengtieme untuk meliput ke Sovyet, ditemani anjing setianya, Milo. Polisi rahasia Sovyet khawatir Tintin akan mengabarkan kondisi Sovyet yang sebenarnya pada dunia, maka untuk mencegahnya, mereka berkali-kali berusaha membunuhnya, sejak Tintin berangkat dari Brussels, selama dalam perjalanan, selama berada di Sovyet, sampai dalam perjalanan kembalinya. Itu saja plot yang menggerakkan cerita.
Jadi, baru saja Tintin ketiduran, kereta api-nya dibom, sepuluh gerbong rusak, dan 218 orang penumpangnya hilang. Garisbawahi: hilang. Entah kemana hilangnya, karena tidak ada mayat yang bergelimpangan. Dan entah bagaimana cuma Tintin dan Milo yang selamat, hanya baju saja yang compang-camping. Karena selamat itulah, sesampainya di Berlin Tintin dituduh sebagai pelaku pemboman dan dipenjara. Tentu saja Tintin berhasil kabur dari kejaran polisi Jerman, pertama dengan mencuri motor polisi, kemudian mencuri mobil mereka.
Oh ya, Tintin punya bakat khusus terkait kendaraan: apapun jenis kendaraannya, Tintin pasti mengalami kecelakaan, meskipun tetap selamat, tentunya. Dan hebatnya lagi, biarpun sempat masuk penjara dan mengalami kecelakaan berkali-kali, surat-surat Tintin masih lengkap dan ia tidak pernah kehabisan uang. Entah di mana semuanya disimpan. Mungkin Tintin punya semacam kantong ajaib Doraemon.
Pembaca juga tak usah khawatir atas keselamatan Tintin, karena tingkat keberuntungan Tintin luar biasa. Ia selalu bisa melarikan diri, dan kalau ia menyaru jadi penduduk bahkan prajurit Sovyet pun ia tidak pernah ketahuan. Hebatlah pokoknya, jangankan polisi rahasia, beruang saja bisa kalah kalau berantem dengan Tintin.
Singkat cerita, Tintin berhasil mendapatkan bahan liputan dengan melihat kondisi Sovyet yang sebenarnya. Tapi sepanjang cerita, cuma ada tiga panel yang menggambarkan Tintin menulis artikel. Itu pun tidak jelas apakah tumpukan kertas yang ditulisinya jadi dikirim, dibawa-bawa terus sepanjang petualangannya, atau ketinggalan di kamar hotelnya. Dan jelas jaminan suratkabar Le Petit Vingtieme bahwa "semua foto autentik, diambil oleh Tintin sendiri" hanya janji palsu belaka, karena dari awal sampai akhir Tintin tidak membawa kamera, jadi bagaimana pula cara mengambil fotonya?
5. Akhir kata
Dalam sejarahnya, komik Tintin di Tanah Sovyet ini memang satu-satunya komik strip yang dibiarkan apa adanya, tidak direvisi dan dibuat berwarna sebagaimana komik Tintin lainnya. Herge selalu menganggap komik ini salah satu "dosa masa muda"-nya, karena memiliki kelemahan utama, sumber informasi yang dijadikan referensi oleh Herge sangat berat sebelah. Tapi bagaimanapun, tanpa komik ini, petualangan-petualangan Tintin berikutnya--dengan riset yang lebih detail dan mendalam yang menjadi ciri khas Herge di kemudian hari--takkan pernah ada.
View all my reviews
My rating: 3 of 5 stars
Review komik Tintin di Tanah Sovyet? Lho, kayaknya sudah pernah deh!
Iya benar, review komik ini sudah pernah kuposting saat Posbar BBI bulan November 2012. Dan di situ dengan pedenya aku menyebutkan bahwa koleksi lengkap Tintin versi Indiraku aman sentausa di gudang rumah Cirebon. Padahal mah...
.·´¯`(>▂<)´¯`·.
Marilah kita bersama-sama berdoa bagi para buku yang telah meninggalkan kita... Mengheningkan cipta, mulai... |
Oh iya, sebelum kita mulai, perlu ditegaskan bahwa aku belum pernah beli komik Tintin terbitan GPU sebelumnya. Alasan pertamanya jelas, aku sudah punya koleksi versi Indira (tadinya), dan alasan kedua... ya itu, nama-nama yang digunakan versi GPU tidak familiar, karena menggunakan nama versi asli, bukan versi Inggris seperti yang biasa kubaca sejak kecil. Ya sudahlah, berhubung kalau beli ulang versi Indira harganya bikin sakit hati, jadilah aku beli satu set versi GPU. Untungnya beberapa bulan lalu aku menemukan bundel Tintin 1-4 lengkap di Gramedia Central Park, dan kebetulan juga pas sedang ada program diskon 25%.
Nah, kali ini, apa sih yang ingin kukomentari dari komik Tintin edisi yang satu ini?
1. Cover
Dibandingkan cover komik Tintin lainnya, cover ini tampak simpel dan minimalis, hanya menampilkan Tintin dan
2. Ukuran
Buatku yang sejak kecil terbiasa dengan komik eropa yang lebar-lebar, ukurannya yang cuma sedikit lebih besar dari buku tulis ini membuatnya lebih mudah untuk dipegang dan dibaca. Khusus untuk buku pertama ini, tebalnya dua kali komik Tintin pada umumnya, yaitu 142 halaman, sedangkan buku-buku selanjutnya rata-rata 62 halaman. Kelihatannya ini berhubungan erat dengan banyaknya panel gambar per halaman, karena di buku ini umumnya 6 panel per halaman, sedangkan di buku-buku berikutnya bisa mencapai 12 panel per halaman.
3. Gambar
Namanya juga versi awal dari komik Tintin yang diserialisasikan di Le Petit Vingtieme, suplemen anak-anak Le XXe Siecle, formatnya hitam putih seperti layaknya komik strip. Jadi rasanya seperti membaca manga saja. Manga versi sederhana, tentunya, karena gambar karakternya masih sangat sederhana, sementara gambar latarnya juga terasa kasar dan seadanya. Tapi minimal, Herge sudah menunjukkan cikal bakal ciri khasnya yang mementingkan detail, dengan menggunakan foto sebagai referensi, untuk gambar kendaraan misalnya. Tintin juga belum menggunakan kostum khasnya di kemudian hari: kemeja putih, sweater biru muda, celana cokelat muda. Di bagian awal ia mengenakan setelan jas kotak-kotak yang jelek, meskipun belakangan gonta-ganti baju terus sesuai kebutuhan.
4. Cerita
Sebagaimana halnya komik strip bersambung, ceritanya penuh aksi, ber-pace cepat, penuh adegan slapstick dan cliffhanger. Kalau aku pembaca pada masa itu, mungkin aku menunggu dengan rasa penasaran sampai terbitan Le Petit Viengtieme berikutnya, apa yang akan terjadi setelah mobil Tintin tertabrak kereta api, atau Tintin dieksekusi mati misalnya. Solusi pada edisi lanjutannya kadang terasa digampangkan dan defying logic banget. Paling kalau menemukan hal-hal seperti ini, dimaafkan saja deh dengan alasan namanya juga komik. Nggak realistis juga nggak apa-apa, mau bagaimana lagi.
Cerita dimulai dengan Tintin, wartawan top, diutus oleh Le Petit Viengtieme untuk meliput ke Sovyet, ditemani anjing setianya, Milo. Polisi rahasia Sovyet khawatir Tintin akan mengabarkan kondisi Sovyet yang sebenarnya pada dunia, maka untuk mencegahnya, mereka berkali-kali berusaha membunuhnya, sejak Tintin berangkat dari Brussels, selama dalam perjalanan, selama berada di Sovyet, sampai dalam perjalanan kembalinya. Itu saja plot yang menggerakkan cerita.
Jadi, baru saja Tintin ketiduran, kereta api-nya dibom, sepuluh gerbong rusak, dan 218 orang penumpangnya hilang. Garisbawahi: hilang. Entah kemana hilangnya, karena tidak ada mayat yang bergelimpangan. Dan entah bagaimana cuma Tintin dan Milo yang selamat, hanya baju saja yang compang-camping. Karena selamat itulah, sesampainya di Berlin Tintin dituduh sebagai pelaku pemboman dan dipenjara. Tentu saja Tintin berhasil kabur dari kejaran polisi Jerman, pertama dengan mencuri motor polisi, kemudian mencuri mobil mereka.
Oh ya, Tintin punya bakat khusus terkait kendaraan: apapun jenis kendaraannya, Tintin pasti mengalami kecelakaan, meskipun tetap selamat, tentunya. Dan hebatnya lagi, biarpun sempat masuk penjara dan mengalami kecelakaan berkali-kali, surat-surat Tintin masih lengkap dan ia tidak pernah kehabisan uang. Entah di mana semuanya disimpan. Mungkin Tintin punya semacam kantong ajaib Doraemon.
Pembaca juga tak usah khawatir atas keselamatan Tintin, karena tingkat keberuntungan Tintin luar biasa. Ia selalu bisa melarikan diri, dan kalau ia menyaru jadi penduduk bahkan prajurit Sovyet pun ia tidak pernah ketahuan. Hebatlah pokoknya, jangankan polisi rahasia, beruang saja bisa kalah kalau berantem dengan Tintin.
Singkat cerita, Tintin berhasil mendapatkan bahan liputan dengan melihat kondisi Sovyet yang sebenarnya. Tapi sepanjang cerita, cuma ada tiga panel yang menggambarkan Tintin menulis artikel. Itu pun tidak jelas apakah tumpukan kertas yang ditulisinya jadi dikirim, dibawa-bawa terus sepanjang petualangannya, atau ketinggalan di kamar hotelnya. Dan jelas jaminan suratkabar Le Petit Vingtieme bahwa "semua foto autentik, diambil oleh Tintin sendiri" hanya janji palsu belaka, karena dari awal sampai akhir Tintin tidak membawa kamera, jadi bagaimana pula cara mengambil fotonya?
5. Akhir kata
Dalam sejarahnya, komik Tintin di Tanah Sovyet ini memang satu-satunya komik strip yang dibiarkan apa adanya, tidak direvisi dan dibuat berwarna sebagaimana komik Tintin lainnya. Herge selalu menganggap komik ini salah satu "dosa masa muda"-nya, karena memiliki kelemahan utama, sumber informasi yang dijadikan referensi oleh Herge sangat berat sebelah. Tapi bagaimanapun, tanpa komik ini, petualangan-petualangan Tintin berikutnya--dengan riset yang lebih detail dan mendalam yang menjadi ciri khas Herge di kemudian hari--takkan pernah ada.
View all my reviews
Thursday, February 20, 2014
I See Dead People
The Screaming Staircase - Undakan Menjerit by Jonathan Stroud
My rating: 5 of 5 stars
Jonathan Stroud did it again!!!
Hingga akhir novel, di luar cerita utama, masih banyak kisah yang belum terungkap. Di buku satu ini kita dibuat mengetahui masa lalu Lucy Carlyle, tapi bagaimana dengan Lockwood dan George? Sepertinya latar belakang dan asal-usul mereka juga menarik untuk dinanti pengungkapannya. Yah, kita tunggu saja buku selanjutnya.
View all my reviews
My rating: 5 of 5 stars
Jonathan Stroud did it again!!!
Setelah serial Bartimaeus, belum ada terjemahan karya Jonathan Stroud
lain yang mampu membuatku terpaksa memberikan ponten lima dari lima. Heroes of
the Valley oke juga sih, tapi waktu membaca novel The Last Siege entah mengapa
malah teringat Petualangan di Puri Rajawali-nya Enid Blyton, sementara The Leap… eh, ceritanya tentang apa ya? Bahkan
ingatan tentang isi ceritanya saja sudah melompat keluar dari ingatanku.
Mungkin di benakku buku terakhir itu terlanjur masuk ke dalam loci just so-so
story…
Lantas, tahu-tahu saja aku menemukan terjemahan buku baru Stroud di
rak toko buku online pada bulan Januari 2014, tanpa pernah menyadari
kehadirannya ke dunia saat pertama kali terbit *lebay*, padahal biasanya
sebelum keluar versi terjemahannya, minimal aku sudah mengunduh versi ebooknya
dulu (yang bisa jadi langsung dibaca, tapi bisa juga hanya menambah timbunan file
ebook). Judulnya Screaming Staircase alias Undakan Menjerit, dan merupakan seri
pertama dari Lockwood & Co. Sip, berarti ini pasti ada sekuelnya, dan…
seharusnya sih kalau seri pasti seru.
Tentu saja, aku tidak menunggu sampai bukunya dipajang di lapak
diskonan, langsung mengklik “add-to-cart”, walaupun begitu bukunya datang sempat
terlantar seminggu sebelum kubuka. Untuk buku nonkomik, itu sudah bagus, karena
buku lain umumnya tertimbun berbulan-bulan.
Oke, lantas, bagaimana posisi Undakan Menjerit ini di antara
karya-karya Stroud?
Menurut pendapatku pribadi, buku ini kuletakkan di posisi yang
setara dengan serial Barty. Di sini tidak ada jin super narsis sih, tapi ada
banyak stok makhluk supranatural yang bisa membuat kita merasa sedang menonton
film-filmnya James Wan. Dan seperti
halnya serial Barty yang settingnya Inggris alternatif di mana penyihir
berkuasa (bukan bersembunyi dari para Muggle) dan makhlus halus bisa dipanggil
dari dunia lain, pada seri Lockwood & Co ini settingnya Inggris alternatif
di mana pemburu hantu merupakan profesi yang lazim, dan hantu gentayangan menjadi
wabah yang melanda seluruh negeri selama lima puluh tahun terakhir.
Pemburu hantu sendiri pada umumnya terdiri dari anak-anak dan remaja yang memiliki bakat cenayang yang bisa merasakan, melihat, atau mendengarkan hantu. Sedangkan mantan pemburu hantu yang sudah dewasa yang sudah kehilangan kemampuan biasanya menjadi supervisor yang mengatur dan mengarahkan para cenayang cilik itu berdasarkan pengalaman. Semua aktivitas para pemburu hantu itu sendiri berada di bawah pengawasan lembaga pemerintah, DEPRAC.
Anthony Lockwood mendirikan Lockwood & Co tanpa mengindahkan kelaziman yang berlaku, karena bergerak tanpa bimbingan orang dewasa. Dalam menjalankan usahanya, ia dibantu oleh George Cubbins dan Lucy Carlyle. Interaksi sehari-hari maupun dalam pekerjaan di antara tiga remaja dengan sifat dan kepribadian yang berbeda ini asyik untuk diikuti.
Ceritanya sendiri dimulai dengan kasus standar dari klien yang mengira suaminya yang belum lama tewas karena jatuh dari tangga menghantui rumahnya. Namun ternyata Lockwood dan Lucy yang menangani kasus itu mendapati kasusnya tidak sesederhana itu. Lawan yang harus dihadapi bukanlah hantu suami si nyonya rumah, tapi justru hantu yang telah menyebabkannya si suami tewas. Hantu yang dihadapi bukan hantu tipe satu yang tidak berbahaya, melainkan hantu tipe dua, yang bisa melakukan kontak fisik, dan jelas berbahaya. Meskipun pada akhirnya Lockwood dan Lucy berhasil menangani si hantu karena menemukan dan mengamankan Sumber alias penyebab utama gentayangannya si hantu, kurangnya persiapan membuat rumah yang seharusnya mereka bersihkan malah kebakaran. Ujung-ujungnya, Lockwood & Co malah dituntut untuk membayar ganti rugi dari si pemilik rumah.
Pucuk dicinta ulam tiba, saat sedang sibuk memikirkan strategi bagaimana caranya mendapat kasus besar yang bisa menutupi tuntutan ganti rugi yang bikin bangkrut itu, datang tawaran untuk membersihkan rumah berhantu terkenal yang pernah menewaskan beberapa pemburu hantu dari agensi besar. Berbahaya? Pasti. Tapi demi kelangsungan usaha yang sudah berada di ujung tanduk, Lockwood & Co pun menerima tawaran itu.
Pace buku ini agak lambat, tapi sebenarnya sangat cocok untuk buku bertipe horor yang kelam gelap mencekam begini. Pembaca digiring pelan-pelan untuk mengikuti setiap langkah para tokoh yang tengah menyelidiki ruangan demi ruangan, lalu dihadapkan pada sosok misterius yang dideskripsikan begitu detil sampai membuat merinding. Manusia yang berhadapan dengan hantu berkekuatan tertentu bisa terpaku, mengalami kuncian-hantu (ini sama dengan ketindihan, sepertinya) sehingga nyaris tak bisa melawan saat diserang. Dan pembaca pun dibuat terkunci dan tak sanggup meletakkan buku... kecuali yang karena saking seramnya malah memilih untuk sekip saja, barangkali. Untungnya aku membaca buku ini pada sore hari menjelang magrib, jadi tidak terlalu horor deh :)
Eksorsisme yang digambarkan oleh Stroud di novel ini sangat teknis, sama sekali tidak ada unsur reliji, dengan doa-doa dalam bahasa latin ataupun arab seperti yang biasa muncul di film-film horor Hollywood maupun Indonesia. Peralatan utama pemburu hantu umumnya terbuat dari besi, bisa berupa pedang rapier untuk menyerang atau rantai atau bubuk besi untuk dijadikan perisai. Tapi yang bisa mengembalikan para hantu ke alam lain biasanya bila sumber gentayangannya ditemukan, karena ada saja hal yang mengikat para roh dengan dunia fana. Kalau untuk alat penyucian roh, dipikir-pikir sepertinya manga Rinne-nya Rumiko Takahashi jauh lebih kreatif sih, dari alat yang murah-meriah sampai alat yang harganya paling bikin bokek semua ada :)
Hingga akhir novel, di luar cerita utama, masih banyak kisah yang belum terungkap. Di buku satu ini kita dibuat mengetahui masa lalu Lucy Carlyle, tapi bagaimana dengan Lockwood dan George? Sepertinya latar belakang dan asal-usul mereka juga menarik untuk dinanti pengungkapannya. Yah, kita tunggu saja buku selanjutnya.
View all my reviews
Wednesday, February 19, 2014
All You Need Is Read This Book!
All You Need Is Kill by Hiroshi Sakurazaka
My rating: 5 of 5 stars
I must say that I really love this book.
Meskipun memang pada awalnya aku tertarik baca light novel ini hanya karena penasaran saja. Mengapa juga sampai penasaran? Simply karena salah satu mangaka favoritku, Takeshi Obata (Hikaru No Go, Death Note, Bakuman), membuat versi manganya.
Baru setelah itu aku ngeh, bahwa versi manga All You Need Is Kill (sebut saja AYNIK) ini diterbitkan di Weekly Shonen Jump Jepang dan Amerika karena untuk menyambut perilisan versi filmnya yang konon bakal tayang mulai tanggal 6 Juni 2014. Buat yang belum tahu, judul filmnya Edge of Tomorrow, dan dibintangi oleh Tom Cruise dan Emily Blunt.
Jadi... seperti apa sih cerita novel ini?
Cover buku, gambar Obata-sensei dan poster film di atas jelas menunjukkan: perang, prajurit yang mengenakan armor exoskeleton, dan kematian di medan perang. Tapi tagline poster Edge of Tomorrow jelas mengungkapkan alur cerita AYNIK dengan akurat: LIVE. DIE. REPEAT.
Q: Tunggu, tunggu, kok kayak main game banget sih?
Tepat sekali. Karena sebagaimana dituturkan Hiroshi Sakurazaka di bagian afterword, inspirasi novel ini memang berasal dari pengalaman bermain game. Kita menyelesaikan suatu game bukan dengan sekali main, dan bukan karena kita sudah jago dari awal. Tapi karena setiap kali bermain, lalu avatar kita mati, dan ketika permainan mulai dari awal lagi, kita belajar dari pengalaman sebelumnya. Kita bermain sekaligus melatih jurus dan trik dalam kesempatan berikutnya, lantas mati lagi, reset, dan kembali menyempurnakan jurus dan trik dalam kesempatan berikutnya.
Meskipun aku tidak gape main game, menganggapnya wasting time, dan jelas lebih suka menghabiskan waktu luang untuk membaca buku, pengalamanku bermain game Prince of Persia pakai floppy disk 5.25 inci (zaman kapan tuuuuuh?) yang tidak bisa di-save pada level terakhir si pangeran mati kena bacok dan selalu balik lagi ke level 1, membuatku bisa memahami konsep yang ditawarkan penulis novel ini.
Buat generasi sekarang, mungkin main Flappy Bird yang bikin galau dan stres sejuta umat saat ini bisa menjadi contoh betapa nyeseknya kalau harus memulai kembali game dari awal banget :)
Q: Lalu, bagaimana kalau kita mengalami hal serupa di dunia nyata?
Keiji Kiriya, prajurit hijau United Defense Force, tewas tak lama setelah ia terjun dalam pertempuran pertamanya melawan pasukan alien yang disebut dengan nama Mimics. Namun, ia hidup kembali pada satu hari sebelum pertempuran. Pada kehidupan keduanya, ia menganggap apa yang dialaminya cuma mimpi belaka. Tapi ketika ia mulai merasa deja-vu karena semua hal berlangsung persis seperti mimpinya, lalu ia kembali bertempur dan kembali tewas, lantas kembali bangun pada satu hari sebelum pertempuran... Keiji sadar bahwa ia mengalami time-loop, dan bahwa nasibnya tidak terelakkan, bahwa ia akan kembali merasakan kematian.
Lalu, bagaimana cara Keiji mencoba menghindari nasib mengenaskan di medan perang? Pada kehidupan ketiga, ia langsung melakukan desersi, kabur jauh-jauh dari markas. Tapi toh tetap mati, dan hidup lagi. Pada kehidupan keempat, begitu bangun ia langsung pinjam pistol dan bunuh diri. Tidak ada gunanya. Ia tetap bangun lagi satu hari sebelum pertempuran pertamanya.
Pada kehidupan kelima, ia menyerah pada takdirnya untuk terus mengulang kematian. Tapi di saat yang sama, ia bertekad untuk melawan takdirnya dengan melatih diri untuk pertempuran berikutnya, agar lebih siap, dapat bertahan hidup lebih lama, dengan harapan semakin terlatih semakin besar kemungkinan untuk menang dalam pertempuran dan tidak ada lagi alien yang bisa membunuhnya. Toh, ia punya banyak waktu...
Dalam mengasah kemampuannya dari hari ke hari, Keiji mengacu pada Rita Vrataski, prajurit andalan US Special Forces yang membantu UDF mempertahankan garis pantai Jepang dari invasi Mimics. Terkenal dengan julukan Full Metal Bitch atau Mad Wargarita, meskipun usianya tak jauh beda dengan Keiji, Rita Vrataski adalah prajurit veteran yang sanggup membunuh lebih dari 100 Mimics dalam satu pertempuran. Dengan melatih diri sangat disiplin, mempelajari dan mempraktekkan cara bertempur Rita, bahkan sampai ikut menggunakan battle-axe yang lebih efektif dalam membunuh Mimics, lama kelamaan Keiji berubah dari prajurit yang tidak tahu apa-apa menjadi prajurit veteran dengan level kemampuan tempur yang setara dengan gadis yang dikaguminya, dan mungkin pada akhirnya dicintainya...
Titik balik cerita dimulai pada kehidupan/pertempuran ke-158, di mana Keiji akhirnya mengetahui rahasia di balik time-loop yang dialaminya...
Sebagian besar cerita dituturkan dari sudut pandang Keiji Kiriya, sehingga kita bisa mengetahui apa saja yang berkecamuk dalam hati dan pikirannya, baik pada saat berada di medan tempur, pada saat sekarat, pada saat mengutuk para jenderal yang seenaknya memberikan latihan fisik sebagai hukuman atau berada di tempat aman selagi para prajurit berguguran, atau pada saat mengapresiasi kelebihan lawan jenis. Sebagian cerita dituturkan dengan sudut pandang orang ketiga pada saat fokus cerita beralih pada masa lalu dan latar belakang Rita Vrataski. Tapi kurasa itu wajar saja, karena dalam time-loop yang berkisar 30 jam, tidak ada waktu bagi Keiji untuk mengetahui masa lalu Rita, sehingga pembaca juga tak akan mendapat gambaran utuh tentang karakter yang "baru dikenal sebentar" kalau hanya mengandalkan sudut pandang Keiji. Dalam sudut pandang dewa ini juga, penulis berusaha menceritakan latar belakang Mimics, sehingga pembaca mendapatkan gambaran utuh tentang apa dan bagaimana lawan yang berusaha memusnahkan seluruh umat manusia dari muka bumi itu.
Q: Reset lebih dari 150 kali? Apa tidak bikin bosan, tuh?
Kalau Keiji Kiriya bosan setengah mati mengulang hari, itu sudah pasti. Tapi tidak bagi pembaca. Variasi cerita berdasarkan tindakan yang dipilih serta pace cerita yang cepat dan memacu adrenalin akan mengikat pembaca untuk mengetahui perkembangan Keiji dan bagaimana caranya mengakhiri time-loop yang dialaminya. Pembaca juga tidak usah khawatir dibawa mengikuti setiap kehidupan Keiji. Cerita bisa melompati puluhan kehidupan, karena Keiji menyusun jadwal yang ketat sehingga pembaca bisa tahu rutinitasnya selama puluhan kehidupan, namun tetap mengetahui setiap variasi baru kala Keiji mencoba suatu hal baru untuk memperbaiki kinerjanya.
Setelah menyukai versi novel dan manga AYNIK (baru rilis 6 bab, baru sampai kehidupan ke-158, tapi aduh keren banget artwork-nya, bikin nggak sabar untuk membandingkan dengan novelnya!), sekarang aku malah khawatir akan versi filmnya. Bukan apa-apa, tapi pemilihan cast-nya itu lho. Ini cerita tentang prajurit rookie kinyis-kinyis yang nggak tahu apa-apa tentang perang sampai jadi veteran di hari pertempuran pertamanya! Lah, ini Keiji Kiriya versi Amrik-nya (Bill Cage, Keiji = Cage) sudah tua, berpangkat letkol, dan wajarnya sih sudah veteran gitu lo. Belum lagi armor tempur yang seharusnya canggih terlihat sederhana banget dibandingkan apa yang digambarkan dalam novel dan manga (apakah takut mirip dengan armor Iron Man, kali ya?). Damn. Please don't ruin this story for me, Cruise cs!
Akhir kata, losing your life is not the worst thing that can happen. The worst thing is to lose your reason for living. Dan iya, this quote is not mine, but Jo Nesbo's.
View all my reviews
My rating: 5 of 5 stars
I must say that I really love this book.
Meskipun memang pada awalnya aku tertarik baca light novel ini hanya karena penasaran saja. Mengapa juga sampai penasaran? Simply karena salah satu mangaka favoritku, Takeshi Obata (Hikaru No Go, Death Note, Bakuman), membuat versi manganya.
Nice artwork, as expected of Obata-sensei |
Gimana mau ngeh kalo film ini based on AYNIK, judulnya aja beda banget. And I don't really care about Tom Cruise's movie projects |
Cover buku, gambar Obata-sensei dan poster film di atas jelas menunjukkan: perang, prajurit yang mengenakan armor exoskeleton, dan kematian di medan perang. Tapi tagline poster Edge of Tomorrow jelas mengungkapkan alur cerita AYNIK dengan akurat: LIVE. DIE. REPEAT.
Q: Tunggu, tunggu, kok kayak main game banget sih?
Tepat sekali. Karena sebagaimana dituturkan Hiroshi Sakurazaka di bagian afterword, inspirasi novel ini memang berasal dari pengalaman bermain game. Kita menyelesaikan suatu game bukan dengan sekali main, dan bukan karena kita sudah jago dari awal. Tapi karena setiap kali bermain, lalu avatar kita mati, dan ketika permainan mulai dari awal lagi, kita belajar dari pengalaman sebelumnya. Kita bermain sekaligus melatih jurus dan trik dalam kesempatan berikutnya, lantas mati lagi, reset, dan kembali menyempurnakan jurus dan trik dalam kesempatan berikutnya.
Meskipun aku tidak gape main game, menganggapnya wasting time, dan jelas lebih suka menghabiskan waktu luang untuk membaca buku, pengalamanku bermain game Prince of Persia pakai floppy disk 5.25 inci (zaman kapan tuuuuuh?) yang tidak bisa di-save pada level terakhir si pangeran mati kena bacok dan selalu balik lagi ke level 1, membuatku bisa memahami konsep yang ditawarkan penulis novel ini.
Let's hope this time is better, Prince! |
Are you ready to get start again? |
Q: Lalu, bagaimana kalau kita mengalami hal serupa di dunia nyata?
Keiji Kiriya, prajurit hijau United Defense Force, tewas tak lama setelah ia terjun dalam pertempuran pertamanya melawan pasukan alien yang disebut dengan nama Mimics. Namun, ia hidup kembali pada satu hari sebelum pertempuran. Pada kehidupan keduanya, ia menganggap apa yang dialaminya cuma mimpi belaka. Tapi ketika ia mulai merasa deja-vu karena semua hal berlangsung persis seperti mimpinya, lalu ia kembali bertempur dan kembali tewas, lantas kembali bangun pada satu hari sebelum pertempuran... Keiji sadar bahwa ia mengalami time-loop, dan bahwa nasibnya tidak terelakkan, bahwa ia akan kembali merasakan kematian.
Lalu, bagaimana cara Keiji mencoba menghindari nasib mengenaskan di medan perang? Pada kehidupan ketiga, ia langsung melakukan desersi, kabur jauh-jauh dari markas. Tapi toh tetap mati, dan hidup lagi. Pada kehidupan keempat, begitu bangun ia langsung pinjam pistol dan bunuh diri. Tidak ada gunanya. Ia tetap bangun lagi satu hari sebelum pertempuran pertamanya.
Pada kehidupan kelima, ia menyerah pada takdirnya untuk terus mengulang kematian. Tapi di saat yang sama, ia bertekad untuk melawan takdirnya dengan melatih diri untuk pertempuran berikutnya, agar lebih siap, dapat bertahan hidup lebih lama, dengan harapan semakin terlatih semakin besar kemungkinan untuk menang dalam pertempuran dan tidak ada lagi alien yang bisa membunuhnya. Toh, ia punya banyak waktu...
Dalam mengasah kemampuannya dari hari ke hari, Keiji mengacu pada Rita Vrataski, prajurit andalan US Special Forces yang membantu UDF mempertahankan garis pantai Jepang dari invasi Mimics. Terkenal dengan julukan Full Metal Bitch atau Mad Wargarita, meskipun usianya tak jauh beda dengan Keiji, Rita Vrataski adalah prajurit veteran yang sanggup membunuh lebih dari 100 Mimics dalam satu pertempuran. Dengan melatih diri sangat disiplin, mempelajari dan mempraktekkan cara bertempur Rita, bahkan sampai ikut menggunakan battle-axe yang lebih efektif dalam membunuh Mimics, lama kelamaan Keiji berubah dari prajurit yang tidak tahu apa-apa menjadi prajurit veteran dengan level kemampuan tempur yang setara dengan gadis yang dikaguminya, dan mungkin pada akhirnya dicintainya...
Titik balik cerita dimulai pada kehidupan/pertempuran ke-158, di mana Keiji akhirnya mengetahui rahasia di balik time-loop yang dialaminya...
Sebagian besar cerita dituturkan dari sudut pandang Keiji Kiriya, sehingga kita bisa mengetahui apa saja yang berkecamuk dalam hati dan pikirannya, baik pada saat berada di medan tempur, pada saat sekarat, pada saat mengutuk para jenderal yang seenaknya memberikan latihan fisik sebagai hukuman atau berada di tempat aman selagi para prajurit berguguran, atau pada saat mengapresiasi kelebihan lawan jenis. Sebagian cerita dituturkan dengan sudut pandang orang ketiga pada saat fokus cerita beralih pada masa lalu dan latar belakang Rita Vrataski. Tapi kurasa itu wajar saja, karena dalam time-loop yang berkisar 30 jam, tidak ada waktu bagi Keiji untuk mengetahui masa lalu Rita, sehingga pembaca juga tak akan mendapat gambaran utuh tentang karakter yang "baru dikenal sebentar" kalau hanya mengandalkan sudut pandang Keiji. Dalam sudut pandang dewa ini juga, penulis berusaha menceritakan latar belakang Mimics, sehingga pembaca mendapatkan gambaran utuh tentang apa dan bagaimana lawan yang berusaha memusnahkan seluruh umat manusia dari muka bumi itu.
Q: Reset lebih dari 150 kali? Apa tidak bikin bosan, tuh?
Kalau Keiji Kiriya bosan setengah mati mengulang hari, itu sudah pasti. Tapi tidak bagi pembaca. Variasi cerita berdasarkan tindakan yang dipilih serta pace cerita yang cepat dan memacu adrenalin akan mengikat pembaca untuk mengetahui perkembangan Keiji dan bagaimana caranya mengakhiri time-loop yang dialaminya. Pembaca juga tidak usah khawatir dibawa mengikuti setiap kehidupan Keiji. Cerita bisa melompati puluhan kehidupan, karena Keiji menyusun jadwal yang ketat sehingga pembaca bisa tahu rutinitasnya selama puluhan kehidupan, namun tetap mengetahui setiap variasi baru kala Keiji mencoba suatu hal baru untuk memperbaiki kinerjanya.
Setelah menyukai versi novel dan manga AYNIK (baru rilis 6 bab, baru sampai kehidupan ke-158, tapi aduh keren banget artwork-nya, bikin nggak sabar untuk membandingkan dengan novelnya!), sekarang aku malah khawatir akan versi filmnya. Bukan apa-apa, tapi pemilihan cast-nya itu lho. Ini cerita tentang prajurit rookie kinyis-kinyis yang nggak tahu apa-apa tentang perang sampai jadi veteran di hari pertempuran pertamanya! Lah, ini Keiji Kiriya versi Amrik-nya (Bill Cage, Keiji = Cage) sudah tua, berpangkat letkol, dan wajarnya sih sudah veteran gitu lo. Belum lagi armor tempur yang seharusnya canggih terlihat sederhana banget dibandingkan apa yang digambarkan dalam novel dan manga (apakah takut mirip dengan armor Iron Man, kali ya?). Damn. Please don't ruin this story for me, Cruise cs!
Akhir kata, losing your life is not the worst thing that can happen. The worst thing is to lose your reason for living. Dan iya, this quote is not mine, but Jo Nesbo's.
View all my reviews
Sunday, February 9, 2014
Monsters University Fearbook
Monsters University Fearbook by Calliope Glass
My rating: 4 of 5 stars
Sewaktu iseng-iseng mampir ke lapak Gramedia di Lantai 3A Plaza Semanggi, kebetulan aku menemukan bukutahunan takutan dari Monsters University milik Mike Wazowski ini di antara segambreng buku masakan buku obralan tidak jelas lainnya. Setelah memastikan bahwa buku ini cuma dihargai ceban (waktu kucek di grazera ternyata cuma seperenam harga aslinya), sudah pasti langsung kubeli saja.
Lalu, seperti apa sih isi bukunya?
Seperti layaknya buku tahunan (yang ternyata tetap dimiliki Mike meskipun dia di-DO bersama-sama dengan James Sullivan karena "skandal" yang menghebohkan), buku ini penuh kesan dan pesan dari teman-temannya di MU. Jelas ini peer tambahan buat mencari font yang berbeda-beda untuk semua corat-coret plus tanda tangan mereka.
Dan seperti layaknya buku tahunan, ada sejarah singkat MU, peta kampus (yang memetakan dari gerbang depan, gedung-gedung sekolah, perpustakaan, sampai rumah-rumah kelompok persaudaraan), kehidupan kampus, jenis program studi (terdiri dari Sekolah Perseraman, Sekolah Teknik, Sekolah Seni Liberal dan Keangkeran, Sekolah Bisnis, dan Sekolah Sains), Kelompok-kelompok persaudaraan yang ada di kampus, klub siswa, klub olahraga, sampai foto-foto para dekan, dosen, dan tentunya para masasiswa/siswi di MU. Tidak lupa dua halaman penuh iklan. Iya... susah bikin buku tahunan tanpa sponsor, kan?
Jadi, buku tahunan ini bisa menjadi panduan kalau kita berencana memasuki MU.
Misalnya, mau pilih jurusan apa?
Kalau kau punya bakat untuk menakut-nakuti, katakanlah biasa nge-bully anak kecil atau memang tampangmu lumayan menyeramkan, bisa pilih jurusan Perseraman seperti halnya Mike dan Sulley. Tapi, kalau malah biasa di-bully anak kecil atau tampangmu malah imut menggemaskan, mendingan pass saja deh. Daripada nanti ditendang keluar dari jurusan oleh Dekan Hardscrabble. OOT, ada yang tahu kenapa namanya Hardscrabble, ya? Apakah karena keluarganya turun temurun doyan main scrabble?
Setelah membaca profil masing-masing jurusan, sepertinya kalau bisa lulus ujian masuk MU, aku akan memilih masuk Sekolah Bisnis, jurusan Akuntansi saja (iyaaa... nggak ada bedanya dengan di dunia nyata XD), meskipun dosennya, Timothy Rastrussen tampaknya lebih cocok jadi dosen jurusan Perseraman daripada Derek Knight yang culun itu.
Sudah jelas aku tidak biasa menakut-nakuti orang dan punya tampang orang baik-baik sehingga tak bisa memilih jurusan paling seksi di MU. Aku juga tidak berselera masuk Sekolah Teknik untuk mempelajari teknologi pintu dan perancangan kaleng jeritan. Meskipun ilmu konektivitas portal cukup menarik, tapi pintunya tidak seperti pintu ke mana saja Doraemon, hanya bisa menyambung dengan kamar anak kecil di waktu tidur mereka. Sekolah Seni Liberal dan Keangkeran juga kurang menarik, karena genrenya terbatas pada literatur horor (what do you expect, ini MU gitu lho!). Sedangkan Sekolah Sains... eww... apa enaknya mempelajari Analisis Kaus Kaki anak-anak (itu sudah dicuci, belum?) atau Lendirologi (eww!)?
Sedangkan untuk kelompok persaudaraan... sepertinya memang paling aman dan nyaman bergabung dengan kelompok Oozma Kappa saja. Setidaknya, meskipun dulu dipandang sebelah mata, berkat Mike Zakowski, kelompok yang paling ramah ini sudah cukup OK sekarang.
Untuk klub siswa sendiri, daripada ikutan Klub Glee, Klub Seni, dan Klub Debat, sepertinya aku mendingan masuk Book Worms saja (sudah jelas kenapa :D). Tapi sisi buruknya, karena anggota klub ini rata-rata pembaca yang rakus (literally, karena bukunya juga dilahap secara harfiah), klub ini dilarang masuk ke perpustakaan kampus.
Membaca buku tahunan ini, kita juga bisa jadi tahu siapa siswa yang punya rambut paling keren (Michelle Bauer, karena sepertinya dia monster yang full bulu), siswa yang paling rajin (Mike Zakowski, tentu saja), siswa yang paling jago menghilang (Randy Boggs), sampai siswa yang paling berpeluang untuk sukses (James Sullivan, dan tentu saja ramalan itu benar!).
Sedangkan dari halaman iklan, kita bisa tahu kudapan lazim para mahasiswa (Tony's Eye Scream, Sam's Squid Pies dan Pizza Planet), layanan Teeth Yellowing (makin kuning makin menyeramkan?), sampai iklan Help Wanted dari Mailroom Workers Monsters, Inc. Ya, mungkinkah Mike dan Sulley merujuk iklan ini setelah di-DO dari MU? Who knows?
Anyway, meskipun buku terasa kurang tebal untuk sebuah buku tahunan, buku ini sungguh hilarious dan menyenangkan untuk dibaca :)
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
Sewaktu iseng-iseng mampir ke lapak Gramedia di Lantai 3A Plaza Semanggi, kebetulan aku menemukan buku
Lalu, seperti apa sih isi bukunya?
Seperti layaknya buku tahunan (yang ternyata tetap dimiliki Mike meskipun dia di-DO bersama-sama dengan James Sullivan karena "skandal" yang menghebohkan), buku ini penuh kesan dan pesan dari teman-temannya di MU. Jelas ini peer tambahan buat mencari font yang berbeda-beda untuk semua corat-coret plus tanda tangan mereka.
Dan seperti layaknya buku tahunan, ada sejarah singkat MU, peta kampus (yang memetakan dari gerbang depan, gedung-gedung sekolah, perpustakaan, sampai rumah-rumah kelompok persaudaraan), kehidupan kampus, jenis program studi (terdiri dari Sekolah Perseraman, Sekolah Teknik, Sekolah Seni Liberal dan Keangkeran, Sekolah Bisnis, dan Sekolah Sains), Kelompok-kelompok persaudaraan yang ada di kampus, klub siswa, klub olahraga, sampai foto-foto para dekan, dosen, dan tentunya para masasiswa/siswi di MU. Tidak lupa dua halaman penuh iklan. Iya... susah bikin buku tahunan tanpa sponsor, kan?
Jadi, buku tahunan ini bisa menjadi panduan kalau kita berencana memasuki MU.
Misalnya, mau pilih jurusan apa?
Kalau kau punya bakat untuk menakut-nakuti, katakanlah biasa nge-bully anak kecil atau memang tampangmu lumayan menyeramkan, bisa pilih jurusan Perseraman seperti halnya Mike dan Sulley. Tapi, kalau malah biasa di-bully anak kecil atau tampangmu malah imut menggemaskan, mendingan pass saja deh. Daripada nanti ditendang keluar dari jurusan oleh Dekan Hardscrabble. OOT, ada yang tahu kenapa namanya Hardscrabble, ya? Apakah karena keluarganya turun temurun doyan main scrabble?
Setelah membaca profil masing-masing jurusan, sepertinya kalau bisa lulus ujian masuk MU, aku akan memilih masuk Sekolah Bisnis, jurusan Akuntansi saja (iyaaa... nggak ada bedanya dengan di dunia nyata XD), meskipun dosennya, Timothy Rastrussen tampaknya lebih cocok jadi dosen jurusan Perseraman daripada Derek Knight yang culun itu.
Sudah jelas aku tidak biasa menakut-nakuti orang dan punya tampang orang baik-baik sehingga tak bisa memilih jurusan paling seksi di MU. Aku juga tidak berselera masuk Sekolah Teknik untuk mempelajari teknologi pintu dan perancangan kaleng jeritan. Meskipun ilmu konektivitas portal cukup menarik, tapi pintunya tidak seperti pintu ke mana saja Doraemon, hanya bisa menyambung dengan kamar anak kecil di waktu tidur mereka. Sekolah Seni Liberal dan Keangkeran juga kurang menarik, karena genrenya terbatas pada literatur horor (what do you expect, ini MU gitu lho!). Sedangkan Sekolah Sains... eww... apa enaknya mempelajari Analisis Kaus Kaki anak-anak (itu sudah dicuci, belum?) atau Lendirologi (eww!)?
Sedangkan untuk kelompok persaudaraan... sepertinya memang paling aman dan nyaman bergabung dengan kelompok Oozma Kappa saja. Setidaknya, meskipun dulu dipandang sebelah mata, berkat Mike Zakowski, kelompok yang paling ramah ini sudah cukup OK sekarang.
Untuk klub siswa sendiri, daripada ikutan Klub Glee, Klub Seni, dan Klub Debat, sepertinya aku mendingan masuk Book Worms saja (sudah jelas kenapa :D). Tapi sisi buruknya, karena anggota klub ini rata-rata pembaca yang rakus (literally, karena bukunya juga dilahap secara harfiah), klub ini dilarang masuk ke perpustakaan kampus.
Membaca buku tahunan ini, kita juga bisa jadi tahu siapa siswa yang punya rambut paling keren (Michelle Bauer, karena sepertinya dia monster yang full bulu), siswa yang paling rajin (Mike Zakowski, tentu saja), siswa yang paling jago menghilang (Randy Boggs), sampai siswa yang paling berpeluang untuk sukses (James Sullivan, dan tentu saja ramalan itu benar!).
Sedangkan dari halaman iklan, kita bisa tahu kudapan lazim para mahasiswa (Tony's Eye Scream, Sam's Squid Pies dan Pizza Planet), layanan Teeth Yellowing (makin kuning makin menyeramkan?), sampai iklan Help Wanted dari Mailroom Workers Monsters, Inc. Ya, mungkinkah Mike dan Sulley merujuk iklan ini setelah di-DO dari MU? Who knows?
Anyway, meskipun buku terasa kurang tebal untuk sebuah buku tahunan, buku ini sungguh hilarious dan menyenangkan untuk dibaca :)
View all my reviews
Saturday, February 1, 2014
Stir of Echoes
A Stir of Echoes by Richard Matheson
My rating: 4 of 5 stars
Tom Wallace lived an ordinary life, until a chance event awakened psychic ablilities he never knew he possessed. Now he's hearing the private thoughts of the people around him--and learning shocking secrets he never wanted to know. But as Tom's existence becomes a waking nightmare, greater jolts are in store when he becomes the unwilling recipient of a compelling message from beyond the grave.
Pernah melihat acara TV di mana seorang mentalis menghipnotis "korban"-nya dan membuat mereka melakukan dan mengungkapkan hal-hal di luar kemauan mereka? Well, awalnya Tom Wallace "terpilih" untuk jadi bahan eksperimen Phil, saudara iparnya, yang sedang berkunjung ke rumah yang baru ditempati keluarganya selama dua bulan. Acara hipnotis main-main itu berlangsung sukses. Meskipun Tom cuma merasa tertidur satu dua detik, ternyata ia tidak sadar selama empat puluh lima menit. Selama itu ia menjadi anak dua belas tahun lagi, bercerita tentang teman, keluarga, sepeda idamannya, dan lain-lain. Ia juga dibuat kedinginan karena merasa sedang berada di kutub utara, kepanasan dan kehausan karena berada di gurun Sahara, bahkan masih ada perintah selama hipnotis dari Phil yang dilakukannya setelah ia sadar: memasukkan sepatu kirinya ke dalam kulkas!
Permainan selesai. Seperti ucapan terakhir Phil sebelum membangunkannya dari keadaan terhipnotis: "Your mind is free now. There's nothing binding it. It's free, absolutely free."
Seharusnya perintah itu dirancang untuk mencegah pikiran korban hipnotis terkena efek dari perintah-perintah lain yang bisa mempengaruhinya setelah sadar. Tapi pada Tom, efeknya ternyata sangat berbeda. Pikirannya "terbebaskan", dan di luar kehendaknya, kemampuan psikisnya bangkit.
Dimulai dari melihat hantu seorang wanita di ruang duduknya di tengah malam, diikuti dengan membaca pikiran orang-orang di sekitarnya tanpa sadar, meramalkan sesuatu yang akan terjadi, sampai membaca sesuatu dari benda yang dipegangnya. Oke, itu berarti menjadi cenayang, telepath, precogs, plus psikometrer sekaligus secara mendadak! Dan itu jelas membuat orang biasa seperti Tom menjadi kebingungan dan ketakutan.
Kalau cuma membaca pikiran baik-baik sih, mungkin tidak apa-apa. Tapi Tom jadi ngeri waktu bisa membaca pikiran Elsie, istri tetangganya, yang ternyata diam-diam berpikir untuk menggoda dan berselingkuh dengannya, meskipun di luar kelihatannya biasa-biasa saja. Saking takutnya digoda istri tetangga berpikiran binal, ia sampai kabur ketakutan waktu disuruh istrinya untuk mengambilkan loyang pie ke rumah sebelah :D
Kalau cuma meramalkan hal yang berguna, tentu tak ada salahnya. Misalnya karena bisa membaca niat tidak baik dari babysitter anaknya, ia berhasil mencegah penculikan anaknya. Tapi, ketika bisa mengetahui bahwa ibu mertua meninggal dunia bahkan sebelum istrinya mendapatkan kabar buruk itu... wajar saja kalau sang istri jadi merasa takut padanya.
Kalau cuma membaca hal-hal baik dari benda yang dipegang, tentunya tidak jadi masalah. Tapi kalau bisa membaca kematian dari sebuah sisir atau tongkat perapian... bagaimana tidak menjadi sinting? Belum lagi setiap malam diganggu hantu gentayangan yang ingin menuntut keadilan...
Novel ini karya Richard Matheson, yang terkenal dengan novel masterpiece-nya I am Legend. Sebagaimana novel yang satu itu difilmkan dengan bintang Will Smith, novel terbitan tahun 1958 ini jadi diangkat menjadi film dengan Kevin Bacon yang memerankan Tom. Meskipun hanya adaptasi bebas, tema intinya tetap sama, tentang Tom yang kemampuan psikisnya bangkit setelah dihipnotis.
Membaca cerita tentang ESP seperti ini, otomatis aku jadi teringat novel-novel Stephen King dengan tema dan gaya penulisan serupa. Dan memang, Stephen King sendiri mengakui bahwa "The author who influenced me the most as a writer was Richard Matheson". Well, pantas saja kalau begitu.
Buku ini sudah tertimbun sejak tanggal 2 Oktober 2010. Aku tidak ingat lagi di mana mendapatkannya, tapi sekarang aku menyesali kenapa buku sebagus ini lama terabaikan. Padahal bukunya tipis kok, cuma 211 halaman.
Well, mengingat buku ini cuma salah satu dari ratusan buku yang masih berstatus un-read... aku cuma bisa mengulang kutipan lawas... So many books, so little time...
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
Tom Wallace lived an ordinary life, until a chance event awakened psychic ablilities he never knew he possessed. Now he's hearing the private thoughts of the people around him--and learning shocking secrets he never wanted to know. But as Tom's existence becomes a waking nightmare, greater jolts are in store when he becomes the unwilling recipient of a compelling message from beyond the grave.
Pernah melihat acara TV di mana seorang mentalis menghipnotis "korban"-nya dan membuat mereka melakukan dan mengungkapkan hal-hal di luar kemauan mereka? Well, awalnya Tom Wallace "terpilih" untuk jadi bahan eksperimen Phil, saudara iparnya, yang sedang berkunjung ke rumah yang baru ditempati keluarganya selama dua bulan. Acara hipnotis main-main itu berlangsung sukses. Meskipun Tom cuma merasa tertidur satu dua detik, ternyata ia tidak sadar selama empat puluh lima menit. Selama itu ia menjadi anak dua belas tahun lagi, bercerita tentang teman, keluarga, sepeda idamannya, dan lain-lain. Ia juga dibuat kedinginan karena merasa sedang berada di kutub utara, kepanasan dan kehausan karena berada di gurun Sahara, bahkan masih ada perintah selama hipnotis dari Phil yang dilakukannya setelah ia sadar: memasukkan sepatu kirinya ke dalam kulkas!
Permainan selesai. Seperti ucapan terakhir Phil sebelum membangunkannya dari keadaan terhipnotis: "Your mind is free now. There's nothing binding it. It's free, absolutely free."
Seharusnya perintah itu dirancang untuk mencegah pikiran korban hipnotis terkena efek dari perintah-perintah lain yang bisa mempengaruhinya setelah sadar. Tapi pada Tom, efeknya ternyata sangat berbeda. Pikirannya "terbebaskan", dan di luar kehendaknya, kemampuan psikisnya bangkit.
Dimulai dari melihat hantu seorang wanita di ruang duduknya di tengah malam, diikuti dengan membaca pikiran orang-orang di sekitarnya tanpa sadar, meramalkan sesuatu yang akan terjadi, sampai membaca sesuatu dari benda yang dipegangnya. Oke, itu berarti menjadi cenayang, telepath, precogs, plus psikometrer sekaligus secara mendadak! Dan itu jelas membuat orang biasa seperti Tom menjadi kebingungan dan ketakutan.
Kalau cuma membaca pikiran baik-baik sih, mungkin tidak apa-apa. Tapi Tom jadi ngeri waktu bisa membaca pikiran Elsie, istri tetangganya, yang ternyata diam-diam berpikir untuk menggoda dan berselingkuh dengannya, meskipun di luar kelihatannya biasa-biasa saja. Saking takutnya digoda istri tetangga berpikiran binal, ia sampai kabur ketakutan waktu disuruh istrinya untuk mengambilkan loyang pie ke rumah sebelah :D
Kalau cuma meramalkan hal yang berguna, tentu tak ada salahnya. Misalnya karena bisa membaca niat tidak baik dari babysitter anaknya, ia berhasil mencegah penculikan anaknya. Tapi, ketika bisa mengetahui bahwa ibu mertua meninggal dunia bahkan sebelum istrinya mendapatkan kabar buruk itu... wajar saja kalau sang istri jadi merasa takut padanya.
Kalau cuma membaca hal-hal baik dari benda yang dipegang, tentunya tidak jadi masalah. Tapi kalau bisa membaca kematian dari sebuah sisir atau tongkat perapian... bagaimana tidak menjadi sinting? Belum lagi setiap malam diganggu hantu gentayangan yang ingin menuntut keadilan...
Novel ini karya Richard Matheson, yang terkenal dengan novel masterpiece-nya I am Legend. Sebagaimana novel yang satu itu difilmkan dengan bintang Will Smith, novel terbitan tahun 1958 ini jadi diangkat menjadi film dengan Kevin Bacon yang memerankan Tom. Meskipun hanya adaptasi bebas, tema intinya tetap sama, tentang Tom yang kemampuan psikisnya bangkit setelah dihipnotis.
Membaca cerita tentang ESP seperti ini, otomatis aku jadi teringat novel-novel Stephen King dengan tema dan gaya penulisan serupa. Dan memang, Stephen King sendiri mengakui bahwa "The author who influenced me the most as a writer was Richard Matheson". Well, pantas saja kalau begitu.
Buku ini sudah tertimbun sejak tanggal 2 Oktober 2010. Aku tidak ingat lagi di mana mendapatkannya, tapi sekarang aku menyesali kenapa buku sebagus ini lama terabaikan. Padahal bukunya tipis kok, cuma 211 halaman.
Well, mengingat buku ini cuma salah satu dari ratusan buku yang masih berstatus un-read... aku cuma bisa mengulang kutipan lawas... So many books, so little time...
View all my reviews
Subscribe to:
Posts (Atom)