Judul : Starship Troopers
Penulis : Robert A. Henlein
Pertama kali terbit pada tahun : 1959
Selesai dibaca pada tanggal : 27 Maret 2015
Sinopsis:
Starship Troopers is a classic novel by one of science fiction's greatest writers of all time. In one of Heinlein's most controversial bestsellers, a recruit of the future goes through the toughest boot camp in the universe -- and into battle eith the Terran Mobile Infantry against mankind's most frightening enemy.
Review:
Salah satu modal utama cerita scifi adalah alien. Pertanyaan what if umum untuk cerita dengan genre seperti ini adalah: Bagaimana bila di alam semesta yang tak terkira luasnya ini terdapat makhluk berintelejensi tinggi lain selain manusia? Seperti apa wujud mereka?
Imajinasi atas makhluk lain ini terbagi dua, sebagian cerita scifi mengandaikan wujud mereka persis manusia bumi, cuma berbeda sedikit dari sisi penampakan saja, entah itu berupa warna kulit, bentuk telinga, atau organ tubuh. Sebagian cerita lagi cenderung mengandaikan wujud mereka persis makhluk yang (diakui atau tidak) ditakuti oleh manusia: serangga. Siapa yang tidak takut apabila harus berhadapan dengan kelompok yang penampakannya bikin jijik, berjumlah masif, memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi dalam waktu singkat, memiliki intelejensia kolektif, dan... susah dibunuh? Kecoak sudah hidup dari jaman prasejarah bersama-sama dinosaurus, tapi sudah jelas yang mana yang masih berkeliaran di muka bumi sampai saat ini.
Dalam film Men in Black, musuh utamanya adalah alien serupa kecoak raksasa (yang bisa menyaru jadi manusia). Dalam cerita Ender's Game, musuh utamanya adalah alien dengan penampakan dan intelejensi kolektif serupa semut atau rayap dengan sistem ratu/kelas prajurit/kelas pekerja-nya.
Alien yang harus dibasmi umat manusia dalam Starship Troopers jatuh dalam golongan yang sama dengan cerita Ender's Game. Tapi berbeda dengan Ender's Game yang pertempurannya lebih mirip game Space Invaders yang mengandalkan pertempuran udara antar pesawat atau antar spaceship, pertempuran dalam Starship Troopers lebih banyak mengandalkan pasukan darat, Mobile Infantry. Alhasil, model perangnya yang klasik ini akan mengingatkan kita pada perang antar manusia di planet bumi, di mana satu pihak yang merasa lebih superior mungkin memandang pihak lawannya sebagai serangga yang perlu dibasmi, bila perlu.
Adegan awal dalam buku ini menggambarkan bagaimana persisnya invasi pasukan bumi ke planet yang dikolonisasi oleh makhluk serupa laba-laba. Dikisahkan dari sudut pandang orang pertama, si aku (yang seiring jalannya cerita akan kita ketahui bernama Johnny Rico) dan rekan-rekannya diluncurkan dari spaceship ke permukaan planet dalam armor suit dengan persenjataan kelas berat. Yang terbayang pas membaca adegan ini sih, pasukan bumi mirip legiun Iron Soldier-nya Iron Man, bedanya mungkin sepatu jet armor memungkinkan mereka melompat tinggi sekali (istilahnya leapfrog), tapi tidak bisa terbang. Dan Rico, yang menemukan semacam bangunan yang diduganya sebagai hunian musuh, langsung memutuskan untuk menghajarnya, sebelum keduluan rekannya yang lain. Tanpa memikirkan dampaknya. Ayolah, kalau kita mengejar kecoak dengan sandal jepit atau sapu dengan niat membunuh, mana kita peduli apa yang mereka pikirkan?
Persisnya, pasukan bumi memang tidak tahu apa yang dipikirkan lawan. Yang mereka tahu hanya membunuh, sebelum dibunuh. Apalagi lawan memiliki kerjasama dan koordinasi yang jauh lebih unggul karena berpikir secara kolektif, dengan pasukan yang serasa tidak ada habisnya: apabila ada yang mati langsung bisa digantikan dari persediaan telur yang begitu ditetaskan bisa langsung beraksi tanpa perlu dilatih lebih dulu. Oleh karena itu, pasukan bumi juga lebih fokus mencari sarang musuh untuk menghancurkan persediaan telur lawan. Selain itu, fokus juga diarahkan untuk mencari "kelas bangsawan" seperti ratu atau Brain-bug, selain karena mereka merupakan sumber koordinasi lawan, juga siapa tahu bisa digunakan untuk barter dengan anggota pasukan bumi yang ditawan musuh.
Terlepas dari adegan awal yang bombastis (secara harfiah), setengah buku ini lebih banyak bercerita tentang masa pelatihan Rico sebagai MI, dari sejak pendaftarannya (maunya sih jadi pilot, dan infantry merupakan pilihan terakhir) plus segala pemikiran filosofisnya tentang berbagai hal, baik dari sisi politis maupun militer. Minimal, pembaca akan tahu bagaimana pola pikir seorang prajurit atau tentara, yang bisa maju bertempur tanpa memikirkan alasan mengapa mereka harus berperang dan membunuh.
Buku ini diakhiri dengan gaya menggantung, ditutup dengan mode yang sama dengan adegan pembukaannya. Kita tak perlu tahu, siapa yang akan menang nantinya antara pasukan manusia dan pasukan alien, karena bukan itu inti yang dibahas dalam buku ini.
Movie adaptation:
Bagi yang kurang suka membaca bukunya karena kurang banyak adegan perang melawan alien-nya, mungkin lebih cocok bila menonton versi film yang dirilis pada tahun 1997:
Karena aku baru membaca bukunya sekarang, sementara versi filmnya sudah kutonton duluan belasan tahun yang lalu, jelas aku agak kaget karena versi bukunya tidak se-popcorn filmnya. Dalam versi film, kita tidak akan memikirkan hal filosofis. Dan tentu saja, versi film perlu dibumbui cerita cinta (yang tidak ada sama sekali dalam versi asli), bahkan... ehm, adegan para kadet di kamp mandi bareng di shower tanpa mempedulikan gender.
Setelah membaca bukunya di mana seharusnya pasukan bumi nyaris invincible dengan armor suitnya, aku jadi merasa downgrade kostum Mobile Infrantry seperti tentara biasa sama mengecewakannya dengan melihat kostum di film Edge of Tomorrow dibandingkan di novel All You Need Is Kill. Terlepas dari asumsi biaya yang bakal mahal banget kalau kostumnya mirip Iron Man sekarang (atau teknologi CGI-nya yang memang belum mumpuni, karena spaceship-nya saja kelihatan bohong banget), kostum yang sederhana membuat para tentara tampak rapuh dan ringkih melawan pasukan serangga mirip laba-laba raksasa, dan penonton tentunya akan lebih bersimpati pada para tentara bumi, terutama saat mereka dengan gampangnya dicincang oleh lawan.
Yang paling cheesy memang tempelan bumbu cinta segitiga-segiempat yang ditawarkan film, yang bercerita sejak para tokohnya masih di akhir masa SMA, lengkap dengan event olahraga dan prom segala. Tokoh perempuan yang dalam novel cuma diceritakan sekilas di sini diberi porsi lebih sebagai love interest, dan malah jadi motivasi Rico masuk Mobile Infantry.
Tapi tentu saja, dengan melupakan cerita ala sinetronnya, adegan-adegan pertempuran sadis antara manusia vs serangga di sini yang membuat film ini menarik. Terutama ketika akhirnya pihak protagonis dihadapkan pada ultimate Brain-bug, yang menyerap intelejensi manusia dengan cara menyedot otaknya. Adegan bikin merinding yang sulit dilupakan, dan membuatku begitu membaca istilah brain-bug di novel langsung menunggu-nunggu adegan ini, tapi ternyata... tidak ada.
Ah, ya sudahlah, tidak ada habisnya kalau membanding-bandingkan versi novel dan film. Masing-masing memang ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing, meskipun sebagai pembaca buku sekaligus penikmat cinema, aku cenderung lebih suka apabila versi adaptasi lebih setia pada versi aslinya.
Review ini dibuat dalam rangka meramaikan Event BBI Anniversary Project 2015, Around the Genres in 30 Days, Genre Sci-Fi:
bisa minta Email/WA?
ReplyDelete