Monday, February 23, 2015

A Single Man

When A Single Man was originally published, it shocked many by its frank, sympathetic, and moving portrayal of a gay man in midlife. George, the protagonist, is adjusting to life on his own after the sudden death of his partner, and determines to persist in the routines of his daily life; the course of A Single Man spans twenty-four hours in an ordinary day. An Englishman and a professor living in suburban Southern California, he is an outsider in every way, and his internal reflections and interactions with others reveal a man who loves being alive despite everyday injustices and loneliness. Wry, suddenly manic, constantly funny, surprisingly sad, this novel catches the texture of life itself.

Siapa yang mau membaca buku yang bercerita tentang satu hari dari kehidupan seorang laki-laki gay berumur yang patah hati karena kematian partner hidupnya?

Well, tergantung siapa yang ditanya, memang.

Bagiku, karena bulan Februari ini tanpa sengaja sudah menjadi bulan Colin Firth, selain menonton film-film yang dibintanginya, apabila filmnya diadaptasi dari buku, aku berusaha mencari dan membaca bukunya.

Novel ini bukan perkecualian, karena setelah menonton ulang film A Single Man, aku dapat mengapresiasi keindahan film ini (dan akting Colin Firth yang superb, tentunya) dibandingkan sebelumnya.



Bagiku, salah satu adegan terbaik di film adalah ketika George Falconer (Colin Firth) menerima telepon yang menyampaikan berita buruk.



George (G): Finally. You know it's been raining here all day. I've been trapped in this house waiting for you to call.
Penelepon (P): I'm sorry, I must have the wrong number. I'm calling to Mr. George Falconer.
G: I'm sorry, I was expecting someone else. Yes sir, you have indeed called the... correct number. How may I help you?
P: This is Harold Ackerley. I'm Jim's cousin.
G: Of course. Yes, good evening Mr. Ackerley.
P: I'm afraid I'm calling with some bad news. There has been a car accident.
G: An accident?
P: There has been a lot of snow here lately and the roads have been icy. On his way into town, Jim lost control of his car. It was instantaneous apparently. It happened late yesterday, but his parents didn't want to call you.
G: I see.
P: In fact, they don't know that I'm calling you now. But I thought that you should know.
G: Thank you.
P: I know this must be quite a shock. It was for all of us.
G: Yes, indeed. Will there be a service?
P: The day after tomorrow.
G: Well, I suppose I should get off the phone,,, and book a plane flight.
P: The service is just for family.
G: For family, of course... Well, thank you for calling. Mr. Ackerley?
P: Yes?
G: May I ask what happened to the dogs?
P: Dogs? There was a dog with him but he died. Was there another one?
G: Yes, there was a small female.
P: I don't know. I'm sorry. I haven't heard anyone mention another dog.
G: Well, thank you for calling Mr. Ackerley.
P: Goodbye, Mr. Falconer.

Kamera berfokus pada reaksi George saat menerima telepon. Ketenangannya dalam menjawab telepon begitu kontras dengan ekspresi dan apa yang dirasakannya. Mendadak kehilangan pasangannya selama 16 tahun, orangtua pasangannya tidak mau memberi tahu, apalagi membiarkannya hadir di pemakaman. Pukulan terakhir, sepasang anjing peliharaan, yang bagi mereka mungkin bisa dianggap sebagai pengganti anak, juga turut lenyap.

A single man yang menjadi judul buku/film ini memang bisa diinterpretasikan apa saja. Lelaki yang sendirian karena tidak menikah (karena pada tahun 1960-an, setting buku/film, tidak ada pernikahan antara pasangan gay), lelaki yang sendirian karena kehilangan pasangannya, lelaki yang sendirian karena terasing dari lingkungannya, atau lelaki yang... kesepian. Lelaki yang jiwanya terasa hampa.

Mungkin versi bukunya tidak begitu kejam, karena sebagai pasangan Jim selama 28 tahun, sebenarnya George diundang ke pemakaman Jim, tapi ia sendiri yang menolak untuk hadir. Setidaknya, keluarga Jim mau mengakui bahwa George adalah orang yang sangat penting bagi Jim, dan dianggap layak untuk mengantar kepergiannya.

Sejak kematian Jim, George menjalani hari-harinya dengan kondisi autopilot. Kita dibawa mengikuti kehidupannya yang bagai robot itu selama satu hari, sejak bangun tidur di pagi hari sampai malam hari. Kita mengikuti rutinitasnya, menyelami jalan pikirannya, dan interaksinya dengan tetangga, rekan sesama dosen, mahasiswa, atau dengan sahabat wanitanya, Charley.

Dalam versi film, hari itu adalah hari terakhir bagi George. Hari ia memutuskan untuk mati. Sebagai orang yang teratur, ia telah merencanakan segalanya dengan rapi. Surat wasiat. Setelan terbaik untuk jenazahnya nanti (dengan catatan windsor knot untuk dasinya). Dan tentu saja, sepucuk pistol untuk mengakhiri hidupnya. Karena, baginya tidak ada masa depan. Yang ada hanya saat ini, yang sudah tidak bisa dijalaninya lagi. Tidak tanpa Jim.

Tapi, bukan berarti George benar-benar sendirian. Masih ada orang-orang yang mempedulikannya. Dalam film khususnya, meskipun usianya sudah lima puluh tahun, George tetap beautiful man yang menarik bagi beberapa orang, baik wanita maupun pria, baik yang straight maupun yang memiliki kecenderungan yang sama dengannya. Persoalannya, apakah mereka bisa membuat George bisa mengatasi kesepian dan kepedihannya? Ataukah tak ada lagi yang bisa membuat George bertahan, melanjutkan hidup, dan kalau mungkin, mengisi hari-harinya dengan cinta yang baru?

A wonderful cozy scene of George and Jim
What is left out of the picture is Jim, lying opposite him at the other end of the couch, also reading; the two of them absorbed in their books yet so completely aware of each other’s presence.






No comments:

Post a Comment