Aruna & Lidahnya by Laksmi Pamuntjak
My rating: 3 of 5 stars
Sinopsis:
Aruna Rai, 35 tahun, belum menikah. Pekerjaan: Epidemiologist (Ahli Wabah), Spesialisasi: Flu Unggas. Obsesi: Makanan.
Bono, 30 tahun, terlalu sibuk untuk menikah. Pekerjaan: Chef. Spesialisasi: Nouvelle Cuisine. Obsesi: Makanan.
Nadezhda Azhari: 33 tahun, emoh menikah. Pekerjaan: Penulis. Spesialisasi: Perjalanan dan Makanan. Obsesi: Makanan.
Ketika Aruna ditugasi menyelidiki kasus flu unggas yang terjadi secara serentak di delapan kota seputar Indonesia, ia memakai kesempatan itu untuk mencicipi kekayaan kuliner lokal bersama kedua karibnya. Dalam perjalanan mereka, makanan, politik, agama, sejarah lokal, dan realita sosial tak hanya bertautan dengan korupsi, kolusi, konspirasi, dan misinformasi seputar politik kesehatan masyarakat, namun juga dengan cinta, pertemanan, dan kisah-kisah mengharukan yang mempersatukan sekaligus merayakan perbedaan antarmanusia.
Review (atau sekedar komentar?):
Ini buku wisata kuliner yang menyaru sebagai novel.
Penyelidikan kasus flu burung dengan berkeliling Indonesia boleh jadi sekedar plot driver yang memungkinkan karakternya untuk berburu dan mencicipi makanan/jajanan/apasajayangbisadimakan lokal yang sudah kondang ke mana-mana dan tercantum (atau tidak tercantum sama sekali) dalam Daftar Sakti yang jadi primbon Bono.
Misalnya, pas ke Surabaya, tim yang lebih terobsesi pada makanan daripada wabah flu burung itu mencicipi botok pakis dan rujak soto. Menyeberang sedikit ke pulau Madura, yang dicari-cari adalah bebek goreng Bangkalan:
yang konon sama lezatnya dengan duck confit yang sempurna. Dan dari buku ini juga aku sama kecewanya dengan Aruna ketika tahu kalau yang namanya Sate Lalat yang tersohor itu cuma sate ayam seukuran lalat:
Iya... aku benar-benar berharap begitu esktrimnya makanan di Indonesia sehingga lalat sekalipun bisa menjadi sumber bahan makanan yang melimpah, menyaingi belalang, capung, dan teman-temannya yang memang lazim dikonsumsi oleh lidah sebagian (kecil? besar?) orang Indonesia.
Menyeberang ke pulau Andalas, tentu saja pempek di Palembang tak boleh dilewatkan. Atau penganan khas Medan yang konon cuma beredar setiap hari Jumat di seputaran Masjid Agung: gulo puan. Atau naniura. Atau rujak Aceh. Atau ayam tangkap.
Dan kalau menyeberang lagi ke pulau Borneo, setelah menginjakkan kaki di Pontianak, yang dipikirkan para karakter pertama kali adalah pengkang:
Dan tidak cukup itu, wisata kuliner di Kalimantan Barat tidaklah lengkap kalau tidak sekalian melipir ke Singkawang untuk mencari mi/kwetiauw, tak peduli harus menempuh jalan darat 150 km dari Pontianak. Namanya juga di Singkawang, bisa dipastikan hidangannya mengandung vitamin B, alias babi.
Intinya, wabah flu burung yang disinggung sekali-sekali tidaklah begitu penting dibandingkan obsesi para karakternya terhadap makanan, yang bahkan ketika bermimpi pun temanya tidak jauh-jauh dari makanan.
Namun, sikap terhadap makanan dalam buku ini kadang terasa kontradiktif. Salah satu karakter berusaha sebisa mungkin menghindari makanan yang mengandung daging/minyak babi karena diharamkan oleh agama. Tapi, ia tidak menghindari zina, atau seks di luar nikah. Apakah dosa memakan makanan haram lebih berat dibandingkan melakukan perbuatan haram? Ataukah ini memang sekedar potret sebagian (kecil? besar?) orang Indonesia yang ingin tampak alim di mata masyarakat agamis tapi ternyata zalim pada diri sendiri sepanjang rasanya enak dan tidak banyak orang yang tahu?
Anyway, bagiku yang makan untuk hidup dan bukan hidup untuk makan, buku ini sukses membuatku kepikiran, mengapa kalau aku sedang dalam perjalanan dinas ke kota/provinsi/pulau lain, aku tidak pernah sengaja/niat banget untuk mencari-cari/mencicipi hidangan kuliner lokal. Kalau kebetulan menemukan dan mencobanya, ya dinikmati. Kalau cuma nemu ayam penyet (yang dibilang Bono sebagai penjajah kuliner negeri ini!), ya tetap disyukuri.Tipe orang ignorance terhadap makanan seperti aku ini memang tipe yang dipandang sebelah mata oleh para karakter di buku ini. Lah, passion, obsession dan prioritas setiap orang memang lain, jeng, tidak bisa dipaksakan.
Sebagai tambahan, bagi para calon pembaca buku ini, diusahakan agar makan kenyang dulu sebelum mulai membaca. Pecinta kuliner ataupun bukan, deskripsi penulis atas berbagai makanan nusantara di buku ini sedikit banyak akan membuat pembaca ngiler dan lapar.
View all my reviews
No comments:
Post a Comment