Monday, March 6, 2017

Toro! Toro!

Judul : Toro! Toro!

Penulis : Michael Morpurgo

Penerbit : HarperCollins' Children Books

Tebal : 128 halaman

Dibeli di : Bybooks FX Senayan

Harga beli : Rp.10.000,-

Dibeli tanggal : 11 Februari 2017

Dibaca tanggal : 1 Maret 2017

Review :
Pada novel ini, meskipun tetap bertema perang, kali ini latar belakangnya adalah Perang Saudara Spanyol di tahun 1930-an, yaitu perang antara kaum Republikan, golongan sosialis kiri, dengan kaum Nasionalis, golongan fasis kanan.

Seperti gaya Morpurgo pada umumnya, kisahnya diceritakan di masa kini oleh orang yang mengisahkan masa lalunya. Ini adalah kisah seorang kakek pada cucunya.

Sang kakek, yang semasa kecilnya dipanggil Antonito, tinggal di Andalusia, di sebuah tanah pertanian kecil di Sauceda. Ia tinggal bersama orang tuanya dan kakak perempuan yang lebih tua sepuluh tahun. Mereka memelihara berbagai ternak, tapi utamanya sapi, banteng hitam untuk atraksi banteng. Dan dari puluhan banteng, Antonito paling dekat dengan anak banteng yang dinamai Paco, karena ia memeliharanya sejak kelahirannya, sampai mereka berdua dipisahkan agar Paco dapat dibesarkan sebagai banteng sejati.

Antonito baru menyadari nasib yang akan menimpa Paco yang disayanginya ketika untuk pertama kalinya ia ikut menonton atraksi banteng. Kebetulan, pamannya Juan adalah seorang matador yang dijuluki El Bailarin, Sang Penari, karena keahliannya  menari bersama banteng. Namun ternyata, matador tidak cuma "menari" bersama para banteng, tapi bersama para banderillero dan picador, menusuk dan membunuh banteng sampai mati di lapangan.

I didn't tell Paco what I'd seen that day -- I didn't ever want him to know.
"I'll take you away so you can live wild up in the hills, where you'll be safe for ever and ever. I'll work something out, I promise you."

Demi menolong Paco, Antonito bertekad untuk membawanya kabur dari pertanian. Di tengah suasana perang yang mulai mempengaruhi kehidupan desa tanpa terlalu dipahaminya, Antonito menyusun ide dan mencari waktu yang tepat untuk melaksanakan rencananya. Namun demikian, Antonito tak pernah menduga apabila waktu yang dipilihnya bertepatan dengan pemboman yang dilakukan beberapa pesawat yang melintas di atas desanya.

Apakah itu nasib baik? Atau nasib buruk? Ia berhasil membebaskan Paco ke alam liar, namun seluruh keluarganya tewas dalam api dan bara.

Antonito mengakhiri ceritanya dengan perjuangannya untuk bertahan hidup dalam peperangan. Dan tentang legenda The Black Phantom, banteng muda yang melindungi pasukan kaum Republikan dari kejaran Guardia Civil. Sepanjang hayatnya, Antonito selalu meyakini bahwa banteng itu adalah Paco, yang telah hidup liar di alam bebas.

Kesimpulan :
Seperti biasa, Michael Morpurgo bertutur tanpa eufemisme. Kita dibawa ke medan corrida, dan diajak menahan nafas saat menyaksikan tarian maut antara matador dan banteng. Kita dibawa menyaksikan pembantaian banteng demi atraksi massa. Ada di manakah kita? Di sisi para penonton yang bersorak melihat bagaimana ahlinya sang matador menghabisi sang banteng? Atau di sisi mereka yang memiliki sudut pandang yang sama dengan Antonito? Bahwa corrida hanyalah panggung kematian para banteng yang telah dibesarkan dengan penuh kasih sayang?

Kita juga dibawa menyaksikan kekejaman perang dari sisi anak-anak yang tidak memahami politik dan ideologi, namun tetap menjadi korban.

Selain itu, kita jadi sadar mengapa Morpurgo senang bercerita dengan model dongeng seorang kakek kepada cucunya.

Well, saat menuliskan cerita-cerita belakangan ini, Morpurgo sudah menjadi seorang kakek.

Review singkat ini dibuat dalam rangka mengikuti tantangan di bawah ini:
Kategori: Lima Buku dari Penulis Yang Sama















No comments:

Post a Comment