Judul: Old Man's War
Penulis: John Scalzi
Diterbitkan pertama kali: Januari 2005
Genre: Science Fiction
Subgenre: Space Opera
Dibaca pada tanggal: 28 - 30 Maret 2015
Sinopsis:
John Perry did two things on his 75th birthday. First he visited his wife's grave. Then he joined the army.
Earth itself is a backwater. The bulk of humanity's resources are in the hands of the Colonial Defense Force. Everybody knows that when you reach retirement age, you can join the CDF. They don't want young people; they want people who carry the knowledge and skills of decades of living. You'll be taken off Earth and never allowed to return. You'll serve two years at the front. And if you survive, you'll be given a generous homestead stake of your own, on one of our hard-won colony planets.
John Perry is taking that deal. He has only the vaguest idea what to expect. Because the actual fight, light-years from home, is far, far harder than he can imagine--and what he will become is far stranger.
Review:
Pernah mendengar istilah young man with an old soul?
Pengertian secara umum biasanya adalah orang muda dengan pola pikir dewasa atau matang. Tapi dalam buku ini, istilah ini dapat diartikan secara harfiah. Mengapa?
Sebelum kujelaskan, pertama-tama... jangan membaca judul ini secara harfiah.
Kedua... jangan membaca sinopsis buku ini secara harfiah juga.
Aku termasuk golongan yang membaca judul dan sinopsis buku ini secara harfiah. Terus terang, aku cuma tahu buku ini salah satu buku yang termasuk golongan papan atas genre scifi, khususnya subgenre space opera, tanpa tahu apa-apa tentang penulisnya (iya, ini kumasukkan New Author Reading Challenge 2015 untuk serial baru sekalian dalam rangka meramaikan event BBI 2015 dengan genre Scifi) ataupun isi ceritanya.
Awalnya tentu saja aku bertanya-tanya mengapa buku yang bercerita tentang kakek-kakek yang ikutan berperang dengan alien bisa masuk ke jajaran novel scifi papan atas. Biasanya yang maju berperang begitu kan anak muda. Apa menariknya coba?
1) Serum super soldier ala Captain America
2) Obat yang bisa bikin muda kembali
3) Operasi cangkok organ yang sudah tua
Oke deh, aku harus membaca bukunya untuk membuktikan teori di atas,
Dan ternyata... dalam waktu yang tak terlalu lama, aku langsung terpikat. Memang tidak bisa kutamatkan dalam waktu singkat, karena selain dibaca sembari mengikuti acara outbond kantor, aku juga merasa sayang apabila menamatkan buku ini dengan segera.
Sesuai sinopsis di atas, John Perry yang sudah berusia 75 tahun bergabung dengan Colonial Defense Force. Pendaftaran CDF sifatnya sukarela, dan bersama istrinya Kathy yang kini sudah meninggal, Perry sudah mendaftarkan diri dengan menyertakan contoh DNA-nya sepuluh tahun sebelumnya.
Para kakek-nenek sukarelawan yang diluncurkan ke pesawat angkasaluar CDF tidak tahu menahu apa yang akan dilakukan terhadap mereka supaya bisa siap tempur, karena sukarelawan tidak pernah kembali ke bumi. Soalnya, selain sudah tua, mereka juga rata-rata punya penyakit kronis. Entah kenapa CDF tetap menerima mereka.
Setelah melalui berbagai tes fisik dan psikotes, barulah Perry dan para kenalan barunya mengetahui jawabannya: para sukarelawan mendapatkan tubuh baru, yang dibuat berdasarkan DNA mereka. Teknologi manusia sudah memungkinkan membuat tubuh manusia buatan yang dimodifikasi sehingga memiliki:
- kulit kehijauan karena mengandung klorofil, sehingga bisa menggunakan O2 maupun CO2 sekaligus untuk bernafas
- panca indera yang jauh lebih baik dari manusia biasa, termasuk mata seperti kucing yang bisa melihat dalam kegelapan
- smartblood, darah buatan berisi nanobot yang menggantikan fungsi sel darah mengangkut oksigen jauh lebih banyak ke seluruh tubuh
- BrainPal. Bayangkan bisa punya otak yang bisa terkoneksi dengan komputer mainframe dan para pemilik BrainPal lainnya, Fungsinya sama dengan laptop atau smartphone kita, tapi kita cukup mengaksesnya dengan pikiran. Kita bisa membuka database dari komputer mainframe CDF, bisa mendownload film dan menontonnya di benak, menerjemahkan bahasa alien, atau membuat jaringan media sosial dengan grup terbatas. Yang terakhir ini sangat penting untuk berkomunikasi dalam perang senyap.
Tapi, sepandai-pandainya manusia masa di depan di novel ini menciptakan tubuh manusia buatan, tetap saja ada satu hal penting yang tidak bisa dilakukan: menciptakan jiwa. Untuk itulah para sukarelawan dibutuhkan. Jiwa mereka ditransfer dari tubuh lama yang tua renta penyakitan ke tubuh baru berusia 20 tahunan yang super canggih itu. Kesimpulannya, yang dilakukan bukan cangkok organ tubuh, melainkan cangkok jiwa (istilah baru ini!).
Tapi tentu saja, tidak cukup hanya punya tubuh muda dan super, para rekrutan CDF harus dilatih dan diindoktrinasi sebagai tentara profesional dalam tiga bulan. Maklumlah, latar belakang para rekrutan berbeda-beda. Iya, ada yang awalnya tentara, tapi musuhnya selama ini sesama manusia, bukan alien. Apalagi yang tadinya bukan tentara seperti Perry. Pola pikir selama 75 tahun harus disingkirkan supaya siap menghadapi para alien.
Mengapa CDF harus berperang?
Begini ceritanya: manusia bumi tidak sendirian di alam semesta yang luas ini. Dan manusia bumi juga bukan satu-satunya makhluk berintelejensi tinggi yang butuh planet hunian baru sebagai koloni. Ada banyak ras alien lain yang juga sudah punya teknologi menjelajahi alam semesta yang juga butuh planet baru. Intinya perang antara CDF dan berbagai ras alien adalah : PERANG REAL ESTATE.
Perang di sini adalah murni rebutan lahan, gusur-menggusur, bunuh membunuh. Jarang ada yang mau hidup damai bersama, paling cuma satu-dua ras yang baik-baik. Rata-rata para alien di novel ini sama egoisnya dengan manusia bumi. Rata-rata ogah bernegosiasi. Hilangkan jauh-jauh bersikap diplomatis, karena ujung-ujungnya sama saja dengan bunuh diri. Apalagi kalau ras aliennya ternyata memandang manusia bumi sebagai bahan makanan yang lezat.
Begitu selesai masa latihan tiga bulan, Perry langsung terjun ke lapangan sebagai prajurit infantri. Kalau ini mengingatkan pada buku Starship Troopers-nya Heinlein, memang benar dan wajar John Scalzi terinspirasi dari novel klasik itu. Mengapa tidak perang ala Ender's Game yang dipilih? Mengapa harus perang darat pasukan infantri di dunia yang secanggih itu? Lah, kalau mengandalkan teknologi senjata pemusnah seperti Ender's Game yang bukan saja memusnahkan alien musuh tapi juga membumihanguskan planet, percuma dong. Perang di sini harus menjaga kondisi planet yang diperebutkan.
Banyak jenis alien yang harus dikenali dan dihadapi. Dan yang penting, jangan melihat alien dari penampilannya, apalagi mengasosiasikan sifat mereka dengan makhluk bumi yang mirip dengan mereka.
Ada Bathunga, ras alien yang mirip udang lobster buruk rupa macam di film Distric 9, namun tidak berbahaya, hidup dari plankton dan bisa berdampingan dengan damai di planet yang sama dengan manusia bumi. Ada Salong, ras alien bertampang rusa, yang ketika merebut planet koloni bumi mendapati manusia ternyata enak dimakan. Lantas mereka membantai manusia di sana secara tebang pilih, menyisakan para wanita subur dan sedikit pria untuk keperluan inseminasi buatan. Bayi yang dihasilkan dibesarkan dan digemukkan untuk bahan makanan. Yap, peternakan manusia. Di review buku Eating Animals karya Jonathan Safran Foer aku cuma mencoba berpikir bagaimana seandainya kita mengalami kondisi yang terjadi pada para hewan di peternakan pabrik, di buku ini John Scalzi sudah mempraktekkan pelaksanaannya! Dalam serangan balasan, gantian juga pasukan manusia memanggang dan menyantap ras Salong... mungkin daging mereka juga selezat daging rusa?
Ada juga ras Consu, yang teknologinya jauh di atas pemahaman manusia bumi atas ras alien lainnya, dan gemar berperang dengan sengaja menyamakan teknologi dengan lawan yang dihadapi, untuk alasan relijius dan filosofis yang susah dimengerti. Mereka bahkan tidak benar-benar butuh dan niat rebutan lahan real estate seperti lawan-lawannya.
Yang bikin Perry hampir korslet karena menyadari ia bukan manusia lagi (walaupun dengan menghuni tubuh manusia buatan juga sebenarnya ia memang bukan manusia biasa) melainkan hanya mesin pembunuh CDF, adalah ketika ia menghadapi ras Covandu, yang telah mengambil alih planet yang sebelumnya ditinggalkan manusia karena terdapat virus lokal yang merepotkan. Setelah enam puluh tiga tahun kemudian manusia menemukan antivirusnya dan ingin kembali ke planet yang sama, CDF harus menyingkirkan ras Covandu yang boro-boro mau mengembalikan, berbagi lahan saja ogah. Masalahnya, ras Covandu yang mirip manusia (berkaki dua, mamalia, suka puisi dan drama, cepat beranak-pinak, serta agresif) ukurannya hanya setinggi satu inci. "Perang" antara CDF dan Covandu ini bisa diibaratkan perang antara pasukan manusia vs pasukan liliput, atau kalau mau pakai referensi Perry, perang Godzilla vs manusia. Karena yang dilakukan pasukan CDF untuk membasmi pasukan atau warga Covandu adalah... menginjak-injak mereka sampai mati.
Dan masih banyak lagi ras alien yang beraneka ragam di sini, baik yang memiliki teknologi penjelajahan luar angkasa maupun makhluk pribumi di planet target kolonialisasi yang perlu dibasmi supaya planetnya bisa di-terraforming. Singkatnya, perang antar species di novel scifi subgenre space opera ini adalah perang antara puluhan miliar manusia versus triliunan alien non manusia. Dan terkadang, CDF juga suka melakukan pre-emptive strike terhadap homeplanet musuh, dan kalau bisa menghancurkan teknologi mereka, mengembalikan peradaban musuh dari teknologi ruang angkasa menjadi teknologi zaman batu.
Novel ini diakhiri dengan The Battle for Coral, perang besar CDF versus ras alien Rraey. Ras yang satu ini telah membinasakan koloni manusia di Planet Coral, sekaligus menjadikan manusia sebagai santapan lezat. Bahkan koki-koki selebriti Rraey menayangkan acara diskusi khusus tentang bagaimana mengolah bahan baku manusia untuk berbagai jenis masakan!
Perang dengan dua gelombang serangan massal CDF ini (gelombang pertama gagal total dengan banyaknya spaceship yangdihancurkan dan gugurnya nyaris seratus ribu prajurit CDF, hanya menyisakan Perry seorang), diceritakan dengan amat detail. Perry sampai tergabung dengan Ghost Brigade (cue untuk judul buku keduanya) alias pasukan khusus CDF untuk menemukan cara Rraey bisa mendeteksi skip drive spaceship pasukan bumi dan menanggulangi, atau kalau bisa sekalian merebut teknologinya dari musuh, agar serangan gelombang kedua dapat berhasil.
Kesimpulan:
Buku ini langsung masuk daftar buku favorit, dan penulisnya tentu saja masuk daftar penulis yang buku-buku lainnya akan kucari dan kubaca. Penuturan John Scalzi di sini asyik banget, kita seolah sedang menonton film action, atau malah jadi pemeran utama dalam film itu, karena novel ini dituturkan dari POV tokoh utamanya, John Perry.
Keputusan:
Review ini ditulis dalam rangka partisipasiku sebagai anggota grup Science Fiction & Fantasy pada event HUT BBI ke-4.
Para kakek-nenek sukarelawan yang diluncurkan ke pesawat angkasaluar CDF tidak tahu menahu apa yang akan dilakukan terhadap mereka supaya bisa siap tempur, karena sukarelawan tidak pernah kembali ke bumi. Soalnya, selain sudah tua, mereka juga rata-rata punya penyakit kronis. Entah kenapa CDF tetap menerima mereka.
Setelah melalui berbagai tes fisik dan psikotes, barulah Perry dan para kenalan barunya mengetahui jawabannya: para sukarelawan mendapatkan tubuh baru, yang dibuat berdasarkan DNA mereka. Teknologi manusia sudah memungkinkan membuat tubuh manusia buatan yang dimodifikasi sehingga memiliki:
- kulit kehijauan karena mengandung klorofil, sehingga bisa menggunakan O2 maupun CO2 sekaligus untuk bernafas
- panca indera yang jauh lebih baik dari manusia biasa, termasuk mata seperti kucing yang bisa melihat dalam kegelapan
- smartblood, darah buatan berisi nanobot yang menggantikan fungsi sel darah mengangkut oksigen jauh lebih banyak ke seluruh tubuh
- BrainPal. Bayangkan bisa punya otak yang bisa terkoneksi dengan komputer mainframe dan para pemilik BrainPal lainnya, Fungsinya sama dengan laptop atau smartphone kita, tapi kita cukup mengaksesnya dengan pikiran. Kita bisa membuka database dari komputer mainframe CDF, bisa mendownload film dan menontonnya di benak, menerjemahkan bahasa alien, atau membuat jaringan media sosial dengan grup terbatas. Yang terakhir ini sangat penting untuk berkomunikasi dalam perang senyap.
Tapi, sepandai-pandainya manusia masa di depan di novel ini menciptakan tubuh manusia buatan, tetap saja ada satu hal penting yang tidak bisa dilakukan: menciptakan jiwa. Untuk itulah para sukarelawan dibutuhkan. Jiwa mereka ditransfer dari tubuh lama yang tua renta penyakitan ke tubuh baru berusia 20 tahunan yang super canggih itu. Kesimpulannya, yang dilakukan bukan cangkok organ tubuh, melainkan cangkok jiwa (istilah baru ini!).
Tapi tentu saja, tidak cukup hanya punya tubuh muda dan super, para rekrutan CDF harus dilatih dan diindoktrinasi sebagai tentara profesional dalam tiga bulan. Maklumlah, latar belakang para rekrutan berbeda-beda. Iya, ada yang awalnya tentara, tapi musuhnya selama ini sesama manusia, bukan alien. Apalagi yang tadinya bukan tentara seperti Perry. Pola pikir selama 75 tahun harus disingkirkan supaya siap menghadapi para alien.
Mengapa CDF harus berperang?
Begini ceritanya: manusia bumi tidak sendirian di alam semesta yang luas ini. Dan manusia bumi juga bukan satu-satunya makhluk berintelejensi tinggi yang butuh planet hunian baru sebagai koloni. Ada banyak ras alien lain yang juga sudah punya teknologi menjelajahi alam semesta yang juga butuh planet baru. Intinya perang antara CDF dan berbagai ras alien adalah : PERANG REAL ESTATE.
Perang di sini adalah murni rebutan lahan, gusur-menggusur, bunuh membunuh. Jarang ada yang mau hidup damai bersama, paling cuma satu-dua ras yang baik-baik. Rata-rata para alien di novel ini sama egoisnya dengan manusia bumi. Rata-rata ogah bernegosiasi. Hilangkan jauh-jauh bersikap diplomatis, karena ujung-ujungnya sama saja dengan bunuh diri. Apalagi kalau ras aliennya ternyata memandang manusia bumi sebagai bahan makanan yang lezat.
Begitu selesai masa latihan tiga bulan, Perry langsung terjun ke lapangan sebagai prajurit infantri. Kalau ini mengingatkan pada buku Starship Troopers-nya Heinlein, memang benar dan wajar John Scalzi terinspirasi dari novel klasik itu. Mengapa tidak perang ala Ender's Game yang dipilih? Mengapa harus perang darat pasukan infantri di dunia yang secanggih itu? Lah, kalau mengandalkan teknologi senjata pemusnah seperti Ender's Game yang bukan saja memusnahkan alien musuh tapi juga membumihanguskan planet, percuma dong. Perang di sini harus menjaga kondisi planet yang diperebutkan.
Banyak jenis alien yang harus dikenali dan dihadapi. Dan yang penting, jangan melihat alien dari penampilannya, apalagi mengasosiasikan sifat mereka dengan makhluk bumi yang mirip dengan mereka.
Ada Bathunga, ras alien yang mirip udang lobster buruk rupa macam di film Distric 9, namun tidak berbahaya, hidup dari plankton dan bisa berdampingan dengan damai di planet yang sama dengan manusia bumi. Ada Salong, ras alien bertampang rusa, yang ketika merebut planet koloni bumi mendapati manusia ternyata enak dimakan. Lantas mereka membantai manusia di sana secara tebang pilih, menyisakan para wanita subur dan sedikit pria untuk keperluan inseminasi buatan. Bayi yang dihasilkan dibesarkan dan digemukkan untuk bahan makanan. Yap, peternakan manusia. Di review buku Eating Animals karya Jonathan Safran Foer aku cuma mencoba berpikir bagaimana seandainya kita mengalami kondisi yang terjadi pada para hewan di peternakan pabrik, di buku ini John Scalzi sudah mempraktekkan pelaksanaannya! Dalam serangan balasan, gantian juga pasukan manusia memanggang dan menyantap ras Salong... mungkin daging mereka juga selezat daging rusa?
Ada juga ras Consu, yang teknologinya jauh di atas pemahaman manusia bumi atas ras alien lainnya, dan gemar berperang dengan sengaja menyamakan teknologi dengan lawan yang dihadapi, untuk alasan relijius dan filosofis yang susah dimengerti. Mereka bahkan tidak benar-benar butuh dan niat rebutan lahan real estate seperti lawan-lawannya.
Yang bikin Perry hampir korslet karena menyadari ia bukan manusia lagi (walaupun dengan menghuni tubuh manusia buatan juga sebenarnya ia memang bukan manusia biasa) melainkan hanya mesin pembunuh CDF, adalah ketika ia menghadapi ras Covandu, yang telah mengambil alih planet yang sebelumnya ditinggalkan manusia karena terdapat virus lokal yang merepotkan. Setelah enam puluh tiga tahun kemudian manusia menemukan antivirusnya dan ingin kembali ke planet yang sama, CDF harus menyingkirkan ras Covandu yang boro-boro mau mengembalikan, berbagi lahan saja ogah. Masalahnya, ras Covandu yang mirip manusia (berkaki dua, mamalia, suka puisi dan drama, cepat beranak-pinak, serta agresif) ukurannya hanya setinggi satu inci. "Perang" antara CDF dan Covandu ini bisa diibaratkan perang antara pasukan manusia vs pasukan liliput, atau kalau mau pakai referensi Perry, perang Godzilla vs manusia. Karena yang dilakukan pasukan CDF untuk membasmi pasukan atau warga Covandu adalah... menginjak-injak mereka sampai mati.
Dan masih banyak lagi ras alien yang beraneka ragam di sini, baik yang memiliki teknologi penjelajahan luar angkasa maupun makhluk pribumi di planet target kolonialisasi yang perlu dibasmi supaya planetnya bisa di-terraforming. Singkatnya, perang antar species di novel scifi subgenre space opera ini adalah perang antara puluhan miliar manusia versus triliunan alien non manusia. Dan terkadang, CDF juga suka melakukan pre-emptive strike terhadap homeplanet musuh, dan kalau bisa menghancurkan teknologi mereka, mengembalikan peradaban musuh dari teknologi ruang angkasa menjadi teknologi zaman batu.
Novel ini diakhiri dengan The Battle for Coral, perang besar CDF versus ras alien Rraey. Ras yang satu ini telah membinasakan koloni manusia di Planet Coral, sekaligus menjadikan manusia sebagai santapan lezat. Bahkan koki-koki selebriti Rraey menayangkan acara diskusi khusus tentang bagaimana mengolah bahan baku manusia untuk berbagai jenis masakan!
Perang dengan dua gelombang serangan massal CDF ini (gelombang pertama gagal total dengan banyaknya spaceship yangdihancurkan dan gugurnya nyaris seratus ribu prajurit CDF, hanya menyisakan Perry seorang), diceritakan dengan amat detail. Perry sampai tergabung dengan Ghost Brigade (cue untuk judul buku keduanya) alias pasukan khusus CDF untuk menemukan cara Rraey bisa mendeteksi skip drive spaceship pasukan bumi dan menanggulangi, atau kalau bisa sekalian merebut teknologinya dari musuh, agar serangan gelombang kedua dapat berhasil.
Kesimpulan:
Buku ini langsung masuk daftar buku favorit, dan penulisnya tentu saja masuk daftar penulis yang buku-buku lainnya akan kucari dan kubaca. Penuturan John Scalzi di sini asyik banget, kita seolah sedang menonton film action, atau malah jadi pemeran utama dalam film itu, karena novel ini dituturkan dari POV tokoh utamanya, John Perry.
Keputusan:
HIGHLY RECOMMENDED!
Review ini ditulis dalam rangka partisipasiku sebagai anggota grup Science Fiction & Fantasy pada event HUT BBI ke-4.
:Q kumplit bingit kayaknya bukunya ya mbak. Jadi penasaran.
ReplyDeleteAyo coba dibaca! #nyaribalad
Delete