Tema: Hubungan dengan Pembaca |
Terus terang, waktu membaca tema untuk OpBar bulan April ini di kalender BBI, aku rada nge-blank sampai perlu bertanya di grup wa BBI tentang maksud dan tujuan tema ini. Yaaa, daripada sesat di jalan.
Tentu saja tuduhan pertamaku atas bahan obrolan kali ini adalah tentang buku yang membuat pembacanya merasa gue banget gitu loh.
Tuduhan kedua, apakah ini tentang Hubungan antara Penulis dengan Pembaca? Berdasarkan teori biologi, hubungan ini jatuhnya seharusnya simbiosis mutualisme, bukan simbiosis komensalisme, simbiosis amensalisme, atau malah simbiosis kompetisi, di mana kedua pihak malah saling merugikan. Tapi kayaknya bukan itu yang dimaksud, sih ya...
Tuduhan ketigaku jauh lebih mantap: apakah kita akan membahas Hubungan antara Pembaca dengan Pembaca lain? Teori ini cukup masuk akal, mengingat belakangan ini event sepik-sepikan plus comblang-comblangan kembali ramai di grup wa BBI...
Okelah, daripada salah kaprah, seharusnya memang aku membaca dulu panduan dari Divisi Event tentang tema ini sih:
Pernahkah kamu merasa sangat nyambung dengan sebuah cerita atau buku? Seolah kamu bisa relate dengan kisah si tokoh. Atau kamu membaca sebuah buku, tapi temanya bertentangan dengan moral pribadimu? Bagaimana jika sebuah buku begitu kontroversial, kamu nggak tahu bagaimana harus membuat review bukunya? Bagaimana kamu menyikapinya?
Daripada bahasannya ke mana-mana apalagi ngegosipin hubungan antara seorang pembaca dengan pembaca lain terlepas dari apakah hubungan itu hanya gosip atau cuma teori konspirasi, mendingan aku mengikuti panduan saja deh, biar aman :))
1. Pernahkah kamu merasa sangat nyambung dengan sebuah cerita atau buku?
Duh, ya pernah banget dong. Aku bisa merasa nyambung banget apabila sebuah buku bisa membuatku emosi jiwa. Dampaknya bisa bermacam-macam sih, tergantung reaksiku saat jiwaku berpindah secara magis ke dunia yang dibangun penulis. Bisa marah-marah, kesal, menangis, lapar, atau... malah sampai ehm... horny :P . Ini serius, lho, karena tergantung jenis bacaannya juga. Yang terakhir itu memang gawat sih, terutama buat yang tidak punya pasangan yang sah menurut hukum :P
Biasanya buku yang membuatku merasa emosional, misalnya ceurik nepi ka curumbay air mata, kuberi rating tinggi. Habisnya, buat seorang jaded reader sepertiku, makin lama aku makin susah merasa puas, susah menemukan buku yang bisa menggetarkan dawai-dawai jiwa. Jadi, kadang-kadang, bila ada pembaca lain mereview buku dengan laporan bahwa buku itu bisa bikin banjir air mata (TFIOS, misalnya), terus aku tertarik untuk membacanya dan ternyata aku merasa apaan sih kok air mata ga netes setitik pun, ya sudah, sebagus apapun buku ini di mata pembaca lain, aku mungkin menilainya biasa saja. Atau misalnya ada buku genre erotica yang direkomendasikan sejuta umat, tapi bukannya merasa romantis, terpesona atau horny, aku malah merasa sebal dan disgusted, ya sudah, sudah pasti aku tidak terbawa hype dan mainstream, yang ada malah bukunya kuberi rating rendah (you know what book-lah).
Selain buku yang bikin emosi jiwa (sebenarnya buku yang njengkelin dan nyebelin juga bikin emosi jiwa kali ya, tapi reaksi dan penilaiannya bisa berbanding terbalik sih), aku juga bisa nyambung dengan sebuah buku bila tokoh utama di buku itu yang gue banget. Seperti waktu membaca The Abundance of Katherines, misalnya, meskipun tokoh utama di buku itu seorang cowok.
2. Pernahkah kamu membaca sebuah buku, tapi temanya bertentangan dengan moral pribadimu?
Sudah pasti. Dan ada banyak, tapi aku cenderung mengabaikannya, apalagi kalau buku fiksi. Ya... namanya juga fiksi. Aku selalu berusaha tetap open mind.
Contoh paling gampangnya biasanya kalau membaca buku genre romance, baik itu kontemporer maupun historical romance. Coba deh kalau aku iseng membuat daftar novel romance yang kubaca, terutama yang penulisnya dari luar, mana yang menampilkan sex before marriage (SBM) dan mana yang menampilkan sex after marriage (SAM). Pasti jauh lebih banyak yang SBM. Tak peduli walaupun hasil akhirnya sama, hero dan heroine akhirnya menikah dan live happily for ever after, tetap saja sebenarnya bertentangan dengan prinsip dan keyakinan pribadiku. Tapi yaaa... aku tetap baca sih, dan cuek saja, tidak merasa terganggu sama sekali. Tapi jadinya memang kalau aku menemukan buku roman yang lebih mementingkan SAM, jadi sesuatu banget saking jarangnya.
Tentu saja, novel-novel itu, meskipun mengambil setting di masa lalu, kebanyakan ditulis oleh penulis kontemporer. Mungkin akunya saja yang jarang baca novel roman klasik, yang memang sangat steril. Coba deh baca Pride and Prejudice atau novel-novel Jane Austen lainnya. Jangan harap ada adegan ranjang, adegan pegangan tangan saja jarang. Makanya kalau iseng membaca fanfiction PnP, di mana kita dihadapkan pada Mr. Darcy yang tak kuasa menahan nafsu dan Lizzie Bennett yang gampang diajak indehoy, aku jadi merasa mereka Out of Character banget dan seperti membaca novel yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan PnP, cuma mencatut nama tokoh-tokohnya saja.
Nah, meskipun aku cuek saja kalau membaca novel roman luar, bisa beda kasusnya dengan novel roman Indonesia yang menganut SBM. Iya sih, zaman sudah berubah, dan kita tidak bisa menutup mata bahwa SBM bukan hal yang jarang terjadi di Indonesia. Tapi aku agak susah untuk menyukai buku yang tokoh utamanya melakukan SBM dan menganggapnya sebagai hal yang wajar dan biasa saja di zaman yang modern ini. Kalau sudah seperti itu, aku baru bisa menyukai buku itu apabila jalan ceritanya benar-benar bagus dan memikat.
Di luar prinsip SAM, tentunya masih banyak buku-buku yang mengandung hal-hal yang mungkin tidak sesuai dengan prinsip pribadiku di dunia nyata. Tapi, bisa jadi bukannya menghindari, aku malah sengaja membacanya. Kadang-kadang, membaca sesuatu yang kontroversial malah terasa menarik. Kadang-kadang, tokoh-tokoh yang nyeleneh dengan prinsip hidup yang tidak lazim malah membuat jalan ceritanya jadi semakin menarik. How can we love and support a serial killer?
Yang paling susah memang apabila aku membaca buku nonfiksi yang isinya bertentangan dengan prinsip dan keyakinan pribadi. Meskipun demikian, jarang sih yang membuatku DNF. Setidaknya, aku merasa perlu untuk membaca sebuah buku sampai selesai, sebelum aku memberikan komentar baik ataupun buruk. Dan terkadang, meskipun secara sebuah buku yang kubaca tidak sesuai dengan prinsip pribadiku, bisa jadi aku malah memberikan penilaian yang tinggi, dengan alasan yang bermacam-macam.
Intinya sih, bertentangan dengan prinsip atau moral pribadi sekalipun, kalau menurutku sebuah buku atau cerita benar-benar bagus, aku akan tetap memberi penilaian bagus.
No comments:
Post a Comment