Cerita di Balik Dapur Tempo by Tim Buku TEMPO
My rating: 4 of 5 stars
Gara-gara kejar setoran untuk mengurangi tumpukan buku di kamar kost, maka acara menulis review kutinggalkan untuk sementara. Tapi untuk buku ini, aku ingin menuliskan sesuatu. Bukan review, hanya mengenang masa lalu, karena majalah TEMPO memang memiliki tempat tersendiri dalam sejarah perkembangan minat bacaku.
Waktu kukecil hidupku amatlah senang... #eh, malah nyanyi. Ulangi.
Waktu kukecil, bahan bacaanku, khususnya buku cerita anak-anak, cukup terbatas. Maklum, beli buku paling bisa dilakukan sebulan sekali dengan hasil mengirit uang saku bulanan. Tapi untunglah, orang tuaku berlangganan koran dan majalah. Jatahku sebagai anak SD sebenarnya cuma majalah Ananda (dengan sisipan komik Mahabharata-nya Jan Mintaraga dan Teguh Santosa itu lo), tapi karena terlalu banyak waktu luang, belum jaman komputer, di televisi cuma ada TVRI, dan alasan lain sebagainya, aku juga ikut membaca koran Pikiran Rakyat, majalah remaja Hai dan Gadis, majalah ibu-ibu Kartini dan tentu saja... majalah TEMPO.
Apa saja yang kubaca dari majalah TEMPO? Hampir semuanya, mungkin, dari Surat Pembaca sampai kolom-kolomnya, meski sekarang tidak ingat lagi nama-nama rubriknya, dan waktu kubaca belum tentu bisa kupahami semua makna yang tersurat maupun tersirat pada setiap kalimatnya. Tapi ada satu rubrik yang amat berkesan bagiku, sering kubaca ulang, sampai kugunting dari halaman majalah koleksi ayahku itu: Catatan Pinggir. Goenawan Mohamad menulis dengan tema apa saja di sana, dari A sampai Z, dengan gaya penulisan yang menarik. Boleh jadi gara-gara Caping aku jadi membaca sebanyak-banyaknya dengan cita-cita dan tekad memiliki pengetahuan yang seluas-luasnya, tidak terbatas yang kupelajari di sekolah.
Sayangnya, kebiasaan membaca majalah TEMPO seminggu sekali itu berakhir setelah aku lulus SMP, karena ayahku pindah dinas ke luar Jawa, sementara aku pindah ke rumah nenek di Cirebon. Dan bacaanku kemudian terbatas pada apa yang bisa kubeli dari uang saku, dan majalah bukan pilihan utamaku. Novel, oke. Komik, oke, apalagi manga yang mulai muncul pada saat itu mulai menyita minat dan isi dompetku. Tapi sebagai pembelaan diri, baca manga juga menambah pengetahuan kok (minimal jadi tahu bagaimana kehidupan orang Jepang sehari-hari ;P).
Sekarang, setelah punya penghasilan sendiri, kalaupun beli majalah, aku hanya membeli majalah hiburan, majalah film tepatnya, demi update hobi nonton. Majalah lain? Kalau bisa pinjam dan numpang baca saja. Untung sekarang ada internet, minimal bisa baca versi onlinenya (kalau sempat).
Maafkan aku sudah melupakanmu, TEMPO. Sebagai gantinya, aku membeli buku 40 tahunmu ini, dan memberikan rating 4 dari 5 demi kenangan masa lalu :)
Oke, curhat selesai. Sedikit review deh.
Salah satu yang menarik dalam buku kecap dapur TEMPO ini, adalah minat TEMPO untuk melestarikan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, sampai menciptakan padanan kata sendiri atau mempopulerkan kata-kata dari bahasa daerah yang sekarang sudah dianggap lazim, seperti "berkelindan", "konon", "santai" sampai "dangdut" (sayang tak ada hak paten dalam penciptaan kata). Atau kebiasaan mengoreksi kata-kata yang digunakan atau diucapkan orang lain (dasar editor!), yang mengingatkan pada kebiasaan pribadiku yang sulit kuhilangkan (padahal aku kan bukan editor).
View all my reviews
No comments:
Post a Comment