Wednesday, April 9, 2014

A Monster Calls

A Monster CallsA Monster Calls by Patrick Ness
My rating: 5 of 5 stars

The monster showed up after midnight. As they do.

But it isn't the monster Conor's been expecting. He's been expecting the one from his nightmare, the one he's had nearly every night since his mother started her treatments, the one with the darkness and the wind and the screaming...

This monster is something different, though. Something ancient, something wild. And it wants the most dangerous thing of all from Conor.

It wants the truth.

Buku ini kutemukan tergeletak di antara tumpukan buku obralan Periplus di FX beberapa hari yang lalu. Terus terang, aku tidak punya referensi apa-apa waktu membelinya, hanya mengandalkan insting "sepertinya menarik", terutama nama penulisnya, Patrick Ness (aku baru punya dan baca salah satu bukunya, The Knife of Never Letting Go, dan it's brilliant by the way), dan tentu saja... harganya yang banting. Baru setelah pulang, aku mengecek keberadaan buku ini di Goodreads, dan ratingnya yang tinggi membuatku penasaran untuk membacanya lebih dulu dari timbunan buku yang sudah berbulan-bulan menghuni kamar kosan.

Dan setelah membaca buku ini... rasanya berlebihan kalau dibilang speechless ya.

Ini bukan cerita tentang monster dunia fantasi yang harus dibasmi para ksatria berkuda putih, tapi monster psikologis yang diam-diam menggerogoti hati dan pikiran seorang bocah tiga belas tahun sejak ibunya jatuh sakit dan menjalani perawatan. Dan cara yang paling tepat untuk mengobati jiwa dari monster itu adalah dengan mengakui kenyataan, yang selama ini bersembunyi di alam bawah sadar. Kenyataan yang tidak bisa diakui karena terasa begitu selfish, sehingga memikirkannya sedikit saja akan membuat kita merasa begitu bersalah, sehingga merasa harus mendapat hukuman yang seberat-beratnya.

Ada tiga kisah yang diceritakan sang monster yang mendatangi Conor. Ketiganya bukan kisah hitam putih antara yang haq dan yang bathil, tapi dongeng dengan karakter abu-abu, di mana tak ada garis jelas yang bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Tapi... bukankah semua manusia begitu? Garis batas hitam putih hanya ada di dunia dongeng, bukan di dunia nyata.

Setelah sang monster menyelesaikan tiga kisahnya, Conor harus menyampaikan kisahnya sendiri. Dan ia harus menceritakan kebenaran yang sesungguhnya, karena bila tidak, ia akan tetap tenggelam dalam mimpi buruk yang dibuatnya sendiri.

Buku ini ditulis oleh Patrick Ness berdasarkan ide dari mendiang Siobhan Dowd, dalam bentuk karakter, premis, maupun awalnya. Namun untuk menghargai Dowd, Patrick Ness menuliskannya dengan gayanya sendiri. Dan harus kuakui, ilustrasi yang digoreskan Jim Kay untuk menghiasi buku ini sangat pas dengan tone ceritanya yang kelam mencekam...






View all my reviews


No comments:

Post a Comment