My rating: 5 of 5 stars
Menilik nama penulisnya, sudah jelas buku ini tidak ada kaitannya dengan Ekspedisi Kompas dan Tim Ring Of Fire Adventure (ROFA) yang mendaki gunung-gunung berapi yang teraktif di Negeri Cincin Api Indonesia.
Penulis buku ini adalah oleh Lawrence Blair, antropologis, petualang, dan pembuat film dokumenter. Bersama adiknya, Lorne Blair, selama sepuluh tahun ia memfilmkan secara independen sembilan ekspedisi terpisah di Indonesia. Setelah gagal menjual film tersebut selama lima belas tahun, nasib baik membuat PBS/BBC memilih karya mereka dan memadatkannya menjadi empat episode masing-masing satu jam, dengan judul Ring of Fire: An Indonesian Odyssey. Buku ini ditulis sebagai companion dari serial TV yang memenangkan Emmy Award 1989 untuk National Education Film itu.
Awalnya, kunjungan pertama Blair Bersaudara ke Indonesia adalah untuk menapak tilas penjelajahan Alfred Russel Wallace, menggunakan kapal pinisi Bugis dalam mencari burung Cendrawasih Kuning Besar ke Kepulauan Aru. Berbekal buku klasik Wallace, The Malay Archipelago, bersama berbagai peralatan rekaman dan P3K (tapi tanpa izin merekam film), mereka terbang dari London ke Jakarta.
Namun demikian, sebelum sampai ke Lautan Aru dan melihat-lihat burung cendrawasih, Blair Bersaudara sempat terdampar di Makassar karena belum mendapat kapal. Karena itu mereka sempat mengunjungi Tana Toraja dan mengikuti upacara pemakaman raja Puang Sangalla (yang berlangsung berminggu-minggu!).
Kembali ke masalah kapal, selain demi otentisitas napak tilas Wallace, Blair Bersaudara juga ngotot harus menggunakan kapal pinisi, karena mungkin itu adalah kesempatan terakhir melakukan mereka pelayaran bersejarah sebelum pinisi Bugis hilang untuk selamanya. Oh ya, di sini aku baru tahu kalau kata 'Boogie man' rupanya berasal dari suku Bugis, para pelaut di Nusantara yang rupanya sedemikian menakutkan bagi para saudagar Eropa, dengan kebengisan dan kemampuan melaut mereka yang bagaikan iblis.
Pinisi Sinar Surya yang kondisinya cukup meragukan |
Sayangnya, ketika akhirnya berlayar, mimpi mereka indah mereka akan pelayaran bak Wallace hancur berantakan, karena ternyata pelaut Bugis yang mereka sewa tidak secanggih leluhurnya yang penguasa lautan. Namun demikian, ekspedisi tetap jalan terus. Sempat mampir di Buton, Ambon, dan Banda, sebelum akhirnya Blair Bersaudara mencapai tujuan utama mereka: Kepulauan Aru dan Cendrawasih Kuning-Besar.
Akhirnya... |
Petualangan berikutnya yang diceritakan adalah perjalanan ke Desa Onatjep, di wilayah Agats, Papua, untuk memfilmkan suku Asmat di sana. Sebelum datang bersama Lawrence, tahun sebelumnya Lorne telah datang dengan ekspedisi yang lain, sehingga ia disambut dengan hangat dan menjadi bintang tamu. Belum apa-apa, mereka sudah mendapati salah seorang penduduk mati dengan anak panah mematikan menembus kerongkongan! Dan di sini pula, kita mengetahui nasib yang menimpa Michael Rockefeller, yang hilang tanpa jejak dalam perjalanannya 'berbelanja' koleksi seni Asmat.
Blair Bersaudara juga sering berkunjung ke Pulau Komodo, terutama sebagai pemandu wisata Lindblad Explorer, yang mengangkut penumpang yang membayar mahal dan ilmuwan-ilmuwan selama enam minggu melalui perairan Indonesia. Banyak cerita kocak antara Blair Bersaudara dengan para komodo, dari yang semula susah dicari sehingga harus dipancing dengan "kurban persembahan", sampai yang tidak perlu dicari serombongan datang sendiri saat Blair Bersaudara dengan pedenya tidak membawa hewan kurban, sehingga boleh dibilang mereka sendirilah "kurban persembahan" yang dinanti-nanti para komodo!
Komodo makan hewan kurban: adegan yang ditunggu-tunggu wisawatan |
Ritual Pasola |
Petualangan besar lain yang dibahas cukup panjang di buku ini adalah kisah Blair Bersaudara mencari suku nomaden Punan di belantara Kalimantan, dengan berjalan kaki hampir 1.000 kilometer! Wow, luar biasa memang dedikasi para petualang ini! Ditemani para portir yang rupanya suku Punan yang sudah berbaur dengan masyarakat modern, rombongan pun menempuh perjalanan berminggu-minggu, bertemu berbagai binatang baik yang indah maupun yang mematikan, melintasi berbagai kondisi rimba dari tanah gambut, rawa, dan sungai, sampai nyaris kelaparan karena perbekalan makanan mulai menipis. Untungnya, pemandu mereka juga pemburu jagoan, sehingga ada saja hasil buruan yang bisa dimakan, termasuk siamang yang dipanggang di atas api. Untungnya, perjalanan jauh dan melelahkan ini tidak sia-sia karena Blair Bersaudara akhirnya menemukan suku Punan yang dianggap sudah punah itu!
Membaca buku hardcover setebal 391 halaman ini sama sekali tidak terasa, karena gaya bertutur Lawrence yang kocak. Sense of humor Blair Bersaudara dalam menghadapi berbagai macam ujian, cobaan, dan tantangan unik pada berbagai penjelajahan di Indonesia ini juga membuat pembaca jadi asyik mengikuti petualangan mereka. Membaca buku ini juga menyadarkan para pembaca, khususnya pembaca Indonesia, bahwa ada begitu banyak tempat di Indonesia yang menarik untuk dikunjungi dan dijelajahi, yang tidak kalah indah dan eksotisnya dibanding negara lain, dan mungkin membuat kita ingin menyanyikan salah satu lagu Ismail Marzuki...
Tanah airku Indonesia
Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang kupuja sepanjang masa...
View all my reviews