Hati-hati, yaaa!: Kumpulan kisah inspiratif yang akan menyelamatkan anda by El Syifa
My rating: 3 of 5 stars
Waktu buku ini baru terbit dan dipajang di display New Arrival Gramedia Plangi, sempat kupegang-pegang, kumasukin tas belanja, sebelum akhirnya kubalikin lagi ke display, karena belanjaan sudah banyak dan harus ada buku yang disisihkan demi keselamatan dompet.
Waktu IRF 2013 kemarin, aku menemukan buku ini di "display" bookswap, dan tanpa pikir panjang kutukar dengan buku yang ingin kusisihkan dari koleksi. Siapapun yang sudah menaruhnya di display waktu itu, terima kasih ya...
Mengapa aku tertarik untuk membaca buku ini? Selain covernya yang lucu dan unik, jelas karena aku sekarang hidup dan mencari nafkah di Jakarta, yang katanya lebih kejam dari ibu tiri (tidak semua ibu tiri kejam, tapi pasti maksud analogi di sini ibu tiri ala Cinderella atau Arie Hanggara #perludibahas).
Buku ini merupakan kumpulan kisah pengalaman para korban, calon korban, atau teman dari korban/calon korban kejahatan. Para pelaku atau tersangka penjahatnya menggunakan berbagai modus, baik pakai taktik lama maupun taktik baru dan kreatif. Memang iya, sih, di jaman sulit ini untuk mencari duit harus kreatif dan inovatif, tapi kalau untuk mengambil rezeki yang bukan haknya sih namanya menyalahgunakan akal yang seyogyanya digunakan untuk kemaslahatan umat (ceramah pagi-pagi).
Kisah-kisah yang diceritakan beraneka ragam, dari ibu hamil bersepeda motor yang dipepet motor lain pada malam hari di jalan sepi, copet ganteng ala Nicholas Saputra yang menggoda iman, joki 3-in-1 gadungan yang memeras sekaligus merampok, gendam di supermarket, angkot kosong yang bikin parno, dll. Tak lupa diberikan tips dan tricks untuk waspada terhadap kejahatan serupa.
Sebagai warga pendatang ber-KTP daerah yang sudah hidup di Jakarta selama 6 1/2 tahun, apakah aku imun dari sisi gelap Jakarta ini? Tentu saja tidak.
Begitu aku pindah ke Jakarta dan baru tiga hari ngekos di Bendungan Hilir, kosanku sudah dibobol maling, dan aku kehilangan sebuah kamera digital. Itu pun sepertinya perbuatan orang dalam, karena kamar-kamar kos yang jadi TKP tetap terkunci sempurna. Bulan depannya aku langsung cabut ke kosan lain, yang meskipun level kenyamanannya lebih rendah tapi keamanannya lebih terjaga (bergabung dengan pemilik kos, dan ada taman bacaannya, lagi! :P).
Naik bus kota dan ketemu preman yang mengaku baru keluar penjara dan meminta penumpang menyisihkan rezeki supaya mereka tidak kembali ke jalan yang salah? Aku jarang naik bus kecuali kepepet, tapi yang seperti ini kerap terjadi. Tapi biasanya aku tipe penumpang pelit yang ogah menyisihkan rezeki kepada mereka yang cuma ngomong doang. Beda cerita kalau mereka ngamen, minimal ada usaha sedikit lah, apalagi kalau tidak sampai merusak telinga.
Dibuntuti orang mencurigakan saat di jembatan penyeberangan? Yang kurasakan sih dua kali di jembatan penyeberangan Benhil. Aku bisa ngeh karena ristleting ranselku cukup susah dibuka, sehingga si pelaku harus berusaha sedikit-sedikit membukanya. Pas aku berhenti berjalan dan memperbaiki ristleting yang sudah setengah terbuka, si pelaku paling tetap berlalu sambil pasang muka polos, atau malah cengegesan bikin sebel. Untung saja tidak ada barang berharga yang hilang.
Tapi secara umum, karena aku memilih ngekos di belakang kantor, aku belum merasakan susah dan bahayanya jalanan/transportasi ibukota. Jalan kaki dari kosan ke kantor cuma lima menit, pulang kantor jam 10 atau 11 malam pun masih merasa pede dan aman-aman saja. Memang sih ada saja cerita dari teman yang dijambret ketika sedang jalan kaki atau malah ketika sedang sibuk membuka kunci gembok kosan (itu pun kejadian pagi atau sore hari!), tapi alhamdulilah sampai saat ini belum pernah kualami.
Transportasi umum juga cuma kugunakan di akhir pekan. Bus, angkot dan ojek baru kunaiki kalau kepepet alias tidak ada pilihan lain. Aku lebih sering naik transjakarta, karena dijamin tidak bakal tersesat, apalagi sekarang cukup nyaman karena untuk wanita disediakan wilayah khusus. Tapi aku lebih sering lagi naik taksi saja, terutama kalau barang bawaan banyak (biasanya sih gara-gara obralan atau pameran buku). Kalau tidak terpaksa-terpaksa banget, pastinya armada yang kupilih hanya beberapa yang dapat kuyakini keamanannya.
Mudah-mudahan, dengan selalu berhati-hati dan berdoa memohon perlindungan-Nya, kita dapat terhindar dari berbagai aksi kejahatan di jalan.
Waspadalah, waspadalah, waspadalah...
View all my reviews
Wednesday, December 25, 2013
Thursday, November 28, 2013
Permainan Anak-Anak Generasi X
Little Mice GAME OVER !! Volume 1 by Muhammad Mice Misrad
My rating: 3 of 5 stars
Seharusnya aku membaca ulang dan mereview koleksi komik Tintin-ku dalam rangka posting bareng BBI bulan November ini. Tapi apa daya, buku-buku lain lebih menuntut untuk dibaca ulang atau dibaca duluan, tahu-tahu waktu luangku habis deh tanpa sempat menyentuh selembar pun komik Tintin. Nah, kebetulan minggu lalu aku tak sengaja memasukkan komik Mice ini ke dalam tas belanja. Dan kebetulan juga buku ini bisa habis dibaca dalam lima sampai sepuluh menit. Jadi didaulatlah komik tipis ini untuk kuulas sedikit.
Pada intinya komik ini masih satu seri dengan Football's Coming Home-nya Mice: nostalgia masa kanak-kanak. Bedanya kalau di komik sebelumnya Mice bercerita tentang permainan bola sepak, di sini Mice bernostalgia tentang semua games yang dimainkannya waktu kecil, dari hujan-hujanan sambil berbugil ria (kenapa juga nggak sekalian sabunan dan sampoan, ya?), main tembak-tembakan kayu (senapan dibuat sendiri), pletokan, sumpitan, bola gebok, gatrik, dan tentu saja permainan favorit masa itu... main gundu dengan segala macam variasinya. Tidak lupa Mice memberikan gambaran anak-anak masa itu, dari korengan gara-gara sering tikusruk sampai anak-anak yang meler sepanjang masa hingga dijuluki Apollo 11 (tidak perlu kusalin penjelasan Mice di sini, karena terasa menjijikkan, walaupun kayaknya dulu anak jorok seperti itu dianggap biasa saja).
Sudah begitu saja review-nya?
Iya, sudah begitu saja. Dan terus terang, kebanyakan permainan masa kecil Mice tidak pernah kumainkan. Jadi tentu saja, nostalgiaku tentang permainan masa kecil tidak akan nyambung dengan komiknya Mice (entah kalau di jilid 2 Game Over, ya).
Kalau diingat-ingat, permainan masa kecilku kebanyakan permainan untuk anak perempuan sih. Maklum, namanya juga anak ketiga dari tiga bersaudari dengan selisih umur yang lumayan dekat. Jadi, main bertiga saja sudah seru, apalagi kalau bergabung dengan anak-anak perempuan dari lingkungan sekitar.
Jadi, apa saja permainannya?
Biasanya permainan outdoor yang kuikuti memerlukan cukup banyak peserta, seperti main karet misalnya.
Kalau main game sekarang pakai level, sebenarnya main karet juga sama ya. Dimulai dari ketinggian se-dengkul, se-pipis, se-pinggang, se-dada, se-dagu, se-telinga, se-kepala, sejengkal (di atas kepala), sampai se-merdeka (entah kenapa posisi tertinggi ini dinamai se-merdeka). Sebenarnya dengan permainan ini bisa dilihat anak-anak mana saja yang berbakat jadi atlet loncat tinggi. Tapi tentu saja, kalau loncat tinggi tidak boleh dengan bantuan tangan, atau istilah Sunda-nya di-hontal.
Permainan lain yang butuh banyak orang adalah main ular naga:
Permainan ini biasanya sih dilakukan siang-siang. Tapi kalau aku liburan ke rumah nenek, pada waktu itu listrik belum masuk desa, permainan ini asyik juga dilakukan di bawah sinar bulan purnama (kalau terang bulan begini, anak-anak ogah tidur cepat). Biasanya diiringi lagu "ular naga panjangnya, bukan kepalang, dst" tapi waktu aku kecil seingatku lagu Sunda-nya "slep dur", yang sampai sekarang aku lupa lirik panjangnya, dan sudah pasti tidak tahu artinya. Apakah maksudnya "sepur" yang masuk terowongan? Entahlah.
Permainan outdoor lain yang biasa kuikuti adalah kucing-kucingan, petak umpet (kucing sumput in Sundanese), dan gobak sodor (go back through the door?) alias galah asin. Ini tentu saja bukan hanya permainan anak perempuan.
Sedangkan kalau permainan indoor, banyak macamnya, biasanya model main bola bekel, congklak, halma, monopoli, dll.
Tapi permainan favoritku adalah... main anjang-anjangan (oke, oke, sebut saja main boneka). Karena pada waktu itu aku boro-boro tahu ada makhluk bernama Barbie dan Ken, aku main pake KW-10 nya, alias boneka kertas.
Malah sebelum boneka kertas ada aku pakai versi yang lebih sederhana, bikin sendiri dengan bahan jarit alias kain perca dengan rangka lidi. Jangan bayangkan boneka kain dengan wajah dan rambut yang imut. Biasanya kubuat gundul saja seperti boneka penangkal hujan, bahkan tanpa muka seperti hantu muka rata. Dan kalau boneka kertas umumnya dilengkapi dengan koleksi baju gantinya, untuk boneka perca bajunya harus kubuat sendiri (untungnya, sebagai anak penjahit profesional, limbah kain dengan bahan beraneka jenis dan warna cukup melimpah).
Justru dalam permainan boneka dengan fasilitas terbatas begini, perlu banyak kreativitas dan imajinasi (iyalah, boneka kain dengan kepala bulat gundul bisa dibayangkan sebagai cewek cakep atau cowok ganteng!). Tidak punya rumah boneka? Buat sendiri! Satu rumah bisa makan satu meter persegi, dan biasanya melibatkan segala macam jenis barang, dari stationery sampai dengan kotak kaset, yang fungsinya bisa berubah-ubah tergantung imajinasi dan kondisi. Kotak kaset bisa jadi tempat tidur, meja rias, bahkan mobil! Selain mengurus prop, tentu saja yang paling penting adalah menjadi penulis skenario, sutradara, penggerak serta pengisi suara boneka (pastinya). Biasanya sih yang penting ada plot utama, ceritanya bisa mengalir begitu saja dengan ending bagaimana nanti.
Dan kalau cerita belum habis saat sudah bosan main, biasanya cerita digantung begitu saja, to be continued, bisa dilanjutkan besok harinya. Dan supaya tidak repot, properti sandiwaranya juga dibiarkan begitu saja. Baru kalau ada inspeksi dari orang tua (iya... orang tuaku tidak pernah mengecek anak-anaknya mau belajar atau tidak, tapi minimal seminggu sekali mengecek kerapian kamar), baru deh dengan amat terpaksa semua properti dibereskan... padahal ceritanya belum tamat...
Entah kapan main anjang-anjangan terhenti dan terlupakan. Mungkin ketika para pemainnya lebih suka menumpahkan jalan cerita dalam imajinasinya ke dalam bentuk tulisan... :P
View all my reviews
My rating: 3 of 5 stars
Seharusnya aku membaca ulang dan mereview koleksi komik Tintin-ku dalam rangka posting bareng BBI bulan November ini. Tapi apa daya, buku-buku lain lebih menuntut untuk dibaca ulang atau dibaca duluan, tahu-tahu waktu luangku habis deh tanpa sempat menyentuh selembar pun komik Tintin. Nah, kebetulan minggu lalu aku tak sengaja memasukkan komik Mice ini ke dalam tas belanja. Dan kebetulan juga buku ini bisa habis dibaca dalam lima sampai sepuluh menit. Jadi didaulatlah komik tipis ini untuk kuulas sedikit.
Pada intinya komik ini masih satu seri dengan Football's Coming Home-nya Mice: nostalgia masa kanak-kanak. Bedanya kalau di komik sebelumnya Mice bercerita tentang permainan bola sepak, di sini Mice bernostalgia tentang semua games yang dimainkannya waktu kecil, dari hujan-hujanan sambil berbugil ria (kenapa juga nggak sekalian sabunan dan sampoan, ya?), main tembak-tembakan kayu (senapan dibuat sendiri), pletokan, sumpitan, bola gebok, gatrik, dan tentu saja permainan favorit masa itu... main gundu dengan segala macam variasinya. Tidak lupa Mice memberikan gambaran anak-anak masa itu, dari korengan gara-gara sering tikusruk sampai anak-anak yang meler sepanjang masa hingga dijuluki Apollo 11 (tidak perlu kusalin penjelasan Mice di sini, karena terasa menjijikkan, walaupun kayaknya dulu anak jorok seperti itu dianggap biasa saja).
Sudah begitu saja review-nya?
Iya, sudah begitu saja. Dan terus terang, kebanyakan permainan masa kecil Mice tidak pernah kumainkan. Jadi tentu saja, nostalgiaku tentang permainan masa kecil tidak akan nyambung dengan komiknya Mice (entah kalau di jilid 2 Game Over, ya).
Kalau diingat-ingat, permainan masa kecilku kebanyakan permainan untuk anak perempuan sih. Maklum, namanya juga anak ketiga dari tiga bersaudari dengan selisih umur yang lumayan dekat. Jadi, main bertiga saja sudah seru, apalagi kalau bergabung dengan anak-anak perempuan dari lingkungan sekitar.
Little Women in Sephia |
Jadi, apa saja permainannya?
Biasanya permainan outdoor yang kuikuti memerlukan cukup banyak peserta, seperti main karet misalnya.
Ketinggian se-merdeka |
Permainan lain yang butuh banyak orang adalah main ular naga:
Permainan ini biasanya sih dilakukan siang-siang. Tapi kalau aku liburan ke rumah nenek, pada waktu itu listrik belum masuk desa, permainan ini asyik juga dilakukan di bawah sinar bulan purnama (kalau terang bulan begini, anak-anak ogah tidur cepat). Biasanya diiringi lagu "ular naga panjangnya, bukan kepalang, dst" tapi waktu aku kecil seingatku lagu Sunda-nya "slep dur", yang sampai sekarang aku lupa lirik panjangnya, dan sudah pasti tidak tahu artinya. Apakah maksudnya "sepur" yang masuk terowongan? Entahlah.
Permainan outdoor lain yang biasa kuikuti adalah kucing-kucingan, petak umpet (kucing sumput in Sundanese), dan gobak sodor (go back through the door?) alias galah asin. Ini tentu saja bukan hanya permainan anak perempuan.
Sedangkan kalau permainan indoor, banyak macamnya, biasanya model main bola bekel, congklak, halma, monopoli, dll.
Bola bekel dan "kuwuk"-nya |
Tapi permainan favoritku adalah... main anjang-anjangan (oke, oke, sebut saja main boneka). Karena pada waktu itu aku boro-boro tahu ada makhluk bernama Barbie dan Ken, aku main pake KW-10 nya, alias boneka kertas.
Zaman dulu karakter paling umum adalah Candy-Candy sih |
Malah sebelum boneka kertas ada aku pakai versi yang lebih sederhana, bikin sendiri dengan bahan jarit alias kain perca dengan rangka lidi. Jangan bayangkan boneka kain dengan wajah dan rambut yang imut. Biasanya kubuat gundul saja seperti boneka penangkal hujan, bahkan tanpa muka seperti hantu muka rata. Dan kalau boneka kertas umumnya dilengkapi dengan koleksi baju gantinya, untuk boneka perca bajunya harus kubuat sendiri (untungnya, sebagai anak penjahit profesional, limbah kain dengan bahan beraneka jenis dan warna cukup melimpah).
Justru dalam permainan boneka dengan fasilitas terbatas begini, perlu banyak kreativitas dan imajinasi (iyalah, boneka kain dengan kepala bulat gundul bisa dibayangkan sebagai cewek cakep atau cowok ganteng!). Tidak punya rumah boneka? Buat sendiri! Satu rumah bisa makan satu meter persegi, dan biasanya melibatkan segala macam jenis barang, dari stationery sampai dengan kotak kaset, yang fungsinya bisa berubah-ubah tergantung imajinasi dan kondisi. Kotak kaset bisa jadi tempat tidur, meja rias, bahkan mobil! Selain mengurus prop, tentu saja yang paling penting adalah menjadi penulis skenario, sutradara, penggerak serta pengisi suara boneka (pastinya). Biasanya sih yang penting ada plot utama, ceritanya bisa mengalir begitu saja dengan ending bagaimana nanti.
Dan kalau cerita belum habis saat sudah bosan main, biasanya cerita digantung begitu saja, to be continued, bisa dilanjutkan besok harinya. Dan supaya tidak repot, properti sandiwaranya juga dibiarkan begitu saja. Baru kalau ada inspeksi dari orang tua (iya... orang tuaku tidak pernah mengecek anak-anaknya mau belajar atau tidak, tapi minimal seminggu sekali mengecek kerapian kamar), baru deh dengan amat terpaksa semua properti dibereskan... padahal ceritanya belum tamat...
Entah kapan main anjang-anjangan terhenti dan terlupakan. Mungkin ketika para pemainnya lebih suka menumpahkan jalan cerita dalam imajinasinya ke dalam bentuk tulisan... :P
View all my reviews
Thursday, November 21, 2013
Like a Virgin
Wedding Night - Malam Pengantin by Sophie Kinsella
My rating: 3 of 5 stars
Sinopsis:
Review:
Oke, kesan pertama setelah menamatkan buku ini adalah... buku ini boleh dibilang unik, dan... kocak.
View all my reviews
My rating: 3 of 5 stars
Sinopsis:
Lottie sudah lelah dengan pacarnya yang tidak segera mengajukan lamaran. Suatu hari, Ben, mantan pacarnya semasa remaja muncul kembali dan mengingatkan Lottie pada janji yang pernah mereka buat belasan tahun lalu: bila mereka sama-sama masih lajang pada usia tiga puluh, mereka akan menikah. Lottie menyambar kesempatan itu, dengan syarat: Tidak udah pakai masa pacaran, acara kencan, atau pertunangan--langsung saja ke altar! Dan terbanglah mereka untuk berbulan madu di pulau kecil Yunani tempat mereka pertama kali bertemu. Namun, rupanya tidak semua senang dengan keputusan mereka yang terbutu-buru--teman dan keluarga berusaha menghalang-halangi. Akankah Lottie dan Ben mendapatkan malam pengantin impian mereka? Ataukah ini akan berubah menjadi malapetaka?
Review:
"Pada zamanku, para lelaki menikah karena mereka menginginkan seks. Tentu saja itu motivasi! Kalian para gadis ini sudah tidur bersama dan tinggal bersama, lalu menginginkan cincin pertunangan. Terbalik."
Ketika membaca komentar dari figuran random di Bab 1 halaman 25 novel terjemahan ini, sontak aku tersenyum, dan mungkin... mengamini. Setidaknya, begitulah dunia "Barat" pada umumnya yang ditampilkan di layar perak atau layar kaca, atau... di novel-novel chicklit. Pola hubungan yang sudah terbalik dibandingkan masa lalu sekarang dianggap lumrah dan biasa, meskipun tentunya bukan berarti apa yang kutonton di film/televisi atau kubaca di novel-novel itu mencerminkan kondisi yang sebenarnya di sana. Namun demikian, aku hanya berharap "pola menikah-lalu tinggal bersama" masih tetap lestari di Indonesia. Yap, aku bukannya lupa menuliskan tahap "pacaran dan tunangan".
Baiklah, sebelum aku terjerumus mengutip isi buku Udah Putusin Aja-nya Felix Y. Siauw, mari kita kembali ke review. Tapi pertama-tama, aku memohon maaf pada pihak-pihak yang memungkinkan jatuhnya buku ini ke pangkuanku, atas amat sangat terlambatnya review (atau bukan review?) ini. Dari awal aku memang agak ragu mengikuti penawaran buntelan yang memajang buku ini di listnya, selain karena sudah lama tidak membaca chicklit, juga aku tergolong malas membuat review. Bukan karena aku tidak suka menulis, tapi karena waktuku tersita untuk membaca (cari-cari alasan, padahal malas mah malas aja, padahal bukunya sudah dibaca pada bulan September lalu!).
Oke, kesan pertama setelah menamatkan buku ini adalah... buku ini boleh dibilang unik, dan... kocak.
Di mana uniknya? Ya itu, tema utama yang sengaja dipilih untuk menghidupkan konflik: kembali ke tren masa lalu dengan "no sleeping together before wedding", sehingga Lottie, tokoh utamanya, mendadak bak perawan yang menunggu-nunggu malam pengantin, sementara calon pengantinnya, Ben, terpaksa harus mengamalkan ilmu deferred gratification yang sudah lama dilupakan orang, terlindas oleh era kebebasan seksual paska generasi bunga.
Di mana kocaknya? Semua kekonyolan yang terjadi sebelum dan sesudah adegan lamaran romantis Ben pada Lottie, yang diterima dengan syarat mahaberat dan mematikan itu.
Diawali dengan salah paham dan gagal paham Lottie yang mengira pacarnya akan mengajukan lamaran. Selama ini, patah hati selalu membuatnya melakukan hal-hal aneh dan destruktif, dan sekarang ujug-ujug ia menerima lamaran mantan pacar yang sudah lama tidak ditemuinya. Kekonyolan lebih lanjut dimulai dengan usaha-usaha licik Fliss, kakak Lottie, yang berusaha menggagalkan pernikahan Lottie karena menganggap Lottie mengambil keputusan yang salah (iya, iya, tentu saja ia benar!), dengan dibantu oleh Lorcan, tangan kanan Ben yang berusaha mengembalikan Ben ke jalan yang benar.
Yang membuat cerita ini menarik adalah tokoh-tokohnya, yang tidak ada yang sempurna. Putri cantik yang selalu melakukan hal-hal destruktif demi melupakan patah hati. Pangeran charming yang tampan dan kaya raya... tapi bodoh dalam urusan bisnis. Kakak sang putri yang selalu ikut campur urusan cinta adiknya, antara iri hati dan sayang. Perdana menteri yang berusaha menyetir sang pangeran demi kepentingan dan ambisi pribadinya.
Well, memang tidak ada manusia yang sempurna. Tapi ketidaksempurnaan itulah yang membuat dunia ini berwarna.
View all my reviews
Curcol! Dari Kamar Kost Pembaca
Declare! Kamar Kerja Penerbit Jogja by adhe
My rating: 4 of 5 stars
Buku-buku terbitan penerbit Jogja (yang belum besar dan mapan) kuanggap buku langka, karena hanya bisa kudapat di pameran-pameran buku. Biasanya, ada saja buku-buku yang kubeli dari lapak Yusuf Agency, meskipun hanya karena alasan "sepertinya menarik".
Tapi, ada tapinya sih, aku tidak tergerak untuk membeli buku terjemahan dari beberapa penerbit Jogja tertentu, karena pengaruh opini teman-teman yang sudah pernah membaca dan mereview buku-bukunya, lantas memberi cap nista "terjemahan penerbit anu ancurrr". Sementara buku terjemahan penerbit Jogja lain yang kubeli, meskipun kata orang bagus, kadang tetap masih membuat kening berkerut.
Memang bagaimanapun, untuk buku yang aslinya dalam bahasa Inggris, menurut pendapatku lebih baik kubaca versi aslinya saja, karena kalau menemukan idiom yang diterjemahkan harfiah banget (satu roti panggang untuk nenekku sebagai terjemahan dari a toast to my grandmother?), bawaannya pasti pingin misuh-misuh, berhenti membaca, lantas berharap untuk menswap bukunya saja kalau ada kesempatan. Nama besar penerjemah pun bukan jaminan hasilnya memuaskan, seperti pengalamanku waktu membaca Of Mice and Men-nya John Steinbeck terjemahan PAT tahun 50-an (untung bukunya hasil pinjam). Padahal tadinya aku tertarik baca karena nama PAT-nya, bukan Steinbeck-nya, hehehe...
Sementara kalau buku yang aslinya dari bahasa lain... ya pasrah saja deh. Karena faktor keawamanku atas bahasa aslinya, paling aku cuma bisa bertanya-tanya apakah memang tulisan sang pengarang begitu sulit saking sastrawi-nya, atau sebenarnya penerjemahnya yang tidak sanggup memberikan pemahaman bagi pembaca?
Ini bukan ripyu, hanya sekedar curcol.
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
Buku-buku terbitan penerbit Jogja (yang belum besar dan mapan) kuanggap buku langka, karena hanya bisa kudapat di pameran-pameran buku. Biasanya, ada saja buku-buku yang kubeli dari lapak Yusuf Agency, meskipun hanya karena alasan "sepertinya menarik".
Tapi, ada tapinya sih, aku tidak tergerak untuk membeli buku terjemahan dari beberapa penerbit Jogja tertentu, karena pengaruh opini teman-teman yang sudah pernah membaca dan mereview buku-bukunya, lantas memberi cap nista "terjemahan penerbit anu ancurrr". Sementara buku terjemahan penerbit Jogja lain yang kubeli, meskipun kata orang bagus, kadang tetap masih membuat kening berkerut.
Memang bagaimanapun, untuk buku yang aslinya dalam bahasa Inggris, menurut pendapatku lebih baik kubaca versi aslinya saja, karena kalau menemukan idiom yang diterjemahkan harfiah banget (satu roti panggang untuk nenekku sebagai terjemahan dari a toast to my grandmother?), bawaannya pasti pingin misuh-misuh, berhenti membaca, lantas berharap untuk menswap bukunya saja kalau ada kesempatan. Nama besar penerjemah pun bukan jaminan hasilnya memuaskan, seperti pengalamanku waktu membaca Of Mice and Men-nya John Steinbeck terjemahan PAT tahun 50-an (untung bukunya hasil pinjam). Padahal tadinya aku tertarik baca karena nama PAT-nya, bukan Steinbeck-nya, hehehe...
Sementara kalau buku yang aslinya dari bahasa lain... ya pasrah saja deh. Karena faktor keawamanku atas bahasa aslinya, paling aku cuma bisa bertanya-tanya apakah memang tulisan sang pengarang begitu sulit saking sastrawi-nya, atau sebenarnya penerjemahnya yang tidak sanggup memberikan pemahaman bagi pembaca?
Ini bukan ripyu, hanya sekedar curcol.
View all my reviews
Sunday, October 13, 2013
To Be A Little Boy and Have Fun
Hook by Terry Brooks
My rating: 4 of 5 stars
Mrs. Darling: Peter, let me adopt you, too.
Peter Pan: Would you send me to school?
Mrs. Darling: Yes, of course.
Peter Pan: And then to an office?
Mrs. Darling: I suppose so.
Peter Pan: Soon I should be a man?
Mrs. Darling: Yes, very soon.
Peter Pan: (shook his head) I don't want to go to school and learn solemn things. No one is going to catch me and make me a man. I want always to be a little boy and have fun.
Bagaimana bila kemudian Peter Pan berubah pikiran dan tumbuh dewasa karena akhirnya jatuh cinta pada cucu Wendy Darling?
1. Ia lupa pada masa lalu dan semua petualangan di Neverland.
2. Ia pergi sekolah.
3. Ia menikah dan punya anak.
4. Ia menjadi workaholic.
5. Ia menjadi tua dan gemuk.
6. Ia fobia pada ketinggian.
7. Ia tak tahu asyiknya bermain dan bersenang-senang.
8. Ia tak punya lagi... happy thoughts.
Apakah menjadi dewasa dan bertanggung jawab menyebabkan seseorang kehilangan kebahagiaan yang melimpah saat kanak-kanak?
Test case: Peter Banning aka Peter Pan dewasa yang mencoba memikirkan apa yang membuatnya bahagia.
1. Pasar saham yang naik 200 poin.
2. Fasilitas dan benefit perusahaan, lima saluran telepon di limousine, tiket untuk semua event olahraga dan teater, pesawat jet perusahaan, dll.
Happy thoughts? Not really, tetap tak bisa membuat Peter bisa terbang kembali.
Pertanyaan pancingan Tinkerbell (T) dan hal pertama yang terlintas di benak Peter (P):
T: Puppies.
P: They try to commit suicide under your feet.
T: Cotton candy.
P: Disgusting, cavity-inducing pink goo that gets all over your hands.
T: Snow.
P: Awful---turns to slush and ruins the finish of your car.
T: Are you happy in springs?
P: Taxes.
T: Summer?
P: Mosquitos.
T: How about swimming?
P: Chlorine.
T: Christmas?
P: Gifts, bills, credit cards. I'm not happy!
T: Swings or slides?
P: Fact of life. Happens all the time if you play the market. You've just got to lern to live with it.
T: M&M?
P: Melts on your couch, not in your hand.
Wew, susah benar jadi orang dewasa. Terlalu banyak yang dipikirkan! Just find one happy thought! . Memang enak jadi anak-anak yang belum/tidak memikirkan konsekuensi dunia nyata!
Peter Pan yang tumbuh dewasa di dunia, berkeluarga dan memiliki anak, telah melupakan seluruh masa lalunya sebagai anak-anak abadi di Neverland. Saat anak-anaknya diculik oleh Kapten Hook yang sudah ratusan tahun mendendamnya, ia harus berjuang keras mengembalikan dirinya ke Peter Pan yang dulu: petualang, petarung, dan selalu gembira.
Kalau kita membaca buku dongeng Peter Pan atau menonton versi kartun Disney-nya, tak pernah terpikirkan kalau Wendy Darling jatuh cinta sekaligus patah hati pada Peter Pan, dan sampai detik terakhir upacara pernikahannya mengharapkan Peter datang menjemputnya. Atau bahwa Tinkerbell juga selalu mencintai Peter, meskipun Peter sudah tumbuh dewasa, tua dan gendut. Dalam versi filmnya mbah Steven Spielberg ini, menurutku Robin Williams dan Dustin Hoffman sangat pas sebagai Peter Pan dan Kapten Hook.
Pada intinya, moral dari cerita di buku/film Hook ini adalah bahwa menjadi dewasa dan bertanggung jawab bukan alasan untuk tidak bahagia. Untuk tidak bertualang. To live in real world will be an awfully big adventure.
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
Mrs. Darling: Peter, let me adopt you, too.
Peter Pan: Would you send me to school?
Mrs. Darling: Yes, of course.
Peter Pan: And then to an office?
Mrs. Darling: I suppose so.
Peter Pan: Soon I should be a man?
Mrs. Darling: Yes, very soon.
Peter Pan: (shook his head) I don't want to go to school and learn solemn things. No one is going to catch me and make me a man. I want always to be a little boy and have fun.
Bagaimana bila kemudian Peter Pan berubah pikiran dan tumbuh dewasa karena akhirnya jatuh cinta pada cucu Wendy Darling?
1. Ia lupa pada masa lalu dan semua petualangan di Neverland.
2. Ia pergi sekolah.
3. Ia menikah dan punya anak.
4. Ia menjadi workaholic.
5. Ia menjadi tua dan gemuk.
6. Ia fobia pada ketinggian.
7. Ia tak tahu asyiknya bermain dan bersenang-senang.
8. Ia tak punya lagi... happy thoughts.
Apakah menjadi dewasa dan bertanggung jawab menyebabkan seseorang kehilangan kebahagiaan yang melimpah saat kanak-kanak?
Test case: Peter Banning aka Peter Pan dewasa yang mencoba memikirkan apa yang membuatnya bahagia.
1. Pasar saham yang naik 200 poin.
2. Fasilitas dan benefit perusahaan, lima saluran telepon di limousine, tiket untuk semua event olahraga dan teater, pesawat jet perusahaan, dll.
Happy thoughts? Not really, tetap tak bisa membuat Peter bisa terbang kembali.
Pertanyaan pancingan Tinkerbell (T) dan hal pertama yang terlintas di benak Peter (P):
T: Puppies.
P: They try to commit suicide under your feet.
T: Cotton candy.
P: Disgusting, cavity-inducing pink goo that gets all over your hands.
T: Snow.
P: Awful---turns to slush and ruins the finish of your car.
T: Are you happy in springs?
P: Taxes.
T: Summer?
P: Mosquitos.
T: How about swimming?
P: Chlorine.
T: Christmas?
P: Gifts, bills, credit cards. I'm not happy!
T: Swings or slides?
P: Fact of life. Happens all the time if you play the market. You've just got to lern to live with it.
T: M&M?
P: Melts on your couch, not in your hand.
Wew, susah benar jadi orang dewasa. Terlalu banyak yang dipikirkan! Just find one happy thought! . Memang enak jadi anak-anak yang belum/tidak memikirkan konsekuensi dunia nyata!
Peter Pan yang tumbuh dewasa di dunia, berkeluarga dan memiliki anak, telah melupakan seluruh masa lalunya sebagai anak-anak abadi di Neverland. Saat anak-anaknya diculik oleh Kapten Hook yang sudah ratusan tahun mendendamnya, ia harus berjuang keras mengembalikan dirinya ke Peter Pan yang dulu: petualang, petarung, dan selalu gembira.
Kalau kita membaca buku dongeng Peter Pan atau menonton versi kartun Disney-nya, tak pernah terpikirkan kalau Wendy Darling jatuh cinta sekaligus patah hati pada Peter Pan, dan sampai detik terakhir upacara pernikahannya mengharapkan Peter datang menjemputnya. Atau bahwa Tinkerbell juga selalu mencintai Peter, meskipun Peter sudah tumbuh dewasa, tua dan gendut. Dalam versi filmnya mbah Steven Spielberg ini, menurutku Robin Williams dan Dustin Hoffman sangat pas sebagai Peter Pan dan Kapten Hook.
Pada intinya, moral dari cerita di buku/film Hook ini adalah bahwa menjadi dewasa dan bertanggung jawab bukan alasan untuk tidak bahagia. Untuk tidak bertualang. To live in real world will be an awfully big adventure.
View all my reviews
Saturday, September 28, 2013
Detektif Conan #1, Re-read
Detektif Conan Vol. 1 by Gosho Aoyama
My rating: 5 of 5 stars
#Program BUBU
Manga jilid kesatu ini pertama kubeli dan kubaca tahun 1997. Dan terus terang, awalnya aku memandang manga ini sebelah mata, karena tema cerita orang dewasa yang menyusut jadi anak kecil sama sekali bukan hal istimewa bagiku. Mengapa demikian?
Waktu SMP aku pernah terpesona saat menonton film di bioskop berjudul Big (1988) yang dibintangi Tom Hanks. Di sana tokoh utamanya yang masih SMP mendadak jadi dewasa berkat kekuatan ajaib mesin pengabul permintaan di pasar malam. Begitu terpesonanya sampai aku sanggup menulis ulang cerita dan dialognya (teks terjemahan bioskop, tentunya). Dan begitu terpesonanya sampai aku terinspirasi untuk menulis cerita dengan tema yang serupa. Bukan plagiasi, tentunya, karena ceritanya sangat berbeda, hanya kondisi tokoh utamanya yang nyaris mirip meskipun terbalik: orang dewasa yang menyusut jadi sebesar anak TK berkat kekuatan ajaib fortune cookies, kondisi yang menyulitkannya untuk meraih cinta dan melindungi wanita cinta pertamanya. Novelku waktu SMP itu kuberi judul "Kecil". Yeah, right, judul yang sangat tidak kreatif, tapi jelas menunjukkan inspirasinya berasal dari mana XD
Anyway, kembali ke manga Detektif Conan, yang membuatku berubah pikiran dan menjadikan manga ini termasuk serial manga favoritku memang kisah detektifnya, meskipun aku cenderung lebih menggemari Hercule Poirot ketimbang Sherlock Holmes. Ide cerita misterinya tidak ada habisnya (plus dibumbui kisah romantis para tokohnya), dan membuatku bertanya-tanya mungkinkah semua cerita pembunuhan itu dapat terjadi di Jepang yang konon tingkat kriminalitasnya termasuk yang terendah di dunia.
Tapi memang sih, lama-lama aku merasa serial ini mulai mirip serial Doraemon atau bahkan si Unyil. Sudah belasan tahun berlalu, kondisi tokoh-tokoh utamanya masih begitu-begitu saja. Conan tetap kelas 1 SD, sementara Ran terus-menerus kelas 2 SMA. Padahal Shinichi Kudo/Conan Edogawa sudah berulang kali merayakan Natal, Tahun Baru, dan lain sebagainya. Piye toh iki, apakah waktu seolah berhenti di tempat, atau terus berputar ulang? Seharusnya kalau memang Conan tidak dapat bertumbuh karena pengaruh obat misterius, setidaknya orang-orang di sekelilingnya tetap menua, kan! Seharusnya komik detektif tuh sangat mementingkan logika! Logic check dong, Aoyama-sensei!
But nevertheless, manga ini tetap menjadi salah satu serial favoritku. Kalaupun hal-hal tidak masuk akal dan logika terjadi, pembelaan yang dapat kuberikan untuk serial ini tetaplah: Namanya juga komik!
View all my reviews
My rating: 5 of 5 stars
#Program BUBU
Manga jilid kesatu ini pertama kubeli dan kubaca tahun 1997. Dan terus terang, awalnya aku memandang manga ini sebelah mata, karena tema cerita orang dewasa yang menyusut jadi anak kecil sama sekali bukan hal istimewa bagiku. Mengapa demikian?
Waktu SMP aku pernah terpesona saat menonton film di bioskop berjudul Big (1988) yang dibintangi Tom Hanks. Di sana tokoh utamanya yang masih SMP mendadak jadi dewasa berkat kekuatan ajaib mesin pengabul permintaan di pasar malam. Begitu terpesonanya sampai aku sanggup menulis ulang cerita dan dialognya (teks terjemahan bioskop, tentunya). Dan begitu terpesonanya sampai aku terinspirasi untuk menulis cerita dengan tema yang serupa. Bukan plagiasi, tentunya, karena ceritanya sangat berbeda, hanya kondisi tokoh utamanya yang nyaris mirip meskipun terbalik: orang dewasa yang menyusut jadi sebesar anak TK berkat kekuatan ajaib fortune cookies, kondisi yang menyulitkannya untuk meraih cinta dan melindungi wanita cinta pertamanya. Novelku waktu SMP itu kuberi judul "Kecil". Yeah, right, judul yang sangat tidak kreatif, tapi jelas menunjukkan inspirasinya berasal dari mana XD
Anyway, kembali ke manga Detektif Conan, yang membuatku berubah pikiran dan menjadikan manga ini termasuk serial manga favoritku memang kisah detektifnya, meskipun aku cenderung lebih menggemari Hercule Poirot ketimbang Sherlock Holmes. Ide cerita misterinya tidak ada habisnya (plus dibumbui kisah romantis para tokohnya), dan membuatku bertanya-tanya mungkinkah semua cerita pembunuhan itu dapat terjadi di Jepang yang konon tingkat kriminalitasnya termasuk yang terendah di dunia.
Tapi memang sih, lama-lama aku merasa serial ini mulai mirip serial Doraemon atau bahkan si Unyil. Sudah belasan tahun berlalu, kondisi tokoh-tokoh utamanya masih begitu-begitu saja. Conan tetap kelas 1 SD, sementara Ran terus-menerus kelas 2 SMA. Padahal Shinichi Kudo/Conan Edogawa sudah berulang kali merayakan Natal, Tahun Baru, dan lain sebagainya. Piye toh iki, apakah waktu seolah berhenti di tempat, atau terus berputar ulang? Seharusnya kalau memang Conan tidak dapat bertumbuh karena pengaruh obat misterius, setidaknya orang-orang di sekelilingnya tetap menua, kan! Seharusnya komik detektif tuh sangat mementingkan logika! Logic check dong, Aoyama-sensei!
But nevertheless, manga ini tetap menjadi salah satu serial favoritku. Kalaupun hal-hal tidak masuk akal dan logika terjadi, pembelaan yang dapat kuberikan untuk serial ini tetaplah: Namanya juga komik!
View all my reviews
Saturday, August 31, 2013
My Very First War Novel: The Guns of Navarone
Meriam Benteng Navarone by Alistair MacLean
My rating: 4 of 5 stars
Kalau diminta menyebutkan novel perang favorit, pasti jawabanku sama saja dengan kalau ditanya siapa penulis favorit. Banyak, euy. Kalau novel tema perang, dari rak bukuku di Goodreads sudah bisa kelihatan penulis-penulis mana saja yang jadi favoritku. Nah, untuk posting bareng BBI bulan Agustus 2013, aku memilih novel Alistair MacLean yang ini, buku pertama yang membuatku menjamah genre perang.
Tidak jelas alasannya kenapa aku memilih untuk membaca buku yang versi terjemahannya pertama kali diterbitkan Gramedia tahun 1977 ini. Tapi sepertinya sih awalnya cuma coba-coba saja, melebarkan wilayah bacaan, atau mungkin agak bosan membaca cerita detektif dan cerita silat. Sebagai tambahan informasi tidak penting, waktu itu aku masih SMP, masih rajin menyewa buku ke Taman Bacaan Aneka di Jl. Tamansiswa Bandung, dekat Pasar Palasari. Meskipun jauh dari rumah, setidaknya cukup sekali naik angkot dari sekolahku di Kebun Kelapa.
Waktu itu, aku tidak tahu siapa Alistair MacLean, belum pernah membaca satu pun bukunya, dan jelas belum ada internet untuk sekedar mencari tahu. Dan kalau dilihat dari gambar sampulnya, rasanya kurang menarik. Iya sih, yang bikin gambar Dwi Koen, dengan ilustrasi semi realistis. Tapi coverboy-nya nggak banget deh, cameo tentara Jermannya apalagi. Sudah gitu, di sampul belakang tidak ada sinopsisnya, cuma endorsement dari surat kabar di Inggris Raya (yang jelas pasti sudah lama banget, berhubung copyright novel ini tahun 1957), yang sama sekali tidak memberikan gambaran tentang apa novel ini sebenarnya:
Jalan ceritanya lancar dan mudah diikuti... (Sunday Times)
Kekuatan novel ini bersumber dari kelancaran jalan ceritanya, cara si Pengarang mengungkapkan ketegangan dan kemampuannya melukiskan adegan-adegan seru! (Evening Standard)
Penuh adegan seru. Penuh ketegangan dari awal sampai akhir. Sebuah problem yang hanya dapat dipecahkan dengan keberanian dan menempuh bahaya... sebuah kisah yang amat mencengkam. (Scotsman)
Sebuah cerita bagus yang diceritakan dengan cemerlang -- Kalau Anda membacanya sekali, dengan cepat, Anda akan dapat menikmati ketegangannya. Tetapi kalau Anda membacanya sekali lagi, Anda akan dapat menikmati detailnya yang halus... (Birmingham Post)
Petunjuk tentang apa buku ini sebenarnya hanya judul yang mencantumkan "meriam" dan gambar tentara Jerman yang membawa-bawa senapan di sampulnya. Oke deh, karena kata koran-koran Inggris itu buku ini jalan ceritanya lancar dan seru, mungkin patut dicoba untuk dibaca. Dan ternyata... I'm hooked!!! Buku ini menjadi awal dari novel-novel Alistair MacLean lainnya, serta penulis-penulis sejenis, dari Jack Higgins, Frederick Forsyth, sampai Tom Clancy.
Jadi, tentang apa buku ini sebenarnya?
Pada zaman dahulu kala, di era Perang Dunia II pada tahun 1943, saat kepulauan Yunani dikuasai Jerman, tersebutlah sebuah pulau bernama Navarone. Jerman yang menduduki pulau itu memiliki benteng dengan meriam-meriam yang sulit dihancurkan dan mengancam keselamatan kapal-kapal Inggris yang numpang lewat di perairan Aegea. Inggris berencana menyelamatkan 1200 tentara dari pulau tetangga, tapi khawatir kapal pengangkut akan dibombardir tanpa ampun kalau melewati selat Navarone. Berbagai cara dilakukan untuk menghancurkan meriam benteng Navarone, tapi selalu gagal. Akhirnya dikirimlah tim khusus untuk menyusup ke pulau Navarone dari jalan yang paling berat: tebing yang konon tak bisa dipanjat manusia manapun di selatan pulau. Anggota tim dipilih berdasarkan keahliannya, dan dipimpin oleh Kapten Mallory, yang pada masa damai merupakan pemanjat tebing terulung di Selandia Baru.
Waktu yang tersisa untuk menghancurkan meriam laknat itu hanya satu minggu, dan pembaca dipaksa mengikuti setiap jamnya. Dimulai dari saat Kapten Mallory bertemu dengan Kapten Kepala Operasi SOE yang merancang mission impossible itu, berangkatnya tim yang dikumpulkan secara khusus: mulai dari Andrea si mesin perang Yunani, Dusty Miller si ahli bahan peledak dari AS, Casey Brown si ahli mesin, dan Andy Stevens yang juga seorang pendaki gunung, dilanjutkan dengan adegan panjat tebing yang mendebarkan, dan seterusnya.
Pada akhirnya, harus diakui endorsemen surat kabar Inggris itu memang benar adanya. Pembaca otomatis tenggelam di dalam cerita, dan kemungkinan tak bisa berhenti membaca sebelum menamatkannya, karena terpompanya adrenalin saat mengikuti misi bunuh diri tim khusus Kapten Mallory. Ya, buatku membaca buku ini seperti menonton film aksi yang asyik.
Karenanya... pantas-pantas saja kalau pada tahun 1961 novel ini diangkat menjadi film aksi, yang dibintangi oleh Gregory Peck (sebagai Kapten Mallory), Anthony Quinn (sebagai Andrea) dan David Niven (sebagai Dusty Miller).
Film ini termasuk 8 besar box office pada tahun itu, dengan bujet USD 6 juta dan penghasilan kotor nyaris lima kali lipatnya. Untuk ajang award, film ini juga memenangkan Golden Globe untuk kategori film terbaik dan original score terbaik serta memenangkan Academy Award untuk special effect terbaik, selain nominasi untuk kategori-kategori lainnya. Dan kalau diintip di IMDB, ratingnya juga bagus, sekitar 7,6.
Pengalaman memuaskan dengan buku ini membuatku akhirnya menjadi salah satu penggemar karya-karya Alistair MacLean, mencari dan membaca buku-bukunya, dari membaca buku-buku terjemahan Gramedia yang jadi favoritku juga (di antaranya The Satan Bug, The Golden Rendezvous, dan Where Eagles Dare), membaca terjemahan non Gramedia (secara umum kecewa dengan terjemahan dan editingnya, karena seringkali boleh dibilang bukan terjemahan melainkan ringkasan!), sampai membaca buku-buku hardcover aslinya kalau belum ada terjemahannya (sengaja jadi anggota Perpustakaan ITB supaya bisa pinjam!).
Alistair Stuart MacLean (21 April 1922 - 2 Februari 1987) adalah novelis Skotlandia yang menulis cerita thriller dan petualangan populer. Karyanya yang paling dikenal adalah The Guns of Navarone, Ice Station Zebra, dan Where Eagles Dare, yang juga sukses dalam versi filmnya.
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
Kalau diminta menyebutkan novel perang favorit, pasti jawabanku sama saja dengan kalau ditanya siapa penulis favorit. Banyak, euy. Kalau novel tema perang, dari rak bukuku di Goodreads sudah bisa kelihatan penulis-penulis mana saja yang jadi favoritku. Nah, untuk posting bareng BBI bulan Agustus 2013, aku memilih novel Alistair MacLean yang ini, buku pertama yang membuatku menjamah genre perang.
Tidak jelas alasannya kenapa aku memilih untuk membaca buku yang versi terjemahannya pertama kali diterbitkan Gramedia tahun 1977 ini. Tapi sepertinya sih awalnya cuma coba-coba saja, melebarkan wilayah bacaan, atau mungkin agak bosan membaca cerita detektif dan cerita silat. Sebagai tambahan informasi tidak penting, waktu itu aku masih SMP, masih rajin menyewa buku ke Taman Bacaan Aneka di Jl. Tamansiswa Bandung, dekat Pasar Palasari. Meskipun jauh dari rumah, setidaknya cukup sekali naik angkot dari sekolahku di Kebun Kelapa.
Waktu itu, aku tidak tahu siapa Alistair MacLean, belum pernah membaca satu pun bukunya, dan jelas belum ada internet untuk sekedar mencari tahu. Dan kalau dilihat dari gambar sampulnya, rasanya kurang menarik. Iya sih, yang bikin gambar Dwi Koen, dengan ilustrasi semi realistis. Tapi coverboy-nya nggak banget deh, cameo tentara Jermannya apalagi. Sudah gitu, di sampul belakang tidak ada sinopsisnya, cuma endorsement dari surat kabar di Inggris Raya (yang jelas pasti sudah lama banget, berhubung copyright novel ini tahun 1957), yang sama sekali tidak memberikan gambaran tentang apa novel ini sebenarnya:
Jalan ceritanya lancar dan mudah diikuti... (Sunday Times)
Kekuatan novel ini bersumber dari kelancaran jalan ceritanya, cara si Pengarang mengungkapkan ketegangan dan kemampuannya melukiskan adegan-adegan seru! (Evening Standard)
Penuh adegan seru. Penuh ketegangan dari awal sampai akhir. Sebuah problem yang hanya dapat dipecahkan dengan keberanian dan menempuh bahaya... sebuah kisah yang amat mencengkam. (Scotsman)
Sebuah cerita bagus yang diceritakan dengan cemerlang -- Kalau Anda membacanya sekali, dengan cepat, Anda akan dapat menikmati ketegangannya. Tetapi kalau Anda membacanya sekali lagi, Anda akan dapat menikmati detailnya yang halus... (Birmingham Post)
Petunjuk tentang apa buku ini sebenarnya hanya judul yang mencantumkan "meriam" dan gambar tentara Jerman yang membawa-bawa senapan di sampulnya. Oke deh, karena kata koran-koran Inggris itu buku ini jalan ceritanya lancar dan seru, mungkin patut dicoba untuk dibaca. Dan ternyata... I'm hooked!!! Buku ini menjadi awal dari novel-novel Alistair MacLean lainnya, serta penulis-penulis sejenis, dari Jack Higgins, Frederick Forsyth, sampai Tom Clancy.
Jadi, tentang apa buku ini sebenarnya?
Pada zaman dahulu kala, di era Perang Dunia II pada tahun 1943, saat kepulauan Yunani dikuasai Jerman, tersebutlah sebuah pulau bernama Navarone. Jerman yang menduduki pulau itu memiliki benteng dengan meriam-meriam yang sulit dihancurkan dan mengancam keselamatan kapal-kapal Inggris yang numpang lewat di perairan Aegea. Inggris berencana menyelamatkan 1200 tentara dari pulau tetangga, tapi khawatir kapal pengangkut akan dibombardir tanpa ampun kalau melewati selat Navarone. Berbagai cara dilakukan untuk menghancurkan meriam benteng Navarone, tapi selalu gagal. Akhirnya dikirimlah tim khusus untuk menyusup ke pulau Navarone dari jalan yang paling berat: tebing yang konon tak bisa dipanjat manusia manapun di selatan pulau. Anggota tim dipilih berdasarkan keahliannya, dan dipimpin oleh Kapten Mallory, yang pada masa damai merupakan pemanjat tebing terulung di Selandia Baru.
Waktu yang tersisa untuk menghancurkan meriam laknat itu hanya satu minggu, dan pembaca dipaksa mengikuti setiap jamnya. Dimulai dari saat Kapten Mallory bertemu dengan Kapten Kepala Operasi SOE yang merancang mission impossible itu, berangkatnya tim yang dikumpulkan secara khusus: mulai dari Andrea si mesin perang Yunani, Dusty Miller si ahli bahan peledak dari AS, Casey Brown si ahli mesin, dan Andy Stevens yang juga seorang pendaki gunung, dilanjutkan dengan adegan panjat tebing yang mendebarkan, dan seterusnya.
Pada akhirnya, harus diakui endorsemen surat kabar Inggris itu memang benar adanya. Pembaca otomatis tenggelam di dalam cerita, dan kemungkinan tak bisa berhenti membaca sebelum menamatkannya, karena terpompanya adrenalin saat mengikuti misi bunuh diri tim khusus Kapten Mallory. Ya, buatku membaca buku ini seperti menonton film aksi yang asyik.
Karenanya... pantas-pantas saja kalau pada tahun 1961 novel ini diangkat menjadi film aksi, yang dibintangi oleh Gregory Peck (sebagai Kapten Mallory), Anthony Quinn (sebagai Andrea) dan David Niven (sebagai Dusty Miller).
Film ini termasuk 8 besar box office pada tahun itu, dengan bujet USD 6 juta dan penghasilan kotor nyaris lima kali lipatnya. Untuk ajang award, film ini juga memenangkan Golden Globe untuk kategori film terbaik dan original score terbaik serta memenangkan Academy Award untuk special effect terbaik, selain nominasi untuk kategori-kategori lainnya. Dan kalau diintip di IMDB, ratingnya juga bagus, sekitar 7,6.
Pengalaman memuaskan dengan buku ini membuatku akhirnya menjadi salah satu penggemar karya-karya Alistair MacLean, mencari dan membaca buku-bukunya, dari membaca buku-buku terjemahan Gramedia yang jadi favoritku juga (di antaranya The Satan Bug, The Golden Rendezvous, dan Where Eagles Dare), membaca terjemahan non Gramedia (secara umum kecewa dengan terjemahan dan editingnya, karena seringkali boleh dibilang bukan terjemahan melainkan ringkasan!), sampai membaca buku-buku hardcover aslinya kalau belum ada terjemahannya (sengaja jadi anggota Perpustakaan ITB supaya bisa pinjam!).
Alistair Stuart MacLean (21 April 1922 - 2 Februari 1987) adalah novelis Skotlandia yang menulis cerita thriller dan petualangan populer. Karyanya yang paling dikenal adalah The Guns of Navarone, Ice Station Zebra, dan Where Eagles Dare, yang juga sukses dalam versi filmnya.
View all my reviews
Monday, August 12, 2013
Farmer Giles of Ham by J.R.R. Tolkien
Petani Penakluk Naga by J.R.R. Tolkien
My rating: 4 of 5 stars
"Tahu buku Farmer Giles of Ham-nya J.R.R. Tolkien, nggak?"
Kalau pertanyaan itu dilontarkan padaku sebelum aku menemukan (dan membeli) buku seri Kancil terbitan PT Gramedia (tanpa embel-embel Pustaka Utama) tahun 1980 (bentar, itu berapa tahun lalu ya? *ambil kalkulator*) ini di salah satu toko buku bekas di Plaza Semanggi, mungkin aku akan menjawab dengan gaya lebay Jaja Miharja: "Hah? Apaan tuuuh?" lengkap dengan mata menyipit, dahi berkerut, dan mulut manyun (Oke, ini gaya yang sangat tidak disarankan karena bikin cepat tua). Sepanjang pengetahuanku (yang terbatas), buku-bukunya Tolkien hanya trilogi The Lord of the Rings, The Hobbit, dan The Silmarillion. Dari buku-buku tersebut, cuma buku terakhir yang belum kubaca.
Kalau kemudian pertanyaan yang sama kulontarkan pada teman-teman sesama pembaca buku, kebanyakan memang menjawab tidak tahu. Lantas, setelah mengecek statistiknya di Goodreads, kudapati kenyataan yang memang cukup menyedihkan. Pada saat aku menulis review ini, kondisinya seperti ini:
- The Hobbit: 1,1 juta rating, 21.611 review
- The Fellowship of the Rings: 863 ribu rating, 7.932 review
- The Two Towers: 277 ribu rating, 3.472 review
- The Return of the King: 269 ribu rating, 3.404 review
- The Simarillion: 82 ribu rating, 3.138 review
Dan Farmer Giles of Ham (diterjemahkan Gramedia menjadi Petani Penakluk Naga)...... jreng-jreng-jreng ... 2.539 rating dan 82 review!!!
Heuh? Apakah buku ini sedemikian langkanya? Atau mereka yang sudah pernah membaca buku ini memang kebetulan belum bergabung di Goodreads?
Padahal, setelah membaca buku ini, aku merasa buku ini lebih enak dibaca, lebih ringan, dan lebih mudah dipahami daripada buku terjemahan seri Middle-Earth yang lebih asyik ditonton dalam versi filmnya. Tapi... mungkin karena buku ini memang termasuk buku anak-anak sih. Mana tipis lagi. Semula kukira terbitan Gramedia ini terjemahan dari versi abridged-nya, tapi ternyata sudah full version walaupun cuma 112 halaman, mengingat edisi lain berkisar antara 64 s/d 144 halaman.
Buku Farmer Giles of Ham merupakan fabel jaman Medieval yang ditulis J.R.R. Tolkien pada tahun 1937 dan diterbitkan pada tahun 1949. Tokoh utamanya seorang petani bernama Aegidius Ahenobarbus Julius Agricola de Hammo, dengan nama panggilan Giles. Masalah panjangnya nama si tokoh utama ini dibahas secara kocak. Konon pada masa itu nama orang umumnya panjang-panjang, semakin panjang semakin tinggi martabatnya. Maka orang yang ingin dianggap punya martabat tinggi tinggal memakai saja nama yang panjang! Membaca bagian ini, mau tidak mau aku jadi teringat kebiasaan orang Indonesia sekarang yang senang memberi nama panjang buat anak-anaknya. Semakin panjang, semakin asing dan susah dilafalkan, dianggap semakin keren. Padahal di masa depan pasti bakal menyusahkan kalau si anak ikut ujian yang mewajibkan dituliskannya nama lengkap. Dan padahal ujung-ujungnya panggilan sehari-hari yang melekat biasanya pendek dan kurang keren, Dedek atau Neneng misalnya :)
Giles ini bisa dibilang accidental hero. Ia tidak sengaja menjadi pahlawan desa karena berhasil mengusir raksasa yang sedang mengacak-acak desa dan tanah pertaniannya dengan senapan lantak miliknya. Itu pun si raksasa tidak sadar kena tembak, dikiranya cuma kena gigitan serangga, yang membuatnya pulang karena menganggap daerah yang dikunjunginya kurang baik bagi kesehatan. Mendengar prestasinya, Raja pun memberikan surat penghargaan disertai sebilah pedang panjang warisan leluhur. Omong-omong, tanda tangan sang Raja di akhir suratnya sangat panjang, sebagai berikut: EGO AUGUSTUS BONIFACIUS AMBROSIUS AURELIANUS ANTONIUS PIUS ET MAGNIFICUS, DUX REX, TYRANNUS, ET BASILEUS MEDITERRANEARUM PARTIUM, SUBSCRIBO. Iyaa, semakin panjang nama, semakin tinggi martabatnya :)
Masalah muncul ketika si raksasa yang pulang kampung membual dengan hebohnya tentang negeri yang indah, banyak makanan yang tinggal ambil saja, sapi dan kambing ada di mana-mana, tidak ada manusia, kekurangannya paling-paling beberapa ekor serangga penyengat. Berita ini, khususnya tentang tidak ada atau jarangnya manusia, sangat menarik bagi para naga, yang pada zaman dahulu kala sering diburu para ksatria kerajaan. Tapi hanya seekor naga yang benar-benar menapak tilas perjalanan wisata kuliner si raksasa, yaitu Chrysophylax.
Dan waktu Chrysophylax merajalela, para ksatria kerajaan enggan bertindak dengan berbagai alasan. Apalagi waktu itu hari Natal sudah tiba dan pada Hari Santo Johannes bakal diselenggarakan pertandingan olahraga besar-besaran. Pokoknya para ksatria sibuk, tidak punya waktu memburu naga sebelum pertandingan berakhir! Para penduduk yang putus asa pun mulai mengharapkan bantuan Giles si pahlawan. Namanya pahlawan kebetulan, Giles tidak senang dan tidak mau dipaksa memburu si naga. Dengan berbagai alasan, ia berusaha menghindar, tapi belakangan terpaksa menghadapi takdirnya.
Lantas, apakah Giles bisa mengalahkan Chrysophylax? Judul versi terjemahan Indonesianya jelas memberikan jawaban atas pertanyaan itu :)
Kisah ini dituturkan secara ringan dan kocak, dan menjadi parodi dari dongeng ksatria penakluk naga pada umumnya. Sementara para ksatria kerajaan kocar-kacir menghadapi naga, si petani mendadak pahlawan malah bisa menundukkan naga dan menyita harta karunnya. Belakangan, waktu Raja ingin merebut pampasan perangnya, si petani malah membangkang dan mendirikan kerajaan dalam kerajaan! Yah, novel tipis ini memang boleh dibilang biografi mini dari seorang petani yang menjadi raja pertama di Kerajaan Kecil.
Sudah lewat 33 tahun sejak versi terjemahan buku ini terbit di Indonesia. Pertanyaannya adalah, apakah akan terbit versi cetak ulangnya sebagaimana trilogi LOTR dan The Hobbit yang sudah cetak ulang berkali-kali?
N.B. Sedianya review ini dimaksudkan untuk posting bareng BBI untuk kategori buku cerita anak pada bulan Juli 2013 kemarin. Namun apa daya, faktor M lebih berjaya. Tapi akhirnya, aku merasa perlu menuliskan review ini, minimal untuk sekedar sharing informasi kepada teman-teman pembaca Tolkien yang mungkin belum memiliki kesempatan untuk membaca buku kecil ini.
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
"Tahu buku Farmer Giles of Ham-nya J.R.R. Tolkien, nggak?"
Kalau pertanyaan itu dilontarkan padaku sebelum aku menemukan (dan membeli) buku seri Kancil terbitan PT Gramedia (tanpa embel-embel Pustaka Utama) tahun 1980 (bentar, itu berapa tahun lalu ya? *ambil kalkulator*) ini di salah satu toko buku bekas di Plaza Semanggi, mungkin aku akan menjawab dengan gaya lebay Jaja Miharja: "Hah? Apaan tuuuh?" lengkap dengan mata menyipit, dahi berkerut, dan mulut manyun (Oke, ini gaya yang sangat tidak disarankan karena bikin cepat tua). Sepanjang pengetahuanku (yang terbatas), buku-bukunya Tolkien hanya trilogi The Lord of the Rings, The Hobbit, dan The Silmarillion. Dari buku-buku tersebut, cuma buku terakhir yang belum kubaca.
Kalau kemudian pertanyaan yang sama kulontarkan pada teman-teman sesama pembaca buku, kebanyakan memang menjawab tidak tahu. Lantas, setelah mengecek statistiknya di Goodreads, kudapati kenyataan yang memang cukup menyedihkan. Pada saat aku menulis review ini, kondisinya seperti ini:
- The Hobbit: 1,1 juta rating, 21.611 review
- The Fellowship of the Rings: 863 ribu rating, 7.932 review
- The Two Towers: 277 ribu rating, 3.472 review
- The Return of the King: 269 ribu rating, 3.404 review
- The Simarillion: 82 ribu rating, 3.138 review
Dan Farmer Giles of Ham (diterjemahkan Gramedia menjadi Petani Penakluk Naga)...... jreng-jreng-jreng ... 2.539 rating dan 82 review!!!
Heuh? Apakah buku ini sedemikian langkanya? Atau mereka yang sudah pernah membaca buku ini memang kebetulan belum bergabung di Goodreads?
Padahal, setelah membaca buku ini, aku merasa buku ini lebih enak dibaca, lebih ringan, dan lebih mudah dipahami daripada buku terjemahan seri Middle-Earth yang lebih asyik ditonton dalam versi filmnya. Tapi... mungkin karena buku ini memang termasuk buku anak-anak sih. Mana tipis lagi. Semula kukira terbitan Gramedia ini terjemahan dari versi abridged-nya, tapi ternyata sudah full version walaupun cuma 112 halaman, mengingat edisi lain berkisar antara 64 s/d 144 halaman.
Giles ini bisa dibilang accidental hero. Ia tidak sengaja menjadi pahlawan desa karena berhasil mengusir raksasa yang sedang mengacak-acak desa dan tanah pertaniannya dengan senapan lantak miliknya. Itu pun si raksasa tidak sadar kena tembak, dikiranya cuma kena gigitan serangga, yang membuatnya pulang karena menganggap daerah yang dikunjunginya kurang baik bagi kesehatan. Mendengar prestasinya, Raja pun memberikan surat penghargaan disertai sebilah pedang panjang warisan leluhur. Omong-omong, tanda tangan sang Raja di akhir suratnya sangat panjang, sebagai berikut: EGO AUGUSTUS BONIFACIUS AMBROSIUS AURELIANUS ANTONIUS PIUS ET MAGNIFICUS, DUX REX, TYRANNUS, ET BASILEUS MEDITERRANEARUM PARTIUM, SUBSCRIBO. Iyaa, semakin panjang nama, semakin tinggi martabatnya :)
Masalah muncul ketika si raksasa yang pulang kampung membual dengan hebohnya tentang negeri yang indah, banyak makanan yang tinggal ambil saja, sapi dan kambing ada di mana-mana, tidak ada manusia, kekurangannya paling-paling beberapa ekor serangga penyengat. Berita ini, khususnya tentang tidak ada atau jarangnya manusia, sangat menarik bagi para naga, yang pada zaman dahulu kala sering diburu para ksatria kerajaan. Tapi hanya seekor naga yang benar-benar menapak tilas perjalanan wisata kuliner si raksasa, yaitu Chrysophylax.
Dan waktu Chrysophylax merajalela, para ksatria kerajaan enggan bertindak dengan berbagai alasan. Apalagi waktu itu hari Natal sudah tiba dan pada Hari Santo Johannes bakal diselenggarakan pertandingan olahraga besar-besaran. Pokoknya para ksatria sibuk, tidak punya waktu memburu naga sebelum pertandingan berakhir! Para penduduk yang putus asa pun mulai mengharapkan bantuan Giles si pahlawan. Namanya pahlawan kebetulan, Giles tidak senang dan tidak mau dipaksa memburu si naga. Dengan berbagai alasan, ia berusaha menghindar, tapi belakangan terpaksa menghadapi takdirnya.
Kisah ini dituturkan secara ringan dan kocak, dan menjadi parodi dari dongeng ksatria penakluk naga pada umumnya. Sementara para ksatria kerajaan kocar-kacir menghadapi naga, si petani mendadak pahlawan malah bisa menundukkan naga dan menyita harta karunnya. Belakangan, waktu Raja ingin merebut pampasan perangnya, si petani malah membangkang dan mendirikan kerajaan dalam kerajaan! Yah, novel tipis ini memang boleh dibilang biografi mini dari seorang petani yang menjadi raja pertama di Kerajaan Kecil.
Sudah lewat 33 tahun sejak versi terjemahan buku ini terbit di Indonesia. Pertanyaannya adalah, apakah akan terbit versi cetak ulangnya sebagaimana trilogi LOTR dan The Hobbit yang sudah cetak ulang berkali-kali?
N.B. Sedianya review ini dimaksudkan untuk posting bareng BBI untuk kategori buku cerita anak pada bulan Juli 2013 kemarin. Namun apa daya, faktor M lebih berjaya. Tapi akhirnya, aku merasa perlu menuliskan review ini, minimal untuk sekedar sharing informasi kepada teman-teman pembaca Tolkien yang mungkin belum memiliki kesempatan untuk membaca buku kecil ini.
View all my reviews
Monday, July 22, 2013
Artwork
Artwork by Imelda Akmal
My rating: 3 of 5 stars
Aku tidak mengoleksi artwork.
Sepertinya sudah jelas, karena aku mengalokasikan sebagian penghasilanku terutama untuk membeli buku, dan aku tidak tertarik untuk mengoleksi barang lainnya. Di rumahku di Bandung dulu, selain menaruh koleksi buku di tempat yang sudah jelas seperti kamar khusus perpustakaan dan kamar tidur merangkap perpustakaan, hampir seluruh penjuru rumah yang ada lemarinya kujajah juga untuk menaruh buku. Memang bikin repot sih ketika harus memindahkan belasan ribu buku dari Bandung ke Cirebon, sehingga perlu puluhan dus rokok besar dan mobil kontainer PT. Pos untuk mengangkutnya dengan aman sentosa. Meskipun takdir kemudian mengatakan bahwa semuanya tidak berakhir dengan aman di lokasi penyimpanan di Cirebon, karena baru dua-tiga bulan saja sebagian besarnya sudah raib karena ulah oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang tega-teganya menjual dus-dus berisi buku-buku koleksi perpustakaanku itu ke---
#hilang sinyal
#lupakan
#sesal itu tak ada gunanya
Anyway, kembali ke review buku ini, perlu ditegaskan sekali lagi, aku tidak mengoleksi artwork. Kalaupun ada koleksi selain buku, paling-paling koleksi random yang tidak sengaja pakai hunting segala, senemunya saja, seperti uang kertas lama/negara lain, kartu pos, perangko, dan mug lucu (termasuk koleksi mug merah nescafe #tidak penting). Yang jelas, koleksi random itu tidak makan tempat seperti artwork yang ada di buku ini.
Tapi pas baru saja mengambil buku ini untuk dibaca dan melihat kalimat pertama di sampulnya: "Dipajang di mana?", aku langsung teringat percakapanku via telepon dengan ibuku kemarin.
Ceritanya, sewaktu merenovasi rumah, orang tuaku di Cirebon sengaja menambahkan dua ruangan khusus untukku, yaitu ruang perpustakaan dan kamar tidur (merangkap perpustakaan jilid 2). Mengapa demikian? Karena meskipun aku sudah punya rumah sendiri di Bandung, rencananya rumah itu akan dijual (penyebab utama aku harus memindahkan semua koleksiku ke Cirebon). Dan selama ini, setiap kali aku mudik ke Cirebon, aku tidak punya tempat. Apalagi kalau lebaran dan kakak-kakakku beserta keluarganya menginap. Sudah pasti terdampar di sofa ruang keluarga ditemani nyamuk-nyamuk nakal #lebai but true
Alhamdulilah, renovasi rumah rupanya sudah hampir beres. Mungkin karena itulah ibuku sudah membongkar barang-barang lain yang diangkut dari rumah di Bandung, lantas menelepon ketika aku sedang sibuk hunting buku di Gramedia Central Park, yang kebetulan memasang musik pengiring keras-keras.
Tidak persis sih, tapi kira-kira begini dialog via telepon yang terjadi diiringi musik yang membahana dan mengganggu pembicaraan itu (M untuk Mama dan A untuk aku):
M : De, gambar-gambar De Tris mau dipajang di mana?
A : Gambar? Gambar yang mana?
M : Itu, gambar yang komik dan Snow White.
A : (mikir) Gambar komik yang mana, ya? Gambar poster? (teringat poster Rurouni Kenshin dan Tenipuri)
M : Bukan. Itu, gambar komik lucu yang ada dua orang cowok-cewek.
A : (baru ingat punya jigsaw puzzle 1000 pieces Fushigi Yuugi dan Snow White) Oh, puzzle yang dipigurain ya. Ada yang kecilnya juga, kan, yang gambar lokomotif.
M : Iya, mau dipajang di mana? Di kamar atau perpustakaan?
A : Yang komik pasnya sih di perpus, tapi kayaknya dindingnya nggak cukup deh karena sudah penuh sama lemari semua. Ya udah dipasang di kamar saja. Boleh nggak yang Snow White di ruang tengah saja, kan masih banyak dinding kosong?
M : Mama sudah pasang yang Snow White di kamar, yang komik di luar perpus, yang kecil di dalam perpus.
A : (ketawa) Kalau sudah dipasang, kan nggak usah nanya lagi mau dipajang di mana? Mama mau nanya atau laporan, sih?
M : Yah, kalau nggak cocok, nanti diatur lagi saja pas lebaran.
Nah, gara-gara percakapan itu aku jadi teringat punya barang pajangan yang makan tempat, dan karena rumah di Bandung banyak dinding kosongnya, dulu tidak jadi masalah mau dipajang di mana. Dan aku juga jadi teringat pernah punya hobi random yang makan waktu banyak, seperti mengerjakan jigsaw puzzle.
Sebelum bergabung dengan Goodreads, aku masih manga otaku dan anime otaku sejati, yang di luar jam kerja hiburannya cuma baca manga, nonton film dan anime (biasanya beli di toko hobi Animart, dari sejak masih buka di Jalan Pasirkaliki sampai sudah pindah ke CiWalk). Aku masih membeli dan membaca novel sih, tapi biasanya buku dari pengarang tertentu yang favorit saja, seperti Stephen King/John Grisham/Frederick Forsyth/Jeffrey Archer/Agatha Christie/Sidney Sheldon... err... tapi kebetulan banyak juga sih pengarang favorit yang tidak bisa ditulis semuanya di sini. Aku juga masih membeli buku-buku nonfiksi yang sepertinya menarik, terutama di sale Gramedia. Tapi yang jelas, sebelum join Goodreads, aku jarang sengaja beli buku yang penulisnya belum begitu kukenal hanya karena rekomendasi orang lain (tidak ada juga orang yang suka baca di lingkunganku yang bisa memberi rekomendasi). Baca Harry Potter pun awalnya iseng-iseng beli nggak sengaja setelah buku tiga beredar, dan semula kupandang sebelah mata karena buku anak-anak (memangnya Dragonball bukan untuk anak-anak, ya?). Dan yang pasti: AKU TIDAK PUNYA TIMBUNAN BUKU TAK TERBACA, karena buku yang dibeli dapat langsung terbaca habis (Kelihatan bohongnya ya? Oke deh ralat... ada sih buku yang malas dibaca, tapi dikit banget, kok... sungguh ;P)
Singkat cerita, karena internet belum menjadi kebutuhan dan aku belum teracuni review-review di Goodreads, aku masih bisa nonton film atau anime sambil disambi iseng main jigsaw puzzle sampai 1000 pieces segala.
Jadi, kesimpulan tidak pentingnya adalah: aku jadi semakin gila baca dan kalap belanja buku setelah bergaul dengan sesama pecinta buku di Goodreads. Aku lebih membuka diri untuk mencoba lebih banyak buku dari penulis-penulis yang dulu sama sekali terlewatkan olehku gara-gara membaca review bukunya. Siapa sangka aku bakal membaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer? Dan menjadi penggemar Jim Butcher? Punya akun Goodreads membuatku menjadi membutuhkan internet. Dan eh, belakangan malah kebanyakan browsing internet, yang selain untuk update status bacaan di goodreads juga untuk mengunduh ebook (ribuan judul dan puluhan gigabyte, yang mungkin baru bisa dibaca kalau sudah pensiun nanti, itu pun kalau berumur panjang ;P).
Karena sekarang waktu luang habis untuk membaca timbunan buku yang tiada habisnya, sambil multitasking nonton film dan browsing internet (harus multitasking!), sepertinya hobi iseng-iseng main jigsaw puzzle baru bisa dilakukan saat terdampar di suatu tempat tanpa ditemani buku. Atau kalau kebetulan sedang tidak mood baca (yang jarang terjadi, biasanya kalau sedang galau berat saja).
Nah, kalau aku tetap mau nyambung dengan judul buku yang dijadikan ajang curcol ngalor-ngidul ini, biar ditutup saja dengan pertanyaan: apakah jigsaw puzzle yang dipigura dan dipajang di dinding bisa dikategorikan sebagai artwork?
View all my reviews
My rating: 3 of 5 stars
Aku tidak mengoleksi artwork.
Sepertinya sudah jelas, karena aku mengalokasikan sebagian penghasilanku terutama untuk membeli buku, dan aku tidak tertarik untuk mengoleksi barang lainnya. Di rumahku di Bandung dulu, selain menaruh koleksi buku di tempat yang sudah jelas seperti kamar khusus perpustakaan dan kamar tidur merangkap perpustakaan, hampir seluruh penjuru rumah yang ada lemarinya kujajah juga untuk menaruh buku. Memang bikin repot sih ketika harus memindahkan belasan ribu buku dari Bandung ke Cirebon, sehingga perlu puluhan dus rokok besar dan mobil kontainer PT. Pos untuk mengangkutnya dengan aman sentosa. Meskipun takdir kemudian mengatakan bahwa semuanya tidak berakhir dengan aman di lokasi penyimpanan di Cirebon, karena baru dua-tiga bulan saja sebagian besarnya sudah raib karena ulah oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang tega-teganya menjual dus-dus berisi buku-buku koleksi perpustakaanku itu ke---
#hilang sinyal
#lupakan
#sesal itu tak ada gunanya
Anyway, kembali ke review buku ini, perlu ditegaskan sekali lagi, aku tidak mengoleksi artwork. Kalaupun ada koleksi selain buku, paling-paling koleksi random yang tidak sengaja pakai hunting segala, senemunya saja, seperti uang kertas lama/negara lain, kartu pos, perangko, dan mug lucu (termasuk koleksi mug merah nescafe #tidak penting). Yang jelas, koleksi random itu tidak makan tempat seperti artwork yang ada di buku ini.
Tapi pas baru saja mengambil buku ini untuk dibaca dan melihat kalimat pertama di sampulnya: "Dipajang di mana?", aku langsung teringat percakapanku via telepon dengan ibuku kemarin.
Ceritanya, sewaktu merenovasi rumah, orang tuaku di Cirebon sengaja menambahkan dua ruangan khusus untukku, yaitu ruang perpustakaan dan kamar tidur (merangkap perpustakaan jilid 2). Mengapa demikian? Karena meskipun aku sudah punya rumah sendiri di Bandung, rencananya rumah itu akan dijual (penyebab utama aku harus memindahkan semua koleksiku ke Cirebon). Dan selama ini, setiap kali aku mudik ke Cirebon, aku tidak punya tempat. Apalagi kalau lebaran dan kakak-kakakku beserta keluarganya menginap. Sudah pasti terdampar di sofa ruang keluarga ditemani nyamuk-nyamuk nakal #lebai but true
Alhamdulilah, renovasi rumah rupanya sudah hampir beres. Mungkin karena itulah ibuku sudah membongkar barang-barang lain yang diangkut dari rumah di Bandung, lantas menelepon ketika aku sedang sibuk hunting buku di Gramedia Central Park, yang kebetulan memasang musik pengiring keras-keras.
Tidak persis sih, tapi kira-kira begini dialog via telepon yang terjadi diiringi musik yang membahana dan mengganggu pembicaraan itu (M untuk Mama dan A untuk aku):
M : De, gambar-gambar De Tris mau dipajang di mana?
A : Gambar? Gambar yang mana?
M : Itu, gambar yang komik dan Snow White.
A : (mikir) Gambar komik yang mana, ya? Gambar poster? (teringat poster Rurouni Kenshin dan Tenipuri)
M : Bukan. Itu, gambar komik lucu yang ada dua orang cowok-cewek.
A : (baru ingat punya jigsaw puzzle 1000 pieces Fushigi Yuugi dan Snow White) Oh, puzzle yang dipigurain ya. Ada yang kecilnya juga, kan, yang gambar lokomotif.
M : Iya, mau dipajang di mana? Di kamar atau perpustakaan?
A : Yang komik pasnya sih di perpus, tapi kayaknya dindingnya nggak cukup deh karena sudah penuh sama lemari semua. Ya udah dipasang di kamar saja. Boleh nggak yang Snow White di ruang tengah saja, kan masih banyak dinding kosong?
M : Mama sudah pasang yang Snow White di kamar, yang komik di luar perpus, yang kecil di dalam perpus.
A : (ketawa) Kalau sudah dipasang, kan nggak usah nanya lagi mau dipajang di mana? Mama mau nanya atau laporan, sih?
M : Yah, kalau nggak cocok, nanti diatur lagi saja pas lebaran.
Nah, gara-gara percakapan itu aku jadi teringat punya barang pajangan yang makan tempat, dan karena rumah di Bandung banyak dinding kosongnya, dulu tidak jadi masalah mau dipajang di mana. Dan aku juga jadi teringat pernah punya hobi random yang makan waktu banyak, seperti mengerjakan jigsaw puzzle.
Sebelum bergabung dengan Goodreads, aku masih manga otaku dan anime otaku sejati, yang di luar jam kerja hiburannya cuma baca manga, nonton film dan anime (biasanya beli di toko hobi Animart, dari sejak masih buka di Jalan Pasirkaliki sampai sudah pindah ke CiWalk). Aku masih membeli dan membaca novel sih, tapi biasanya buku dari pengarang tertentu yang favorit saja, seperti Stephen King/John Grisham/Frederick Forsyth/Jeffrey Archer/Agatha Christie/Sidney Sheldon... err... tapi kebetulan banyak juga sih pengarang favorit yang tidak bisa ditulis semuanya di sini. Aku juga masih membeli buku-buku nonfiksi yang sepertinya menarik, terutama di sale Gramedia. Tapi yang jelas, sebelum join Goodreads, aku jarang sengaja beli buku yang penulisnya belum begitu kukenal hanya karena rekomendasi orang lain (tidak ada juga orang yang suka baca di lingkunganku yang bisa memberi rekomendasi). Baca Harry Potter pun awalnya iseng-iseng beli nggak sengaja setelah buku tiga beredar, dan semula kupandang sebelah mata karena buku anak-anak (memangnya Dragonball bukan untuk anak-anak, ya?). Dan yang pasti: AKU TIDAK PUNYA TIMBUNAN BUKU TAK TERBACA, karena buku yang dibeli dapat langsung terbaca habis (Kelihatan bohongnya ya? Oke deh ralat... ada sih buku yang malas dibaca, tapi dikit banget, kok... sungguh ;P)
Singkat cerita, karena internet belum menjadi kebutuhan dan aku belum teracuni review-review di Goodreads, aku masih bisa nonton film atau anime sambil disambi iseng main jigsaw puzzle sampai 1000 pieces segala.
Jadi, kesimpulan tidak pentingnya adalah: aku jadi semakin gila baca dan kalap belanja buku setelah bergaul dengan sesama pecinta buku di Goodreads. Aku lebih membuka diri untuk mencoba lebih banyak buku dari penulis-penulis yang dulu sama sekali terlewatkan olehku gara-gara membaca review bukunya. Siapa sangka aku bakal membaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer? Dan menjadi penggemar Jim Butcher? Punya akun Goodreads membuatku menjadi membutuhkan internet. Dan eh, belakangan malah kebanyakan browsing internet, yang selain untuk update status bacaan di goodreads juga untuk mengunduh ebook (ribuan judul dan puluhan gigabyte, yang mungkin baru bisa dibaca kalau sudah pensiun nanti, itu pun kalau berumur panjang ;P).
Karena sekarang waktu luang habis untuk membaca timbunan buku yang tiada habisnya, sambil multitasking nonton film dan browsing internet (harus multitasking!), sepertinya hobi iseng-iseng main jigsaw puzzle baru bisa dilakukan saat terdampar di suatu tempat tanpa ditemani buku. Atau kalau kebetulan sedang tidak mood baca (yang jarang terjadi, biasanya kalau sedang galau berat saja).
Nah, kalau aku tetap mau nyambung dengan judul buku yang dijadikan ajang curcol ngalor-ngidul ini, biar ditutup saja dengan pertanyaan: apakah jigsaw puzzle yang dipigura dan dipajang di dinding bisa dikategorikan sebagai artwork?
View all my reviews
Sunday, June 30, 2013
Gandari
Gandari by Goenawan Mohamad
My rating: 4 of 5 stars
Sejauh pengalamanku membaca cerita wayang, hampir tidak ada kisah yang menjadikan Gandari, ibu para Kurawa, sebagai tokoh utamanya. Kisah seorang wanita cantik yang terpaksa menikah dengan seorang pangeran buta namun tetap berupaya dengan segala cara untuk memenuhi ambisinya agar suami dan keturunannya berkuasa.
Mungkin kalau menggunakan sudut pandang cerita wayang yang sangat Pandawa-centric, kita melihat Gandari sebagai salah seorang yang termasuk dalam daftar tokoh antagonis. Tapi kalau ditelaah dari sisi karakter, boleh dibilang tokoh semacam Gandari bisa jadi malah menjadi tokoh sentral di novel-novel yang menonjolkan karakter wanita yang kuat, penuh ambisi, berani mempertaruhkan segalanya demi ambisinya, meski akhirnya mungkin nasib tetap tidak berpihak kepadanya. Beberapa tokoh utama di novel Sidney Sheldon dan Jackie Collins mungkin bisa jadi padanannya.
Dan alih-alih mengglorifikasi kemenangan lima orang Pandawa (dengan mengorbankan generasi penerus mereka), pernahkah kita membayangkan bagaimana perasaan seorang ibu yang kehilangan seratus orang anaknya? Meskipun tahu bahwa sang anak hanya menuai badai yang ditaburnya sendiri, tegakah sang ibu membayangkan betapa tragis akhir hidupnya?
Sebenarnya ia bergidik:
ia membayangkan perempuan hitam
yang datang ke sudut selatan pertempuran
mendekati tubuh Dursasana.
Kepala itu telah terpenggal.
'Dan dengan wajah yang dingin, tuanku,'
kata sang utusan, 'Drupadi mencuci rambutnya
dalam darah.'
'Dursasana.'
Seperti jauh ia dari nama itu.
'Darah anakku.'
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
Sejauh pengalamanku membaca cerita wayang, hampir tidak ada kisah yang menjadikan Gandari, ibu para Kurawa, sebagai tokoh utamanya. Kisah seorang wanita cantik yang terpaksa menikah dengan seorang pangeran buta namun tetap berupaya dengan segala cara untuk memenuhi ambisinya agar suami dan keturunannya berkuasa.
Mungkin kalau menggunakan sudut pandang cerita wayang yang sangat Pandawa-centric, kita melihat Gandari sebagai salah seorang yang termasuk dalam daftar tokoh antagonis. Tapi kalau ditelaah dari sisi karakter, boleh dibilang tokoh semacam Gandari bisa jadi malah menjadi tokoh sentral di novel-novel yang menonjolkan karakter wanita yang kuat, penuh ambisi, berani mempertaruhkan segalanya demi ambisinya, meski akhirnya mungkin nasib tetap tidak berpihak kepadanya. Beberapa tokoh utama di novel Sidney Sheldon dan Jackie Collins mungkin bisa jadi padanannya.
Dan alih-alih mengglorifikasi kemenangan lima orang Pandawa (dengan mengorbankan generasi penerus mereka), pernahkah kita membayangkan bagaimana perasaan seorang ibu yang kehilangan seratus orang anaknya? Meskipun tahu bahwa sang anak hanya menuai badai yang ditaburnya sendiri, tegakah sang ibu membayangkan betapa tragis akhir hidupnya?
Sebenarnya ia bergidik:
ia membayangkan perempuan hitam
yang datang ke sudut selatan pertempuran
mendekati tubuh Dursasana.
Kepala itu telah terpenggal.
'Dan dengan wajah yang dingin, tuanku,'
kata sang utusan, 'Drupadi mencuci rambutnya
dalam darah.'
'Dursasana.'
Seperti jauh ia dari nama itu.
'Darah anakku.'
View all my reviews
Friday, May 31, 2013
Roald Dahl's Adult Stories
Switch Bitch by Roald Dahl
My rating: 4 of 5 stars
Switch Bitch merupakan kumpulan cerita pendek Roald Dahl yang pernah diterbitkan oleh majalah Playboy. Jadi, wajar saja kalau isinya bukan cuma nyeleneh khas Dahl tapi juga ngeres dan vulgar, sehingga sudah selayaknya dijauhkan dari jangkauan anak-anak.
The Visitor merupakan salah satu cerita dari 28 volume buku harian Oswald Hendryks Cornelius yang diwariskan kepada keponakannya. Iya, ini Uncle Oswald yang sama dengan yang mengumpulkan sperma dari 51 orang jenius dan keluarga kerajaan di dunia, Michelangelo of Seduction yang membuat Casanova kelihatan seperti Winnie The Pooh. Konon 28 volume buku harian Oswald itu penuh dengan kisah petualangan cintanya, namun hanya beberapa cerita yang cukup aman untuk dipublikasikan alias kemungkinannya kecil untuk terkena tuntutan hukum dari ribuan wanita yang terlibat, atau lebih mungkin lagi dari ribuan suami yang merasa dipermalukan. Cerita pendek ini menuturkan pengalaman Oswald sewaktu terdampar di Gurun Sinai, karena mobilnya mengalami kerusakan. Ia menginap di rumah seorang Syria kaya yang memiliki istri dan anak perempuan yang sama rupawannya, sampai-sampai Oswald menginginkan keduanya sekaligus. Pada malam harinya, di kamar tamu yang gulita, Oswald dikunjungi seorang wanita yang memberikan layanan ranjang yang luar biasa. Esok paginya, Oswald sibuk menerka-nerka siapa teman tidurnya semalam. Nyonya rumahkah? Atau putrinya? Atau...? Jawabannya ternyata membuat Oswald merinding ketakutan.
The Great Switcheroo mengisahkan Vic dan Jerry, dua orang pria yang tinggal bersebelahan, yang berkonspirasi untuk saling meniduri istri tetangganya. Tidak, tidak, ini bukan cerita tentang swingers club, karena syarat utamanya adalah: jangan sampai para istri tahu kalau yang meniduri mereka bukan suaminya sendiri! Maka selama beberapa minggu Vic dan Jerry menyusun rencana dan strategi. Dari menetapkan Hari-H dan Jam-J aksi barteran, sampai mulai menggunakan minyak rambut dan after shave lotion yang sama. Dan pelajaran yang paling penting: mereka harus saling mempelajari prosedur bercinta satu sama lain supaya para istri tidak curiga akan perbedaan kebiasaan. Di sinilah mereka berbeda jauh, karena rupanya Vic tipe yang cepat selesai sedangkan Jerry tipe yang berlama-lama dalam bercinta. Singkat cerita, misi mereka sukses besar. Tapi, bagaimana kalau pagi harinya sang istri mengaku bahwa selama ini ia membenci seks, tapi berubah pendapat dan malah berterima kasih karena aksi ranjang semalam?
Berbeda dengan tiga cerpen lainnya, The Last Act dikisahkan dari sudut pandang seorang wanita bernama Anna Greenwood. Sejak ditinggal mati suami yang sangat dicintainya dan ditinggalkan oleh anak-anaknya satu demi satu, rasa kesepian dan putus asa membuat Anna memutuskan untuk bunuh diri. Tapi rencananya terinterupsi ketika ia membantu pekerjaan temannya, dan kesibukannya untuk sementara membuatnya kembali merasa bahagia. Sampai suatu hari ia bertemu lagi dengan Conrad, mantan pacarnya semasa SMA yang ternyata masih mencintainya. Apakah Anna sanggup menerima laki-laki asing sebagai pengganti suaminya?
Bitch merupakan kisah Oswald yang lain lagi. Oswald mendapati ahli kimia berkebangsaan Belgia yang didanainya, Henri Biotte, telah menciptakan parfum yang paling berbahaya di dunia, yang dapat membuat kaum pria kehilangan kendali dan langsung menggagahi di tempat wanita yang menggunakannya. Untuk melihat bukti keampuhan parfum yang dinamai Bitch tersebut, Oswald pun ikut menyaksikan "percobaan ilmiah" pertama di mana Simone, rekan Henri, selaku pengguna parfum pertama dipertemukan dengan seorang petinju muda dan gagah. Percobaan berlangsung sukses, dan mungkin karena ketagihan, esoknya Simone menggunakan seluruh sisa parfum yang ada untuk menggoda Henri. Masalahnya, Henri menderita penyakit jantung dan langsung semaput karena terlalu horny. Sialnya lagi, Henri belum sempat menuliskan hasil penemuannya, sehingga formula parfumnya terkubur bersamanya. Untunglah sebagai penyandang dana, Oswald sempat mendapat satu dosis kecil Bitch. Dan karena ia tidak suka presiden AS yang sedang menjabat saat ini, ia berencana membuat sang presiden beraksi di depan umum dengan bantuan parfum ajaibnya...
Dari empat cerita pendek di buku ini, The Last Act merupakan cerita yang paling serius dan kelam, menjurus ke tragedi, sementara The Great Switcheroo dapat digolongkan dramedi dalam artian drama komedi tragedi. Sedangkan untuk cerita-cerita si Paman Oswald yang nyentrik dan comedy centric, dari gaya penuturannya kita akan teringat gaya penulisan novel anak-anak Roald Dahl yang kocak, nyeleneh, dan mengandung twist tak terduga.
Cerita-cerita dewasa Roald Dahl yang dikategorikan dalam genre sexual fantasy ini mungkin cukup mengejutkan pada zaman pertama kali diterbitkan, karena begitu bebas dan kasual membahas seks dan adegannya. Tapi kalau zaman sekarang, dengan begitu maraknya novel roman dan erotika yang vulgar dan eksplisit, bisa jadi cerita Roald Dahl sudah dianggap biasa saja.
Tapi, apapun genrenya, cerita-cerita Roald Dahl tetaplah...
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
Switch Bitch merupakan kumpulan cerita pendek Roald Dahl yang pernah diterbitkan oleh majalah Playboy. Jadi, wajar saja kalau isinya bukan cuma nyeleneh khas Dahl tapi juga ngeres dan vulgar, sehingga sudah selayaknya dijauhkan dari jangkauan anak-anak.
Let me tell you |
The Visitor merupakan salah satu cerita dari 28 volume buku harian Oswald Hendryks Cornelius yang diwariskan kepada keponakannya. Iya, ini Uncle Oswald yang sama dengan yang mengumpulkan sperma dari 51 orang jenius dan keluarga kerajaan di dunia, Michelangelo of Seduction yang membuat Casanova kelihatan seperti Winnie The Pooh. Konon 28 volume buku harian Oswald itu penuh dengan kisah petualangan cintanya, namun hanya beberapa cerita yang cukup aman untuk dipublikasikan alias kemungkinannya kecil untuk terkena tuntutan hukum dari ribuan wanita yang terlibat, atau lebih mungkin lagi dari ribuan suami yang merasa dipermalukan. Cerita pendek ini menuturkan pengalaman Oswald sewaktu terdampar di Gurun Sinai, karena mobilnya mengalami kerusakan. Ia menginap di rumah seorang Syria kaya yang memiliki istri dan anak perempuan yang sama rupawannya, sampai-sampai Oswald menginginkan keduanya sekaligus. Pada malam harinya, di kamar tamu yang gulita, Oswald dikunjungi seorang wanita yang memberikan layanan ranjang yang luar biasa. Esok paginya, Oswald sibuk menerka-nerka siapa teman tidurnya semalam. Nyonya rumahkah? Atau putrinya? Atau...? Jawabannya ternyata membuat Oswald merinding ketakutan.
The Great Switcheroo mengisahkan Vic dan Jerry, dua orang pria yang tinggal bersebelahan, yang berkonspirasi untuk saling meniduri istri tetangganya. Tidak, tidak, ini bukan cerita tentang swingers club, karena syarat utamanya adalah: jangan sampai para istri tahu kalau yang meniduri mereka bukan suaminya sendiri! Maka selama beberapa minggu Vic dan Jerry menyusun rencana dan strategi. Dari menetapkan Hari-H dan Jam-J aksi barteran, sampai mulai menggunakan minyak rambut dan after shave lotion yang sama. Dan pelajaran yang paling penting: mereka harus saling mempelajari prosedur bercinta satu sama lain supaya para istri tidak curiga akan perbedaan kebiasaan. Di sinilah mereka berbeda jauh, karena rupanya Vic tipe yang cepat selesai sedangkan Jerry tipe yang berlama-lama dalam bercinta. Singkat cerita, misi mereka sukses besar. Tapi, bagaimana kalau pagi harinya sang istri mengaku bahwa selama ini ia membenci seks, tapi berubah pendapat dan malah berterima kasih karena aksi ranjang semalam?
Berbeda dengan tiga cerpen lainnya, The Last Act dikisahkan dari sudut pandang seorang wanita bernama Anna Greenwood. Sejak ditinggal mati suami yang sangat dicintainya dan ditinggalkan oleh anak-anaknya satu demi satu, rasa kesepian dan putus asa membuat Anna memutuskan untuk bunuh diri. Tapi rencananya terinterupsi ketika ia membantu pekerjaan temannya, dan kesibukannya untuk sementara membuatnya kembali merasa bahagia. Sampai suatu hari ia bertemu lagi dengan Conrad, mantan pacarnya semasa SMA yang ternyata masih mencintainya. Apakah Anna sanggup menerima laki-laki asing sebagai pengganti suaminya?
Bitch merupakan kisah Oswald yang lain lagi. Oswald mendapati ahli kimia berkebangsaan Belgia yang didanainya, Henri Biotte, telah menciptakan parfum yang paling berbahaya di dunia, yang dapat membuat kaum pria kehilangan kendali dan langsung menggagahi di tempat wanita yang menggunakannya. Untuk melihat bukti keampuhan parfum yang dinamai Bitch tersebut, Oswald pun ikut menyaksikan "percobaan ilmiah" pertama di mana Simone, rekan Henri, selaku pengguna parfum pertama dipertemukan dengan seorang petinju muda dan gagah. Percobaan berlangsung sukses, dan mungkin karena ketagihan, esoknya Simone menggunakan seluruh sisa parfum yang ada untuk menggoda Henri. Masalahnya, Henri menderita penyakit jantung dan langsung semaput karena terlalu horny. Sialnya lagi, Henri belum sempat menuliskan hasil penemuannya, sehingga formula parfumnya terkubur bersamanya. Untunglah sebagai penyandang dana, Oswald sempat mendapat satu dosis kecil Bitch. Dan karena ia tidak suka presiden AS yang sedang menjabat saat ini, ia berencana membuat sang presiden beraksi di depan umum dengan bantuan parfum ajaibnya...
Dari empat cerita pendek di buku ini, The Last Act merupakan cerita yang paling serius dan kelam, menjurus ke tragedi, sementara The Great Switcheroo dapat digolongkan dramedi dalam artian drama komedi tragedi. Sedangkan untuk cerita-cerita si Paman Oswald yang nyentrik dan comedy centric, dari gaya penuturannya kita akan teringat gaya penulisan novel anak-anak Roald Dahl yang kocak, nyeleneh, dan mengandung twist tak terduga.
Cerita-cerita dewasa Roald Dahl yang dikategorikan dalam genre sexual fantasy ini mungkin cukup mengejutkan pada zaman pertama kali diterbitkan, karena begitu bebas dan kasual membahas seks dan adegannya. Tapi kalau zaman sekarang, dengan begitu maraknya novel roman dan erotika yang vulgar dan eksplisit, bisa jadi cerita Roald Dahl sudah dianggap biasa saja.
Tapi, apapun genrenya, cerita-cerita Roald Dahl tetaplah...
View all my reviews
Thursday, May 30, 2013
Delirium vs Equilibrium
Delirium by Lauren Oliver
My rating: 3 of 5 stars
Di dunia dalam novel ini, cinta merupakan pelanggaran hukum.
Entah kenapa, begitu membaca sinopsis cerita di cover bukunya, langsung jadi deja vu dan teringat film lama, Equilibrium (2002). Lha, judulnya saja mirip-mirip dan berima, sama-sama pakai "rium", gitu.
Oya, tentu saja aku lebih menyukai versi Equilibrium, dan jelas bukan cuma karena boga lakonnya diperankan oleh Christian Bale. Tapi karena:
1. Delirium bisa dibilang lebih ringan dan tidak sekelam Equilibrium, selain mungkin karena ceritanya tergolong YA, terutama karena
2. Dalam Delirium, yang dilarang CUMA cinta, sementara dalam Equilibrium yang dilarang adalah SEMUA bentuk perasaan. Selain itu
3. Penyembuhan cinta dalam Delirium lebih mudah, tinggal operasi lalu beres deh hidup damai dan bahagia tanpa cinta. Bisa saja sih operasi gagal, tapi risikonya lebih kecil dibandingkan suntikan obat harian di Equilibrium. Sekali lalai, bisa-bisa langsung merasakan emosi lagi. Bahaya itu!
4. Action-nya! Bagaimanapun yang keren di Equilibrium itu adalah gun kata battle! Biar kata defying gravity or reality, adegan aksinya itu yang memanjakan mata banget! Sementara di Delirium... yah, namanya juga bukan novel action, kenapa juga aku bandingin ya?
Yang jelas sih, meskipun katanya novel ini merupakan novel pertama, menurutku endingnya cukup bagus. Cliffhanger? Tidak juga. Apapun yang terjadi setelah endingnya dapat diserahkan kepada imajinasi pembaca, tidak membaca novel lanjutannya pun tidak masalah.
Sebagai bonus, kusisipkan foto Christian Bale dalam pose gun kata-nya:
Apa yang disebut gun kata? Konon begini menurut filmnya:
Through analysis of thousands of recorded gunfights, the Cleric has determined that the geometric distribution of antagonists in any gun battle is a statistically-predictable element. The Gun Kata treats the gun as a total weapon, each fluid position representing a maximum kill zone, inflicting maximum damage on the maximum number of opponents, while keeping the defender clear of the statistically-traditional trajectories of return fire. By the rote mastery of this art, your firing efficiency will rise by no less than 120 percent.
Mari kita adu teknik gun kata-nya John Preston (Bale) dengan teknik Wesley Allen Gibson (James McAvoy) dari film Wanted (2008).
Woy, sadar, Ndah! Ini review buku, bukan review film! Salah blog!
View all my reviews
My rating: 3 of 5 stars
Di dunia dalam novel ini, cinta merupakan pelanggaran hukum.
Entah kenapa, begitu membaca sinopsis cerita di cover bukunya, langsung jadi deja vu dan teringat film lama, Equilibrium (2002). Lha, judulnya saja mirip-mirip dan berima, sama-sama pakai "rium", gitu.
Oya, tentu saja aku lebih menyukai versi Equilibrium, dan jelas bukan cuma karena boga lakonnya diperankan oleh Christian Bale. Tapi karena:
1. Delirium bisa dibilang lebih ringan dan tidak sekelam Equilibrium, selain mungkin karena ceritanya tergolong YA, terutama karena
2. Dalam Delirium, yang dilarang CUMA cinta, sementara dalam Equilibrium yang dilarang adalah SEMUA bentuk perasaan. Selain itu
3. Penyembuhan cinta dalam Delirium lebih mudah, tinggal operasi lalu beres deh hidup damai dan bahagia tanpa cinta. Bisa saja sih operasi gagal, tapi risikonya lebih kecil dibandingkan suntikan obat harian di Equilibrium. Sekali lalai, bisa-bisa langsung merasakan emosi lagi. Bahaya itu!
4. Action-nya! Bagaimanapun yang keren di Equilibrium itu adalah gun kata battle! Biar kata defying gravity or reality, adegan aksinya itu yang memanjakan mata banget! Sementara di Delirium... yah, namanya juga bukan novel action, kenapa juga aku bandingin ya?
Yang jelas sih, meskipun katanya novel ini merupakan novel pertama, menurutku endingnya cukup bagus. Cliffhanger? Tidak juga. Apapun yang terjadi setelah endingnya dapat diserahkan kepada imajinasi pembaca, tidak membaca novel lanjutannya pun tidak masalah.
Sebagai bonus, kusisipkan foto Christian Bale dalam pose gun kata-nya:
Ish, yang penting pose dulu, pistolnya macet apa nggak gimana nanti! |
Apa yang disebut gun kata? Konon begini menurut filmnya:
Through analysis of thousands of recorded gunfights, the Cleric has determined that the geometric distribution of antagonists in any gun battle is a statistically-predictable element. The Gun Kata treats the gun as a total weapon, each fluid position representing a maximum kill zone, inflicting maximum damage on the maximum number of opponents, while keeping the defender clear of the statistically-traditional trajectories of return fire. By the rote mastery of this art, your firing efficiency will rise by no less than 120 percent.
Mari kita adu teknik gun kata-nya John Preston (Bale) dengan teknik Wesley Allen Gibson (James McAvoy) dari film Wanted (2008).
Nembak sambil merem? Cin cay lah! |
Woy, sadar, Ndah! Ini review buku, bukan review film! Salah blog!
View all my reviews
Dream a Little Dream
Of Mice and Men by John Steinbeck
My rating: 5 of 5 stars
Setiap orang memiliki impian. George Milton bermimpi memiliki tanah sendiri. Lennie Small, raksasa lembut hati namun memiliki keterbelakangan mental, memiliki mimpi yang lebih sederhana. Ia bermimpi dapat tetap hidup bersama George, dan diperkenankan untuk memelihara (dan membelai) kelinci di peternakan mereka (Lennie memang fetish semua hal yang terlihat dan terasa lembut, namun ia tidak dapat mengukur kekuatannya sendiri, dan kerap tak sengaja membunuh tikus peliharaannya meskipun ia hanya bermaksud membelainya). Untuk mewujudkan mimpi mereka, George dan Lennie berpindah-pindah kerja dari ladang yang satu ke ladang yang lain. Seringkali mereka terpaksa pindah kerja karena Lennie selalu (tak sengaja) menimbulkan masalah.
Kalau mengikuti akal sehat, George tentu sudah lama meninggalkan Lennie. Bagaimanapun, Lennie memang beban yang merepotkan. Tapi meskipun George seringkali tidak menyembunyikan kejengkelan dan ketidaksabarannya menghadapi kelambanan dan kedunguan Lennie, ia tetap merasa bertanggung jawab dan selalu melindungi Lennie. Rasa tanggung jawab itu mungkin berawal dari rasa bersalah, karena dulu ia suka mempermainkan si dungu Lennie, bahkan nyaris membunuhnya, karena Lennie selalu mematuhi perintahnya, termasuk terjun ke sungai meskipun tak bisa berenang.
Di tempat kerja yang baru, George berusaha menjauhkan Lennie dari masalah, bahkan ekstrimnya kalau bisa Lennie tidak buka mulut sedikitpun. Tapi rupanya tidak mudah, karena bahaya bisa mengancam kapan saja. Putra pemilik ranch, Curley, adalah salah satunya. Bertubuh kecil tapi jago tinju, ia merasa terintimidasi oleh orang yang bertubuh lebih besar darinya, dan kalau diberi kesempatan sedikit saja akan dengan senang hati menghajar mereka, dan tentu saja ia langsung mengincar si raksasa Lennie. Belum lagi istri Curley yang suka main mata dengan para pekerja ranch, dan membuat Curley jadi paranoid dan cemburuan.
Masalah demi masalah pun terjadi. Saat Curley menyerang Lennie, waktu membela diri tanpa sengaja Lennie menghancurkan tinju Curley. Meskipun masalah itu dapat diredam karena Curley sendiri yang mencari gara-gara lebih dulu, George harus menghadapi masalah yang lebih dahsyat ketika Lennie tanpa sengaja membunuh istri Curley. George tahu ia tidak bisa melindungi sahabatnya lagi, namun cara yang dipilihnya agar Lennie tidak menderita benar-benar menyesakkan hati.
Of Mice and Men (1937) adalah salah satu karya terkenal dari John Steinbeck, yang memenangkan Pulitzer Prize untuk novel The Grapes of Wrath (1939). Novela yang bersetting di masa Great Depression ini menggambarkan kondisi ekonomi dan sosial pada saat itu, terutama kehidupan masyarakat kelas bawah yang untuk memperoleh pekerjaan saja sulit, apalagi memiliki rumah dan tanah beberapa hektar, disertai pertanian dan peternakan kecil, sebagaimana mimpi para tokoh utama di buku ini. Tapi bagiku, tema utama yang diangkat dalam novela ini adalah persahabatan antara George dan Lennie. Memperhatikan review beberapa teman Goodreads, setiap pembaca memiliki persepsi yang berbeda-beda mengenai ending novela ini. Mungkin ada yang berpendapat bahwa pada akhirnya George mengkhianati Lennie, atau akhirnya kesabaran George terhadap kedunguan Lennie ada batasnya. Namun kesan yang kutangkap di akhir novela ini sangat berbeda. Keputusan berat yang diambil George di akhir novel merupakan perwujudan betapa George sangat menyayangi Lennie.
Kisah George dan Lennie ini sudah tiga kali diangkat menjadi film, pada tahun 1939, 1982 dan 1992. Yang terakhir dibintangi oleh Gary Sinise sebagai George dan John Malkovich sebagai Lennie:
Catatan tambahan:
Sebenarnya, aku tak sengaja memilih novela John Steinbeck yang satu ini sebagai bahan posting bareng BBI Bulan Mei 2013 untuk kategori klasik kontemporer. Secara kebetulan, aku menemukan buku ini di lemari buku Bang Helvry dan tertarik untuk memaksa pinjam karena penerjemahnya Pramoedya Ananta Toer:
Tapi setelah mencoba membacanya, aku akhirnya malah memilih untuk membaca ebooknya saja, karena ternyata terjemahan PAT tidak cocok untuk seleraku. Dan kalau ditanya mengapa, mungkin ada beberapa alasan yang membuatku malas membaca buku terjemahannya.
Pertama, mungkin karena diterjemahkan pada tahun 1950, gaya bahasanya jadul klasik banget. PAT juga banyak menggunakan kosa kata haram jadah dan jahanam yang rasanya tidak pas dengan konteks kalimatnya. Misalnya kalimat "Ya, Rasul. Betul-betul haram jadah kau ini!" dan "Jahanam apa kubilang." setelah ditengok versi aslinya rupanya terjemahan dari "Jesus Christ. You're a crazy bastard!" dan "The hell with what I says". Selain itu banyak juga penerjemahan yang terasa mengganggu, seperti ketchup diterjemahkan jadi kecap, alih-alih saus tomat, atau cousin diterjemahkan jadi kemenakan, bukannya sepupu. Lalu, ternyata ada banyak idiom yang diterjemahkan secara harfiah sehingga menimbulkan pergeseran makna. Beberapa contoh yang lucu misalnya "show off" diterjemahkan menjadi "membuat pertunjukan" atau kalimat "You get a kick outa that, dont you?" diterjemahkan jadi "Kutendang kau nanti, mengerti?" Duh, jauh banget! Mungkin ada yang bilang namanya juga terjemahan bebas, tapi maaf, it's not my cup of tea.
Awalnya sih seru juga membaca buku terjemahan sambil baca versi aslinya, lumayan jadi hiburan tiap kali menemukan terjemahan yang aneh dan lucu. Tapi lama-lama jadi capek juga sih, dan akhirnya aku hanya membaca ebooknya saja.
Tapi aku jadi bertanya-tanya apakah waktu tahun 1950 dulu ada editor dari penerbit Pembangunan Djakarta yang mengoreksi terjemahan PAT, atau terjemahannya diterbitkan apa adanya? Lalu, untuk edisi revisi terbitan Lentera Dipantara tahun 2003 ini, kira-kira apa saja yang direvisi? Apakah hanya mengubah ejaan lama menjadi EYD? Atau mungkin karena ini karya terjemahan sastrawan besar Indonesia, sehingga terlalu sakral dan klasik untuk diedit, akhirnya dibiarkan apa adanya saja? Tapi memang sih, kalau sampai diedit besar-besaran sama saja artinya dengan diterjemahkan ulang, sehingga jatuhnya malah tidak komersial karena tidak bisa lagi menjual nama PAT sebagai penerjemah.
View all my reviews
My rating: 5 of 5 stars
Setiap orang memiliki impian. George Milton bermimpi memiliki tanah sendiri. Lennie Small, raksasa lembut hati namun memiliki keterbelakangan mental, memiliki mimpi yang lebih sederhana. Ia bermimpi dapat tetap hidup bersama George, dan diperkenankan untuk memelihara (dan membelai) kelinci di peternakan mereka (Lennie memang fetish semua hal yang terlihat dan terasa lembut, namun ia tidak dapat mengukur kekuatannya sendiri, dan kerap tak sengaja membunuh tikus peliharaannya meskipun ia hanya bermaksud membelainya). Untuk mewujudkan mimpi mereka, George dan Lennie berpindah-pindah kerja dari ladang yang satu ke ladang yang lain. Seringkali mereka terpaksa pindah kerja karena Lennie selalu (tak sengaja) menimbulkan masalah.
Kalau mengikuti akal sehat, George tentu sudah lama meninggalkan Lennie. Bagaimanapun, Lennie memang beban yang merepotkan. Tapi meskipun George seringkali tidak menyembunyikan kejengkelan dan ketidaksabarannya menghadapi kelambanan dan kedunguan Lennie, ia tetap merasa bertanggung jawab dan selalu melindungi Lennie. Rasa tanggung jawab itu mungkin berawal dari rasa bersalah, karena dulu ia suka mempermainkan si dungu Lennie, bahkan nyaris membunuhnya, karena Lennie selalu mematuhi perintahnya, termasuk terjun ke sungai meskipun tak bisa berenang.
Di tempat kerja yang baru, George berusaha menjauhkan Lennie dari masalah, bahkan ekstrimnya kalau bisa Lennie tidak buka mulut sedikitpun. Tapi rupanya tidak mudah, karena bahaya bisa mengancam kapan saja. Putra pemilik ranch, Curley, adalah salah satunya. Bertubuh kecil tapi jago tinju, ia merasa terintimidasi oleh orang yang bertubuh lebih besar darinya, dan kalau diberi kesempatan sedikit saja akan dengan senang hati menghajar mereka, dan tentu saja ia langsung mengincar si raksasa Lennie. Belum lagi istri Curley yang suka main mata dengan para pekerja ranch, dan membuat Curley jadi paranoid dan cemburuan.
Masalah demi masalah pun terjadi. Saat Curley menyerang Lennie, waktu membela diri tanpa sengaja Lennie menghancurkan tinju Curley. Meskipun masalah itu dapat diredam karena Curley sendiri yang mencari gara-gara lebih dulu, George harus menghadapi masalah yang lebih dahsyat ketika Lennie tanpa sengaja membunuh istri Curley. George tahu ia tidak bisa melindungi sahabatnya lagi, namun cara yang dipilihnya agar Lennie tidak menderita benar-benar menyesakkan hati.
Of Mice and Men (1937) adalah salah satu karya terkenal dari John Steinbeck, yang memenangkan Pulitzer Prize untuk novel The Grapes of Wrath (1939). Novela yang bersetting di masa Great Depression ini menggambarkan kondisi ekonomi dan sosial pada saat itu, terutama kehidupan masyarakat kelas bawah yang untuk memperoleh pekerjaan saja sulit, apalagi memiliki rumah dan tanah beberapa hektar, disertai pertanian dan peternakan kecil, sebagaimana mimpi para tokoh utama di buku ini. Tapi bagiku, tema utama yang diangkat dalam novela ini adalah persahabatan antara George dan Lennie. Memperhatikan review beberapa teman Goodreads, setiap pembaca memiliki persepsi yang berbeda-beda mengenai ending novela ini. Mungkin ada yang berpendapat bahwa pada akhirnya George mengkhianati Lennie, atau akhirnya kesabaran George terhadap kedunguan Lennie ada batasnya. Namun kesan yang kutangkap di akhir novela ini sangat berbeda. Keputusan berat yang diambil George di akhir novel merupakan perwujudan betapa George sangat menyayangi Lennie.
Kisah George dan Lennie ini sudah tiga kali diangkat menjadi film, pada tahun 1939, 1982 dan 1992. Yang terakhir dibintangi oleh Gary Sinise sebagai George dan John Malkovich sebagai Lennie:
Apakah peran George yang membuat Gary Sinise mendapat peran serupa tapi tak sama sebagai Letnan Dan di film Forrest Gump? |
Catatan tambahan:
Sebenarnya, aku tak sengaja memilih novela John Steinbeck yang satu ini sebagai bahan posting bareng BBI Bulan Mei 2013 untuk kategori klasik kontemporer. Secara kebetulan, aku menemukan buku ini di lemari buku Bang Helvry dan tertarik untuk memaksa pinjam karena penerjemahnya Pramoedya Ananta Toer:
Tapi setelah mencoba membacanya, aku akhirnya malah memilih untuk membaca ebooknya saja, karena ternyata terjemahan PAT tidak cocok untuk seleraku. Dan kalau ditanya mengapa, mungkin ada beberapa alasan yang membuatku malas membaca buku terjemahannya.
Pertama, mungkin karena diterjemahkan pada tahun 1950, gaya bahasanya jadul klasik banget. PAT juga banyak menggunakan kosa kata haram jadah dan jahanam yang rasanya tidak pas dengan konteks kalimatnya. Misalnya kalimat "Ya, Rasul. Betul-betul haram jadah kau ini!" dan "Jahanam apa kubilang." setelah ditengok versi aslinya rupanya terjemahan dari "Jesus Christ. You're a crazy bastard!" dan "The hell with what I says". Selain itu banyak juga penerjemahan yang terasa mengganggu, seperti ketchup diterjemahkan jadi kecap, alih-alih saus tomat, atau cousin diterjemahkan jadi kemenakan, bukannya sepupu. Lalu, ternyata ada banyak idiom yang diterjemahkan secara harfiah sehingga menimbulkan pergeseran makna. Beberapa contoh yang lucu misalnya "show off" diterjemahkan menjadi "membuat pertunjukan" atau kalimat "You get a kick outa that, dont you?" diterjemahkan jadi "Kutendang kau nanti, mengerti?" Duh, jauh banget! Mungkin ada yang bilang namanya juga terjemahan bebas, tapi maaf, it's not my cup of tea.
Awalnya sih seru juga membaca buku terjemahan sambil baca versi aslinya, lumayan jadi hiburan tiap kali menemukan terjemahan yang aneh dan lucu. Tapi lama-lama jadi capek juga sih, dan akhirnya aku hanya membaca ebooknya saja.
Tapi aku jadi bertanya-tanya apakah waktu tahun 1950 dulu ada editor dari penerbit Pembangunan Djakarta yang mengoreksi terjemahan PAT, atau terjemahannya diterbitkan apa adanya? Lalu, untuk edisi revisi terbitan Lentera Dipantara tahun 2003 ini, kira-kira apa saja yang direvisi? Apakah hanya mengubah ejaan lama menjadi EYD? Atau mungkin karena ini karya terjemahan sastrawan besar Indonesia, sehingga terlalu sakral dan klasik untuk diedit, akhirnya dibiarkan apa adanya saja? Tapi memang sih, kalau sampai diedit besar-besaran sama saja artinya dengan diterjemahkan ulang, sehingga jatuhnya malah tidak komersial karena tidak bisa lagi menjual nama PAT sebagai penerjemah.
View all my reviews
Saturday, May 18, 2013
Highway to Hell
Inferno by Dan Brown
My rating: 3 of 5 stars
329 - 2013
Okay, saatnya pop quiz, everybody! Sebutkan judul novel yang dimulai dengan tokoh utama siuman dalam keadaan amnesia!
Dan jawabannya adalah... (drum roll sound effect) ...banyak. Mau yang mana? The Bourne Identity-nya Robert Ludlum? Sudah pasti. Remember Me?-nya Sophie Kinsella? Oke. The Maze Runner-nya James dashner? Yah, daftarnya ternyata sudah cukup panjang, saudara-saudara. Dan tahun ini daftarnya bertambah satu lagi dengan novel terbaru Dan Brown untuk kisah petualangan keempat ahli simbol favorit kita, Robert Langdon.
Jadi, Robert Langdon terjaga di sebuah kamar rumah sakit di Florence, Italia, dan tidak tahu bagaimana dia bisa ujug-ujug ada di sana. Untungnya, tidak seperti Bourne yang boro-boro ingat namanya sendiri, Langdon cuma tidak ingat apa yang terjadi selama beberapa hari terakhir. Tapi apapun itu, amnesia sucks. Apalagi kalau begitu bangun diberi tahu dokter kalau kita hampir mati karena kepala kita terserempet peluru, lantas belum sempat mencari tahu lebih lanjut, tiba-tiba saja seorang pembunuh terlatih menerjang masuk ke rumah sakit dan membunuh salah satu dokter yang merawat kita! Yap, yang bisa dilakukan hanya lari menyelamatkan diri sambil terus-terusan berpikir "apa yang terjadi", "apa yang kulakukan", "mengapa aku dikejar-kejar?" and so on.
Untungnya Langdon tidak lari sendirian, karena tentunya ia tak tahu harus lari ke mana. Salah satu dokter yang merawatnya, gadis muda dan cantik (tentu saja selalu ada gadis muda dan cantik yang berbeda di setiap novel seperti halnya James Bond) bernama Sienna Brooks membantunya melarikan diri dari musuh yang entah siapa gerangan itu. Dan belakangan diketahui bahwa Langdon membawa sebuah kanister yang ternyata berisi petunjuk yang akan membawanya mengungkap sedikit demi sedikit misteri yang melingkupi keberadaannya di Italia serta untuk tujuan apa ia berada di sana. Dan semua itu berkaitan dengan masterpiece Dante Alighieri, Divine Comedy, khususnya di bagian pertama: Inferno.
Seperti biasa, membaca serial Robert Langdon akan lebih asyik dalam versi illustrated-nya, karena kita akan disuguhi berbagai museum, lukisan, dan apapun yang berkaitan dengannya, yang sulit dibayangkan kalau belum pernah melihatnya. Jadi, mungkin lebih baik kalau membaca buku ini dengan browsing internet. Minimal kita jadi tahu beberapa lokasi yang dipilih Dan Brown untuk novelnya ini, seperti:
Atau
Sampai dengan lokasi final:
Atau karya seni yang dirujuk, misalnya lukisan Sandro Botticelli:
Atau death mask-nya Dante Alighieri:
Ah, sebelum tulisan ini dianggap brosur pariwisata, sebaiknya kita kembali ke review novel lagi. Jadi, spoiler alert, inti cerita novel ini adalah bagaimana Robert Langdon dengan segala pengetahuannya mengenai Divine Comedy (dan semua yang berkaitan dengan karya tersebut) berusaha mencegah terwujudnya cita-cita seorang ahli biokimia brilian bernama Bertrand Zobrist, yang bermaksud menyebarkan virus yang akan mengurangi jumlah populasi manusia yang sudah tak terkontrol di dunia ini. Hmm... rasanya bukan ide baru, sih. Apalagi belum lama ini aku baru saja membaca komik Iron Man Director of S.H.I.E.L.D. seri Haunted, di mana Mandarin berencana melepas virus airborne Ektremis yang dapat memusnahkan 97,5% populasi manusia. Tapi Zobrist tidak sesinting Mandarin sih, karena hanya berniat mengurangi sepertiga populasi manusia saja demi mencegah kepunahan umat manusia di masa depan.
Seperti novel-novel sebelumnya, petualangan Langdon bisa dihitung dalam jam, dengan pace cepat, dan banyak adegan kejar-kejaran. Karena menderita amnesia, Langdon tidak tahu harus mempercayai siapa, apalagi sepertinya semua orang memburu dan ingin membunuhnya. Tapi karena berurusan dengan wabah penyakit yang bisa menyapu bersih umat manusia, Langdon tetap berusaha memecahkan teka-teki yang diumpankan Zobrist untuk menemukan lokasi virus buatannya.
Meskipun jalan ceritanya dan twistnya klise (tapi membuatku teringat pada Loki, The God of Deception), endingnya cukup mengejutkan karena.... *SPOILER ALERT SPOILER ALERT SPOILER ALERT* well, jarang-jarang tokoh utama GAGAL mencegah rencana brilian sang antagonis!
Omong-omong karena membaca novel ini, dan dikuliahi Langdon tentang Divine Comedy, jadi teringat kalau salah satu penulis favoritku, Jeffrey Archer, menggunakan pola Dante untuk menceritakan pengalaman pribadinya waktu di penjara. Bila Dante membuat Divine Comedy dalam tiga bagian yaitu Inferno, Purgatorio dan Paradiso, Archer membuat Prison Diary-nya dalam tiga bagian yaitu Belmarsh: Hell, Wayland: Purgatory dan North Sea Camp: Heaven.
The darkest places in hell are reserved for those who maintain their neutrality in times of moral crisis
- Dante Alighieri
Kutipan itu disimpulkan oleh Robert Langdon menjadi: In dangerous times, there is no sin greater than inaction. Sedangkan kalau yang menerjemahkannya Mbah GW Bush, mungkin jadi begini: You're either with us, or against us!
View all my reviews
My rating: 3 of 5 stars
329 - 2013
Okay, saatnya pop quiz, everybody! Sebutkan judul novel yang dimulai dengan tokoh utama siuman dalam keadaan amnesia!
Dan jawabannya adalah... (drum roll sound effect) ...banyak. Mau yang mana? The Bourne Identity-nya Robert Ludlum? Sudah pasti. Remember Me?-nya Sophie Kinsella? Oke. The Maze Runner-nya James dashner? Yah, daftarnya ternyata sudah cukup panjang, saudara-saudara. Dan tahun ini daftarnya bertambah satu lagi dengan novel terbaru Dan Brown untuk kisah petualangan keempat ahli simbol favorit kita, Robert Langdon.
Jadi, Robert Langdon terjaga di sebuah kamar rumah sakit di Florence, Italia, dan tidak tahu bagaimana dia bisa ujug-ujug ada di sana. Untungnya, tidak seperti Bourne yang boro-boro ingat namanya sendiri, Langdon cuma tidak ingat apa yang terjadi selama beberapa hari terakhir. Tapi apapun itu, amnesia sucks. Apalagi kalau begitu bangun diberi tahu dokter kalau kita hampir mati karena kepala kita terserempet peluru, lantas belum sempat mencari tahu lebih lanjut, tiba-tiba saja seorang pembunuh terlatih menerjang masuk ke rumah sakit dan membunuh salah satu dokter yang merawat kita! Yap, yang bisa dilakukan hanya lari menyelamatkan diri sambil terus-terusan berpikir "apa yang terjadi", "apa yang kulakukan", "mengapa aku dikejar-kejar?" and so on.
Untungnya Langdon tidak lari sendirian, karena tentunya ia tak tahu harus lari ke mana. Salah satu dokter yang merawatnya, gadis muda dan cantik (tentu saja selalu ada gadis muda dan cantik yang berbeda di setiap novel seperti halnya James Bond) bernama Sienna Brooks membantunya melarikan diri dari musuh yang entah siapa gerangan itu. Dan belakangan diketahui bahwa Langdon membawa sebuah kanister yang ternyata berisi petunjuk yang akan membawanya mengungkap sedikit demi sedikit misteri yang melingkupi keberadaannya di Italia serta untuk tujuan apa ia berada di sana. Dan semua itu berkaitan dengan masterpiece Dante Alighieri, Divine Comedy, khususnya di bagian pertama: Inferno.
Seperti biasa, membaca serial Robert Langdon akan lebih asyik dalam versi illustrated-nya, karena kita akan disuguhi berbagai museum, lukisan, dan apapun yang berkaitan dengannya, yang sulit dibayangkan kalau belum pernah melihatnya. Jadi, mungkin lebih baik kalau membaca buku ini dengan browsing internet. Minimal kita jadi tahu beberapa lokasi yang dipilih Dan Brown untuk novelnya ini, seperti:
Boboli Gardens, Florence |
Atau
Palazzo Vecchio, Florence |
Sampai dengan lokasi final:
Yerebatan Sarayi, Istanbul |
Atau karya seni yang dirujuk, misalnya lukisan Sandro Botticelli:
La Mappa dell'Inferno |
Atau death mask-nya Dante Alighieri:
Ah, sebelum tulisan ini dianggap brosur pariwisata, sebaiknya kita kembali ke review novel lagi. Jadi, spoiler alert, inti cerita novel ini adalah bagaimana Robert Langdon dengan segala pengetahuannya mengenai Divine Comedy (dan semua yang berkaitan dengan karya tersebut) berusaha mencegah terwujudnya cita-cita seorang ahli biokimia brilian bernama Bertrand Zobrist, yang bermaksud menyebarkan virus yang akan mengurangi jumlah populasi manusia yang sudah tak terkontrol di dunia ini. Hmm... rasanya bukan ide baru, sih. Apalagi belum lama ini aku baru saja membaca komik Iron Man Director of S.H.I.E.L.D. seri Haunted, di mana Mandarin berencana melepas virus airborne Ektremis yang dapat memusnahkan 97,5% populasi manusia. Tapi Zobrist tidak sesinting Mandarin sih, karena hanya berniat mengurangi sepertiga populasi manusia saja demi mencegah kepunahan umat manusia di masa depan.
Seperti novel-novel sebelumnya, petualangan Langdon bisa dihitung dalam jam, dengan pace cepat, dan banyak adegan kejar-kejaran. Karena menderita amnesia, Langdon tidak tahu harus mempercayai siapa, apalagi sepertinya semua orang memburu dan ingin membunuhnya. Tapi karena berurusan dengan wabah penyakit yang bisa menyapu bersih umat manusia, Langdon tetap berusaha memecahkan teka-teki yang diumpankan Zobrist untuk menemukan lokasi virus buatannya.
Meskipun jalan ceritanya dan twistnya klise (tapi membuatku teringat pada Loki, The God of Deception), endingnya cukup mengejutkan karena.... *SPOILER ALERT SPOILER ALERT SPOILER ALERT* well, jarang-jarang tokoh utama GAGAL mencegah rencana brilian sang antagonis!
Omong-omong karena membaca novel ini, dan dikuliahi Langdon tentang Divine Comedy, jadi teringat kalau salah satu penulis favoritku, Jeffrey Archer, menggunakan pola Dante untuk menceritakan pengalaman pribadinya waktu di penjara. Bila Dante membuat Divine Comedy dalam tiga bagian yaitu Inferno, Purgatorio dan Paradiso, Archer membuat Prison Diary-nya dalam tiga bagian yaitu Belmarsh: Hell, Wayland: Purgatory dan North Sea Camp: Heaven.
The darkest places in hell are reserved for those who maintain their neutrality in times of moral crisis
- Dante Alighieri
Kutipan itu disimpulkan oleh Robert Langdon menjadi: In dangerous times, there is no sin greater than inaction. Sedangkan kalau yang menerjemahkannya Mbah GW Bush, mungkin jadi begini: You're either with us, or against us!
View all my reviews
Sunday, May 5, 2013
World's Most Wanted 2
The Invincible Iron Man, Vol. 3: World's Most Wanted, Book 2 by Matt Fraction
My rating: 4 of 5 stars
Di volume kedua World’s Most Wanted ini, Tony Stark berhasil kabur ke Rusia, dan surprise! Mendapat bantuan dari Crimson Dynamo. Di cerita-cerita vintage Iron Man, Crimson Dynamo adalah musuh Iron Man, mengingat mereka di dua kubu yang berbeda dalam perang dingin AS-Soviet. Tapi sekarang, mereka berteman. Dan karena armor jadulnya rusak, Tony malah dipinjami armor Crimson Dynamo untuk mencapai fasilitas miliknya di Rusia.
Begitu mengetahui Tony berada di Rusia, Pepper langsung menyuruh J.A.R.V.I.S. membawanya ke sana. Karena memantau aktivitas Pepper, Osborn jadi tahu di mana buronannya berada dan mengontak Kolonel Dimitri Bukharin untuk meminta izin masuk ke wilayah udara Rusia untuk menangkap Pepper dan kalau bisa sekaligus Tony. Sayangnya, Kolonel Bukharin (yang juga Crimson Dynamo) menolaknya mentah-mentah. Osborn terpaksa mengandalkan rekan yang berada di Rusia, Whitney Frost alias Madame Masque, untuk membunuh Tony.
Setelah sempat bertempur karena Tony mengira armor Rescue adalah bawahan Osborn, Tony dan Pepper akhirnya bertemu kembali dan bersembunyi di fasilitas Stark di Kurenks. Kondisi Stark sudah menurun drastis, mulai melupakan banyak hal, bahkan perlu kertas post-it untuk mengingat sesuatu. Ia bahkan tidak bisa mengingat informasi sederhana seperti nama-nama mobil koleksinya. Untuk seorang Tony Stark, kehilangan ingatan dan kejeniusannya seperti seorang superman kehilangan superpowernya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia menjadi manusia normal. Tapi itu baru awalnya...
Dan, berhasilkah Madame Masque menjalankan tugasnya? Ternyata sulit baginya, karena masa lalunya sebagai kekasih Tony membuat hatinya bercabang. Ia tak mau membunuh Tony, tapi merayu Tony yang dulu pernah mencampakkannya agar membalas cintanya. Ia memohon Tony lebih memilih dirinya daripada Pepper. Permintaan yang tidak bisa dipenuhi Tony, karena sebodoh apapun ia saat ini, dan meskipun dulu ia pernah mencintai Whitney Frost, ia tetap memilih Pepper, apapun risikonya. Patah hati, Madame Masque meledakkan tempat persembunyian Tony. Tony berhasil kabur dengan armor Iron Man cadangan ke Afghanistan sementara Pepper... mati dan Madame Masque membawa armor Rescue kembali pada Osborn.
Tony yang sedang tidur sementara Iron Man terbang autopilot di langit Afghanistan mendadak tertembak jatuh oleh rudal stinger. Ia harus bersusah payah mencari laboratorium rahasianya dan dalam kondisi otak yang semakin menurun ia terpaksa mengenakan kembali sahabat lamanya, Iron Man Mark I! Di saat yang sama, Osborn mengetahui lokasinya dan bergegas terbang dengan armor Iron Patriot-nya ke Afghanistan untuk menghabisinya!
Sementara itu, Maria Hill bekerja sama dengan Natasha Romanova untuk menyusup ke markas Osborn dan bertemu dengan... Pepper Potts! Rupanya Pepper menyamar sebagai Madame Masque, sedangkan musuhnya itu disembunyikan dalam armor Crimson Dynamo. Bertiga mereka berusaha menuntaskan tugas terakhir yang dipercayakan oleh Tony kepada mereka. Melumpuhkan sistem komputer di markas Osborn dengan virus dan membuat seluruh armor yang dikuasai Osborn tak berguna.
Aku belum banyak membaca serial komik Invincible Iron Man, Avengers, ataupun komik Marvel lainnya untuk memahami seberapa dalam kebencian Norman Osborn terhadap Tony Stark. Tapi secara awam, mungkin bisa menduga-duga sebabnya, kalau menggunakan film-film adaptasi komik Marvel yang sudah kutonton sebagai dasar teorinya. Teknologi Iron Man dan serum Ekstremisnya adalah sesuatu yang diimpikan Norman Osborn, tapi tidak bisa dicapainya. Ia membangun eksoskeleton dan serum supersoldiernya sendiri yang... kurang sempurna bahkan membuatnya sinting. Jadi, wajar saja kalau ia membenci Tony Stark, yang lebih jenius daripada dirinya dan begitu menikmati hidupnya. Jadi, begitu punya kesempatan untuk menguasai teknologi Stark Industries dan membunuh Tony Stark... well, kesempatan yang terlalu sayang untuk dilewatkan, bukan?
Sayang, kesempatan itu terlewatkan karena posisi mereka terpantau pers yang menayangkan adegan ia menghancurkan Tony yang sama sekali tidak melawan ke seluruh penjuru dunia.
Tapi tidak dibunuh pun, Tony sudah tak bisa diselamatkan lagi. Meskipun tubuhnya cuma patah tulang, lecet, memar dan lain-lain, otaknya sudah mati, bahkan tak bisa memerintahkan tubuhnya untuk bernafas. Osborn tak bisa lagi mendapatkan informasi mengenai database Superhuman Registration maupun teknologi repulsor Tony. Dan karena ia tidak punya hak untuk mematikan Tony Stark, apakah dokter pribadi Tony yang akan melakukannya?
Cih, ending jilid terakhir ini digantung rupanya.
By the way, dokter pribadi yang berhak meng-euthanasia Tony bernama Donald Blake.
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
Di volume kedua World’s Most Wanted ini, Tony Stark berhasil kabur ke Rusia, dan surprise! Mendapat bantuan dari Crimson Dynamo. Di cerita-cerita vintage Iron Man, Crimson Dynamo adalah musuh Iron Man, mengingat mereka di dua kubu yang berbeda dalam perang dingin AS-Soviet. Tapi sekarang, mereka berteman. Dan karena armor jadulnya rusak, Tony malah dipinjami armor Crimson Dynamo untuk mencapai fasilitas miliknya di Rusia.
Begitu mengetahui Tony berada di Rusia, Pepper langsung menyuruh J.A.R.V.I.S. membawanya ke sana. Karena memantau aktivitas Pepper, Osborn jadi tahu di mana buronannya berada dan mengontak Kolonel Dimitri Bukharin untuk meminta izin masuk ke wilayah udara Rusia untuk menangkap Pepper dan kalau bisa sekaligus Tony. Sayangnya, Kolonel Bukharin (yang juga Crimson Dynamo) menolaknya mentah-mentah. Osborn terpaksa mengandalkan rekan yang berada di Rusia, Whitney Frost alias Madame Masque, untuk membunuh Tony.
Setelah sempat bertempur karena Tony mengira armor Rescue adalah bawahan Osborn, Tony dan Pepper akhirnya bertemu kembali dan bersembunyi di fasilitas Stark di Kurenks. Kondisi Stark sudah menurun drastis, mulai melupakan banyak hal, bahkan perlu kertas post-it untuk mengingat sesuatu. Ia bahkan tidak bisa mengingat informasi sederhana seperti nama-nama mobil koleksinya. Untuk seorang Tony Stark, kehilangan ingatan dan kejeniusannya seperti seorang superman kehilangan superpowernya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia menjadi manusia normal. Tapi itu baru awalnya...
Dan, berhasilkah Madame Masque menjalankan tugasnya? Ternyata sulit baginya, karena masa lalunya sebagai kekasih Tony membuat hatinya bercabang. Ia tak mau membunuh Tony, tapi merayu Tony yang dulu pernah mencampakkannya agar membalas cintanya. Ia memohon Tony lebih memilih dirinya daripada Pepper. Permintaan yang tidak bisa dipenuhi Tony, karena sebodoh apapun ia saat ini, dan meskipun dulu ia pernah mencintai Whitney Frost, ia tetap memilih Pepper, apapun risikonya. Patah hati, Madame Masque meledakkan tempat persembunyian Tony. Tony berhasil kabur dengan armor Iron Man cadangan ke Afghanistan sementara Pepper... mati dan Madame Masque membawa armor Rescue kembali pada Osborn.
Tony yang sedang tidur sementara Iron Man terbang autopilot di langit Afghanistan mendadak tertembak jatuh oleh rudal stinger. Ia harus bersusah payah mencari laboratorium rahasianya dan dalam kondisi otak yang semakin menurun ia terpaksa mengenakan kembali sahabat lamanya, Iron Man Mark I! Di saat yang sama, Osborn mengetahui lokasinya dan bergegas terbang dengan armor Iron Patriot-nya ke Afghanistan untuk menghabisinya!
Sementara itu, Maria Hill bekerja sama dengan Natasha Romanova untuk menyusup ke markas Osborn dan bertemu dengan... Pepper Potts! Rupanya Pepper menyamar sebagai Madame Masque, sedangkan musuhnya itu disembunyikan dalam armor Crimson Dynamo. Bertiga mereka berusaha menuntaskan tugas terakhir yang dipercayakan oleh Tony kepada mereka. Melumpuhkan sistem komputer di markas Osborn dengan virus dan membuat seluruh armor yang dikuasai Osborn tak berguna.
Aku belum banyak membaca serial komik Invincible Iron Man, Avengers, ataupun komik Marvel lainnya untuk memahami seberapa dalam kebencian Norman Osborn terhadap Tony Stark. Tapi secara awam, mungkin bisa menduga-duga sebabnya, kalau menggunakan film-film adaptasi komik Marvel yang sudah kutonton sebagai dasar teorinya. Teknologi Iron Man dan serum Ekstremisnya adalah sesuatu yang diimpikan Norman Osborn, tapi tidak bisa dicapainya. Ia membangun eksoskeleton dan serum supersoldiernya sendiri yang... kurang sempurna bahkan membuatnya sinting. Jadi, wajar saja kalau ia membenci Tony Stark, yang lebih jenius daripada dirinya dan begitu menikmati hidupnya. Jadi, begitu punya kesempatan untuk menguasai teknologi Stark Industries dan membunuh Tony Stark... well, kesempatan yang terlalu sayang untuk dilewatkan, bukan?
Bye, bye, Tony Stark |
Sayang, kesempatan itu terlewatkan karena posisi mereka terpantau pers yang menayangkan adegan ia menghancurkan Tony yang sama sekali tidak melawan ke seluruh penjuru dunia.
Tapi tidak dibunuh pun, Tony sudah tak bisa diselamatkan lagi. Meskipun tubuhnya cuma patah tulang, lecet, memar dan lain-lain, otaknya sudah mati, bahkan tak bisa memerintahkan tubuhnya untuk bernafas. Osborn tak bisa lagi mendapatkan informasi mengenai database Superhuman Registration maupun teknologi repulsor Tony. Dan karena ia tidak punya hak untuk mematikan Tony Stark, apakah dokter pribadi Tony yang akan melakukannya?
Cih, ending jilid terakhir ini digantung rupanya.
By the way, dokter pribadi yang berhak meng-euthanasia Tony bernama Donald Blake.
View all my reviews
Saturday, May 4, 2013
Capeknya Jadi Direktur S.H.I.E.L.D
My rating: 4 of 5 stars
Komik ini merupakan missing link antara film-film Marvel Cinematic Universe setelah film Iron Man dan sebelum film The Avengers, plus one-shot-nya Marvel seperti A Funny Thing Happened on the Way to Thor's Hammer dan The Consultant. Dan tentu saja, wajib hukumnya menonton semua film itu sebelum baca komik ini, karena para penulisnya menganggap pembaca sudah tahu dan memahami semua link dan hint yang disajikan dari POV Nick Fury dan para agen S.H.I.E.L.D.
Hal baru apa yang didapat pembaca/penonton dari serial ini? Yah... hampir tidak ada yang baru sih sebenarnya...
1.Adegan final Iron Man 2, Incredible Hulk dan Thor berlangsung di minggu yang sama!
Lupakan saja tanggal rilis masing-masing film, supaya tidak bingung.
Kenapa bentrok gini sih? Diatur dong jadwalnya, kayak di bioskop gitu! |
2. World Security Council ingin Fury fokus mencari cara menghidupkan Tesseract, mereka mengultimatum Fury dengan TRIKOCIL (Tiga Komando Council) terkait 3 kegiatan S.H.I.E.L.D. yang sia-sia:
- hentikan ekspedisi mencari jasad action figure PD II di kutub utara
- hentikan usaha merekrut Tony Stark padahal cukup menyita armornya saja
- hentikan pengawasan atas objek tak jelas mau diapakan macam Bruce Banner (iyaaa... waktu Jendral Ross terus sibuk mencari, Fury sih tahu di mana Banner berada)
Kalau Fury nggak mau nurut, pecat! Gitu aja kok repot.
Patuhkah Fury? Tentu tidak! Kan ada Combantrine! #ApaSih |
3. Fury sudah tahu Tony Stark sekarat gara-gara keracunan palladium, tapi timnya tidak berhasil menemukan penangkalnya.
Adegan seksiy Nick Fury baru bangun tidur |
Untuk ngeh adegan yang ini, dianjurkan nonton Marvel's One Shot dulu |
5. Usai membereskan Hammer Industries, Natasha Romanoff meluncur ke Culver University untuk mengawasi Banner, dan hampir jadi korban amukan Hulk.
Pantas aja kalau Natasha agak jiper sama Banner |
6. S.H.I.E.L.D mengangkut the Destroyer yang dikalahkan Thor, lalu para ilmuwannya sibuk membuat versi
Ingat senjata yang digunakan Coulson untuk menembak Loki? |
7. Tony Stark ingin mematenkan unsur kimia baru yang ditemukannya dengan nama... badassium. Wah, badass banget kalau memang nama itu bisa tertera di tabel periodik!
Mungkin para birokrat lebih suka nama unsurnya Starkium |
View all my reviews
Subscribe to:
Posts (Atom)