Friday, November 30, 2012

Pandawa V: Episode Spin-Off Sadewa

GandamayuGandamayu by Putu Fajar Arcana
My rating: 3 of 5 stars

Dalam rangka turut meramaikan posting bareng BBI edisi November 2012 dengan tema KLA 2012, aku memilih buku ini untuk bahan review. Tadinya sih mau posting review Gadis Kretek-nya Ratih Kumala atau kumcer Seekor Anjing Mati di Bala Murghab-nya Linda Christanty yang sudah kubaca Oktober lalu, tapi ada daya bukunya sudah terkirim ke Cirebon. Jadilah aku beli novel ini di IBF 2012 kemarin, mumpung Penerbit Kompas menjual secara paket dengan Tantri-nya Cok Sawitri dan Perang Makassar 1669-nya S.M. Noor, dengan korting yang lumayan daripada cuma beli satu novel #Korban Taktik Dagang


Berdasarkan prolog dari N. Riantiarno di awal novel ini, salah satu keistimewaan novel ini adalah tafsir bahwa seorang dewi pun merasa dominasi pria sulit dibantah, dan dia berada di bawah bayang-bayang suami. Bahwa  perempuan ternyata sulit "menjadi" apalagi "memiliki" dirinya sendiri. Ini sebuah gugatan yang simpatik dan inspiratif bagi peta peranan perempuan.

Yah, kalau aku mungkin tidak akan membahas dari sisi feminisme, kartinisme ataupun cosmopolitanisme. Karena sepertinya bakal jadi review suka-suka seperti biasa, mudah-mudahan tak ada dewa-dewi yang tersinggung, lantas mengutuk, sehingga aku baru bisa diruwat setelah menjalani masa hukuman 12 tahun... :)

Latar belakang cerita Gandamayu ini adalah kisah Dewi Uma yang dipermainkan oleh nasib, atau lebih tepatnya sih dipermainkan oleh sang suami yang kurang kerjaan. Mungkin karena di jaman dewa-dewa dulu belum ada televisi, internet, ataupun playstation, Dewa Siwa pun iseng-iseng menguji kesetiaan istrinya dengan pura-pura sakit keras, lalu meminta dicarikan obat berupa susu dari sapi putih yang sedang menghasilkan ASI ekslusif. Dewi Uma yang patuh dan mungkin agak-agak bego (Mikir dong, mikir...! Logikanya di mana kalau Dewa Siwa bisa sakit keras? Dewa gitu lo! Atau... mungkin Dewa Siwa sebenarnya cuma alien dari Planet Krypton terus nggak sengaja menelan Kryptonite, yang hanya bisa dilarutkan dengan susu ajaib?) dengan senang hati turun ke bumi, mumpung traveling ke dunia bawah memang sudah lama masuk wishlist-nya.

Tanpa setahu Dewi Uma, Dewa Siwa lantas menyamar jadi gembala seekor sapi putih yang sedang menyusui (aslinya sih sapi hitam, tapi disulap jadi putih, mungkin dengan produk bleaching keluaran terbaru). Ternyata ia harus menunggu agak lama karena Dewi Uma nyasar ke mana-mana. Baru setelah sepuluh kali menyanyikan lagu "Aku Anak Gembala"-nya Tasya, akhirnya datang deh Dewi Uma untuk meminta susu sapi darinya. Setelah mencoba membarter segelas susu sapi dengan permata tapi gagal, lantas menawar untuk membelinya saja, Dewi Uma baru sadar kalau tidak bawa uang karena terburu-buru berangkat dari Kahyangan. Saking paniknya, waktu si gembala sapi dengan kurang ajar minta barter susu sapi dengan bobo-bobo lucu, meski awalnya sempat marah, Dewi Uma pun akhirnya setuju. Apapun boleh dilakukan demi  memperoleh obat bagi sang suami... (herannya, kok tidak cari sapi putih menyusui lain saja, masa sih di dunia yang luas ini cuma ada seekor sapi putih? Siapa tahu gembala lain tidak semesum gembala jelmaan Dewa Siwa).


Akhirnya sudah tertebak. Dewi Uma tidak lolos Uji Kompetensi Istri Dewa Level 1. Setia sih setia, tapi Kahyangan Core Value yang paling penting adalah Integritas. Sekali lagi, Integritas! Maunya mungkin loyal pada atasan, ABS, tapi kalau caranya dengan jilat sana jilat sini (no pun intended) dan selingkuh... ya BIG NO NO! Selingkuhnya sama gembala yang namanya saja tidak tahu pula! Please deh. Minimal tanya dulu namanya siapa kek, terus tukar kartu nama, alamat email, atau akun twitter gitu. Siapa tahu mau janjian lagi kapan-kapan kalau ada yang butuh susu lagi (pun intended).

Jadi, meskipun si selingkuhan sebenarnya diri sendiri (gimana kalau dewa atau orang lain, coba? Etapi kalau menurut versi mbak wiki sih Dewi Uma selingkuhnya dengan Dewa Brahma), Dewa Siwa pun mengutuk Dewi Uma sebagai Durga dan menjadi penguasa Setra Gandamayu (dari sinilah judul novel berasal), yang kalau di mitologi Yunani semacam daerah kekuasaannya Hades. Tring! Dewi Uma pun menjadi makhluk menyeramkan, dan baru bisa kembali seperti semula dua belas tahun lagi, setelah diruwat oleh putra bungsu Pandu bernama Sahadewa.

Nah, itu baru latar belakang ceritanya, karena cerita novel sebenarnya diangkat dari Kakawin Sudamala, karya sastra berbahasa Jawa Kuna peninggalan Kerajaan Majapahit, dan tokoh utamanya memang Sahadewa (atau kita sebut Sadewa saja, karena sungguh membuatku yang tidak terbiasa merasa nama itu terdiri dari pertanyaan dan jawaban dalam bahasa Sunda... Saha? Dewa...).

Terus terang, sepanjang sejarahku baca cerita wayang Mahabharata (yang terutama didominasi komik R.A. Kosasih, Yan Mintaraga atau Teguh Santosa), meskipun tahu Sadewa salah satu anggota Pandawa Lima, sama sekali tidak ada cerita maupun aksi tentang dia atau saudara kembarnya Nakula yang nempel di ingatan. Apa sih yang mereka lakukan selain jadi pelengkap penggembira atau pelengkap penderita grup Pandawa? Yang ngikut saja ke mana pun ketiga saudara mereka (yang lebih beken) pergi? Posisi Sadewa dan Nakula di Pandawa V boleh dibilang mirip-mirip Ippei Mine dan Megumi Oka di Voltus V, yang cuma pelengkap bagi kakak beradik Go, Kenichi-Daijiro-Hiyoshi (buat yang nggak sengaja baca sejauh ini dan lost in confusion, selamat, ternyata Anda tidak tergolong kaum jaduler ;P).

Singkat cerita, di tengah huru-hara perang Kurusetra, Sadewa diseret ke Setra Gandamayu, untuk dijadikan tumbal Dewi Durga demi kemenangan Pandawa. Maksudnya sih supaya Sadewa bisa meruwat Dewi Durga kembali jadi Dewi Uma karena sudah 12 tahun berlalu sejak ujian bodoh yang membuat Dewi Uma kena kutuk. Tapi tak dinyana, bukannya Sadewa tidak mau meruwat, tapi ia memang tidak punya kemampuan untuk meruwat. Durga pun mengangkat parang untuk menebas leher Sadewa. Di waktu sepersekian detik itu (yang rupanya lumayan lama untuk level dewa), Dewa Naradha melihat kejadiannya, lantas terbang ke Kahyangan, kongkow dulu dengan Dewa Aswino dan Dewa Mahadewa (nama ini redundant atau gimana sih?) yang ternyata tidak bisa memberikan solusi, lantas akhirnya mereka bertiga sepakat untuk melapor pada Dewa Siwa, yang kebetulan sedang memimpin sidang rapat para dewa, membahas gonjang-ganjing di kahyangan gegara kemurkaan Dewi Durga.

Dewa Siwa pun turun tangan. Setelah 12 tahun mungkin ia agak menyesal sudah bersikap keterlaluan pada istrinya. Ia menemui Sadewa (mungkin posisi parang Durga tinggal beberapa senti lagi dari leher si bungsu Pandawa), dan entah bagaimana Sadewa yang tangannya terikat di pohon randu sempat memberi salam hormat kepada sang dewa. Setelah itu Dewa Siwa pun merasuki Sadewa, dan ujug-ujug Sadewa bisa merapalkan mantra-mantra peruwatan, dan menebarkan sesajen peruwatan yang tahu-tahu memenuhi tangannya (yang sekali lagi, sudah tidak terikat di pohon randu, mungkin berkat kekuatan dewa) ke arah Dewi Durga.

Dewi Uma pun terlepas dari kutukannya, Setra Gandamayu yang macam kuburan dan penuh mayat berserakan pun tiba-tiba beralih jadi taman cantik nan asri. Sebagai hadiah karena telah meruwat dirinya (masa sih tidak sadar kalau itu bukan jasa Sadewa yang tidak becus meruwat?), Dewi Uma memberi Sadewa nama Sudamala dan menunjukkan jodohnya. Sadewa disuruhnya pergi ke negeri Prangalas dan menemui Resi Tamba Petra. Sadewa juga mendapat jimat, hingga tak seorang pun bisa menyentuh kulitnya, apalagi mengalahkannya dalam peperangan. Mendadak, Sadewa menjadi ksatria sakti tanpa tanding.

Cerita berlanjut dengan petualangan Sadewa memenuhi petunjuk Dewi Uma. Dalam perjalanan Sadewa bertemu dan berteman dengan harimau jadi-jadian, yang dikutuk karena membunuh istrinya sendiri. Kelak untuk menebus dosanya harimau itu pun jadi vegetarian. Dan akhirnya ia pun bertemu dengan Resi Tamba Petra yang diruwatnya sehingga bisa melihat lagi. Seperti biasa dalam cerita wayang, ia pun diberi hadiah salah satu dari dua putri sang resi, Diah Padapa. Belakangan putri sang resi yang lain, Diah Soka, menjadi jodoh Nakula yang meninggalkan medan perang demi menemukan kembarannya.

Selesaikah cerita? Belum ternyata. Mungkin karena Sadewa dan Nakula kurang populer, bisa jadi sastrawan Majapahit yang menyusun cerita ini ingin membuat Sadewa lebih populer dengan menjadi juru selamat dalam Bharata Yuda versinya. Konon tiga putra Pandu dari Dewi Kunti kewalahan melawan dua raksasa dari pihak Kurawa, Kalantaka dan Kalanjaya, tapi berkat jimat dari Dewi Durga, akhirnya Sadewa bisa mengalahkan mereka berdua. Tamat.

Jadi pesan moral dari kisah Sadewa ini adalah... jangan selingkuh, saudara-saudara. Kakawin Sudamala penuh dengan orang-orang yang perlu diruwat gara-gara masalah perselingkuhan. Kasus Dewi Uma sudah cukup jelas. Tapi ada juga kasus Kalika, anak buah Dewi Durga, yang membunuh suaminya yang selingkuh dengan racun, berikut 34 orang tak berdosa yang tak sengaja meminum racunnya. Resi Tamba Petra juga buta karena melihat istrinya selingkuh.

Eh, ada pesan moral lainnya, ding: lihat-lihat kalau jalan! Kalau tidak sengaja melangkahi Dewa Siwa, bisa-bisa seperti Dewa Citrasena dan Citranggada, yang dikutuk jadi raksasa Kalantaka dan Kalanjaya.

View all my reviews

5 comments:

  1. wahhh baca reviewnya malah keketawaan sendiri =p trus trus apa yang bikin novel ini spesial banget sampe bisa masuk 10 besar KLA ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Novelnya sih serius, mbak astrid... mengangkat cerita wayang warisan leluhur ke dalam sastra Indonesia, serta menggugat peranan wanita yang dijajah pria sejak dulu. Mungkin itu poin pentingnya.

      Kalau ripyunya sih emang ngaco... :)
      dan memang menggugat cerita wayangnya...

      Delete
  2. review-nya lucu :D
    memang cerita rakyat kalau dipikir2 banyak absurd-nya ya, hehe.

    ReplyDelete
  3. haduh, baca reviewnya terkesan bukunya berat banget

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bukunya ringan kok, cuma 189 halaman :)
      Dan kalau biasa baca cerita wayang, ya sepertinya biasa aja juga...

      Mungkin yang agak beda dengan cerita wayang biasa (yang tidak kubahas di ripyu) adalah cara bertutur penulisnya.

      Kadang beliau menulis dengan POV orang ketiga, tapi kadang dengan POV orang pertama, sebagai diri sendiri waktu kecil, yang didongengi ayahnya tentang cerita wayang ini (makanya coverna siluet anak kecil dan ayahnya). Sang anak mimpi jadi Sadewa, sehingga kadang POV-nya dari sudut pandang Sadewa.

      Delete