Monday, April 15, 2013

The Hunt Is On...

HeadhuntersHeadhunters by Jo Nesbø
My rating: 5 of 5 stars


Buatku, membaca dan menonton film bukan hobi yang bisa dipisahkan, karena yang menjadi pembeda di antara keduanya hanya media yang digunakan dalam storytelling. Karenanya, aku suka novel-novel movie-tie-in. Ada film yang diangkat dari novel? Baca dulu novelnya, baru tonton filmnya. Ada naskah film yang dinovelisasi? Tonton filmnya dulu, baca baca novelnya.

Itu kondisi idealnya, karena sering juga terjadi sebaliknya sih. Aku sudah membeli novelisasi film Spider-Man 3 sebelum filmnya beredar, bahkan membacanya sambil mengantri tiketnya pada hari pertama pemutaran film di Blitz Megaplex PVJ Bandung. Atau aku menonton sebuah film dulu, lantas karena suka baru deh sibuk mencari-cari novel sumbernya. Itulah yang terjadi untuk film/novel genre thriller dari Norwegia ini:



Pertama menemukan judul film ini di internet waktu film The Raid sedang hot-hotnya. Kebetulan film ini juga diputar di TIFF 2011 dan juga mendapat review yang positif dari para kritikus. Karenanya, waktu menemukan DVD ini di lapak belakang kantor sebelum filmnya diputar cineplex Jakarta, langsung kubeli tanpa peduli kalau film ini berbahasa Norwegia. Yang penting kan kualitasnya sudah bagus dan ada subtitle bahasa Inggrisnya :)

Waktu luang yang sempit membuatku sering multitasking antara membaca buku, menonton film dan browsing internet. Kebetulan film ini mendapat nasib dimultitasking, dan dari semua pemainnya aku cuma tahu si ganteng Nikolaj-Coster Waldau yang main di serial TV Game of Thrones sebagai Jaime Lannister. Tapi tentu saja tak perlu waktu lama buatku untuk menyingkirkan buku dan laptop, untuk fokus menonton film ini. It's that good, for me anyway.

Nah, begitu tahu ini film adaptasi, aku mencari novelnya di internet, dan akhirnya dapat juga dalam format epub di situs book torrent langganan. Meskipun begitu, bukan jaminan langsung dibaca sih, karena pameran buku yang bertubi-tubi membuat tumpukan buku di kamar kost menjadi prioritas utama untuk dibaca duluan.

Tapi karena nggak sengaja lihat novel ini terpajang manis di Periplus Plaza Senayan minggu lalu, aku jadi berpikir untuk menyiasati prinsip "lebih dulu baca buku fisik ketimbang baca buku digital" itu dengan membelinya... Strategi yang tidak bersahabat dengan dompet, tentu saja, apalagi waktu kemarin sowan lagi ke Periplus, novel yang minggu lalu kulihat masih setumpuk (kata CSnya sih ada 50-an jilid) habis diborong orang! Setelah berpikir bolak-balik, akhirnya beli juga di Kinokuniya dengan harga yang lebih mahal... hiks3x

Baiklah, setelah pendahuluan plus curcol yang cukup panjang, aku harus kembali ke khittah bahwa ini adalah review buku. Jadi, apakah novelnya memberikan kesan yang sama dengan filmnya?

YES. It's that good, for me it worthed the price (buang bon kino ke tempat sampah).

So, apanya sih yang menarik? Sharing sedikit deh, mudah-mudahan nggak spoil :

1. Protagonisnya tidak keren

Namanya biasa banget: Roger Brown. Waktu nonton filmnya sempat bingung, ini kok orang Norwegia namanya Inggris/Amerika banget, tanpa ada penjelasan apa-apa (jadi dejavu orang Finlandia bernama Michael J. Fox di novel Hafalan Solat Delisa). Setelah baca novelnya, jadi tahu bahwa dia memang blasteran karena ayahnya memang orang Inggris. Tampangnya juga biasa banget dengan tinggi di bawah rata-rata, tepatnya 1,68 m, dan dia sensitif banget tentang tinggi badannya dan sadar kalau overkompensasi ke hal lain. Kelebihan fisik yang paling menonjol dan dibanggakan adalah rambutnya :)


Sorry ya Askel Hennie, dibilang nggak keren, tapi aktingmu keren kok!


Roger Brown merupakan headhunter yang sukses, cerdas, arogan, dan manipulator ulung (interviewnya pakai teknik interogasi!). Ia sangat mencintai istrinya yang high maintenance, tapi tidak sungkan selingkuh dengan perempuan biasa. Gaya hidupnya yang high class dan besar pasak daripada tiang dibiayai dari profesi sampingannya: pencuri karya seni. Profesi utama sebagai headhunter memberi banyak keuntungan untuk profesi sambilannya. Dalam interview, topik bisa mengarah ke keluarga, hobi, karya seni yang terpajang di rumah, sistem keamanan, sampai ada anjing atau tidak di rumah :)

2. Antagonisnya keren sekali

Sekeren Nikolaj-Coster Waldau tentunya!


Clas Greve, pria tampan, pintar, berkharisma, mantan CEO HOTE, perusahaan teknologi GPS di Rotterdam. Roger Brown sendiri mengakui Greve sebagai spesimen fantastik yang dapat menandingi teknik interogasinya. Belakangan diketahui bahwa Greve juga mantan pasukan khusus yang berspesialisasi dalam melacak target.

3. Plot yang cepat dan tak terduga

Dibuka dengan narasi Roger Brown tentang hukum fisika dasar untuk menjelaskan tabrakan antara truk 25 ton dengan mobil 1800 kg masing-masing dengan kecepatan 80 km/jam dan bahwa ia akan mati sebentar lagi karena berada di mobil sial itu, kita dibawa mundur beberapa waktu sebelum kecelakaan.

Roger Brown bertemu dengan Clas Greve di pameran seni yang diadakan di galeri istrinya, Diana. Ia langsung mengincar Greve sebagai kandidat sempurna untuk posisi CEO di Pathfinder, perusahaan teknologi GPS Norwegia. Roger juga girang setengah mati mendapati Greve juga ternyata memiliki lukisan karya Reubens yang konon hilang waktu Perang Dunia II.

Dengan bantuan partner-in-crime-nya, Ove Kjikerud, Roger sukses mencuri lukisan di apartemen Greve. Hanya saja, tanpa sengaja ia menemukan ponsel istrinya di kamar tidur Greve. Hatinya hancur dan mimpi buruknya pun dimulai...

Roger mendapati Ove mati di mobil Volvo-nya karena tertusuk jarum beracun, dengan teknik yang pernah dilakukan Greve saat masih di pasukan khusus. Saat itulah ia sadar bahwa Greve mengincar nyawanya, tapi pertama-tama ia harus menyingkirkan mayat Ove...

Dari titik ini, cerita bergulir dengan pace yang cepat dalam mengikuti petualangan survival Roger. Dari acara membuang mayat Ove ke danau (dan ternyata Ove masih hidup!), hampir mati ditembak Ove gara-gara Roger tak mau membawanya ke rumah sakit, diburu Greve dan anjing pelacaknya sampai terpaksa bersembunyi di tangki tinja WC (unforgettable scenes, lebih parah dari film Slumdog Millionaire!), digigit anjing (di leher!), ditangkap polisi, nyaris tewas karena mobil polisi yang menangkapnya ditabrak truk 25 ton yang dikendarai Greve...


Please tell me, mananya yang bukan spoiler??? :P


Yang jelas, filmnya ternyata sangat setia dengan novelnya sampai ke detailnya, kecuali di beberapa adegan tertentu, misalnya waktu Greve sempat-sempatnya buang hajat di WC sementara Roger sembunyi di bawahnya (Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!) . Mungkin sutradaranya yang nggak tega. Atau Nikolas-Coster Waldau yang ingin jaga imej kalau cowok ganteng nggak buang hajat (di WC jorok lagi). Atau Askel Hennie yang jelas nggak mau semakin trauma... (Jadi penasaran apakah isi tangki itu berisi coklat yang bisa dimakan seperti di film Trainspotting atau...)

Jadi, daripada spoiler berkepanjangan, biarlah masih tersisa beberapa pertanyaan:
Mengapa Greve ingin membunuh Roger?
Bagaimana caranya Roger meloloskan diri?

Jo Nesbo berhasil membawa pembaca untuk bersimpati pada protagonis yang SOB dan menyebalkan, lantas menutup novel ini dengan twist cerdas, yang dipatuhi oleh Morten Tyldum sampai ke titik komanya.

Highly recommended for those who have the stomach to read the novel or see the movie!

View all my reviews

1 comment: