Judul : Hidup di Luar Tempurung
Penulis : Benedict Anderson
Penerjemah : Ronny Agustinus
Penerbit : Marjin Kiri
Tebal : 205 halaman
Dibeli di : Post Santa Blok M
Dibeli tanggal : 27 Agustus 2016
Dibaca tanggal : 3 September 2016
Waktu pertama kali sengaja main ke Post Santa Blok M (pakai acara hujan-hujanan pula!) demi membeli satu buah buku yang susah dicari di toko buku offline dan online biasa, aku malah tergiur (baca: kalap) melihat display buku-buku terbitan Marjin Kiri (aku suka pilihan buku yang diterbitkan Marjin Kiri) yang nota bene juga rada susah dicari di toko buku offline dan online biasa, dan pada akhirnya pulang dengan beberapa di antaranya. Nah, buku ini salah satunya.
Seperti biasa, selain faktor penerbitnya, aku membeli buku ini karena (setelah membaca sinopsis di cover belakangnya) merasa buku ini sepertinya menarik. Untunglah, kali ini feeling-ku tidak meleset. IMHO, buku ini sangat, sangat, sangat menarik! Dan alhasil di Goodreads buku ini kurating:
Aku sudah cukup banyak membaca buku biografi yang cukup bervariasi, dari perwira militer, politisi, pengusaha, komika, bintang film, pelatih sepakbola, novelis, editor dan lain sebagainya, tapi otobiografi seorang akademisi? Rasanya cukup jarang. Apalagi akademisi yang satu ini pernah kerja lapangan di Indonesia, tetap cinta Indonesia meski dicekal puluhan tahun oleh rezim Orde Baru, lantas setelah meninggal dunia abunya disebar di Selat Madura.
Awalnya, buku ini hanya diterbitkan dalam bahasa Jepang dengan pasar sasaran mahasiswa-mahasiswi Jepang, untuk membantu mereka yang tak punya banyak bayangan akan konteks sosial, politik, budaya, dan zaman tempat para ilmuwan Anglo-Saxon lahir, mengenyam pendidikan, dan menjadi matang secara keilmuan. Namun menjelang akhir hayatnya buku ini diterbitkan juga dalam bahasa Inggris, dan pada akhirnya tentu saja dalam bahasa Indonesia.
Dalam buku tipis ini, Benedict Anderson menceritakan masa kecilnya, masa pendidikan di Irlandia dan Inggris, pengalaman akademisi di AS, kerja lapangan di Indonesia, Siam dan Filipina, disertai renungan perihal universitas di Barat, perbandingan-perbandingan antardisiplin ilmu, sampai menceritakan aktivitas di masa pensiun, sesekali ditambahi membahas buku atau film kesukaannya. Membaca buku ini seperti mendengarkan kakek kita bercerita tentang masa lalunya, kadang-kadang serius, kadang-kadang bergurau, dan kadang-kadang melantur suka-suka. Pokoknya, tidak membosankan! Penuturannya asyik untuk diikuti dan pengalaman hidupnya bikin sirik. Rasanya seperti membaca kisah petualangan Tintin di dunia nyata (minus karakter-karakter heboh macam Kapten Haddock atau Profesor Calculus), kalau Tintin seorang akademisi dan bisa menua.
Seperti biasa, aku juga suka penerjemahan Mas Ronny yang membuat ceritanya mengalir lancar. Hanya ada satu hal yang membuat kening sempat berkerut, yaitu pemilihan kata "bokap-nyokap" saat Om Ben (panggilan sayang teman-teman muda Indonesia) bercerita tentang ayah-ibunya. Kata-kata prokem yang saat ini rasanya sudah jarang terdengar ini terasa agak aneh di antara bahasa buku yang nyaris formal secara keseluruhan. Tapi belakangan, setelah dipikir-pikir lagi, pasti ada alasan khusus di balik pemilihan kata dari bahasa prokem itu. Mungkin karena itulah bahasa gaul anak muda yang dipelajari Om Ben sewaktu masih kerja lapangan di Indonesia dan terus melekat sampai sekarang. Bahkan, kalau melihat catatan Mas Ronny di akhir buku, dalam komunikasi tertulisnya dengan teman-teman Indonesianya, Om Ben masih demen menggunakan ejaan Suwandi ketimbang EYD.
Sebelum membaca buku ini, aku sudah membeli dan membaca buku Di Bawah Tiga Bendera karya Benedict Anderson yang juga terbitan Marjin Kiri. Setelah membaca buku ini aku jadi ingin mencari dan membaca karya-karya beliau yang lain, terutama bukunya yang paling terkenal, Immagined Communities, yang rupa-rupanya jadi buku pegangan mahasiswa yang mempelajari dan mendalami nasionalisme.
No comments:
Post a Comment