Tema: HAM |
Premis:
- Negara republik dengan satu partai yang menguasai seluruh sendi kehidupan rakyat.
- Negara memberlakukan hukuman mati, yang tidak hanya berlaku bagi pelaku tindak kriminal ataupun koruptor, tapi juga tahanan politik maupun tahanan nurani (prisoner of conscience, yang ditahan karena terlibat dalam aksi damai yang dianggap dapat mengganggu stabilitas negara)
- Tahanan yang dieksekusi mati dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan negara, dengan efektif dan efisien: organ tubuh dipanen untuk kebutuhan operasi transplantasi organ.
- Pelaksanaan hukuman mati disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Begitu pasien yang membutuhkan muncul, segera dicari "donor" yang cocok, dan hukuman mati segera diurus administrasi dan eksekusinya.
Dengan premis cerita seperti ini, bisa jadi orang akan menebak bahwa buku yang akan kukomentari secara singkat di sini adalah novel dengan genre dystopia. Sayangnya, tidak demikian adanya. Ini adalah buku nonfiksi:
Penulis buku ini adalah Ethan Gutmann, seorang penulis jurnalis investigatif dan aktivis HAM. Dan buku keduanya ini disusun berdasarkan hasil wawancara dengan lebih dari 100 orang saksi, yang terdiri atas mantan tahanan, dokter, polisi dan administratur kamp.
Belum lama ini aku membaca ulang salah satu serial manga favoritku, Full Metal Alchemist karya Hiromu Arakawa. Buat yang belum tahu, manga ini bersetting di sebuah negara antah berantah bernama Amestris, yang dipimpin oleh seorang diktator militer. Tema utama manga ini adalah philosopher stone, yang dapat mengabaikan hukum paling dasar dalam ilmu alkemi, yaitu pertukaran yang setara. Philosopher stone bukan saja dapat memperpanjang umur atau hidup abadi, tapi juga meningkatkan kekuatan seorang alkemis untuk menciptakan sesuatu dari ketiadaan. Bahan baku utama pembuatan philosopher stone adalah jiwa manusia. Pihak militer Amestris diam-diam membuat laboratorium untuk menciptakan philosopher stone, antara lain dengan memanfaatkan para tahanan di penjara atau kamp konsentrasi. Rencana Besar para villain di manga ini malah lebih dahsyat lagi: mengubah 50 juta jiwa penduduknya menjadi philosopher stone!
Karena jarak baca yang berdekatan, wajar saja pada saat membaca buku Slaughter, aku malah lebih teringat dan memparalelkannya dengan manga FMA, ketimbang pada kasus Nazi Jerman di PD II. Mungkin selain keterlibatan pihak militer dalam hal pelanggaran HAM atas warga negaranya sendiri, juga karena philosopher stone dan organ tubuh manusia memiliki manfaat yang sama: memperpanjang umur.
Kesanku saat membaca buku ini jelas... miris dan ngeri.
Bagaimana tidak, baru di bab pertama saja sudah diceritakan bagaimana para dokter bedah selalu bersiap-siap di tempat eksekusi. Apabila eksekusinya dilakukan di tempat terbuka, mobil van medis tersedia sebagai tempat operasi. Target eksekusi tembak biasanya dada kanan atau dekat telinga, karena diusahakan agar organ tubuh yang penting seperti kornea, jantung, hati atau yang paling top, ginjal, tetap utuh. Saat tahanan jatuh pingsan, tim dokter segera membedah dan memanen organ tubuhnya. Mereka masih hidup saat para dokter beraksi, malah boleh dibilang ketimbang regu tembak, para dokter itulah yang sebenarnya menjadi algojo pamungkas. Bagaimana lagi, live organ is better!
Pada awal buku, Gutmann memaparkan hasil wawancaranya dengan orang-orang dari suku Uyghur di provinsi Xinjiang. Tahanan yang dieksekusi dan menjadi sumber organ di sini adalah mereka yang ditangkap adalah para "teroris" suku Uyghur yang didakwa terlibat kerusuhan. Tapi ternyata, boleh dibilang apa yang dimulai di Xinjiang pada awal tahun 1990-an masih terbatas sifatnya, dan mungkin baru eksperimen awal, karena bisnis transplantasi di Cina baru tumbuh secara besar-besaran pada akhir tahun 1990an, dan itu berkaitan erat dengan penindasan Falun Gong dan penangkapan para pengikutnya.
Boleh dibilang, sebagian besar buku ini bercerita tentang Falun Gong, dari asal-usulnya sampai bagaimana pemerintah menyatakannya sebagai organisasi terlarang yang harus diberantas, karena dapat mengganggu stabilitas negara. Kalau mau diparalelkan, perlakuan pemerintah Cina terhadap Falun Gong kurang lebih sama dengan perlakuan pemerintah Orde Baru terhadap orang-orang yang terlibat atau diduga terlibat PKI. Bedanya, ketimbang cuma dipenjara atau dimaksukkan kamp kerja paksa saja, ternyata ada keuntungan komersial yang bisa diperoleh dari para tahanan yang jumlahnya mencapai ratusan ribu orang ini.
Mulai tahun 1999, bisnis transplantasi organ berkembang pesat di Cina. Dibandingkan dengan di negara lain yang butuh waktu berbulan-bulan bahkan sampai tahunan untuk mendapatkan organ yang cocok, di Cina pasien tidak perlu menunggu lama, bahkan bisa tinggal datang saja dan cukup menunggu dua hari untuk bisa melakukan operasi. Mengapa demikian? Karena para tahanan yang memenuhi syarat (muda dan sehat) telah melalui pemeriksaan medis, dan datanya telah tersedia. Apabila seorang pasien mendadak perlu segera dioperasi (bisa pejabat partai atau keluarganya, warga negara biasa, atau warga negara asing), tinggal dicari tahanan mana yang data medisnya cocok, lalu proses pelaksanaan hukuman hukuman matinya langsung berjalan. Istilahnya, kill to order.
Terus terang saja, sebelum membaca buku ini aku mengira persediaan organ di Cina berasal dari orang-orang miskin yang memang rela menyumbangkan sebagian organ tubuhnya dengan imbalan uang, bukan mereka yang dipaksa menjadi donor dengan hukuman mati yang jadwalnya bisa diatur sesuai kebutuhan, sedangkan uang hasil penjualan organnya tidak diterima oleh keluarga yang ditinggalkan, melainkan diambil oleh pihak rumah sakit/militer yang terlibat.
Mau tak mau, aku jadi memikirkan berapa banyak orang Indonesia yang telah melakukan organ tourism ke negeri Cina? Dan apakah mereka tahu pasti dari mana sumber organ tubuh yang mereka terima? Dan seandainya mereka tahu, sikap apa yang akan diambil? Apakah lantas tutup mata saja, pura-pura tidak tahu dari mana datangnya, asalkan nyawa bisa diperpanjang masa berlakunya?
Dapatkah kita mengambil sikap tegas seperti Edward Elric, yang tidak mau menggunakan philosopher stone demi kepentingan pribadi, karena tahu bahwa dengan demikian secara tidak langsung ia mengambil keuntungan dari kematian orang lain?
Kesanku saat membaca buku ini jelas... miris dan ngeri.
Bagaimana tidak, baru di bab pertama saja sudah diceritakan bagaimana para dokter bedah selalu bersiap-siap di tempat eksekusi. Apabila eksekusinya dilakukan di tempat terbuka, mobil van medis tersedia sebagai tempat operasi. Target eksekusi tembak biasanya dada kanan atau dekat telinga, karena diusahakan agar organ tubuh yang penting seperti kornea, jantung, hati atau yang paling top, ginjal, tetap utuh. Saat tahanan jatuh pingsan, tim dokter segera membedah dan memanen organ tubuhnya. Mereka masih hidup saat para dokter beraksi, malah boleh dibilang ketimbang regu tembak, para dokter itulah yang sebenarnya menjadi algojo pamungkas. Bagaimana lagi, live organ is better!
Pada awal buku, Gutmann memaparkan hasil wawancaranya dengan orang-orang dari suku Uyghur di provinsi Xinjiang. Tahanan yang dieksekusi dan menjadi sumber organ di sini adalah mereka yang ditangkap adalah para "teroris" suku Uyghur yang didakwa terlibat kerusuhan. Tapi ternyata, boleh dibilang apa yang dimulai di Xinjiang pada awal tahun 1990-an masih terbatas sifatnya, dan mungkin baru eksperimen awal, karena bisnis transplantasi di Cina baru tumbuh secara besar-besaran pada akhir tahun 1990an, dan itu berkaitan erat dengan penindasan Falun Gong dan penangkapan para pengikutnya.
Boleh dibilang, sebagian besar buku ini bercerita tentang Falun Gong, dari asal-usulnya sampai bagaimana pemerintah menyatakannya sebagai organisasi terlarang yang harus diberantas, karena dapat mengganggu stabilitas negara. Kalau mau diparalelkan, perlakuan pemerintah Cina terhadap Falun Gong kurang lebih sama dengan perlakuan pemerintah Orde Baru terhadap orang-orang yang terlibat atau diduga terlibat PKI. Bedanya, ketimbang cuma dipenjara atau dimaksukkan kamp kerja paksa saja, ternyata ada keuntungan komersial yang bisa diperoleh dari para tahanan yang jumlahnya mencapai ratusan ribu orang ini.
Mulai tahun 1999, bisnis transplantasi organ berkembang pesat di Cina. Dibandingkan dengan di negara lain yang butuh waktu berbulan-bulan bahkan sampai tahunan untuk mendapatkan organ yang cocok, di Cina pasien tidak perlu menunggu lama, bahkan bisa tinggal datang saja dan cukup menunggu dua hari untuk bisa melakukan operasi. Mengapa demikian? Karena para tahanan yang memenuhi syarat (muda dan sehat) telah melalui pemeriksaan medis, dan datanya telah tersedia. Apabila seorang pasien mendadak perlu segera dioperasi (bisa pejabat partai atau keluarganya, warga negara biasa, atau warga negara asing), tinggal dicari tahanan mana yang data medisnya cocok, lalu proses pelaksanaan hukuman hukuman matinya langsung berjalan. Istilahnya, kill to order.
Terus terang saja, sebelum membaca buku ini aku mengira persediaan organ di Cina berasal dari orang-orang miskin yang memang rela menyumbangkan sebagian organ tubuhnya dengan imbalan uang, bukan mereka yang dipaksa menjadi donor dengan hukuman mati yang jadwalnya bisa diatur sesuai kebutuhan, sedangkan uang hasil penjualan organnya tidak diterima oleh keluarga yang ditinggalkan, melainkan diambil oleh pihak rumah sakit/militer yang terlibat.
Mau tak mau, aku jadi memikirkan berapa banyak orang Indonesia yang telah melakukan organ tourism ke negeri Cina? Dan apakah mereka tahu pasti dari mana sumber organ tubuh yang mereka terima? Dan seandainya mereka tahu, sikap apa yang akan diambil? Apakah lantas tutup mata saja, pura-pura tidak tahu dari mana datangnya, asalkan nyawa bisa diperpanjang masa berlakunya?
Dapatkah kita mengambil sikap tegas seperti Edward Elric, yang tidak mau menggunakan philosopher stone demi kepentingan pribadi, karena tahu bahwa dengan demikian secara tidak langsung ia mengambil keuntungan dari kematian orang lain?
ngeri banget mbaaa.. aku baru tau ada kisah nyata seperti ini di Cina... udah kayak film aja ya..
ReplyDeleteIya sama, mbak astrid, aku juga baru tahu setelah membaca buku ini.
Delete*bersyukur menjadi warga negara Indonesia*