My rating: 3 of 5 stars
Seharusnya aku membaca ulang dan mereview koleksi komik Tintin-ku dalam rangka posting bareng BBI bulan November ini. Tapi apa daya, buku-buku lain lebih menuntut untuk dibaca ulang atau dibaca duluan, tahu-tahu waktu luangku habis deh tanpa sempat menyentuh selembar pun komik Tintin. Nah, kebetulan minggu lalu aku tak sengaja memasukkan komik Mice ini ke dalam tas belanja. Dan kebetulan juga buku ini bisa habis dibaca dalam lima sampai sepuluh menit. Jadi didaulatlah komik tipis ini untuk kuulas sedikit.
Pada intinya komik ini masih satu seri dengan Football's Coming Home-nya Mice: nostalgia masa kanak-kanak. Bedanya kalau di komik sebelumnya Mice bercerita tentang permainan bola sepak, di sini Mice bernostalgia tentang semua games yang dimainkannya waktu kecil, dari hujan-hujanan sambil berbugil ria (kenapa juga nggak sekalian sabunan dan sampoan, ya?), main tembak-tembakan kayu (senapan dibuat sendiri), pletokan, sumpitan, bola gebok, gatrik, dan tentu saja permainan favorit masa itu... main gundu dengan segala macam variasinya. Tidak lupa Mice memberikan gambaran anak-anak masa itu, dari korengan gara-gara sering tikusruk sampai anak-anak yang meler sepanjang masa hingga dijuluki Apollo 11 (tidak perlu kusalin penjelasan Mice di sini, karena terasa menjijikkan, walaupun kayaknya dulu anak jorok seperti itu dianggap biasa saja).
Sudah begitu saja review-nya?
Iya, sudah begitu saja. Dan terus terang, kebanyakan permainan masa kecil Mice tidak pernah kumainkan. Jadi tentu saja, nostalgiaku tentang permainan masa kecil tidak akan nyambung dengan komiknya Mice (entah kalau di jilid 2 Game Over, ya).
Kalau diingat-ingat, permainan masa kecilku kebanyakan permainan untuk anak perempuan sih. Maklum, namanya juga anak ketiga dari tiga bersaudari dengan selisih umur yang lumayan dekat. Jadi, main bertiga saja sudah seru, apalagi kalau bergabung dengan anak-anak perempuan dari lingkungan sekitar.
Little Women in Sephia |
Jadi, apa saja permainannya?
Biasanya permainan outdoor yang kuikuti memerlukan cukup banyak peserta, seperti main karet misalnya.
Ketinggian se-merdeka |
Permainan lain yang butuh banyak orang adalah main ular naga:
Permainan ini biasanya sih dilakukan siang-siang. Tapi kalau aku liburan ke rumah nenek, pada waktu itu listrik belum masuk desa, permainan ini asyik juga dilakukan di bawah sinar bulan purnama (kalau terang bulan begini, anak-anak ogah tidur cepat). Biasanya diiringi lagu "ular naga panjangnya, bukan kepalang, dst" tapi waktu aku kecil seingatku lagu Sunda-nya "slep dur", yang sampai sekarang aku lupa lirik panjangnya, dan sudah pasti tidak tahu artinya. Apakah maksudnya "sepur" yang masuk terowongan? Entahlah.
Permainan outdoor lain yang biasa kuikuti adalah kucing-kucingan, petak umpet (kucing sumput in Sundanese), dan gobak sodor (go back through the door?) alias galah asin. Ini tentu saja bukan hanya permainan anak perempuan.
Sedangkan kalau permainan indoor, banyak macamnya, biasanya model main bola bekel, congklak, halma, monopoli, dll.
Bola bekel dan "kuwuk"-nya |
Tapi permainan favoritku adalah... main anjang-anjangan (oke, oke, sebut saja main boneka). Karena pada waktu itu aku boro-boro tahu ada makhluk bernama Barbie dan Ken, aku main pake KW-10 nya, alias boneka kertas.
Zaman dulu karakter paling umum adalah Candy-Candy sih |
Malah sebelum boneka kertas ada aku pakai versi yang lebih sederhana, bikin sendiri dengan bahan jarit alias kain perca dengan rangka lidi. Jangan bayangkan boneka kain dengan wajah dan rambut yang imut. Biasanya kubuat gundul saja seperti boneka penangkal hujan, bahkan tanpa muka seperti hantu muka rata. Dan kalau boneka kertas umumnya dilengkapi dengan koleksi baju gantinya, untuk boneka perca bajunya harus kubuat sendiri (untungnya, sebagai anak penjahit profesional, limbah kain dengan bahan beraneka jenis dan warna cukup melimpah).
Justru dalam permainan boneka dengan fasilitas terbatas begini, perlu banyak kreativitas dan imajinasi (iyalah, boneka kain dengan kepala bulat gundul bisa dibayangkan sebagai cewek cakep atau cowok ganteng!). Tidak punya rumah boneka? Buat sendiri! Satu rumah bisa makan satu meter persegi, dan biasanya melibatkan segala macam jenis barang, dari stationery sampai dengan kotak kaset, yang fungsinya bisa berubah-ubah tergantung imajinasi dan kondisi. Kotak kaset bisa jadi tempat tidur, meja rias, bahkan mobil! Selain mengurus prop, tentu saja yang paling penting adalah menjadi penulis skenario, sutradara, penggerak serta pengisi suara boneka (pastinya). Biasanya sih yang penting ada plot utama, ceritanya bisa mengalir begitu saja dengan ending bagaimana nanti.
Dan kalau cerita belum habis saat sudah bosan main, biasanya cerita digantung begitu saja, to be continued, bisa dilanjutkan besok harinya. Dan supaya tidak repot, properti sandiwaranya juga dibiarkan begitu saja. Baru kalau ada inspeksi dari orang tua (iya... orang tuaku tidak pernah mengecek anak-anaknya mau belajar atau tidak, tapi minimal seminggu sekali mengecek kerapian kamar), baru deh dengan amat terpaksa semua properti dibereskan... padahal ceritanya belum tamat...
Entah kapan main anjang-anjangan terhenti dan terlupakan. Mungkin ketika para pemainnya lebih suka menumpahkan jalan cerita dalam imajinasinya ke dalam bentuk tulisan... :P
View all my reviews