Shadows of the Pomegranate Tree by Tariq Ali
My rating: 3 of 5 stars
Adegan awalnya membuatku meradang.
Ratusan ribu buku, manuskrip, dan mushaf dari perpustakaan dikumpulkan di pusat kota untuk dijadikan api unggun. Ximenes de Cisneros, Uskup Agung Gharnata, selalu percaya bahwa musuhnya hanya bisa disingkirkan kekuatannya jika kebudayaan mereka dienyahkan seluruhnya. Dengan cara menghancurkan seluruh buku mereka secara sistematis. Seiring bunyi percikan lidah api, bukti-bukti peradaban Islam di Andalusia pun dilenyapkan.
Adegan akhirnya membuatku merinding.
Baik di Andalusia maupun di Yerusalem, Islam selalu membanggakan diri karena memperlakukan orang-orang yang ditaklukkan dengan manusiawi. Tapi bila tiba giliran untuk ditaklukkan, bukan hanya kaum laki-laki, tapi wanita dan anak-anak pun tak luput dari kejinya pembantaian.
Salahkah bila bocah Yazid dari Banu Hudayl berharap, "seandainya berabad-abad yang lalu kami memperlakukan kalian sebagaimana kalian memperlakukan kami"?
Dua ribu penduduk Islam habis dibantai pasukan Spanyol pimpinan seorang kapten berambut merah yang masih berumur 16 tahun pada perang al-Hudayl. Tapi itu belum seberapa, karena kelak demi emas dan kekuasaan, ia sanggup menghabisi jutaan orang sekaligus peradaban mereka di Meksiko. Namanya Hernan Cortez.
View all my reviews
aku ikut meradang dan merinding baca reveiewnya.
ReplyDelete