Judul : Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang
Penulis : Fumio Sasaki
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 280 halaman
Dibaca di : Gramedia Digital
Tanggal baca : 30 Desember 2018
Sinopsis :
Fumio Sasaki bukan ahli dalam hal minimalisme; ia hanya pria biasa yang mudah tertekan di tempat kerja, tidak percaya diri, dan terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain—sampai suatu hari, ia memutuskan untuk mengubah hidupnya dengan mengurangi barang yang ia miliki. Manfaat luar biasa langsung ia rasakan: tanpa semua “barangnya”, Sasaki akhirnya merasakan kebebasan sejati, kedamaian pikiran, dan penghargaan terhadap momen saat ini.
Di buku ini, Sasaki secara sederhana berbagi pengalaman hidup minimalisnya, menawarkan tips khusus untuk proses hidup minimalis, dan mengungkapkan fakta bahwa menjadi minimalis tidak hanya akan mengubah kamar atau rumah Anda, tapi juga benar-benar memperkaya hidup Anda. Manfaat hidup minimalis bisa dinikmati oleh siapa pun, dan definisi Sasaki tentang kebahagiaan sejati akan membuka mata Anda terhadap apa yang bisa dihadirkan oleh hidup minimalis.
Curcol suka-suka:
Aku membaca buku ini via aplikasi Gramedia Digital di handphone. Yang artinya: aku sudah selangkah lebih maju menuju hidup minimalis!
Just kidding, bro. Aku membaca buku digital bukan berarti aku berhenti membeli buku cetak. Itu hanya salah satu cara untuk menentukan apakah aku membeli versi cetaknya atau tidak, tak perlu lagi aku berjudi membeli buku cetak dengan alasan "sepertinya menarik".
Lalu, karena ternyata aku suka buku ini, apakah aku akan membeli edisi cetaknya? Oh, dilema...
Pertama, perlu ditegaskan bahwa meskipun aku menyukai buku ini, belum tentu aku bisa menjalankan apa yang disarankan penulisnya yang tergolong ekstrimis dalam aliran minimalis ini. Aku selalu kagum pada mereka yang bisa melakukan apa yang tak bisa kulakukan dengan mudah, misalnya: membuang barang tanpa pikir-pikir konsekuensinya. Yang ada malahan aku lebih sering membeli barang tanpa pikir-pikir konsekuensinya.
Begini, bukannya aku tidak pernah berusaha membuang barang. Aku bukan orang sentimental yang suka menyimpan barang-barang kenangan. Buat apa? Menuh-menuhin tempat saja. Setelah membaca buku Marie Kondo tentang seni beres-beres, aku juga sudah berupaya membuang sebagian koleksi baju, tas, sepatu, bahkan buku!
Etapi ndilalah, aksi buang barang dilakukan, aksi beli barang tetap jalan terus dong... Hiks! Ini yang susah, apalagi di jaman belanja online semakin gampang begini. Sambil tiduran dan ngemil di atas ranjang, bisa asyik browsing di aplikasi marketplace ini itu, eng-ing-eng..., punya baju, tas, dan buku baru deh. Ih, ini pasti yang salah jarinya!
Jadi, membaca buku ini, pertama melihat foto sebelum dan sesudah dari kamar, apartemen atau rumah para minimalis teladan, lantas melihat sekeliling kamar kos... Hm, jadi gatal ingin membereskan kamar kos yang entah kenapa kok kelihatan selalu penuh dengan barang yag belum tentu penting dan... omong-omong, kapan ya kubeli dan kapan terakhir kali kupakai? Jawabannya: boro-boro ingat.
Tapi... tapi... Fumio Sasaki ini terlalu ekstrim deh!
Mana tega aku membuang buku begitu saja? Yang ada paling aku memaketkan timbunan buku di Jakarta ke Cirebon. Paling tidak buku yang sudah kubaca, buku yang belum kubaca tapi aku punya e-booknya, atau buku yang belum kubaca tapi aku bisa baca versi digitalnya di aplikasi. Baru kalau aku punya waktu, kapan-kapan menyiangi buku yang memenuhi perpustakaan pribadi di Cirebon.
Mana bisa aku membuang baju begitu saja? Oke, ada beberapa potong yang memang baru kupakai sekali dua dan sepertinya tak bakalan kupakai lagi karena alasan tertentu, jadi lebih baik dihibahkan. Tapi sisanya? Masih kupakai semua kok! Memang tidak setiap hari, tapi kan variasi baju itu perlu supaya tidak bosan (dan tidak dinyinyiri pakai baju yang itu-itu saja, kayak nggak punya baju lain saja!).
Mana mungkin aku mengurangi gadget! HP yang ini khusus keperluan kantor, HP yang ini khusus untuk entertainment seperti menonton youtube dan mendengarkan musik, HP yang ini khusus untuk membaca buku digital. Kalau cuma pakai satu HP, baterenya bakal cepat habis, harus sering di-charge, dan lebih cepat rusak. Mending punya lebih dari satu dan dipisahkan berdasarkan fungsinya!
Hahaha... tidak ada habisnya memang alasan untuk mempertahankan keberadaan barang dan mencari alasan untuk itu. Hidup kita diatur oleh barang-barang kita? Memang! Persis seperti bit-nya alm. George Carlin tentang A Place For Your Stuff, yang pernah kukutip panjang lebar di review buku beliau di blog ini. Semua barang kita itu penting! Jadi perlu disediakan tempatnya. Itulah gunanya rumah: tempat untuk menaruh barang kita! Kalau kita tidak punya barang, kita tak perlu rumah dan bisa bebas berpergian ke mana saja tanpa khawatir kehilangan barang milik kita...
Hadeh. Seperti biasa kalau review buku model begini versi curcol pasti tidak akan ada habisnya, karena terlalu banyak alasan untuk menolak semua kiat yang ditawarkan penulis ekstrimis ini. Tapi pada prinsipnya, inti buku ini adalah di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Karena kiat pertama adalah: buang jauh-jauh pikiran bahwa kita tidak mampu membuang barang. Kalau ada kemauan untuk membuang barang kita, apapun bentuk dan rupanya, pasti kita bisa deh.
Kalau ada kemauan tapinya...
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete