Waktu sedang iseng berselancar di TUEBL, tak sengaja aku kepentok buku ini:
Membaca judulnya saja, jelas ini buku humor yang merangkum jawaban ngaco dalam ulangan atau ujian, yang ditulis para siswa gara-gara nge-blank total saat membaca soal. Hm, prinsip yang mereka anut pasti lebih baik mengisi jawaban daripada kosong sama sekali, siapa tahu ada upah nulis. Tapi sial, kayaknya tetap dikasih nilai F untuk usahanya
Di sini aku hanya mau mengutip beberapa jawaban ngaco yang membuatku senyum-senyum sendiri, bahkan sampai terkekeh-kekeh saat membacanya.
What type of attractive force or bond holds the sodium ions and chloride ions together in a crystal of sodium chloride?
James Bond.
Over the last 50 years there has been a significant change in the concentration of carbon dioxide. Give a reason for this.
It's easily distracted.
Write the first and second Law of Thermodynamics.
First rule of thermodynamics is you do not talk about thermodynamics.
Second rule of thermodynamics is you do not talk about thermodynamics.
Describe the term "stakeholder"
A vampire hunter.
Buffy being the most famous.
Name six animals that live specifically in the Arctic
Two polar bears.
Four seals.
Where was the Declaration of Independence signed?
At the bottom.
Why was the Berlin Wall built?
Germany was competing with China.
What is having only one spouse called?
Monotony.
Aku jadi berpikir kenapa dulu aku lurus-lurus saja, selalu mengosongkan lembar jawaban kalau tidak tahu jawabannya. Padahal, kalau murid-murid menjawab dengan kreatif, kan bisa dijadikan bahan oleh guru untuk menyusun buku model begini.
Sunday, November 30, 2014
Friday, November 28, 2014
The 500 Hats of Bartholomew Cubbins
The 500 Hats of Bartholomew Cubbins by Dr. Seuss
My rating: 4 of 5 stars
In the beginning, Bartholomew Cubbins didn't have five hundred hats. He had only one hat. It was an old one that had belonged to his father and his father's father before him. It was probably the oldest and the plainest hat in the whole Kingdom of Didd, where Bartholomew Cubbins lived. But Bartholomew liked it--especially because of the feather that always pointed straight up in the air.
Demikian paragraf pembukaan cerita bergambar ini. Ingat lho ya, awalnya topinya cuma ada 1. Lalu bagaimana ceritanya bisa jadi 500 topi?
Bartholomew Cubbins hidup di Kerajaan Didd yang dipimpin oleh Raja Derwin. Nah, dari pertemuan antara Bartholomew dan Derwin inilah timbul plot cerita yang nyleneh.
Pada suatu hari, kereta Raja Derwin lewat di jalan raya. Seperti biasa, rakyat diperintahkan membuka topi untuk menghormati sang raja. Mendadak kereta agung berhenti di tengah jalan hanya gara-gara... Bartholomew masih mengenakan topi. Padahal ia yakin banget sudah buka topi, wong ia memegangi topi dengan kedua tangannya. Kenapa masih ada topi menclok di kepalanya?
Raja jelas ngamuk waktu Bartholomew tidak juga menurut untuk buka topi saja. Padahal, begitu Bartholomew mengambil kembali topi yang ada di kepalanya, dan ia sudah pegang 2 buah topi, tetap saja ada topi yang bertengger di kepalanya.
Bartholomew pun dituduh tukang sulap kurang ajar, dan melakukan penghinaan besar buat raja! Buntutnya ia diciduk ke istana untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tapi, diseret ke balairung dan dipaksa buka topi berkali-kali pun (sampai dicatat oleh Sir Aldric si Juru Hitung kerajaan segala), Bartholomew tetap mengenakan topi!
Raja memanggil para sesepuh istana yang dianggap serba tahu (tapi tidak punya solusi), menyuruh para pemanah jagoan memanah lepas topi Bartholomew berkali-kali (tapi tiada guna), sampai akhirnya memanggil para penyihir istana untuk melenyapkan kutukan topi ajaib itu.
Berhasilkah sang Raja? Atau ia tetap penasaran sampai akhir?
Dibandingkan dengan buku-buku Dr. Seuss lainnya yang cenderung pendek dan penuh dengan kalimat berima, penuturan buku yang satu ini layaknya buku cerita anak-anak biasa, meskipun tetap saja jalan ceritanya tidak biasa dan tetap asyik untuk diikuti karena memang bikin penasaran dan geregetan.
Anyway, sampai akhir cerita (solusinya baru ketemu setelah topi Bartholomew mencapai 500 biji), aku tidak tahu kenapa Bartholomew tidak bisa membuka topinya. Dan Dr. Seuss juga cuma bilang "But neither Bartholomew Cubbins, nor King Derwin himself, nor anyone else in the Kingdom of Didd could ever explain how the strange thing had happened."
Moral cerita yang bisa kita ambil adalah: It just "happened to happen" and was not very likely to happen again.
Atau pendeknya: udah, nggak usah dipikirin. Gitu aja kok repot.
Sebagai pembaca, kita nikmati saja jalan cerita yang nyeleneh bin absurd. Toh, di dunia ini memang terdapat banyak hal yang susah dijelaskan. Hanya orang-orang seperti Fox Mulder saja yang terus penasaran dan berusaha untuk mengungkap rahasia yang kadang tak ada jawabnya.
Oh ya, review singkat buku ini kubuat dalam rangka berpartisipasi dalam event:
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
In the beginning, Bartholomew Cubbins didn't have five hundred hats. He had only one hat. It was an old one that had belonged to his father and his father's father before him. It was probably the oldest and the plainest hat in the whole Kingdom of Didd, where Bartholomew Cubbins lived. But Bartholomew liked it--especially because of the feather that always pointed straight up in the air.
Demikian paragraf pembukaan cerita bergambar ini. Ingat lho ya, awalnya topinya cuma ada 1. Lalu bagaimana ceritanya bisa jadi 500 topi?
Bartholomew Cubbins hidup di Kerajaan Didd yang dipimpin oleh Raja Derwin. Nah, dari pertemuan antara Bartholomew dan Derwin inilah timbul plot cerita yang nyleneh.
Pada suatu hari, kereta Raja Derwin lewat di jalan raya. Seperti biasa, rakyat diperintahkan membuka topi untuk menghormati sang raja. Mendadak kereta agung berhenti di tengah jalan hanya gara-gara... Bartholomew masih mengenakan topi. Padahal ia yakin banget sudah buka topi, wong ia memegangi topi dengan kedua tangannya. Kenapa masih ada topi menclok di kepalanya?
Raja jelas ngamuk waktu Bartholomew tidak juga menurut untuk buka topi saja. Padahal, begitu Bartholomew mengambil kembali topi yang ada di kepalanya, dan ia sudah pegang 2 buah topi, tetap saja ada topi yang bertengger di kepalanya.
Bartholomew pun dituduh tukang sulap kurang ajar, dan melakukan penghinaan besar buat raja! Buntutnya ia diciduk ke istana untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tapi, diseret ke balairung dan dipaksa buka topi berkali-kali pun (sampai dicatat oleh Sir Aldric si Juru Hitung kerajaan segala), Bartholomew tetap mengenakan topi!
Raja memanggil para sesepuh istana yang dianggap serba tahu (tapi tidak punya solusi), menyuruh para pemanah jagoan memanah lepas topi Bartholomew berkali-kali (tapi tiada guna), sampai akhirnya memanggil para penyihir istana untuk melenyapkan kutukan topi ajaib itu.
Berhasilkah sang Raja? Atau ia tetap penasaran sampai akhir?
Dibandingkan dengan buku-buku Dr. Seuss lainnya yang cenderung pendek dan penuh dengan kalimat berima, penuturan buku yang satu ini layaknya buku cerita anak-anak biasa, meskipun tetap saja jalan ceritanya tidak biasa dan tetap asyik untuk diikuti karena memang bikin penasaran dan geregetan.
Anyway, sampai akhir cerita (solusinya baru ketemu setelah topi Bartholomew mencapai 500 biji), aku tidak tahu kenapa Bartholomew tidak bisa membuka topinya. Dan Dr. Seuss juga cuma bilang "But neither Bartholomew Cubbins, nor King Derwin himself, nor anyone else in the Kingdom of Didd could ever explain how the strange thing had happened."
Moral cerita yang bisa kita ambil adalah: It just "happened to happen" and was not very likely to happen again.
Atau pendeknya: udah, nggak usah dipikirin. Gitu aja kok repot.
Sebagai pembaca, kita nikmati saja jalan cerita yang nyeleneh bin absurd. Toh, di dunia ini memang terdapat banyak hal yang susah dijelaskan. Hanya orang-orang seperti Fox Mulder saja yang terus penasaran dan berusaha untuk mengungkap rahasia yang kadang tak ada jawabnya.
Oh ya, review singkat buku ini kubuat dalam rangka berpartisipasi dalam event:
Tema Angka dalam Judul Buku |
Thursday, November 27, 2014
The Story of Mankind
Dalam rangka berpartisipasi dalam event BBI pada bulan November ini yaitu:
Tema Newbery Book List |
aku mengintip daftar buku Newbery di Wikipedia. Ternyata aku sudah punya beberapa, sudah kubaca tapi belum pernah kureview, tapi bukunya sudah tidak ada di Jakarta. Ya sudahlah, setelah dipikir-pikir lebih baik kalau aku membaca buku Newbery yang belum pernah kubaca. Selanjutnya, seperti biasa kalau kepepet dalam mencari kandidat, aku terpaksa menggunakan the last resort: mengunduh mencari bukunya di dunia maya. Setelah membaca Flora and Ulysses: The Illuminated Adventure-nya Kate DiCamillo dan Doll Bones-nya Holly Black, akhirnya aku malah memilih buku ini :
1922 Newbery Medal Winner |
Mengapa aku memilih buku ini untuk kukomentari?
1. Buku ini adalah buku anak-anak pertama yang memenangkan John Newbery Medal;
2. Buku ini ternyata buku nonfiksi/sejarah untuk anak-anak;
3. Kemungkinan sebagian besar teman-teman BBI memilih untuk mereview buku-buku Newbery kontemporer. Sekedar untuk menambah variasi XD; dan tentu saja
4. Buku ini membuatku gatal kepingin mengomentari.
Apa yang menarik dari buku ini?
Buku ini adalah buku sejarah. Period. Tapi gaya penulisan, penuturan, dan bahasa yang digunakan lebih sederhana dan awam, sehingga diharapkan target pembaca buku ini, anak-anak tentu saja, lebih tertarik membacanya.
Penulis buku ini, Hendrik Willem van Loon, adalah sejarawan dan jurnalis Amerika (berdarah Belanda, dan lahir serta dibesarkan di Belanda). Namun selain menulis, ia juga membuat ratusan ilustrasi pendukung seperti ini:
Aku bisa membayangkan Meneer Van Loon sebagai guru sejarah yang berdiri di depan kelas, menjelaskan sejarah peradaban manusia sambil menggambar di papan tulis. Gambarnya tidak mesti bagus-bagus amat, yang penting murid-murid bisa tertarik, dan tidak ketiduran di tengah pelajaran atau kabur keluar kelas.
Buku ini berusaha menyampaikan sejarah secara kronologis (meskipun kadang-kadang melompat ke belakang dan ke depan), dimulai sejak bumi masih berupa bola yang amat panas, yang kemudian dihuni makhluk-makhluk pertama di lautan, di daratan, hingga akhirnya muncul manusia. Jelas karena terbit setelah era Darwin, teori asal-usul manusia yang disampaikan Van Loon adalah teori evolusi, bukan sebagai makhluk surga yang terbuang ke bumi.
Setelah menggambarkan perkembangan manusia zaman prasejarah, Van Loon menuturkan perkembangan sejarah di Mesir, Mesopotamia, Sumeria, Yunani, Romawi, dan terus berlanjut sampai sejarah Eropa di masa zaman pertengahan sampai zaman revolusi industri. Tidak lupa ia mencantumkan juga sejarah beberapa nabi (dan agama) seperti Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad, Buddha, termasuk Confusius dan Lao-tse.
Apa yang tidak kusukai dari buku ini
1. Judul buku
Ketimbang disebut The Story of Mankind, mungkin lebih baik bila disebut sebagai The History of Western Civilization. Atau mungkin kalau mau lebih tepatnya lagi The Story of Mankind as I Know It.
Mengapa? Karena Van Loon hanya menceritakan peradaban manusia dari satu segi, perspektif barat, Eropa dan sekitarnya, tanpa sedikit pun mencantumkan peradaban-peradaban besar lainnya yang sebenarnya hadir pada kurun waktu yang sama: peradaban di Cina, India, Amerika, atau peradaban Islam.
Aku tidak tahu alasan Van Loon tidak mencantumkan peradaban lainnya. Kalau mau berpikir positif, anggaplah sejarah yang ditekuninya memang berfokus pada riwayat peradaban barat, sehingga ia tidak tahu atau hanya tahu sedikit tentang peradaban lainnya. Kalau mau berpikir negatif, mungkin saja Van Loon sebenarnya mengetahui peradaban dunia lainnya, tapi cenderung tidak mengindahkannya dalam penulisan buku ini. Apalagi literatur sejarah barat saja sudah segambreng banyaknya, kalau harus ditambah peradaban lainnya, bisa-bisa bukunya jadi setebal bantal dan tidak menarik bagi anak-anak.
2. Opini pribadi Van Loon
Memang sih, namanya sejarah, bukan ilmu pasti. Siapapun pasti punya interpretasi dan opini sendiri tentang apa yang dipelajarinya. Sama halnya dengan aku yang punya opini sendiri tentang buku ini, yang mungkin berbeda dengan opini pembaca lain :)
Masih sejalan dengan "tidak mencantumkan peradaban lainnya", menurut pendapatku Van Loon cenderung bias dalam teorinya, dan sangat mengagungkan peradaban barat yang modern di atas bangsa-bangsa lain yang (pada zaman buku ini ditulis dan diterbitkan) dianggap lebih terbelakang dan sebagian besar masih berada di bawah jajahan negara-negara Eropa.
Saat menulis tentang sejarah Nabi Muhammad dan agama Islam, ia memang menyebutkan tentang keberhasilan agama Islam (yang menurut pendapatnya karena 2 hal utama: ajarannya yang sangat sederhana, dan tidak serumit agama lain, serta ajaran tentang pahala bagi yang mati syahid sehingga menjadi keuntungan besar bagi pasukan Islam dalam perang melawan pasukan Kristen dalam Perang Salib). Tapi di sisi lain, ia menuliskan bahwa dengan ajaran yang berserah diri pada Allah Yang Maha Kuasa, "such an attitude towards life did not encourage the Faithful to go forth and invent electrical machinery or bother about railroads and steamship lines".
Catatan tambahan itu membuatku merasa Van Loon mungkin hanya mengetahui dunia Islam di masa 1900-an. Mungkin ia tidak tahu bahwa pada masa Eropa berada di Zaman Kegelapan, dunia sains Islam berkembang begitu pesat, membawa obor pengetahuan dari masa Yunani dan Romawi yang terlupakan. Tanpa perkembangan sains pada peradaban Islam, takkan ada renaissance pada peradaban Eropa yang begitu dibanggakannya.
Kesimpulan
Pada bagian belakang, Van Loon menyampaikan bahwa buku ini hanya appetizer, yang bertujuan agar anak-anak tertarik untuk mempelajari sejarah, hal-hal yang tidak semuanya dibahas dalam buku ini. Mungkin apabila anak-anak tertarik untuk belajar sejarah lebih jauh, wawasannya dapat lebih luas dan tidak terjebak hanya dari satu sudut pandang sejarah peradaban manusia. Tapi yang terpikirkan olehku, bagaimana apabila sang anak tidak tertarik untuk belajar lebih lanjut dan hanya terpaku pada buku ini sebagai referensinya? Apakah ia akan tumbuh dengan wawasan yang terbatas?
Untuk bacaan sejarah bagi anak-anak yang tersedia zaman sekarang, aku lebih merekomendasikan Kartun Riwayat Peradaban-nya Larry Gonick. Selain disajikan dengan full gambar kartun yang menarik, full humor yang bisa membuat sejarah peradaban manusia yang penuh kekerasan dan berdarah-darah bisa ditelan anak-anak, serial kartun ini juga menceritakan hampir semua peradaban yang diketahui manusia, dan menurut pendapatku pribadi, obyektif dan bercerita apa adanya tanpa menempatkan satu bangsa atau peradaban lebih tinggi di atas bangsa atau peradaban yang lain.
Aku masih belum membeli ulang koleksi favorit yang turut raib ini. Ada yang bisa membantu? |
Selain Kartun Riwayat Peradaban, aku juga merekomendasikan serial Horrible Histories-nya Terry Deary, yang meskipun bukan dalam bentuk kartun, juga disajikan secara jenaka dengan gambar-gambar yang kocak dan, menurutku pribadi, juga obyektif dan bercerita apa adanya.
Aku baru punya sebagian dari serial ini, tapi memang belinya senemunya saja sih |
Saturday, November 8, 2014
Seandainya Saya Wartawan TEMPO
Seandainya Saya Wartawan TEMPO by Goenawan Mohamad
My rating: 4 of 5 stars
Di Goodreads, buku ini tidak bisa ku-combine dengan buku edisi sebelumnya.
Tanya kenapa?
Pada buku edisi sebelumnya, Goenawan Mohamad hanya tercatat sebagai penulis kata pengantar saja. Tapi di halaman copyright buku jilid ini, jelas tercantum nama beliau sebagai penulisnya, meskipun kalau melihat sampul depan dan sampul belakang, sama sekali tidak ada tanda-tanda dan penampakannya. Waktu aku membeli buku ini di stand Tempo Publishing di IIBF 2014, mbak penjaga standnya sampai membuka segel plastik salah satu buku hanya supaya aku bisa mengintip dulu halaman copyright-nya karena ingin tahu siapa (atau siapa saja) penulisnya sebelum memutuskan untuk membeli (itu pun yang kubeli akhirnya malah buku yang masih tersegel, bukan buku yang sudah dibuka segelnya oleh si mbak!). Yah, meskipun yang menulis bukan GM pun kemungkinan besar aku tetap membeli buku ini sih...
Singkatnya, setelah membaca buku tipis yang tidak sampai 100 halaman ini (kecuali kalau halaman pengantar dihitung), pembaca akan mengetahui garis-garis besar penyusunan feature, yang jelas sangat berbeda dengan penulisan straight news.
Sebagai majalah mingguan, feature merupakan salah satu kekuatan utama majalah TEMPO, dan sifatnya memang long lasting, sehingga apabila kita membaca edisi lama TEMPO, bahkan terbitan belasan atau puluhan tahun yang lalu, artikel yang berupa feature masih tetap terasa enak dibaca dan perlu.
GM membaca buku untuk belajar penulisan feature karya Daniel R. Williamson, dan kemudian mengadaptasinya bersama alm. Slamet Djabarudi dengan bumbu-bumbu spesial, dan mencetaknya untuk bahan pendidikan di dalam TEMPO. Tapi sekarang, buku ini resmi dipublikasikan untuk para peminat jurnalisme pada umumnya. TEMPO mencoba menulis jujur, jelas, jernih, dan jenaka. Dengan buku ini, diharapkan yang dapat ditularkan bukan sekedar keterampilan menulis, melainkan juga jiwa yang bebas.
Secara prinsip, batasan klasik penulisan feature adalah artikel yang kreatif, subyektif, informatif, menghibur, awet, dengan panjang tulisan tidak terbatas (sepanjang masih menarik). Menulis feature bak menulis cerita pendek, karena pada hakikatnya penulis feature adalah seorang yang berkisah, seorang yang bertutur. Namun selain imajinasi (yang penting dalam cerpen guna menjalin kata dan kalimat jadi menarik), yang paling penting adalah akurasi, pengumpulan informasi yang tepat, pengejaan dan pemakaian kata (penulis itu harus profesional, bung!).
Tapi, yang asyik dalam buku ini adalah teknik-teknik penulisan feature, dengan contoh-contoh kasus, yang terus terang mampu merangsang minat pembaca untuk menulis feature!
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
Di Goodreads, buku ini tidak bisa ku-combine dengan buku edisi sebelumnya.
Tanya kenapa?
Pada buku edisi sebelumnya, Goenawan Mohamad hanya tercatat sebagai penulis kata pengantar saja. Tapi di halaman copyright buku jilid ini, jelas tercantum nama beliau sebagai penulisnya, meskipun kalau melihat sampul depan dan sampul belakang, sama sekali tidak ada tanda-tanda dan penampakannya. Waktu aku membeli buku ini di stand Tempo Publishing di IIBF 2014, mbak penjaga standnya sampai membuka segel plastik salah satu buku hanya supaya aku bisa mengintip dulu halaman copyright-nya karena ingin tahu siapa (atau siapa saja) penulisnya sebelum memutuskan untuk membeli (itu pun yang kubeli akhirnya malah buku yang masih tersegel, bukan buku yang sudah dibuka segelnya oleh si mbak!). Yah, meskipun yang menulis bukan GM pun kemungkinan besar aku tetap membeli buku ini sih...
Singkatnya, setelah membaca buku tipis yang tidak sampai 100 halaman ini (kecuali kalau halaman pengantar dihitung), pembaca akan mengetahui garis-garis besar penyusunan feature, yang jelas sangat berbeda dengan penulisan straight news.
Sebagai majalah mingguan, feature merupakan salah satu kekuatan utama majalah TEMPO, dan sifatnya memang long lasting, sehingga apabila kita membaca edisi lama TEMPO, bahkan terbitan belasan atau puluhan tahun yang lalu, artikel yang berupa feature masih tetap terasa enak dibaca dan perlu.
GM membaca buku untuk belajar penulisan feature karya Daniel R. Williamson, dan kemudian mengadaptasinya bersama alm. Slamet Djabarudi dengan bumbu-bumbu spesial, dan mencetaknya untuk bahan pendidikan di dalam TEMPO. Tapi sekarang, buku ini resmi dipublikasikan untuk para peminat jurnalisme pada umumnya. TEMPO mencoba menulis jujur, jelas, jernih, dan jenaka. Dengan buku ini, diharapkan yang dapat ditularkan bukan sekedar keterampilan menulis, melainkan juga jiwa yang bebas.
Secara prinsip, batasan klasik penulisan feature adalah artikel yang kreatif, subyektif, informatif, menghibur, awet, dengan panjang tulisan tidak terbatas (sepanjang masih menarik). Menulis feature bak menulis cerita pendek, karena pada hakikatnya penulis feature adalah seorang yang berkisah, seorang yang bertutur. Namun selain imajinasi (yang penting dalam cerpen guna menjalin kata dan kalimat jadi menarik), yang paling penting adalah akurasi, pengumpulan informasi yang tepat, pengejaan dan pemakaian kata (penulis itu harus profesional, bung!).
Tapi, yang asyik dalam buku ini adalah teknik-teknik penulisan feature, dengan contoh-contoh kasus, yang terus terang mampu merangsang minat pembaca untuk menulis feature!
View all my reviews
Saturday, November 1, 2014
The Eagle Has Landed
The Eagle Has Landed by Jack Higgins
My rating: 4 of 5 stars
Minggu lalu, aku menonton film David Ayer terbaru yang berjudul Fury. Sudah lama aku tidak menonton film dengan tema Perang Dunia II, apalagi yang sudut pandangnya murni dari satu pihak saja. Setelah selesai menonton kisah tentang para prajurit AS, yang menunjukkan bahwa sebaik dan sesaleh apapun mereka, dapat berubah menjadi monster di medan perang dan membantai para prajurit Jerman tanpa pandang bulu (mau Gestapo, SS, Wehrmacht, atau anak-anak yang tergabung dalam Hitlerjugend, pokoknya kill or be killed!), aku malah ingin menonton film atau membaca buku tentang Perang Dunia II dari sudut pandang prajurit Jerman.
Karena itulah aku membaca ulang buku karya Jack Higgins ini, yang juga salah satu novel PD II favoritku (selain The Guns of Navarone). Dan setelah menyadari tahun pertama terbitnya, ya sudahlah, sekalian saja kutambahkan sebagai bagian dari event BBI bulan ini:
Mengapa buku ini menjadi salah satu buku perang favoritku?
1. Tokoh protagonisnya tentara Jerman
Aku sudah terlalu banyak membaca novel atau menonton film Perang Dunia II yang tokoh protagonisnya orang AS atau Inggris. Dan kebanyakan para tentara Jerman dalam novel atau film itu digambarkan secara satu dimensi. Nazi. Pokoknya jahat. Sekian.
Padahal kenyataan dalam setiap perang, di masing-masing pihak yang terlibat selalu ada good people dan bad people. Kita tidak bisa menyamaratakan setiap orang, bahkan satu negara, hanya dengan memandang siapa pemimpin negaranya.
Fokus utama novel ini adalah tim pasukan khusus Jerman, yaitu Letkol Kurt Steiner dan pasukan para di bawah pimpinannya. Letkol Steiner dan anak buahnya adalah war decorated heroes yang telah terjun dalam berbagai medan perang termasuk di Eastern Front yang ganas. Namun karena mereka ikut campur menolong seorang gadis Yahudi kabur dari para prajurit SS yang sedang mengumpulkan kaum Yahudi untuk dikirim ke kamp konsentrasi, mereka dijatuhi hukuman militer: misi menyerang kapal Sekutu di Selat Inggris dengan menunggangi torpedo a'la kamikaze. Hukuman mati terselubung sebenarnya. Mereka dibebaskan dari hukuman untuk menjalankan misi lain: menculik PM Winston Churchill dari rumah peristirahatannya di Norfolk, Inggris.
2. Berdasarkan kisah nyata
Penulisan novel ini berawal dari Jack Higgins yang ketika sedang melakukan riset di Norfolk, Inggris, untuk artikel majalah, malah tak sengaja menemukan makam seorang Letnan Kolonel Kurt Steiner dan 13 orang pasukan para Jerman yang gugur dalam tugas pada tanggal 6 November 1943. Menurut Jack Higgins, setidaknya lima puluh persen dari novel ini adalah fakta sejarah yang terdokumentasi. Kita sebagai pembaca dipersilakan menduga-duga, bagian mana yang hanya spekulasi dan fiksi.
3. Story
Dimulai setelah Otto Skorzeny berhasil melakukan misi yang semula dianggap mustahil, yaitu membebaskan mantan diktator Italia, Benito Mussolini, dari penahanan di Gran Sasso. Terinspirasi oleh keberhasilan tersebut, Hitler yang didukung Himmler (komandan militer SS), memerintahkan Canaris (kepala intelijen militer) mengkaji kemungkinan untuk menangkap Winston Churchill (hidup atau mati), untuk menimbulkan demotivasi di pihak Sekutu, atau sebagai senjata negosiasi.
Canaris sebenarnya menganggap perintah itu tidak masuk akal dan berharap Hitler bakal segera lupa, tapi karena tahu Himmler bakal tetap ingat, setidaknya ia menugaskan anak buahnya, Kolonel Radl, untuk melakukan kajian.
Di luar dugaan, ternyata terdapat kemungkinan rencana itu bisa dilaksanakan. Berdasarkan informasi dari salah satu mata-mata di Inggris, Churchill akan berada di wilayah pedesaan Norfolk pada awal November 1943. Radl pun menyusun skema detail untuk menangkap Churchill dan membawanya ke Jerman. Sayangnya setelah skema final jadi, Canaris meminta Radl membatalkannya. Namun, entah mengapa Himmler bisa tahu dan memerintahkan Radl menjalankan rencananya, sekaligus memberikan katebelece bertanda tangan Hitler kepada Radl, yang memungkinkan Radl punya kuasa untuk melakukan apa saja dan meminta bantuan siapa saja di kalangan militer Jerman untuk mensukseskan misi rahasianya.
Radl merekrut Liam Devlin, seorang teroris IRA yang terdampar di Berlin untuk menjadi penghubung utama di lokasi misi. Ia juga merekrut tim Letkol Kurt Steiner sebagai pelaksana misi dengan membebaskan mereka dari hukuman militer di Selat Inggris. Terlepas dari catatan militer yang cemerlang, tim Steiner terpilih karena latar belakang Kurt Steiner yang berdarah separuh Amerika dan pernah menjalani pendidikan di Inggris, sehingga bahasa Inggrisnya fasih.
Berdasarkan informasi intelijen, lokasi peristirahatan Churchill di Norfolk biasa menjadi tempat latihan pasukan Inggris maupun pasukan Sekutu lainnya. Karena hanya beberapa orang dari tim Steiner yang bisa berbahasa Inggris, maka diputuskanlah mereka terjun ke Norfolk dengan menyamar sebagai pasukan Polandia yang datang untuk berlatih. Tapi karena mematuhi Konvensi Den Haag tentang larangan bagi tentara untuk menggunakan seragam lawan dan kalau sampai tertangkap akan diperlakukan dan dihukum sebagai mata-mata dan bukan tentara, maka Letkol Steiner dan anak buahnya tetap mengenakan seragam tentara Jerman di balik seragam Polandia mereka.
Setelah persiapan berminggu-minggu, tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Tim khusus Steiner sukses mendarat di Inggris dengan kode: The Eagle Has Landed.
Bagaimana perkembangan misi berlanjut setelah tim sampai di tujuan? Kurekomendasikan agar kisah ini lebih baik dibaca sendiri, karena... serunya itu lebih dapat kalau kita baca sendiri bukunya!
4. Storytelling
Gaya penulisan Jack Higgins akan membuat kita merasa yakin bahwa, seabsurd apapun ide ceritanya, kisah ini benar-benar terjadi.
Pelaksanaan misi dituturkan secara detail, sejak Kolonel Radl mengumpulkan informasi intelijen, menyusun skema, mengumpulkan kru, sampai dengan "The Eagle Has Landed" di pantai Norfolk, Inggris.
Karakter para tokohnya juga diungkap bukan dengan narasi, tapi dengan ucapan dan tindakan mereka. Mau tak mau, sadar atau tidak sadar, pembaca akan merasa simpati dan empati pada Kurt Steiner dan anak buahnya. Pembaca juga akan tertarik pada karakter Liam Devlin, teroris IRA yang daredevil dan charming in a strange way (novel ini menjadi novel pertama dari serangkaian novel dengan Liam Devlin sebagai anchor-nya).
Dan yang lebih mengesankan lagi, pembaca jadi terdorong untuk mendukung misi Kurt Steiner cs (menculik atau membunuh PM Churchill!) ini dan mengharapkan keberhasilan mereka! How cool is that?
Para pembaca zaman sekarang mungkin jarang yang mengenal Jack Higgins, tapi pada masanya, ia adalah thriller master yang karya-karyanya pantas bestseller! Dan ada masanya juga, aku rajin membaca dan mengoleksi karya-karyanya.
5. Film
Pertama kali aku membaca novel ini adalah versi terjemahan terbitan Gramedia (tahun 1978) yang kutemukan di taman bacaan waktu aku masih SMP:
Tapi sebenarnya, sebelum menemukan dan membaca novel ini, aku sudah terlebih dahulu menonton filmnya melalui media video Betamax waktu masih SD. Maklumlah, ayahku penggemar film-film perang, dan otomatis aku juga jadi ikut menonton film-film perang yang disewa. Ceritanya yang sedikit beda dari film-film perang lainnya (yang American atau British minded) membuatnya memorable, sehingga aku langsung teringat ketika menemukan versi novelnya (tapi jelas membaca bukunya jauh lebih asyik!).
Versi filmnya hanya rilis satu tahun setelah novel ini terbit dan mendadak bestseller, disutradarai oleh John Sturges (The Magnificent Seven, The Great Escape). Castingnya sendiri aktor-aktor yang mumpuni dan terkenal sampai saat ini:
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
Minggu lalu, aku menonton film David Ayer terbaru yang berjudul Fury. Sudah lama aku tidak menonton film dengan tema Perang Dunia II, apalagi yang sudut pandangnya murni dari satu pihak saja. Setelah selesai menonton kisah tentang para prajurit AS, yang menunjukkan bahwa sebaik dan sesaleh apapun mereka, dapat berubah menjadi monster di medan perang dan membantai para prajurit Jerman tanpa pandang bulu (mau Gestapo, SS, Wehrmacht, atau anak-anak yang tergabung dalam Hitlerjugend, pokoknya kill or be killed!), aku malah ingin menonton film atau membaca buku tentang Perang Dunia II dari sudut pandang prajurit Jerman.
Karena itulah aku membaca ulang buku karya Jack Higgins ini, yang juga salah satu novel PD II favoritku (selain The Guns of Navarone). Dan setelah menyadari tahun pertama terbitnya, ya sudahlah, sekalian saja kutambahkan sebagai bagian dari event BBI bulan ini:
Tema 1st Published on The Year You Are Born |
1. Tokoh protagonisnya tentara Jerman
Aku sudah terlalu banyak membaca novel atau menonton film Perang Dunia II yang tokoh protagonisnya orang AS atau Inggris. Dan kebanyakan para tentara Jerman dalam novel atau film itu digambarkan secara satu dimensi. Nazi. Pokoknya jahat. Sekian.
Padahal kenyataan dalam setiap perang, di masing-masing pihak yang terlibat selalu ada good people dan bad people. Kita tidak bisa menyamaratakan setiap orang, bahkan satu negara, hanya dengan memandang siapa pemimpin negaranya.
Fokus utama novel ini adalah tim pasukan khusus Jerman, yaitu Letkol Kurt Steiner dan pasukan para di bawah pimpinannya. Letkol Steiner dan anak buahnya adalah war decorated heroes yang telah terjun dalam berbagai medan perang termasuk di Eastern Front yang ganas. Namun karena mereka ikut campur menolong seorang gadis Yahudi kabur dari para prajurit SS yang sedang mengumpulkan kaum Yahudi untuk dikirim ke kamp konsentrasi, mereka dijatuhi hukuman militer: misi menyerang kapal Sekutu di Selat Inggris dengan menunggangi torpedo a'la kamikaze. Hukuman mati terselubung sebenarnya. Mereka dibebaskan dari hukuman untuk menjalankan misi lain: menculik PM Winston Churchill dari rumah peristirahatannya di Norfolk, Inggris.
2. Berdasarkan kisah nyata
Penulisan novel ini berawal dari Jack Higgins yang ketika sedang melakukan riset di Norfolk, Inggris, untuk artikel majalah, malah tak sengaja menemukan makam seorang Letnan Kolonel Kurt Steiner dan 13 orang pasukan para Jerman yang gugur dalam tugas pada tanggal 6 November 1943. Menurut Jack Higgins, setidaknya lima puluh persen dari novel ini adalah fakta sejarah yang terdokumentasi. Kita sebagai pembaca dipersilakan menduga-duga, bagian mana yang hanya spekulasi dan fiksi.
3. Story
Dimulai setelah Otto Skorzeny berhasil melakukan misi yang semula dianggap mustahil, yaitu membebaskan mantan diktator Italia, Benito Mussolini, dari penahanan di Gran Sasso. Terinspirasi oleh keberhasilan tersebut, Hitler yang didukung Himmler (komandan militer SS), memerintahkan Canaris (kepala intelijen militer) mengkaji kemungkinan untuk menangkap Winston Churchill (hidup atau mati), untuk menimbulkan demotivasi di pihak Sekutu, atau sebagai senjata negosiasi.
Canaris sebenarnya menganggap perintah itu tidak masuk akal dan berharap Hitler bakal segera lupa, tapi karena tahu Himmler bakal tetap ingat, setidaknya ia menugaskan anak buahnya, Kolonel Radl, untuk melakukan kajian.
Di luar dugaan, ternyata terdapat kemungkinan rencana itu bisa dilaksanakan. Berdasarkan informasi dari salah satu mata-mata di Inggris, Churchill akan berada di wilayah pedesaan Norfolk pada awal November 1943. Radl pun menyusun skema detail untuk menangkap Churchill dan membawanya ke Jerman. Sayangnya setelah skema final jadi, Canaris meminta Radl membatalkannya. Namun, entah mengapa Himmler bisa tahu dan memerintahkan Radl menjalankan rencananya, sekaligus memberikan katebelece bertanda tangan Hitler kepada Radl, yang memungkinkan Radl punya kuasa untuk melakukan apa saja dan meminta bantuan siapa saja di kalangan militer Jerman untuk mensukseskan misi rahasianya.
Radl merekrut Liam Devlin, seorang teroris IRA yang terdampar di Berlin untuk menjadi penghubung utama di lokasi misi. Ia juga merekrut tim Letkol Kurt Steiner sebagai pelaksana misi dengan membebaskan mereka dari hukuman militer di Selat Inggris. Terlepas dari catatan militer yang cemerlang, tim Steiner terpilih karena latar belakang Kurt Steiner yang berdarah separuh Amerika dan pernah menjalani pendidikan di Inggris, sehingga bahasa Inggrisnya fasih.
Berdasarkan informasi intelijen, lokasi peristirahatan Churchill di Norfolk biasa menjadi tempat latihan pasukan Inggris maupun pasukan Sekutu lainnya. Karena hanya beberapa orang dari tim Steiner yang bisa berbahasa Inggris, maka diputuskanlah mereka terjun ke Norfolk dengan menyamar sebagai pasukan Polandia yang datang untuk berlatih. Tapi karena mematuhi Konvensi Den Haag tentang larangan bagi tentara untuk menggunakan seragam lawan dan kalau sampai tertangkap akan diperlakukan dan dihukum sebagai mata-mata dan bukan tentara, maka Letkol Steiner dan anak buahnya tetap mengenakan seragam tentara Jerman di balik seragam Polandia mereka.
Setelah persiapan berminggu-minggu, tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Tim khusus Steiner sukses mendarat di Inggris dengan kode: The Eagle Has Landed.
Bagaimana perkembangan misi berlanjut setelah tim sampai di tujuan? Kurekomendasikan agar kisah ini lebih baik dibaca sendiri, karena... serunya itu lebih dapat kalau kita baca sendiri bukunya!
4. Storytelling
Gaya penulisan Jack Higgins akan membuat kita merasa yakin bahwa, seabsurd apapun ide ceritanya, kisah ini benar-benar terjadi.
Pelaksanaan misi dituturkan secara detail, sejak Kolonel Radl mengumpulkan informasi intelijen, menyusun skema, mengumpulkan kru, sampai dengan "The Eagle Has Landed" di pantai Norfolk, Inggris.
Karakter para tokohnya juga diungkap bukan dengan narasi, tapi dengan ucapan dan tindakan mereka. Mau tak mau, sadar atau tidak sadar, pembaca akan merasa simpati dan empati pada Kurt Steiner dan anak buahnya. Pembaca juga akan tertarik pada karakter Liam Devlin, teroris IRA yang daredevil dan charming in a strange way (novel ini menjadi novel pertama dari serangkaian novel dengan Liam Devlin sebagai anchor-nya).
Dan yang lebih mengesankan lagi, pembaca jadi terdorong untuk mendukung misi Kurt Steiner cs (menculik atau membunuh PM Churchill!) ini dan mengharapkan keberhasilan mereka! How cool is that?
Para pembaca zaman sekarang mungkin jarang yang mengenal Jack Higgins, tapi pada masanya, ia adalah thriller master yang karya-karyanya pantas bestseller! Dan ada masanya juga, aku rajin membaca dan mengoleksi karya-karyanya.
5. Film
Pertama kali aku membaca novel ini adalah versi terjemahan terbitan Gramedia (tahun 1978) yang kutemukan di taman bacaan waktu aku masih SMP:
Tapi sebenarnya, sebelum menemukan dan membaca novel ini, aku sudah terlebih dahulu menonton filmnya melalui media video Betamax waktu masih SD. Maklumlah, ayahku penggemar film-film perang, dan otomatis aku juga jadi ikut menonton film-film perang yang disewa. Ceritanya yang sedikit beda dari film-film perang lainnya (yang American atau British minded) membuatnya memorable, sehingga aku langsung teringat ketika menemukan versi novelnya (tapi jelas membaca bukunya jauh lebih asyik!).
Versi filmnya hanya rilis satu tahun setelah novel ini terbit dan mendadak bestseller, disutradarai oleh John Sturges (The Magnificent Seven, The Great Escape). Castingnya sendiri aktor-aktor yang mumpuni dan terkenal sampai saat ini:
Michael Caine sebagai Kurt Steiner, dalam seragam Jerman dan Polandia |
Robert Duvall sebagai Kolonel Radl |
Donald Sutherland sebagai Liam Devlin |
View all my reviews
Subscribe to:
Posts (Atom)