Penulis : Goenawan Mohamad
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 53 halaman
Dibeli di : Gramedia.com
Harga beli : Rp. 50.000,-
Dipesan tanggal : 29 Agustus 2017
Diterima tanggal : 30 Agustus 2017
Dibaca tanggal : 31 Agustus 2017
Sinopsis:
Goenawan Mohamad, yang menulis beberapa naskah lakon, "Visa", "Surti dan Tiga Sawunggaling", "Surat-Surat Karna", "Tan Malaka", "Gundala Gawat", kali ini mengolah satu bagian sejarah Mataram di abad ke-17.
Tapi ini bukan lakon sejarah. Lakon ini lebih merupakan delirium seorang raja menjelang kematian--paparan tentang apa yang terjadi dengan kekuasaan.
Review singkat :
Judul buku ini membuat calon pembaca bertanya-tanya: Amangkurat keberapakah ini?
Begitu mulai membaca dialog pada naskah lakon empat belas adegan ini, dari nama-nama dan situasi yang dipercakapkan, cukuplah untuk mengetahui bahwa Amangkurat yang dimaksud, sang raja yang tengah menjelang kematian, adalah Amangkurat I, yang mewarisi Mataram setelah ayahandanya, Sultan Agung, wafat.
Buku ini begitu tipisnya, sama sekali tidak membahas sejarah buat pembaca awam. Mungkin pembaca dianggap sudah tahu sejarah kerajaan Mataram, atau mungkin juga pembaca dianggap tidak perlu tahu. Cukuplah agar maksud lakon itu tersampaikan.
Konon, menjelang kematian, seluruh perjalanan hidup kita akan terpampang di benak atau di pandangan kita, seperti layaknya menonton film lama yang mungkin kita tidak ingat lagi jalan ceritanya. Amangkurat I dihadapkan pada pilihan hidup dan tindakan yang dibuatnya, khususnya setelah ayahandanya wafat. Bagaimana perebutan kekuasaan membuatnya harus membunuh adiknya sendiri, dan bagaimana kekuasaan membuatnya tega bertindak kejam, sekejam yang diingat oleh sejarah, pada siapapun yang tidak sejalan dengannya. Namun pada akhirnya, untuk apa semua kekuasaan itu apabila kematian tak bisa ditolak kedatangannya?
Tersingkir dari kekuasaan oleh para pemberontak, menjelang kematian yang diinginkannya hanya membalas dendam. Tapi, apakah perintahnya pada Adipati Anom, putra yang mendampinginya dalam pengungsian, untuk bersumpah merebut kembali kekuasaan adalah tindakan yang benar?
Amangkurat I tidak hanya melihat masa lalunya yang penuh darah. Ia juga mendapat kilasan masa depan. Kekejian Adipati Anom di masa yang akan datang, mengikuti sumpahnya untuk merebut kembali Mataram. Tapi jalan yang ditempuh Adipati akan membawanya berhadapan dengan adiknya, Puger. Jalan yang ditempuhnya juga akan membawa keruntuhan kedaulatan kerajaan di tanah Jawa, karena melibatkan VOC.
Ah, mungkin judul buku ini bukan merujuk satu, melainkan dua orang, Amangkurat I dan Amangkurat II.
Ada lagi yang harus diketahui?
Masa laluku menakutkan.
Ceritakan saja masa depan.
Kau diam.
Mungkin tak ada masa depan.
Catatan :
1. Aku belum pernah melihat pentas lakon ini, tapi deskripsi naskah cukup membuatku bisa membayangkan lakon minimalis ini apabila dipentaskan.
2. Review singkat atas buku tipis yang membuatku terpaksa membaca kembali sejarah Mataram yang menjadi latarnya ini dibuat dalam rangka mengikuti :
Kategori: Asian Literature |