Artwork by Imelda Akmal
My rating: 3 of 5 stars
Aku tidak mengoleksi artwork.
Sepertinya sudah jelas, karena aku mengalokasikan sebagian penghasilanku terutama untuk membeli buku, dan aku tidak tertarik untuk mengoleksi barang lainnya. Di rumahku di Bandung dulu, selain menaruh koleksi buku di tempat yang sudah jelas seperti kamar khusus perpustakaan dan kamar tidur merangkap perpustakaan, hampir seluruh penjuru rumah yang ada lemarinya kujajah juga untuk menaruh buku. Memang bikin repot sih ketika harus memindahkan belasan ribu buku dari Bandung ke Cirebon, sehingga perlu puluhan dus rokok besar dan mobil kontainer PT. Pos untuk mengangkutnya dengan aman sentosa. Meskipun takdir kemudian mengatakan bahwa semuanya tidak berakhir dengan aman di lokasi penyimpanan di Cirebon, karena baru dua-tiga bulan saja sebagian besarnya sudah raib karena ulah oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang tega-teganya menjual dus-dus berisi buku-buku koleksi perpustakaanku itu ke---
#hilang sinyal
#lupakan
#sesal itu tak ada gunanya
Anyway, kembali ke review buku ini, perlu ditegaskan sekali lagi, aku tidak mengoleksi artwork. Kalaupun ada koleksi selain buku, paling-paling koleksi random yang tidak sengaja pakai hunting segala, senemunya saja, seperti uang kertas lama/negara lain, kartu pos, perangko, dan mug lucu (termasuk koleksi mug merah nescafe #tidak penting). Yang jelas, koleksi random itu tidak makan tempat seperti artwork yang ada di buku ini.
Tapi pas baru saja mengambil buku ini untuk dibaca dan melihat kalimat pertama di sampulnya: "Dipajang di mana?", aku langsung teringat percakapanku via telepon dengan ibuku kemarin.
Ceritanya, sewaktu merenovasi rumah, orang tuaku di Cirebon sengaja menambahkan dua ruangan khusus untukku, yaitu ruang perpustakaan dan kamar tidur (merangkap perpustakaan jilid 2). Mengapa demikian? Karena meskipun aku sudah punya rumah sendiri di Bandung, rencananya rumah itu akan dijual (penyebab utama aku harus memindahkan semua koleksiku ke Cirebon). Dan selama ini, setiap kali aku mudik ke Cirebon, aku tidak punya tempat. Apalagi kalau lebaran dan kakak-kakakku beserta keluarganya menginap. Sudah pasti terdampar di sofa ruang keluarga ditemani nyamuk-nyamuk nakal #lebai but true
Alhamdulilah, renovasi rumah rupanya sudah hampir beres. Mungkin karena itulah ibuku sudah membongkar barang-barang lain yang diangkut dari rumah di Bandung, lantas menelepon ketika aku sedang sibuk hunting buku di Gramedia Central Park, yang kebetulan memasang musik pengiring keras-keras.
Tidak persis sih, tapi kira-kira begini dialog via telepon yang terjadi diiringi musik yang membahana dan mengganggu pembicaraan itu (M untuk Mama dan A untuk aku):
M : De, gambar-gambar De Tris mau dipajang di mana?
A : Gambar? Gambar yang mana?
M : Itu, gambar yang komik dan Snow White.
A : (mikir) Gambar komik yang mana, ya? Gambar poster? (teringat poster Rurouni Kenshin dan Tenipuri)
M : Bukan. Itu, gambar komik lucu yang ada dua orang cowok-cewek.
A : (baru ingat punya jigsaw puzzle 1000 pieces Fushigi Yuugi dan Snow White) Oh, puzzle yang dipigurain ya. Ada yang kecilnya juga, kan, yang gambar lokomotif.
M : Iya, mau dipajang di mana? Di kamar atau perpustakaan?
A : Yang komik pasnya sih di perpus, tapi kayaknya dindingnya nggak cukup deh karena sudah penuh sama lemari semua. Ya udah dipasang di kamar saja. Boleh nggak yang Snow White di ruang tengah saja, kan masih banyak dinding kosong?
M : Mama sudah pasang yang Snow White di kamar, yang komik di luar perpus, yang kecil di dalam perpus.
A : (ketawa) Kalau sudah dipasang, kan nggak usah nanya lagi mau dipajang di mana? Mama mau nanya atau laporan, sih?
M : Yah, kalau nggak cocok, nanti diatur lagi saja pas lebaran.
Nah, gara-gara percakapan itu aku jadi teringat punya barang pajangan yang makan tempat, dan karena rumah di Bandung banyak dinding kosongnya, dulu tidak jadi masalah mau dipajang di mana. Dan aku juga jadi teringat pernah punya hobi random yang makan waktu banyak, seperti mengerjakan jigsaw puzzle.
Sebelum bergabung dengan Goodreads, aku masih manga otaku dan anime otaku sejati, yang di luar jam kerja hiburannya cuma baca manga, nonton film dan anime (biasanya beli di toko hobi Animart, dari sejak masih buka di Jalan Pasirkaliki sampai sudah pindah ke CiWalk). Aku masih membeli dan membaca novel sih, tapi biasanya buku dari pengarang tertentu yang favorit saja, seperti Stephen King/John Grisham/Frederick Forsyth/Jeffrey Archer/Agatha Christie/Sidney Sheldon... err... tapi kebetulan banyak juga sih pengarang favorit yang tidak bisa ditulis semuanya di sini. Aku juga masih membeli buku-buku nonfiksi yang sepertinya menarik, terutama di sale Gramedia. Tapi yang jelas, sebelum join Goodreads, aku jarang sengaja beli buku yang penulisnya belum begitu kukenal hanya karena rekomendasi orang lain (tidak ada juga orang yang suka baca di lingkunganku yang bisa memberi rekomendasi). Baca Harry Potter pun awalnya iseng-iseng beli nggak sengaja setelah buku tiga beredar, dan semula kupandang sebelah mata karena buku anak-anak (memangnya Dragonball bukan untuk anak-anak, ya?). Dan yang pasti: AKU TIDAK PUNYA TIMBUNAN BUKU TAK TERBACA, karena buku yang dibeli dapat langsung terbaca habis (Kelihatan bohongnya ya? Oke deh ralat... ada sih buku yang malas dibaca, tapi dikit banget, kok... sungguh ;P)
Singkat cerita, karena internet belum menjadi kebutuhan dan aku belum teracuni review-review di Goodreads, aku masih bisa nonton film atau anime sambil disambi iseng main jigsaw puzzle sampai 1000 pieces segala.
Jadi, kesimpulan tidak pentingnya adalah: aku jadi semakin gila baca dan kalap belanja buku setelah bergaul dengan sesama pecinta buku di Goodreads. Aku lebih membuka diri untuk mencoba lebih banyak buku dari penulis-penulis yang dulu sama sekali terlewatkan olehku gara-gara membaca review bukunya. Siapa sangka aku bakal membaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer? Dan menjadi penggemar Jim Butcher? Punya akun Goodreads membuatku menjadi membutuhkan internet. Dan eh, belakangan malah kebanyakan browsing internet, yang selain untuk update status bacaan di goodreads juga untuk mengunduh ebook (ribuan judul dan puluhan gigabyte, yang mungkin baru bisa dibaca kalau sudah pensiun nanti, itu pun kalau berumur panjang ;P).
Karena sekarang waktu luang habis untuk membaca timbunan buku yang tiada habisnya, sambil multitasking nonton film dan browsing internet (harus multitasking!), sepertinya hobi iseng-iseng main jigsaw puzzle baru bisa dilakukan saat terdampar di suatu tempat tanpa ditemani buku. Atau kalau kebetulan sedang tidak mood baca (yang jarang terjadi, biasanya kalau sedang galau berat saja).
Nah, kalau aku tetap mau nyambung dengan judul buku yang dijadikan ajang curcol ngalor-ngidul ini, biar ditutup saja dengan pertanyaan: apakah jigsaw puzzle yang dipigura dan dipajang di dinding bisa dikategorikan sebagai artwork?
View all my reviews