Showing posts with label psycho-novel. Show all posts
Showing posts with label psycho-novel. Show all posts

Wednesday, January 28, 2015

Gone Girl

Judul : Gone Girl

Penulis : Gillian Flynn

Penerbit : Phoenix Fiction, 2014

Halaman : 466

Dibeli di : Periplus Online Bookstore Indonesia

Harga beli : Rp. 102.000,-

Dipesan tanggal : 12 Desember 2014

Diterima tanggal : 19 Desember 2014

Dibaca tanggal : 27 Januari 2015

Sinopsis :
On a warm summer morning in North Carthage, Missouri, it is Nick and Amy Dunne's fifth wedding anniversary. Presents are being wrapped and reservations are being made when Nick's clever and beautiful wife disappears from their rented McMansion on the Mississippi River. Husband-of-the-Year Nick isn't doing himself any favors with cringe-worthy daydreams about the slope and shape of his wife's head, but passages from Amy's diary reveal the alpha-girl perfectionist could have put anyone dangerously on edge. Under mounting pressure from the police and the media--as well as Amy's fiercely doting parents--the town golden boy parades an endless series of lies, deceits, and inappropriate behavior. Nick is oddly evasive, and he's definitely bitter--but is he really a killer?

As the cops close in, every couple in town is soon wondering how well they know the one that they love. With his twin sister, Margo, at his side, Nick stands by his innocence. Trouble is, if Nick didn't do it, where is that beautiful wife? And what was in that silvery gift box hidden in the back of her bedroom closet?

Before:
Jujur, aku membeli buku ini karena terjerat hype. Dan karena harga versi terjemahan hanya beda tipis dengan versi aslinya, aku memilih untuk membeli versi mass market paperback bercover depan poster versi live action-nya (bagaimana lagi, aku memang suka mengoleksi novel dengan cover movie-tie-in). Tapi ternyata butuh waktu cukup lama untuk menyentuh buku ini kembali setelah menyampulnya. Baru setelah punya versi filmnya, aku mencomot buku ini dari timbunan, karena bagaimanapun salah satu prinsipku adalah wajib membaca dulu bukunya sebelum menonton versi filmnya.

Nah, tadi malam jadilah aku membaca novelnya, dilanjutkan dengan menonton filmnya. Lupa deh kalau besoknya masih harus masuk kerja pagi-pagi... 

After:
Untunglah ekspektasi tinggi karena terbawa hype terbayar tuntas. I like this book. And the movie version. A lot.

Berdasarkan review sebagian teman yang sudah lebih dulu membacanya, aku mengira akan merasa bosan di awal buku karena konon alurnya lambat, tapi ternyata tidak. Bagiku sejak awal buku ini sudah page turner, aku hampir tidak pernah meletakkan buku ini sampai selesai membacanya. Dan karena penasaran atas pendapat seorang teman di kantor tentang versi filmnya, yang membuatku bertanya-tanya apakah filmnya melenceng dari novelnya atau mungkin saja temanku yang tidak menangkap ceritanya, aku langsung melanjutkan dengan menonton filmnya.

Aku tidak akan membahas ceritanya karena mereview novel ini rawan terjerumus ke jurang spoiler. Setidaknya, dari sinopsis di atas, sudah diketahui alur ceritanya. Istri hilang, diduga tewas terbunuh, dan semua petunjuk mengarah pada sang suami. Benarkah ia membunuh istrinya? Apabila ia tidak bersalah, apakah istrinya masih hidup? Apabila ia diculik, siapa yang melakukannya?

Membaca novel ini, aku langsung teringat jokes tentang suami-istri yang sikapnya berbeda waktu masih pacaran dengan setelah menikah. Sebelum menikah abang sayang, setelah menikah abang ditendang. Vice versa. Sudah umum apabila pada saat pacaran, masing-masing pihak menunjukkan sifat dan melakukan hal-hal yang berbeda dengan kepribadian aslinya, demi menyenangkan sang pacar. Lalu setelah menikah, baru ketahuan deh aslinya. Itulah inti novel ini sebenarnya. 

Masalahnya, apa yang akan kaulakukan apabila setelah menikah kau merasa kecewa, karena pasangan sempurnamu ternyata tidak sesuai dengan imajinasi yang kauinginkan selama ini?

A. Pasrah. Nerimo. Mau bagaimana lagi.
B. Ya, pisah saja. Gitu aja kok repot.
C. Ubah pasanganmu menjadi sesuai imajinasimu.

Pilih salah satu.




Saturday, August 11, 2012

Less Than Twenty Five Years Ago

Imperial BedroomsImperial Bedrooms by Bret Easton Ellis
My rating: 3 of 5 stars


Mengambil setting dua puluh lima tahun setelah Less Than Zero, di novel ini para remaja Beverly Hills yang hidup tanpa tanggung jawab telah tumbuh dewasa dan yah... hidup mereka mengalami peningkatan (atau penurunan?) dari masa mudanya.

Julian, yang tentunya tidak mati OD seperti di filmnya, sudah alih profesi dari gigolo menjadi germo. Escort service-nya terdiri dari para calon aktor dan aktris yang banyak luntang-lantung di Beverly Hills sambil mencari kesempatan untuk mendapatkan audisi dan ketenaran yang mereka dambakan. Blair, mantan pacar Clay, menikah dengan Trent, si mantan model yang kini jadi manajer artis di Hollywood. Rip, pemasok narkoba yang gemar menyekap gadis di bawah umur di apartemennya, jadi semacam kingpin. Dan Clay...

Selain telah menjadi penulis yang naskah-naskahnya telah diangkat jadi film, Clay masih tetap useless jerk seperti waktu remaja, mungkin lebih parah. Lupakan tokoh Clay yang diperankan Andrew McCarthy, pemuda sok suci yang berusaha menolong sahabatnya yang tenggelam dalam kenistaan narkoba dan prostitusi. Clay si penulis naskah tipe orang yang memanfaatkan posisinya untuk menjebak aktris yang menginginkan peran dalam film yang ditulisnya, ke dalam pelukan dan ranjangnya. Hidupnya mulai rumit waktu ia terobsesi pada aktris muda bernama Rain Turner. Aktris yang bersedia melakukan apa saja buatnya demi mendapat sedikit dialog itu ternyata punya hubungan dengan beberapa teman lamanya. Rain rupanya salah satu pelacur (plus kekasih Julian), pernah berhubungan dengan Trent, dan guess what, Rip juga terobsesi dengannya hingga ingin menyingkirkan Julian yang menjadi penghalang. Lupakan Clay yang diperankan Andrew McCarthy, karena ketimbang menyelamatkan Julian, di novel ini ia malah bekerja sama dengan Rip untuk membunuh Julian. Sepertinya Julian lebih baik mati OD saja waktu masih remaja, daripada mati dengan 159 luka tusukan dari 3 pisau yang berbeda waktu sudah separo baya...

Ya, Clay, si "aku" dalam novel Ellis ini, bukanlah tokoh utama yang manis. Tidak selugu dan sebaik yang digambarkan versi film Less Than Zero. Bahkan Clay versi novel Less Than Zero pun rasanya masih lebih mending daripada Clay versi terkini yang kalau toh dibunuh tanpa kubur pun kita takkan jatuh simpati.

Novel ini dibuka dengan cara yang unik. Tokoh Clay mengeluhkan novel Less Than Zero, karena meski pengarangnya menyebutnya fiksi dan mengubah beberapa detail, tapi nama-namanya tidak diubah, sehingga novel itu membongkar kehidupan pribadinya dan teman-temannya. Tokoh Clay juga mengeluhkan versi film Less Than Zero, yang ditontonnya bersama Trent dan Julian di bioskop. Jelas Ellis menyelipkan pendapat pribadinya di sini:

"The movie was very different from the book in that there was nothing from the book in the movie. The book was blunt and had an honesty about it, whereas the movie was just a beautiful lie. In the movie I was played by an actor who actually looked more like me than the character the author portrayed in the book. I also suddenly became the movie's moral compass, spouting AA jargon, castigating everyone's drug use and trying to save Julian. Julian became the sentimentalized version of himself, acted by a talented, sad-faced clown..."

Hm, seandainya tokoh Julian tidak dibikin mati OD (untuk mengingatkan penonton akan bahaya narkoba?) di versi filmnya, akan adakah film Imperial Bedrooms, dengan Robert Downey Jr kembali memerankan tokoh yang sama, hanya saja di sini kematiannya lebih mengesankan? Um... 159 lubang tikaman di tempat yang tidak mematikan sehingga mati kehabisan darah... A cool way to die for Tony Stark and Sherlock Holmes!

View all my reviews

Saturday, January 14, 2012

Before Dexter

Pemburu Predator (Thinning the Predators)Pemburu Predator by Daina Graziunas
My rating: 4 of 5 stars

Pada suatu ketika, di sebuah kuis :
Q : Serial killer of serial killers.
A : Dexter Morgan, blood splatter specialist from Miami Police Departement!
Q : Wrong answer. The right answer is David Vandemark.
A : David who...?!

Sebelum baca novel ini, aku pasti sama bengongnya dengan si peserta kuis di atas, karena mengira karakter Dexter Morgan-nya Jeff Lindsey--yang serial TV Showtime-nya sering kutonton ulang--benar-benar original. Pemburu dan pembunuh para pembunuh serial, gitu lo!

Novel Thinning The Predators aka Pemburu Predator, yang diterbitkan versi terjemahannya tahun 1997 ini, sudah bercerita tentang David Vandemark, seorang pemburu para monster yang berkeliaran di tengah masyarakat. Mulanya ia seorang pengacara biasa, tapi setelah mengalami kecelakaan lift dan ketika sadar dari koma mendapati anak-istrinya telah menjadi korban pembunuh serial yang dijuluki Mr. Clean oleh FBI, eng-ing-eng.... Henshin! Jadi pemburu para pembunuh serial!

Memang sih, cara membunuhnya kurang psycho dibandingkan Dexter yang gemar mengoleksi tetesan darah korbannya dalam lempengan kaca, memotong-motong tubuh mereka, memasukkannya dalam kantong plastik, lantas membuangnya ke laut. David paling-paling cuma menembak mati para korbannya, lantas memberikan pesan pada pihak berwajib tentang siapa monster yang dibunuhnya dan di mana korban-korban sang monster berada. Tapi meskipun cara membunuhnya biasa, cara memburunya yang luar biasa: menggunakan kekuatan ESP, yang didapatkannya pada saat sadar dari koma. Jadi, seperti dalam manga Psychometrer Eiji, ia menyelidiki pembunuhan serial dan para pelakunya dengan menyentuh barang yang berkaitan dengan pembunuhan yang dilakukannya. Lebih top lagi, ia juga bisa membaca pikiran orang lain. Makin gampang deh menyelidiki dan menangkap buruannya.

Seperti halnya Dexter yang diburu oleh Sersan Doakes dan Agen Lundy, David juga diburu oleh Ira Levitt, agen FBI senior yang telah berusaha menangkapnya selama tujuh tahun. Berbeda dengan Dexter yang identitasnya masih belum terbongkar sehingga masih leluasa bekerja di kepolisian, David terus berkelana dengan berbagai identitas. Sampai akhirnya ia menemukan pembunuh serial yang memiliki kekuasaan besar, sehingga ia merasa perlu meminta bantuan Agen Levitt dan mengajaknya bekerja sama.

Pilihan mana yang diambil Agen Levitt? Apakah menangkap pembunuh serial yang sebenarnya berguna bagi masyarakat (istilah Dexter), atau menangkap dalang di balik serial Pembunuhan Keluarga Latin yang jauh lebih keji dan berbahaya?

View all my reviews

Tuesday, January 10, 2012

An Eye For An Eye

Lidah Tak Bertulang (Speaking In Tongues)Lidah Tak Bertulang by Jeffery Deaver
My rating: 3 of 5 stars

Membaca sinopsis di sampul belakang novel, khususnya bagian psikopat yang merencanakan balas dendam kepada seorang mantan jaksa dan keluarganya, otomatis benak movie-otaku ini langsung teringat pada film Cape Fear versi 1991 yang dibintangi Robert de Niro dan Nick Nolte.

Aaron Matthews, mantan psikolog, memupuk dendam kesumat pada Tate Collier, jaksa berlidah perak yang berhasil meyakinkan juri untuk menjebloskan putranya, Peter, ke penjara karena telah mencekik mati seorang gadis. Bukan hanya itu, tak lama setelah masuk penjara, putranya tewas dimutilasi narapidana lain. Apalagi pembalasan yang paling manis, selain menghancurkan musuh melalui keluarganya? Maka Matthews menculik Megan, putri Tate Collier, sebagai awal dari rencana balas dendamnya...

Tate Collier sendiri sebenarnya sudah mengundurkan diri dari posisi jaksa karena merasa berdosa setelah Peter Matthews tewas. Memang benar, ia hanya melakukan tugasnya selaku jaksa, tapi ia sadar telah berhasil mendiskreditkan saksi-saksi yang dapat meringankan kesalahan pemuda itu. Tapi benarkah seperti istilah mata dibalas mata, nyawa Megan untuk nyawa Peter, adalah keadilan yang setara?

Bila mata dibalas mata, maka dunia akan buta.
- Mahatma Gandhi

Bila gigi dibalas gigi, maka tukang gigi palsu akan kebanjiran order.

View all my reviews