Judul : Filosofi Teras
Penulis : Henry Manampiring
Penerbit : Penerbit Kompas
Tebal : 344 halaman
Dibaca tanggal : 5 Februari 2019
Sinopsis :
Apakah kamu sering merasa khawatir akan banyak hal? baperan? susah move-on? mudah tersinggung dan marah-marah di social media maupun dunia nyata?
Lebih dari 2.000 tahun lalu, sebuah mazhab filsafat menemukan akar masalah dan juga solusi dari banyak emosi negatif. Stoisisme, atau Filosofi Teras, adalah filsafat Yunani-Romawi kuno yang bisa membantu kita mengatasi emosi negatif dan menghasilkan mental yang tangguh dalam menghadapi naik-turunnya kehidupan. Jauh dari kesan filsafat sebagai topik berat dan mengawang-awang, Filosofi Teras justru bersifat praktis dan relevan dengan kehidupan Generasi Milenial dan Gen-Z masa kini.
My Two Cents :
Meskipun sehari-hari aku tetap berupaya menghindari stres dengan menghilangkan akar masalahnya (e.g. cari kosan di belakang kantor supaya tak perlu merasakan macetnya Jakarta, tidak iseng membuka socmed terkait pemilu 2019), yang namanya khawatir mah tak akan pernah hilang. Apalagi aku termasuk orang yang overthinking, dan dalam pekerjaan sehari-hari juga selalu mempertimbangkan pros-cons alias tak cuma berpikir positif tapi juga negatifnya (perfectly balance, as all things should be).
Sesekali, biasanya kalau terkait hobi dan kenikmatan duniawi, ada saja rasa khawatir yang pastinya tidak masuk akal dan tidak penting buat orang lain. Misalnya kepikiran "Aduh kalau bisa jangan mati ketabrak mobil dulu sebelum aku sempat menonton Avengers: Endgame." (tahun lalu tentu saja judulnya masih Avengers: Infinity War). Terus kepikiran, bisakah orang yang mati sebelum sempat menonton film yang ditunggu-tunggu, lantas jadi hantu penasaran dan menggentayangi bioskop untuk "menyelesaikan urusannya di dunia". Tapi omong-omong, ternyata bukan cuma aku yang punya kekhawatiran sepele macam begitu. Robert Meyer Burnett, salah satu movie pundit yang kuikuti di youtube, juga sering mengungkapkan hal yang sama persis (bedanya cuma dalam bahasa Inggris sih), dan aku jadi tertawa kalau mendengarnya karena ternyata aku tidak sendirian...
Lho, kok malah curcol nggak penting. Harusnya kan ngomongin buku ini. Yo wis.
Review singkat: buku ini enak dibaca dan perlu.
Showing posts with label nonfiksi. Show all posts
Showing posts with label nonfiksi. Show all posts
Thursday, April 11, 2019
Monday, December 31, 2018
Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang
Judul : Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang
Penulis : Fumio Sasaki
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 280 halaman
Dibaca di : Gramedia Digital
Tanggal baca : 30 Desember 2018
Sinopsis :
Fumio Sasaki bukan ahli dalam hal minimalisme; ia hanya pria biasa yang mudah tertekan di tempat kerja, tidak percaya diri, dan terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain—sampai suatu hari, ia memutuskan untuk mengubah hidupnya dengan mengurangi barang yang ia miliki. Manfaat luar biasa langsung ia rasakan: tanpa semua “barangnya”, Sasaki akhirnya merasakan kebebasan sejati, kedamaian pikiran, dan penghargaan terhadap momen saat ini.
Di buku ini, Sasaki secara sederhana berbagi pengalaman hidup minimalisnya, menawarkan tips khusus untuk proses hidup minimalis, dan mengungkapkan fakta bahwa menjadi minimalis tidak hanya akan mengubah kamar atau rumah Anda, tapi juga benar-benar memperkaya hidup Anda. Manfaat hidup minimalis bisa dinikmati oleh siapa pun, dan definisi Sasaki tentang kebahagiaan sejati akan membuka mata Anda terhadap apa yang bisa dihadirkan oleh hidup minimalis.
Curcol suka-suka:
Aku membaca buku ini via aplikasi Gramedia Digital di handphone. Yang artinya: aku sudah selangkah lebih maju menuju hidup minimalis!
Just kidding, bro. Aku membaca buku digital bukan berarti aku berhenti membeli buku cetak. Itu hanya salah satu cara untuk menentukan apakah aku membeli versi cetaknya atau tidak, tak perlu lagi aku berjudi membeli buku cetak dengan alasan "sepertinya menarik".
Lalu, karena ternyata aku suka buku ini, apakah aku akan membeli edisi cetaknya? Oh, dilema...
Pertama, perlu ditegaskan bahwa meskipun aku menyukai buku ini, belum tentu aku bisa menjalankan apa yang disarankan penulisnya yang tergolong ekstrimis dalam aliran minimalis ini. Aku selalu kagum pada mereka yang bisa melakukan apa yang tak bisa kulakukan dengan mudah, misalnya: membuang barang tanpa pikir-pikir konsekuensinya. Yang ada malahan aku lebih sering membeli barang tanpa pikir-pikir konsekuensinya.
Begini, bukannya aku tidak pernah berusaha membuang barang. Aku bukan orang sentimental yang suka menyimpan barang-barang kenangan. Buat apa? Menuh-menuhin tempat saja. Setelah membaca buku Marie Kondo tentang seni beres-beres, aku juga sudah berupaya membuang sebagian koleksi baju, tas, sepatu, bahkan buku!
Etapi ndilalah, aksi buang barang dilakukan, aksi beli barang tetap jalan terus dong... Hiks! Ini yang susah, apalagi di jaman belanja online semakin gampang begini. Sambil tiduran dan ngemil di atas ranjang, bisa asyik browsing di aplikasi marketplace ini itu, eng-ing-eng..., punya baju, tas, dan buku baru deh. Ih, ini pasti yang salah jarinya!
Jadi, membaca buku ini, pertama melihat foto sebelum dan sesudah dari kamar, apartemen atau rumah para minimalis teladan, lantas melihat sekeliling kamar kos... Hm, jadi gatal ingin membereskan kamar kos yang entah kenapa kok kelihatan selalu penuh dengan barang yag belum tentu penting dan... omong-omong, kapan ya kubeli dan kapan terakhir kali kupakai? Jawabannya: boro-boro ingat.
Tapi... tapi... Fumio Sasaki ini terlalu ekstrim deh!
Mana tega aku membuang buku begitu saja? Yang ada paling aku memaketkan timbunan buku di Jakarta ke Cirebon. Paling tidak buku yang sudah kubaca, buku yang belum kubaca tapi aku punya e-booknya, atau buku yang belum kubaca tapi aku bisa baca versi digitalnya di aplikasi. Baru kalau aku punya waktu, kapan-kapan menyiangi buku yang memenuhi perpustakaan pribadi di Cirebon.
Mana bisa aku membuang baju begitu saja? Oke, ada beberapa potong yang memang baru kupakai sekali dua dan sepertinya tak bakalan kupakai lagi karena alasan tertentu, jadi lebih baik dihibahkan. Tapi sisanya? Masih kupakai semua kok! Memang tidak setiap hari, tapi kan variasi baju itu perlu supaya tidak bosan (dan tidak dinyinyiri pakai baju yang itu-itu saja, kayak nggak punya baju lain saja!).
Mana mungkin aku mengurangi gadget! HP yang ini khusus keperluan kantor, HP yang ini khusus untuk entertainment seperti menonton youtube dan mendengarkan musik, HP yang ini khusus untuk membaca buku digital. Kalau cuma pakai satu HP, baterenya bakal cepat habis, harus sering di-charge, dan lebih cepat rusak. Mending punya lebih dari satu dan dipisahkan berdasarkan fungsinya!
Hahaha... tidak ada habisnya memang alasan untuk mempertahankan keberadaan barang dan mencari alasan untuk itu. Hidup kita diatur oleh barang-barang kita? Memang! Persis seperti bit-nya alm. George Carlin tentang A Place For Your Stuff, yang pernah kukutip panjang lebar di review buku beliau di blog ini. Semua barang kita itu penting! Jadi perlu disediakan tempatnya. Itulah gunanya rumah: tempat untuk menaruh barang kita! Kalau kita tidak punya barang, kita tak perlu rumah dan bisa bebas berpergian ke mana saja tanpa khawatir kehilangan barang milik kita...
Hadeh. Seperti biasa kalau review buku model begini versi curcol pasti tidak akan ada habisnya, karena terlalu banyak alasan untuk menolak semua kiat yang ditawarkan penulis ekstrimis ini. Tapi pada prinsipnya, inti buku ini adalah di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Karena kiat pertama adalah: buang jauh-jauh pikiran bahwa kita tidak mampu membuang barang. Kalau ada kemauan untuk membuang barang kita, apapun bentuk dan rupanya, pasti kita bisa deh.
Kalau ada kemauan tapinya...
Penulis : Fumio Sasaki
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 280 halaman
Dibaca di : Gramedia Digital
Tanggal baca : 30 Desember 2018
Sinopsis :
Fumio Sasaki bukan ahli dalam hal minimalisme; ia hanya pria biasa yang mudah tertekan di tempat kerja, tidak percaya diri, dan terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain—sampai suatu hari, ia memutuskan untuk mengubah hidupnya dengan mengurangi barang yang ia miliki. Manfaat luar biasa langsung ia rasakan: tanpa semua “barangnya”, Sasaki akhirnya merasakan kebebasan sejati, kedamaian pikiran, dan penghargaan terhadap momen saat ini.
Di buku ini, Sasaki secara sederhana berbagi pengalaman hidup minimalisnya, menawarkan tips khusus untuk proses hidup minimalis, dan mengungkapkan fakta bahwa menjadi minimalis tidak hanya akan mengubah kamar atau rumah Anda, tapi juga benar-benar memperkaya hidup Anda. Manfaat hidup minimalis bisa dinikmati oleh siapa pun, dan definisi Sasaki tentang kebahagiaan sejati akan membuka mata Anda terhadap apa yang bisa dihadirkan oleh hidup minimalis.
Curcol suka-suka:
Aku membaca buku ini via aplikasi Gramedia Digital di handphone. Yang artinya: aku sudah selangkah lebih maju menuju hidup minimalis!
Just kidding, bro. Aku membaca buku digital bukan berarti aku berhenti membeli buku cetak. Itu hanya salah satu cara untuk menentukan apakah aku membeli versi cetaknya atau tidak, tak perlu lagi aku berjudi membeli buku cetak dengan alasan "sepertinya menarik".
Lalu, karena ternyata aku suka buku ini, apakah aku akan membeli edisi cetaknya? Oh, dilema...
Pertama, perlu ditegaskan bahwa meskipun aku menyukai buku ini, belum tentu aku bisa menjalankan apa yang disarankan penulisnya yang tergolong ekstrimis dalam aliran minimalis ini. Aku selalu kagum pada mereka yang bisa melakukan apa yang tak bisa kulakukan dengan mudah, misalnya: membuang barang tanpa pikir-pikir konsekuensinya. Yang ada malahan aku lebih sering membeli barang tanpa pikir-pikir konsekuensinya.
Begini, bukannya aku tidak pernah berusaha membuang barang. Aku bukan orang sentimental yang suka menyimpan barang-barang kenangan. Buat apa? Menuh-menuhin tempat saja. Setelah membaca buku Marie Kondo tentang seni beres-beres, aku juga sudah berupaya membuang sebagian koleksi baju, tas, sepatu, bahkan buku!
Etapi ndilalah, aksi buang barang dilakukan, aksi beli barang tetap jalan terus dong... Hiks! Ini yang susah, apalagi di jaman belanja online semakin gampang begini. Sambil tiduran dan ngemil di atas ranjang, bisa asyik browsing di aplikasi marketplace ini itu, eng-ing-eng..., punya baju, tas, dan buku baru deh. Ih, ini pasti yang salah jarinya!
Jadi, membaca buku ini, pertama melihat foto sebelum dan sesudah dari kamar, apartemen atau rumah para minimalis teladan, lantas melihat sekeliling kamar kos... Hm, jadi gatal ingin membereskan kamar kos yang entah kenapa kok kelihatan selalu penuh dengan barang yag belum tentu penting dan... omong-omong, kapan ya kubeli dan kapan terakhir kali kupakai? Jawabannya: boro-boro ingat.
Tapi... tapi... Fumio Sasaki ini terlalu ekstrim deh!
Mana tega aku membuang buku begitu saja? Yang ada paling aku memaketkan timbunan buku di Jakarta ke Cirebon. Paling tidak buku yang sudah kubaca, buku yang belum kubaca tapi aku punya e-booknya, atau buku yang belum kubaca tapi aku bisa baca versi digitalnya di aplikasi. Baru kalau aku punya waktu, kapan-kapan menyiangi buku yang memenuhi perpustakaan pribadi di Cirebon.
Mana bisa aku membuang baju begitu saja? Oke, ada beberapa potong yang memang baru kupakai sekali dua dan sepertinya tak bakalan kupakai lagi karena alasan tertentu, jadi lebih baik dihibahkan. Tapi sisanya? Masih kupakai semua kok! Memang tidak setiap hari, tapi kan variasi baju itu perlu supaya tidak bosan (dan tidak dinyinyiri pakai baju yang itu-itu saja, kayak nggak punya baju lain saja!).
Mana mungkin aku mengurangi gadget! HP yang ini khusus keperluan kantor, HP yang ini khusus untuk entertainment seperti menonton youtube dan mendengarkan musik, HP yang ini khusus untuk membaca buku digital. Kalau cuma pakai satu HP, baterenya bakal cepat habis, harus sering di-charge, dan lebih cepat rusak. Mending punya lebih dari satu dan dipisahkan berdasarkan fungsinya!
Hahaha... tidak ada habisnya memang alasan untuk mempertahankan keberadaan barang dan mencari alasan untuk itu. Hidup kita diatur oleh barang-barang kita? Memang! Persis seperti bit-nya alm. George Carlin tentang A Place For Your Stuff, yang pernah kukutip panjang lebar di review buku beliau di blog ini. Semua barang kita itu penting! Jadi perlu disediakan tempatnya. Itulah gunanya rumah: tempat untuk menaruh barang kita! Kalau kita tidak punya barang, kita tak perlu rumah dan bisa bebas berpergian ke mana saja tanpa khawatir kehilangan barang milik kita...
Hadeh. Seperti biasa kalau review buku model begini versi curcol pasti tidak akan ada habisnya, karena terlalu banyak alasan untuk menolak semua kiat yang ditawarkan penulis ekstrimis ini. Tapi pada prinsipnya, inti buku ini adalah di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Karena kiat pertama adalah: buang jauh-jauh pikiran bahwa kita tidak mampu membuang barang. Kalau ada kemauan untuk membuang barang kita, apapun bentuk dan rupanya, pasti kita bisa deh.
Kalau ada kemauan tapinya...
Slugfest: Inside the Epic, 50-year Battle between Marvel and DC
Judul : Slugfest: Inside the Epic, 50-year Battle between Marvel and DC
Penulis : Reed Tucker
Penerbit : Da Capo Press
Tebal : 286 halaman
Dibaca tanggal : 30 November s/d 30 Desember 2018
Sinopsis :
The most bruising battle in the superhero world isn't between spandex-clad characters; it's between the publishers themselves. For more than 50 years, Marvel and DC have been locked in an epic war, tirelessly trading punches and trying to do to each other what Batman regularly does to the Joker's face. Slugfest, the first book to tell the history of this epic rivalry into a single, juicy narrative, is the story of the greatest corporate rivalry never told. It is also an alternate history of the superhero, told through the lens of these two publishers.
Slugfest will combine primary-source reporting with in-depth research to create a more fun Barbarians at the Gate for the comic book industry. Complete with interviews with the major names in the industry, Slugfest reveals the arsenal of schemes the two companies have employed in their attempts to outmaneuver the competition, whether it be stealing ideas, poaching employees, planting spies, ripping off characters or launching price wars. Sometimes the feud has been vicious, at other times, more cordial. But it has never completely disappeared, and it simmers on a low boil to this day.
The competition has spilled over to the even the casual fans, bisecting the world into two opposing tribes. You are either a Marvel or a DC fan, and allegiance is hardly a trivial matter. Perhaps the most telling question one can ask of a superhero fan is, Marvel or DC? The answer often reveals something deeper about personality, and the reason is wrapped up in the history of both companies.
Reading Experience :
Apakah Anda penikmat komik, khususnya komik superhero?
Kalau jawabannya iya, apakah Anda pembaca komik terbitan Marvel atau terbitan DC? Atau kedua-duanya?
Apakah Anda bertanya-tanya mengapa banyak karakter dari kedua komik yang penampakannya mirip, sama dan sebangun? Apakah mereka masih sepupu jauh?
Apakah Anda bertanya-tanya mengapa karakter Captain Marvel dari DC terpaksa ganti nama jadi Shazam? Kan repot, harus ganti akte, lantas kudu bikin selamatan pakai bubur merah bubur putih segala biar orang sekampung tahu?
Apakah Anda ingin tahu bagaimana Marvel bisa melibas dominasi DC di ajang perkomikan pada tahun 1960-70an? Bagaimana DC terseok-seok berusaha mengejar ketertinggalan tanpa pernah dapat memahami alasan pembaca komik lebih tertarik membeli dan membaca komik Marvel?
Apakah Anda ingin tahu bagaimana Marvel bisa mendominasi ajang film superhero di awal abad ke-21 dengan Marvel Cinematic Universe-nya, sementara DC jatuh bangun mengejar dengan DC Expanded Universe (atau sudah ganti nama jadi DC Universe saja, ya? Whatever.)-nya?
Kalau memang Anda punya banyak pertanyaan tak terjawab tentang kompetisi Marvel vs DC dari jaman kuda gigit besi sampai sekarang, buku ini cocok untuk dibaca di saat iseng untuk membuka cakrawala. Mungkin juga sebagai penikmat dan pemerhati komik/film superhero sebenarnya Anda sudah cukup tahu semua jawaban pertanyaan di atas, tapi buku ini tetap dapat dijadikan bacaan wajib, minimal memperkuat basis pengetahuan Anda sekiranya di masa yang akan datang Anda tanpa sengaja terlibat ajang perdebatan berdarah-darah antara fans Marvel dan fans DC yang ora uwis-uwis.
Sebagai salah seorang pembaca komik dengan segala bentuk dan turunannya, sebenarnya aku lebih dulu mengenal dan menggemari komik Eropa macam Tintin, Lucky Luke, Asterix, Smurf, dlsb, karena pada masa kecilku, komik seperti inilah yang lebih banyak beredar di toko buku di Indonesia (dari sini ketahuan jelas angkatannya deh!). Komik superhero AS cuma komik yang kubaca sambil lalu, itu pun karena pinjam koleksi anak tetangga yang punya akses bacaan yang berbeda denganku.
Lanjut ke masa manga mulai beredar di Indonesia, dimulai dengan angkatan Candy-Candy, Kungfu-boy, Dragon Ball, Pop Corn cs, aku mulai menyisihkan komik Eropa, apalagi komik superhero AS. Komik selain manga cuma jadi bacaan tersier. Menu utamaku tentu saja novel dan manga.
Kalaupun harus ditilik mana dulu komik superhero yang kubaca, DC atau Marvel, ya jelas DC-lah, terutama komik Batman dan Superman (karakter lain mah cuma figuran) yang lebih banyak beredar di pasaran. Kalaupun ada komik Marvel yang kubeli dan kubaca, paling komik Ultimate Spider-Man, yang cuma kubeli enam jilid. Alasannya? Rugi euy, harganya yang mahal tidak sepadan dengan jilidnya yang supertipis. Maklum, aku penggemar novel dan manga, yang jauh lebih tebal dan lebih memuaskan keinginan membaca.
Aku mulai lebih banyak membaca komik DC dan Marvel setelah mendapat kemudahan akses via internet. Kembali, yang lebih banyak kubaca terlebih dulu adalah komik DC yang karakternya lebih familiar. Aku mulai beralih ke komik Marvel setelah bosan membaca semua komik Batman/Superman modern termasuk versi Elsewhere (dan iya, aku kurang tertarik membaca komik karakter DC lainnya!) dan... yap, setelah film-film Marvel dari Spider-Man versi Sony dan MCU mulai bermunculan. Late to the party? Sure. Hop to the bandwagon? Not really.
Kalau ditodong pertanyaan apakah aku fans Marvel atau DC, aku tak akan pernah bisa menjawab. Aku penggemar komik. Titik. Apapun bentuknya, dari komik eropa, manga, maupun komik superhero amerika. Aku penggemar cerita yang menarik dengan storytelling dan artwork yang bagus. Hanya ada sedikit komik dengan artwork di luar seleraku yang bisa kumaafkan, karena cerita dan storytelling yang memang mumpuni. Namun aku lebih sering kehilangan mood baca duluan begitu melihat artwork yang tidak sesuai selera. Boleh dibilang, salah satu kekurangan komik Marvel dan DC adalah kualitas cerita dan artworknya bisa berubah suka-suka karena seringnya berganti penulis dan ilustrator dalam suatu serial. Berbeda halnya dengan manga yang selalu konsisten, karena penulis atau mangaka untuk suatu serial tetap orang yang sama.
Banyak komik DC yang menjadi favoritku (iya, mayoritas komik Batman), tapi lebih banyak lagi yang cuma kubaca selintasan karena ceritanya yang meh dan gitu doang. Begitu pula dengan komik Marvel (meskipun variasi karakter utama yang kubaca lebih banyak). Sami mawon. Malah kadang komik klasik yang digadang-gadang sebagai top-ten dari masing-masing penerbit pun bisa kulewatkan karena kualitas gambarnya yang jadul dan bikin malas baca. Bahkan bisa jadi ada faktor selain artwork yang juga berpengaruh. Sampai sekarang aku masih belum berminat mengikuti serial komik X-Men. Cuma beberapa jilid yang pernah kubaca, itu pun karena penulisnya Joss Whedon. Duh. Sudahlah. Mungkin kapan-kapan kubaca kalau sudah kehabisan bahan bacaan.
Tapi, seambigu apapun posisiku terhadap komik Marvel dan DC, buku ini tetap asyik untuk dibaca. Bagaimana Marvel yang awalnya penerbit kecil tukang jiplak dengan oplah rendah bisa menemukan formula komik yang bisa membuat pembaca komik DC berpindah ke lain hati. Bagaimana Stan Lee membuat disruption yang merevolusi dunia komik AS yang stagnan. Bagaimana panasnya perang antara dua penerbit ini, dari bajak-membajak penulis dan artis, saling intip dan saling jiplak cerita (corporate spying level ganas!), sampai perang kata di editorial (jaman jadul) dan media sosial (jaman now). Perang berpuluh-puluh tahun antar penerbit ini belum selesai sampai sekarang... dan malah berlanjut ke media yang berbeda...
Selain penggemar buku (termasuk komik), aku juga penggemar film (termasuk film yang diangkat dari komik). Jelas perang Marvel/DC di ranah perfilman ini juga menjadi cemilan sehari-hariku, yang menonton nyaris semua film genre superhero yang dirilis abad ini. Kembali, sama halnya dengan komik, intinya sepanjang cerita dan storytelling-nya bagus, aku pasti suka.
Sayangnya untuk film DC, sejauh ini aku cuma menyukai Batman versi Nolan (kecuali jilid 3, gara-gara adegan actionnya yang meh). Ada saja yang bikin sebal dari versi DCEU. Mungkin gara-gara aku kebanyakan baca komik Batman dan Superman, aku jadi kurang bisa mengapresiasi interpretasi dan visi sutradaranya yang tidak sejalan dengan karakter ideal di benakku. Tapi yang jelas, aku bete karena storytelling-nya yang bikin mulas dan males, bikin kepingin keluar studio di tengah jalan tapi batal karena sayang uang tiketnya. Sedangkan untuk film dengan karakter DC lainnya... mungkin aku kurang konek karena aku juga malas baca versi komiknya.
Lalu, apa bedanya dengan film Marvel? Kalau tetap ditodong juga, harus kuakui aku lebih condong untuk menyukai film-film Marvel, khususnya versi MCU (rilisan Fox dan Sony pun secara umum oke, meskipun ada beberapa yang lebih baik dicoret dari daftar binge-watching). Alasannya? Sederhana saja. Cerita, akting, storytelling. Bisa saja ada karakter yang mbalelo dari pakem komik, tapi dapat kumaafkan sepanjang tiga unsur utamanya tetap di atas standar. Karakter yang kurang kukenal karena tidak pernah baca versi komiknya? Tidak masalah, sepanjang... idem (lihat alasan sebelumnya). Ini hanya opini pribadiku... yang boleh dibilang kurang lebih sama dengan pendapat umum penikmat film non partisan pada umumnya.
Sejarah kembali berulang. DC pernah berjaya dan mendominasi dunia perkomikan, sebelum kemudian Marvel menciptakan formula storytelling yang tidak sepenuhnya dapat ditiru oleh DC sampai dengan saat ini. DC lebih dulu berjaya mengangkat karakter komiknya ke media film dengan kualitas dan rekor box office yang memadai, sementara Marvel cuma bisa membuat film level medioker dengan kualitas yang mana tahan... Sampai akhirnya film X-Men mengubah nasib genre superhero di jagad perfilman secara signifikan dan studio Marvel menciptakan formula storytelling dengan MCU-nya, yang ternyata juga sukar ditiru oleh DC sampai dengan saat ini.
Apakah perang antara Marvel dan DC akan terus berlanjut? Entahlah. Bagaimana bila suatu saat nanti penikmat film akhirnya bosan dengan genre superhero? Who knows. Kita lihat saja perkembangannya.
Tapi yang jelas, kita harus tetap ingat bahwa di luar komik Marvel dan DC, masih banyak komik yang dirilis penerbit lain yang juga populer dan layak diangkat dan digubah ke media lain. Mungkin sebagian malah telah diangkat ke media televisi dan film, tanpa kita tidak sadar bahwa itu sebenarnya cerita komik juga, meskipun bukan genre superhero.
Aku tetap berharap suatu saat nanti komik Saga-nya Brian K. Vaughan diangkat ke media televisi atau film. Tapi mungkin aku tunggu saja sampai Y-The Last Man jadi dibuat serial televisinya. Atau lebih realistis lagi, kalau aku lebih baik menunggu kehadiran serial komik lain yang sudah jelas bakal tayang dalam waktu dekat, seperti The Boys-nya Warren Ellis.
Penulis : Reed Tucker
Penerbit : Da Capo Press
Tebal : 286 halaman
Dibaca tanggal : 30 November s/d 30 Desember 2018
Sinopsis :
The most bruising battle in the superhero world isn't between spandex-clad characters; it's between the publishers themselves. For more than 50 years, Marvel and DC have been locked in an epic war, tirelessly trading punches and trying to do to each other what Batman regularly does to the Joker's face. Slugfest, the first book to tell the history of this epic rivalry into a single, juicy narrative, is the story of the greatest corporate rivalry never told. It is also an alternate history of the superhero, told through the lens of these two publishers.
Slugfest will combine primary-source reporting with in-depth research to create a more fun Barbarians at the Gate for the comic book industry. Complete with interviews with the major names in the industry, Slugfest reveals the arsenal of schemes the two companies have employed in their attempts to outmaneuver the competition, whether it be stealing ideas, poaching employees, planting spies, ripping off characters or launching price wars. Sometimes the feud has been vicious, at other times, more cordial. But it has never completely disappeared, and it simmers on a low boil to this day.
The competition has spilled over to the even the casual fans, bisecting the world into two opposing tribes. You are either a Marvel or a DC fan, and allegiance is hardly a trivial matter. Perhaps the most telling question one can ask of a superhero fan is, Marvel or DC? The answer often reveals something deeper about personality, and the reason is wrapped up in the history of both companies.
Reading Experience :
Apakah Anda penikmat komik, khususnya komik superhero?
Kalau jawabannya iya, apakah Anda pembaca komik terbitan Marvel atau terbitan DC? Atau kedua-duanya?
Apakah Anda bertanya-tanya mengapa banyak karakter dari kedua komik yang penampakannya mirip, sama dan sebangun? Apakah mereka masih sepupu jauh?
Apakah Anda bertanya-tanya mengapa karakter Captain Marvel dari DC terpaksa ganti nama jadi Shazam? Kan repot, harus ganti akte, lantas kudu bikin selamatan pakai bubur merah bubur putih segala biar orang sekampung tahu?
Apakah Anda ingin tahu bagaimana Marvel bisa melibas dominasi DC di ajang perkomikan pada tahun 1960-70an? Bagaimana DC terseok-seok berusaha mengejar ketertinggalan tanpa pernah dapat memahami alasan pembaca komik lebih tertarik membeli dan membaca komik Marvel?
Apakah Anda ingin tahu bagaimana Marvel bisa mendominasi ajang film superhero di awal abad ke-21 dengan Marvel Cinematic Universe-nya, sementara DC jatuh bangun mengejar dengan DC Expanded Universe (atau sudah ganti nama jadi DC Universe saja, ya? Whatever.)-nya?
Kalau memang Anda punya banyak pertanyaan tak terjawab tentang kompetisi Marvel vs DC dari jaman kuda gigit besi sampai sekarang, buku ini cocok untuk dibaca di saat iseng untuk membuka cakrawala. Mungkin juga sebagai penikmat dan pemerhati komik/film superhero sebenarnya Anda sudah cukup tahu semua jawaban pertanyaan di atas, tapi buku ini tetap dapat dijadikan bacaan wajib, minimal memperkuat basis pengetahuan Anda sekiranya di masa yang akan datang Anda tanpa sengaja terlibat ajang perdebatan berdarah-darah antara fans Marvel dan fans DC yang ora uwis-uwis.
Sebagai salah seorang pembaca komik dengan segala bentuk dan turunannya, sebenarnya aku lebih dulu mengenal dan menggemari komik Eropa macam Tintin, Lucky Luke, Asterix, Smurf, dlsb, karena pada masa kecilku, komik seperti inilah yang lebih banyak beredar di toko buku di Indonesia (dari sini ketahuan jelas angkatannya deh!). Komik superhero AS cuma komik yang kubaca sambil lalu, itu pun karena pinjam koleksi anak tetangga yang punya akses bacaan yang berbeda denganku.
Lanjut ke masa manga mulai beredar di Indonesia, dimulai dengan angkatan Candy-Candy, Kungfu-boy, Dragon Ball, Pop Corn cs, aku mulai menyisihkan komik Eropa, apalagi komik superhero AS. Komik selain manga cuma jadi bacaan tersier. Menu utamaku tentu saja novel dan manga.
Kalaupun harus ditilik mana dulu komik superhero yang kubaca, DC atau Marvel, ya jelas DC-lah, terutama komik Batman dan Superman (karakter lain mah cuma figuran) yang lebih banyak beredar di pasaran. Kalaupun ada komik Marvel yang kubeli dan kubaca, paling komik Ultimate Spider-Man, yang cuma kubeli enam jilid. Alasannya? Rugi euy, harganya yang mahal tidak sepadan dengan jilidnya yang supertipis. Maklum, aku penggemar novel dan manga, yang jauh lebih tebal dan lebih memuaskan keinginan membaca.
Aku mulai lebih banyak membaca komik DC dan Marvel setelah mendapat kemudahan akses via internet. Kembali, yang lebih banyak kubaca terlebih dulu adalah komik DC yang karakternya lebih familiar. Aku mulai beralih ke komik Marvel setelah bosan membaca semua komik Batman/Superman modern termasuk versi Elsewhere (dan iya, aku kurang tertarik membaca komik karakter DC lainnya!) dan... yap, setelah film-film Marvel dari Spider-Man versi Sony dan MCU mulai bermunculan. Late to the party? Sure. Hop to the bandwagon? Not really.
Kalau ditodong pertanyaan apakah aku fans Marvel atau DC, aku tak akan pernah bisa menjawab. Aku penggemar komik. Titik. Apapun bentuknya, dari komik eropa, manga, maupun komik superhero amerika. Aku penggemar cerita yang menarik dengan storytelling dan artwork yang bagus. Hanya ada sedikit komik dengan artwork di luar seleraku yang bisa kumaafkan, karena cerita dan storytelling yang memang mumpuni. Namun aku lebih sering kehilangan mood baca duluan begitu melihat artwork yang tidak sesuai selera. Boleh dibilang, salah satu kekurangan komik Marvel dan DC adalah kualitas cerita dan artworknya bisa berubah suka-suka karena seringnya berganti penulis dan ilustrator dalam suatu serial. Berbeda halnya dengan manga yang selalu konsisten, karena penulis atau mangaka untuk suatu serial tetap orang yang sama.
Banyak komik DC yang menjadi favoritku (iya, mayoritas komik Batman), tapi lebih banyak lagi yang cuma kubaca selintasan karena ceritanya yang meh dan gitu doang. Begitu pula dengan komik Marvel (meskipun variasi karakter utama yang kubaca lebih banyak). Sami mawon. Malah kadang komik klasik yang digadang-gadang sebagai top-ten dari masing-masing penerbit pun bisa kulewatkan karena kualitas gambarnya yang jadul dan bikin malas baca. Bahkan bisa jadi ada faktor selain artwork yang juga berpengaruh. Sampai sekarang aku masih belum berminat mengikuti serial komik X-Men. Cuma beberapa jilid yang pernah kubaca, itu pun karena penulisnya Joss Whedon. Duh. Sudahlah. Mungkin kapan-kapan kubaca kalau sudah kehabisan bahan bacaan.
Tapi, seambigu apapun posisiku terhadap komik Marvel dan DC, buku ini tetap asyik untuk dibaca. Bagaimana Marvel yang awalnya penerbit kecil tukang jiplak dengan oplah rendah bisa menemukan formula komik yang bisa membuat pembaca komik DC berpindah ke lain hati. Bagaimana Stan Lee membuat disruption yang merevolusi dunia komik AS yang stagnan. Bagaimana panasnya perang antara dua penerbit ini, dari bajak-membajak penulis dan artis, saling intip dan saling jiplak cerita (corporate spying level ganas!), sampai perang kata di editorial (jaman jadul) dan media sosial (jaman now). Perang berpuluh-puluh tahun antar penerbit ini belum selesai sampai sekarang... dan malah berlanjut ke media yang berbeda...
Selain penggemar buku (termasuk komik), aku juga penggemar film (termasuk film yang diangkat dari komik). Jelas perang Marvel/DC di ranah perfilman ini juga menjadi cemilan sehari-hariku, yang menonton nyaris semua film genre superhero yang dirilis abad ini. Kembali, sama halnya dengan komik, intinya sepanjang cerita dan storytelling-nya bagus, aku pasti suka.
Sayangnya untuk film DC, sejauh ini aku cuma menyukai Batman versi Nolan (kecuali jilid 3, gara-gara adegan actionnya yang meh). Ada saja yang bikin sebal dari versi DCEU. Mungkin gara-gara aku kebanyakan baca komik Batman dan Superman, aku jadi kurang bisa mengapresiasi interpretasi dan visi sutradaranya yang tidak sejalan dengan karakter ideal di benakku. Tapi yang jelas, aku bete karena storytelling-nya yang bikin mulas dan males, bikin kepingin keluar studio di tengah jalan tapi batal karena sayang uang tiketnya. Sedangkan untuk film dengan karakter DC lainnya... mungkin aku kurang konek karena aku juga malas baca versi komiknya.
Lalu, apa bedanya dengan film Marvel? Kalau tetap ditodong juga, harus kuakui aku lebih condong untuk menyukai film-film Marvel, khususnya versi MCU (rilisan Fox dan Sony pun secara umum oke, meskipun ada beberapa yang lebih baik dicoret dari daftar binge-watching). Alasannya? Sederhana saja. Cerita, akting, storytelling. Bisa saja ada karakter yang mbalelo dari pakem komik, tapi dapat kumaafkan sepanjang tiga unsur utamanya tetap di atas standar. Karakter yang kurang kukenal karena tidak pernah baca versi komiknya? Tidak masalah, sepanjang... idem (lihat alasan sebelumnya). Ini hanya opini pribadiku... yang boleh dibilang kurang lebih sama dengan pendapat umum penikmat film non partisan pada umumnya.
Sejarah kembali berulang. DC pernah berjaya dan mendominasi dunia perkomikan, sebelum kemudian Marvel menciptakan formula storytelling yang tidak sepenuhnya dapat ditiru oleh DC sampai dengan saat ini. DC lebih dulu berjaya mengangkat karakter komiknya ke media film dengan kualitas dan rekor box office yang memadai, sementara Marvel cuma bisa membuat film level medioker dengan kualitas yang mana tahan... Sampai akhirnya film X-Men mengubah nasib genre superhero di jagad perfilman secara signifikan dan studio Marvel menciptakan formula storytelling dengan MCU-nya, yang ternyata juga sukar ditiru oleh DC sampai dengan saat ini.
Apakah perang antara Marvel dan DC akan terus berlanjut? Entahlah. Bagaimana bila suatu saat nanti penikmat film akhirnya bosan dengan genre superhero? Who knows. Kita lihat saja perkembangannya.
Tapi yang jelas, kita harus tetap ingat bahwa di luar komik Marvel dan DC, masih banyak komik yang dirilis penerbit lain yang juga populer dan layak diangkat dan digubah ke media lain. Mungkin sebagian malah telah diangkat ke media televisi dan film, tanpa kita tidak sadar bahwa itu sebenarnya cerita komik juga, meskipun bukan genre superhero.
Aku tetap berharap suatu saat nanti komik Saga-nya Brian K. Vaughan diangkat ke media televisi atau film. Tapi mungkin aku tunggu saja sampai Y-The Last Man jadi dibuat serial televisinya. Atau lebih realistis lagi, kalau aku lebih baik menunggu kehadiran serial komik lain yang sudah jelas bakal tayang dalam waktu dekat, seperti The Boys-nya Warren Ellis.
Tuesday, February 21, 2017
The War of Art
Subjudul : Break Through the Blocks and Win Your Inner Creative Battles
Penulis : Steven Pressfield
Penerbit : Black Irish Entertainment
Tebal : 190 halaman
Tanggal dibaca : 06 Februari 2017
Verdict :

Review :
Judul buku ini bukan salah ketik. Ini bukan bukunya Sun Tzu yang kesohor berabad-abad itu.
Judul buku ini juga sempat bikin aku salah paham, sih. Mengingat beberapa buku Steven Pressfield yang sudah kumiliki dan kubaca termasuk genre historical fiction, semula kukira buku ini juga setipe, atau minimal historical nonfiction gitu. Mungkin karena belum lama ini aku membaca manga Au Revoir, Sorcier yang membahas perseteruan antara kaum ningrat yang ingin memonopoli seni dengan para seniman jalanan.
Ternyata... perang yang dimaksud pada judul buku ini adalah perang para artis, khususnya penulis, melawan dirinya sendiri, melawan kecenderungan untuk resisten dan suka menunda-nunda.
Bukan cuma buat artis atau penulis, tentunya, karena secara umum buku ini juga dapat dibaca dan dijadikan pedoman buat kita semua, manusia biasa yang punya penyakit bawaan yang sama: malas.
Di halaman awal, Pressfield memberi daftar contoh kegiatan yang pada umumnya menimbulkan resistensi:
1. Memenuhi panggilan jiwa dalam menulis, melukis, bermusik, menari, atau seni kreatif apapun;
2. Membuka usaha, baik yang mencari laba ataupun tidak;
3. Berdiet atau bergaya hidup sehat;
4. Meningkatkan kegiatan spiritual;
5. Setiap aktivitas yang bertujuan mengencangkan otot perut;
6. Setiap kursus atau program yang dirancang untuk mengatasi kebiasaan buruk atau ketagihan;
7. Segala bentuk pendidikan;
8. Setiap tindakan politis, moral atau etis, termasuk keputusan untuk berubah untuk menjadi lebih baik dalam pikiran maupun perbuatan;
9. Melakukan kegiatan yang bertujuan membantu orang lain;
10. Mengambil tindakan yang membutuhkan komitmen: menikah, punya anak, memperbaiki hubungan
Dari daftar di atas, kira-kira mana saja yang menjadi resolusi kita di awal tahun, dan kemudian kita tetapkan sebagai resolusi awal tahun berikutnya?
Perilaku menunda-nunda adalah manifestasi yang paling lazim dari resistensi.
Ada satu quote yang selalu kuamini selama ini, karena... cocok:
Never put off
until tomorrow what you can do the day after tomorrow
---Mark Twain
Kalau yang ditunda sifatnya iseng (seperti menulis review buku ini, misalnya) sih kemungkinan besar tidak apa-apa. Tapi kalau sudah masuk ranah pekerjaan dan profesional, konsekuensinya bisa ke mana-mana deh. Ujung-ujungnya duit. Bisa duit perusahaan, duit orang lain, dan yang lebih gawat lagi: duit sendiri.
Omong-omong, apa sih definisi profesional menurut Pressfield?
1. We show up everyday.
2. We show up no matter what.
3. We stay on the job all day.
4. We are committed over the long haul.
5. The stakes for us are high and real.
6. We accept remuneration for our labor.
7. We do not overidentify with our jobs.
8. We master the technique of our jobs.
9. We have a sense of humor about our jobs.
10. We receive praise or blame in the real world.
Bersikap profesional bagi orang kantoran lebih mudah karena hak dan kewajiban, kedisiplinan, penghargaan dan sanksi sudah diatur jelas dalam peraturan perusahaan. Bersikap profesional bagi seniman relatif lebih berat karena ia sendiri yang harus bisa mengendalikan kedisiplinannya.
Di buku ini, Pressfield memberikan resep dan strategi bagi para profesional di bidang seni (khususnya para penulis seperti dirinya) untuk melawan resistensi dan perilaku menunda-nunda agar tidak berkembang menjadi kebiasaan, karena terlalu banyak godaannya. Sengaja tidak kukutip di sini, karena selain terlalu banyak, tulisan ini hanya dimaksudkan sebagai review singkat, bukan ringkasan buku. Kalau memang ingin tahu lebih jauh, akan lebih baik bila membaca bukunya saja.
Akhir kata, kututup review ini dengan surat dari seniman Sol LeWitt kepada rekannya Eva Hesse, pada tahun 1965:
Just stop thinking, worrying, looking over your shoulder, wondering, doubting, fearing, hurting, hoping for some easy way out, struggling, grasping, confusing, itching, scratching, mumbling, bumbling, grumbling, humbling, stumbling, numbling, rambling, gambling, tumbling, scumbling, scrambling, hitching, hatching, bitching, moaning, groaning, honing, boning, horse-shitting, hair-splitting, nit-picking, piss-trickling, nose sticking, ass-gouging, eyeball-poking, finger-pointing, alleyway-sneaking, long waiting, small stepping, evil-eyeing, back-scratching, searching, perching, besmirching, grinding, grinding, grinding away at yourself. Stop it and just DO.
Serta kata-kata bijak dari Yoda kepada Luke Skywalker:
Do. Or Not Do. There Is No Try.
![]() |
Self Improvement and Self-Help |
Monday, October 3, 2016
The Polysyllabic Spree
Penulis : Nick Hornby
Penerbit : Believer Books
Edisi : Paperback,
Tebal : 143 halaman
Dibeli di : Indonesia International Book Fair 2016
Dibeli tanggal : 2 Oktober 2016
Harga beli : Rp. 150.000,-
Dibaca tanggal : 2 Oktober 2016
Sinopsis :
The Polysyllabic Spree is the first title in the Believer Book series, which collects essays by and interviews with some of our favorite authors—George Saunders, Zadie Smith, Michel Houellebecq, Janet Malcolm, Jim Shepard, and Haruki Murakami, to name a few. In his monthly column "Stuff I've Been Reading", Nick Hornby lists the books he's purchased and the books he's read that month - they almost never overlap - and briefly discusses the books he's actually read. The Polysyllabic Spree includes selected passages from the novels, biographies, collections of poetry, and comics discussed in the column.
Review :
Selain nama penulisnya (yang sebagian besar karyanya sudah kubaca dan kusukai), yang membuatku langsung mencomot buku ini di lapak buku bekas di IIBF tahun ini adalah tagline-nya:
A hilarious and true account of one man's struggle with the monthly tide of the books he's bought and the books he's been meaning to read.
Jadi, ini review buku tentang kumpulan review buku yang ditulis Nick Hornby pada kolomnya di majalah bulanan Believer.
Pada awal setiap esainya, Hornby membagi daftar bacaannya dalam dua kolom: buku yang dibeli dan buku yang dibaca (dan sekalian direview secara singkat) pada bulan tersebut. Dan tentu saja, tidak semua buku yang dibelinya lantas dibaca pada bulan yang sama (hah, story of my life!).
Hornby menetapkan beberapa aturan dasar bagi pembaca di bab pertama buku ini. Aturan pertama:
I don't want anyone writing in to point out that I spend too much money on books, many of which I will never read. I know that already. I certainly intend to read all of them, more or less. My intentions are good. Anyway, it's my money. And I'll bet you do it too.
Huahaha, nonjok banget! Don't we all?
Review Hornby dari buku-buku yang sempat dibacanya tiap bulan bukanlah review yang klinis, boleh dibilang cukup pribadi bahkan curcol. Kita jadi tahu kalau Hornby jadi suka memperhatikan orang-orang tak dikenal yang sedang membaca buku waktu liburan (siapa tahu ada yang sedang membaca novel yang dikarangnya). Dan kita juga jadi tahu kalau Hornby ternyata saudara ipar dari Robert Harris (pengarang Conspirata, Imperium, Pompeii), dan bagaimana ia harus meluangkan waktu khusus untuk membaca (baca: meninggalkan bacaan lain) apabila sang ipar memberikan buku terbarunya. Dan sama dengan kita, sebuah buku yang dibaca Hornby bisa membuatnya membaca buku lain yang berkaitan, bahkan buku-buku dari pengarang sang sama dalam waktu yang berdekatan! Dan, mungkin sama dengan kita, Hornby berkontemplasi tentang fenomena bagaimana kita bisa lupa tentang isi buku-buku yang pernah kita baca.
Dari kolom daftar buku, kita juga bisa melihat bahwa daftar buku yang dibeli Hornby setiap bulan seringkali lebih panjang daripada buku yang dibacanya. Jadi, supaya imbang, kadang Hornby berbuat curang (yang diakuinya dengan bangga) dengan membaca banyak buku-buku yang tipis supaya daftar buku yang dibaca lebih panjang ketimbang yang dibeli! Walah, itu mah trik yang kupakai kalau lagi keteteran di reading challenge! Dem, kok malah bangga ya?
Gara-gara baca buku ini, aku jadi ingin membaca beberapa buku yang dibahasnya, termasuk So Many Books karya Gabriel Zaid, yang mengangkat pertanyaan universal para pembaca buku: Why bloody bother? Why bother reading the bastards, and why bother writing them? Menurut Zaid, perlu waktu lima belas tahun hanya untuk membaca judul dan nama penulis dari semua buku yang pernah diterbitkan (plus delapan tahun lagi kalau mau ditambah nama penerbitnya). Hornby sampai mengutip paragraf kedua buku Zaid yang dianggapnya sangat spesial: "The truly cultured are capable of owning thousands of unread books without losing their composure of their desire for more."
That's me! And you, probably! That's us!
All the books we own, both read and unread, are the fullest expression of self we have at our disposal. With each passing year, and with each whimsical purchase, our libraries become more and more able to articulate who we are, whether we read the books or not.
Well, buku ini kubeli dan kubaca pada hari yang sama. That's a rare thing these days.
Friday, September 16, 2016
The Life-Changing Magic of Tidying Up
Judul : The Life-Changing Magic of Tidying Up
(Seni Beres-Beres dan Metode Merapikan ala Jepang)
Penulis : Marie Kondo
Penerbit : Bentang
Tebal : xviii + 206 halaman
ISBN : 9786022912446
Dibeli di : Gramedia.com
Harga beli : Rp. 45.900,- (disc. 15%)
Diterima pada tanggal : 26 Agustus 2016
Dibaca pada tanggal : 29 Agustus 2016
Singkatnya, sebagai pengumpul buku, pakaian, sepatu, kartu pos, perangko, mug, koin... eh, intinya segala macam barang (tapi terutama buku), aku merasa guidance dari Marie Kondo ini sangat penting!
Titik.
Eh, nggak juga ding, masih koma, karena
Mulai dari mana ya...
Bagiku buku ini sangat menohok, karena sebagai orang (merasa) cukup apik, rapi, dan rajin berbenah setiap hari (terutama di kantor), ternyata banyak kebiasaanku dalam berbenah yang rupanya salah kaprah.
Menurut Marie Kondo, mendingan kita merapikan sekaligus daripada sedikit-sedikit, karena berbenah sedikit-sedikit berarti berbenah tanpa henti. Aku sependapat dalam hal ini, karena sudah kupraktekkan di kantor. Setelah berbenah dengan membuang barang-barang tak dibutuhkan, aku selalu menjaga kondisi ruang kerja dalam kondisi rapi-kinclong-hampir tidak ada barang di atas meja setiap kali kutinggal pulang di akhir hari. Tapi... ada tapinya, ini hanya bisa dilakukan karena aku tidak menyimpan barang-barang pribadi di kantor, termasuk buku!
Cerita jadi lain kalau sudah menyangkut barang-barang pribadi. Sebagai manusia tipe pengumpul (kadang-kadang tipe pemburu juga sih, khususnya barang diskonan), barang-barang pribadiku selalu bertambah setiap hari. Meskipun aku pecinta buku kelas kakap yang anggaran belanja buku setiap bulannya jauh lebih besar daripada anggaran sandang/pangan/papan, ternyata koleksi pakaian dan sepatuku baik di kamar kos maupun di rumah orang tua juga memakan banyak tempat penyimpanan! Pertambahan baju/sepatu memang tidak seperti pertambahan buku yang eksponensial, cuma beberapa bulan sekali atau sampai setahun sekali, tapi tetap bertambah karena barang yang sudah bertahun-tahun tidak dipakai pun masih disimpan.
Tidak tega membuang barang memang penyakit turunan khas tipe pengumpul. Sudah susah-susah dikumpulkan, mahal-mahal dibeli, masa dibuang begitu saja. Sayang kan, masih bisa dipakai lagi kapan-kapan, apalagi ukuran baju/sepatu tetap sama dari zaman SMP. Sayang kan, siapa tahu buku yang itu mau dibaca lagi kapan-kapan.
Menurut Marie Kondo, "kapan-kapan" berarti "takkan pernah", jadi semua barang yang statusnya tidak jelas seperti itu harus dibuang! Ia juga menyarankan agar kita memulai dengan membuang semuanya sekaligus, tanpa ampun, dan sampai tuntas! Caranya adalah, kita mengumpulkan barang yang akan dibereskan di satu tempat, lalu memilih mana yang akan disimpan dan yang akan dibuang, dengan mengambil dan memegangi setiap barang dan bertanya "Apakah ini membangkitkan kegembiraan?" Jika ya, simpanlah. Jika tidak, buang saja. Dan urutan terbaik untuk berbenah per kategori barang adalah: pakaian, buku, kertas, pernak-pernik, dan terakhir kenang-kenangan. Tapi karena koleksiku yang paling banyak adalah buku, untukku pribadi sepertinya koleksi buku yang harus dibereskan duluan.
Pertama-tama, sepertinya aku merasa kurang sreg dengan prinsip Marie Kondo bahwa "kapan-kapan" berarti "takkan pernah", khususnya terkait dengan timbunan buku tak terbaca. Aku pernah menelantarkan buku selama puluhan tahun (Tinker, Tailor, Soldier, Spy), belasan tahun (War and Peace, The Stand, The Dark Tower Series), atau beberapa tahun (ah, ini mah tidak bisa disebut satu persatu), tapi buku-buku itu tidak kubuang karena aku meyakini kualitasnya, dan toh akhirnya benar-benar kubaca. Tapi, itu bukan berarti aku tidak pernah membuang buku yang belum kubaca sama sekali. Aku juga pernah kok menyortir timbunan buku belum terbaca dan menyumbangkan sebagian di antaranya. Pertimbangannya simpel saja, aku mungkin tidak akan terlalu suka membacanya dan toh buku itu kubeli dengan harga obral.
Dulu, aku pernah berencana kapan-kapan membuka perpustakaan umum atau rumah baca gratis di kampungku, demi meningkatkan minat baca anak-anak di lingkungan sekitar rumah yang saat ini kelihatannya sangat kurang, yang mungkin disebabkan tidak adanya akses yang mudah dan murah ke buku bacaan. Jadi, aku sering memanfaatkan pameran atau sale buku sebagai ajang berinvestasi sejak dini, dengan membeli buku-buku yang kuanggap sepertinya menarik, termasuk buku anak-anak, dalam jumlah yang lumayan banyak. Tapi aku mulai berpikir ulang sejak insiden menyedihkan beberapa tahun yang lalu, waktu nyaris 3/4 koleksi bukuku dilego ke tukang loak (KILOAN!!!) oleh orang yang seharusnya menjaganya.
Lantas, aku pun mengubah prinsip dalam mengoleksi buku, dari semula mengoleksi sebanyak-banyaknya menjadi hanya mengoleksi buku yang kusukai saja. Waktu aku membeli ulang buku-buku yang raib, aku pastikan buku-buku itu adalah favoritku, yang dengan memiliki dan membacanya saja dapat membuatku bahagia. Nah, sudah cocok dengan prinsip Marie Kondo, kan?
Lalu, bagaimana dengan buku koleksi yang sekarang kalau kupegang satu per satu tidak ada getar terasa? Padahal dulu mungkin waktu membelinya aku senang banget kayak nemu harta karun, yang bisa jadi gara-gara kudapat dengan gratis atau harga murah meriah.
Ya... Persis seperti anjuran Marie Kondo juga: buang saja. Tapi tentunya bukan buang sembarangan ke kali atau dikilo ke tukang loak. Selalu ada tempat untuk buku. Kalau rencanaku membuka rumah baca sendiri di kampungku baru bisa terlaksana di masa yang akan datang karena aku belum bisa menemukan orang lain yang bisa kupercaya untuk merawat koleksiku, mungkin lebih baik apabila buku-bukuku bermanfaat dan berguna saat ini, baik di tangan para pecinta buku lain ataupun di perpustakaan di kampung lain yang lebih membutuhkan.
Jadi, mungkin acara beres-beres perpustakaan (dan giveaway di blog ini) sepertinya akan selalu menjadi kegiatan rutinku. Aku tidak bisa mengikuti anjuran Marie Kondo untuk berbenah secara sekaligus, selain karena waktu yang terbatas, aku juga masih belum bisa (baca: belum mau) menghentikan belanja buku, baik yang rutin maupun nonrutin. Iya, aku masih menggunakan prinsip berbenah versi lama: kalau ada barang yang masuk, harus ada barang yang keluar. Tapi itu pun hasilnya sudah cukup lumayan, kok. Tumpukan buku tanpa tempat di lemari perpustakaanku yang ruangnya terbatas semakin berkurang, dan hati pun terasa lebih ringan.
Kepada buku-buku yang kulepas, terima kasih atas kebahagiaan yang telah kalian berikan saat aku memperoleh dan memiliki kalian selama ini. Mudah-mudahan kalian dapat memberikan kebahagiaan di tempat yang baru.
Kepada teman-teman yang mengadopsi buku-bukuku, terima kasih atas kesediaannya untuk menampung buku-bukuku dan mensukseskan kegiatan beres-beres dan merapikan perpustakaan pribadiku.
P.S. Kutipan buku yang kucuplik di sini cuma sedikit, jadi kalau tertarik untuk belajar teknik Marie Kondo lebih lanjut, silakan baca sendiri ya. Very recommended buat hoarder kambuhan.
P.P.S. Meskipun aku belum bisa mempraktekkan isinya, buku ini sudah menjadi salah satu buku favoritku saat ini. Jadi tidak, aku tidak akan membuangnya. Di Goodreads, aku merating buku ini:
P.P.P.S. Dengan membaca buku ini, atau mempraktekkan seni Marie Kondo, minimal kita akan menyadari apa saja yang sebenarnya kita butuhkan untuk menjalani hidup sehari-hari dengan gembira, dan apa saja yang lebih baik kita singkirkan supaya kita dapat merasa lebih bahagia. Buku ini dilengkapi dengan testimoni dari klien-klien yang dibantu Marie Kondo untuk berbenah, meskipun kadang-kadang terlalu ekstrim seperti ini:
Kursus Anda mengajarkan kepada saya untuk melihat apa saja yang sungguh saya butuhkan dan apa saja yang tidak saya perlukan. Jadi, saya lantas minta cerai. Sekarang saya merasa jauh lebih bahagia.
Friday, September 9, 2016
Hidup Di Luar Tempurung
Judul : Hidup di Luar Tempurung
Penulis : Benedict Anderson
Penerjemah : Ronny Agustinus
Penerbit : Marjin Kiri
Tebal : 205 halaman
Dibeli di : Post Santa Blok M
Dibeli tanggal : 27 Agustus 2016
Dibaca tanggal : 3 September 2016
Waktu pertama kali sengaja main ke Post Santa Blok M (pakai acara hujan-hujanan pula!) demi membeli satu buah buku yang susah dicari di toko buku offline dan online biasa, aku malah tergiur (baca: kalap) melihat display buku-buku terbitan Marjin Kiri (aku suka pilihan buku yang diterbitkan Marjin Kiri) yang nota bene juga rada susah dicari di toko buku offline dan online biasa, dan pada akhirnya pulang dengan beberapa di antaranya. Nah, buku ini salah satunya.
Seperti biasa, selain faktor penerbitnya, aku membeli buku ini karena (setelah membaca sinopsis di cover belakangnya) merasa buku ini sepertinya menarik. Untunglah, kali ini feeling-ku tidak meleset. IMHO, buku ini sangat, sangat, sangat menarik! Dan alhasil di Goodreads buku ini kurating:
Aku sudah cukup banyak membaca buku biografi yang cukup bervariasi, dari perwira militer, politisi, pengusaha, komika, bintang film, pelatih sepakbola, novelis, editor dan lain sebagainya, tapi otobiografi seorang akademisi? Rasanya cukup jarang. Apalagi akademisi yang satu ini pernah kerja lapangan di Indonesia, tetap cinta Indonesia meski dicekal puluhan tahun oleh rezim Orde Baru, lantas setelah meninggal dunia abunya disebar di Selat Madura.
Awalnya, buku ini hanya diterbitkan dalam bahasa Jepang dengan pasar sasaran mahasiswa-mahasiswi Jepang, untuk membantu mereka yang tak punya banyak bayangan akan konteks sosial, politik, budaya, dan zaman tempat para ilmuwan Anglo-Saxon lahir, mengenyam pendidikan, dan menjadi matang secara keilmuan. Namun menjelang akhir hayatnya buku ini diterbitkan juga dalam bahasa Inggris, dan pada akhirnya tentu saja dalam bahasa Indonesia.
Dalam buku tipis ini, Benedict Anderson menceritakan masa kecilnya, masa pendidikan di Irlandia dan Inggris, pengalaman akademisi di AS, kerja lapangan di Indonesia, Siam dan Filipina, disertai renungan perihal universitas di Barat, perbandingan-perbandingan antardisiplin ilmu, sampai menceritakan aktivitas di masa pensiun, sesekali ditambahi membahas buku atau film kesukaannya. Membaca buku ini seperti mendengarkan kakek kita bercerita tentang masa lalunya, kadang-kadang serius, kadang-kadang bergurau, dan kadang-kadang melantur suka-suka. Pokoknya, tidak membosankan! Penuturannya asyik untuk diikuti dan pengalaman hidupnya bikin sirik. Rasanya seperti membaca kisah petualangan Tintin di dunia nyata (minus karakter-karakter heboh macam Kapten Haddock atau Profesor Calculus), kalau Tintin seorang akademisi dan bisa menua.
Seperti biasa, aku juga suka penerjemahan Mas Ronny yang membuat ceritanya mengalir lancar. Hanya ada satu hal yang membuat kening sempat berkerut, yaitu pemilihan kata "bokap-nyokap" saat Om Ben (panggilan sayang teman-teman muda Indonesia) bercerita tentang ayah-ibunya. Kata-kata prokem yang saat ini rasanya sudah jarang terdengar ini terasa agak aneh di antara bahasa buku yang nyaris formal secara keseluruhan. Tapi belakangan, setelah dipikir-pikir lagi, pasti ada alasan khusus di balik pemilihan kata dari bahasa prokem itu. Mungkin karena itulah bahasa gaul anak muda yang dipelajari Om Ben sewaktu masih kerja lapangan di Indonesia dan terus melekat sampai sekarang. Bahkan, kalau melihat catatan Mas Ronny di akhir buku, dalam komunikasi tertulisnya dengan teman-teman Indonesianya, Om Ben masih demen menggunakan ejaan Suwandi ketimbang EYD.
Sebelum membaca buku ini, aku sudah membeli dan membaca buku Di Bawah Tiga Bendera karya Benedict Anderson yang juga terbitan Marjin Kiri. Setelah membaca buku ini aku jadi ingin mencari dan membaca karya-karya beliau yang lain, terutama bukunya yang paling terkenal, Immagined Communities, yang rupa-rupanya jadi buku pegangan mahasiswa yang mempelajari dan mendalami nasionalisme.
Monday, March 21, 2016
The Life of Senna
===============================
Dibaca pada tanggal : 17 - 28 Februari 2016
===============================
"If I am going to live, I want to live fully, very intensely, because I am an intense person. It would ruin my life if I have to live partially. So my fear is that I might get badly hurt. I would not want to be in a wheelchair. I would not like to be in hospital suffering from whatever injury it was. If I ever happen to have an accident that eventually costs my life, I hope it happens in one instant."
Pada kecelakaan yang dialami Ayrton Senna di sirkuit Imola, hari Minggu tanggal 1 Mei 1994, jelas harapannya terkabul.
Ketika aku mengetahui kabar bahwa Ayrton Senna sudah tiada melalui siaran berita di televisi, aku menangis. Ketika aku membaca beritanya di surat kabar dan tabloid olahraga, aku mengucurkan air mata. Dan sekarang, waktu aku membaca kisah hidup Ayrton Senna dan sampai pada kisah matinya, air mataku kembali mengalir.
Dunia F1 kehilangan salah satu pembalap terbaiknya. Aku pun kehilangan motivasi untuk mengikuti berita F1 lagi. Hanya seorang Ayrton Senna yang sanggup membuatku tertarik menyaksikan dan mengikuti berita olahraga balap F1 dengan setia.
Emotionally charged aside, let's talk about this book. First of all, let me tell you that I give this book full five stars:
Penilaian yang bias?
Tentu saja. This is a book about a legend, the most brilliant Formula One driver ever raced. One of the greatest men that I truly admire.
Sebagian orang mungkin menganggap Tom Rubython juga sangat bias saat menyusun buku ini, tapi menurut pendapatku, ia cukup berimbang saat menyajikan fakta-fakta tentang Ayrton Senna di balik personanya di arena balap atau sirkuit. Buku ini menguraikan secara detail kehidupannya, dari masa kanak-kanaknya, balapan pertamanya, pole position yang diraihnya, semua kejuaraan dunia yang diikutinya, dan tentunya, kematiannya, dan hal-hal yang terjadi mengikuti tragedi tersebut.
Buat yang belum tahu siapa legenda dunia balap ini, berikut uraian ringkasnya:
Senna memulai karirnya dari balap go-kart waktu maih kanak-kanak, sebelum naik kelas di tahun 1981 dan memenangkan kejuaraan Formula 3 di tahun 1983. Ia memulai debutnya di F1 pada tahun 1984 dengan tim Toleman-Hart sebelum pindah ke Lotus-Renault tahun berikutnya dan memenangkan enam Grand Prix selama tiga season berikutnya. Pada tahun 1988, ia bergabung dengan tim McLaren-Honda, berpasangan dengan Alain Prost. Pada tahun itu, tim McLaren Honda memenangkan 15 dari 16 Grand Prix, yang dimenangkan oleh mereka berdua dengan Senna memenangkan gelar juara dunia untuk pertama kalinya. Senna meraih juara untuk kedua dan ketiga kalinya pada kejuaraan tahun 1990 dan 1991. Pada tahun 1992, tim Williams-Renault mulai mendominasi F1. Senna mengakhiri kejuaraan tahun 1993 sebagai runner-up, dan bernegosiasi untuk pindah ke Williams pada tahun 1994.
Senna selalu terpilih sebagai pembalap F1 terhebat sepanjang masa dalam berbagai polling, bahkan sampai saat ini. Ia menjadi pemegang rekor peraih pole position terbanyak dari tahun 1989 sampai dengan tahun 2006. Ia juga terkenal sebagai Rain Master, jagonya the art racing in the rain. Ia memenangkan sirkuit basah seperti Grand Prix Monaco 1984, Grand Prix Portugis 1985, dan Grand Prix Eropa 1993. Ia memenangkan enam Grand Prix Monaco yang prestisius, dan merupakan pemenang Grand Prix ketiga terbanyak sepanjang sejarah dengan masa karir yang tergolong singkat.
![]() |
Senna's years in F1: Toleman, Lotus, McLaren and Williams |
Oke, kembali ke review buku ini.
Rubython membagi buku The Life of Senna dalam 36 bab, tanpa urutan yang kronologis.
Setelah pengantar dari Gerhard Berger, yang pernah menjadi rekan setim, dan Keith Sutton, fotografer Inggris yang tanpa sengaja menjadi PR Senna, kita dilangsung dibawa masuk ke trageni gugurnya Senna di sirkuit pada bab pertama yang diberi judul Life: 2:17 pm, Sunday 1st May 1994. Pada bab dua, barulah diceritakan dua puluh tahun awal kehidupannya, di mana Senna yang telah belajar mengemudi sejak masih balita, dan sejak kanak-kanak telah mengikuti balapan go-kart, memilih olahraga otomotif khususnya balap mobil sebagai jalan hidupnya.
Bab-bab lain membahas karir singkatnya di F3, yang dilanjut dengan kesempatan untuk bergabung dengan tim-tim F1. Pilihannya pada tim Toleman untuk memulai karir di F1 murni berdasarkan prinsip. Sebagai seseorang sangat yakin bahwa dirinya pembalap terbaik dan tercepat, ia tidak mau bergabung di tim besar, di mana posisi yang ditawarkan kepadanya sebagai orang baru sudah pasti sebagai pembalap kedua yang kurang mendapat prioritas. Bersama Toleman dan Lotus, Senna berhasil membuktikan bahwa ia memang pembalap tercepat di F1. Sayangnya, mobil Toleman dan Lotus kurang bisa diandalkan, sehingga Senna baru bisa meraih juara dunia setelah ia bergabung dengan tim McLaren dengan mesin Honda yang tak ada tandingannya selama musim kejuaraan tahun 1988.
Selain kisah mengenai prestasi Senna di dunia balap, bumbu dan highlight yang sedap dibahas dan diulik dalam buku ini tentu saja hubungannya dengan para pembalap F1 lainnya, baik di arena maupun di luar arena balap. Misalnya saja dengan Nelson Piquet, pembalap F1 yang juga berasal dari Brazil, yang pastinya merasa terancam status pahlawan olahraga Brazil bakal direbut oleh anak pendatang baru. Atau dengan pembalap besar lainnya seperti Niki Lauda, Nigel Mansell, dan tentu saja Alain Prost, yang paling banyak bersaing sengit justru pada saat mereka masih satu tim di McLaren-Honda.
![]() |
Ki-ka: Senna, Prost, Mansell dan Piquet. Di sini kelihatannya adem ya... |
Banyak hal yang membuat Senna kerap menjadi sasaran tembak para jurnalis. Apalagi kalau ia sudah mengambil sikap dan keputusan yang baginya adalah masalah prinsip, tapi membuat banyak orang menganggapnya sebagai bajingan egois tanpa hati yang menghalalkan segala cara untuk menang. Untungnya (atau sialnya?), Senna tidak terlalu peduli, meskipun kadang hal tersebut akan merugikan baginya.
Tampilan luar Senna yang tampak dingin dan susah didekati memang gampang membuat orang salah paham. Hanya orang-orang yang mengenalnya dari dekat yang tahu seperti apa Senna sebenarnya.
One asked him why he was always such a miserable SOB. He replied: "I never smile much, because that's my way to be. But I am very happy inside. You people don't know me at all. And not knowing me, you cannot have the right feelings for it. I think I give a lot of my dedication to my profession. I work very hard, with the technicians. And we all won this championship together, step by step, race after race. And not in one race. We didn't win the championship here, we won the championship throughout the season, making the right decision and the right choices at critical moments. That's why you win a championship."
Buku ini juga membahas kehidupan Senna di luar dunia olahraga otomotif, yaitu hubungannya dengan orang-orang terdekat yang mengetahui pribadi Senna dalam kesehariannya: keluarga, kekasih, dan sahabat-sahabatnya. Berbeda dengan Alain Prost, hubungannya dengan Gerhard Berger, yang menjadi rekan setimnya setelah Prost pindah ke Ferarri, jauh lebih baik. Mungkin karena Berger lebih dapat memahami kepribadian Senna yang memang sulit, dan yang lebih penting lagi, cukup rendah hati untuk mau mengakui bahwa Senna memang pembalap yang lebih baik darinya. Masa-masa pertemanan mereka itu disebut "James Bond Years", yang konon disebut-sebut masa di mana Senna mengajari Berger bagaimana menjadi pengemudi yang lebih baik dan sebaliknya, masa di mana Berger mengajari Senna bersenang-senang, menikmati hidup di luar dunia balap.
Pada akhirnya, buku ini membahas tragedi kecelakaan Senna di sirkuit Imola dengan lebih detil, dan bagaimana tragedi itu mempengaruhi balapan F1 selanjutnya, dengan ditetapkannya peraturan-peraturan yang membuat kondisi balapan menjadi lebih aman bagi para pembalap untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kembali kecelakaan fatal yang memakan korban jiwa.
Review singkat ini kubuat sebagai tribute untuk Ayrton Senna da Silva, to celebrate his life, dan memang sengaja kujadwalkan untuk diposting pada tanggal 21 Maret 2016, tepat 56 tahun sejak Ayrton Senna dilahirkan. Apabila Ayrton Senna masih hidup sampai saat ini, mungkin saja sejarah F1 akan jauh berbeda. Mungkin.
Saturday, January 30, 2016
The Alpha Girl's Guide
Judul : The Alpha Girl's Guide
Penulis : Henry Manampiring
Penerbit : GagasMedia
Tebal : 254 halaman
Beli di : Gramedia Plaza Semanggi
Dibeli tanggal : 13 Januari 2016
Dibaca tanggal : 17 Januari 2016
Sinopsis :
Alpha Female adalah para perempuan yang menginspirasi, memimpin, menggerakkan orang sekitarnya, dan membawa perubahan. Mereka cerdas, percaya diri, dan independen. Bagaimana remaja dan perempuan muda bisa mengembangkan diri menjadi mereka? The Alpha Girl’s Guide akan membahas tips-tipsnya, seperti:
- Mana yang lebih penting, nilai atau pengalaman berorganisasi?
- Apakah teman kamu teman sejati atau teman yang menghambat?
- Bagaimana mengetahui cowok parasit dan manipulatif?
- Bagaimana bersikap saat patah hati?
- Apakah kamu akan menikah untuk alasan yang tepat?
- Apa yang penting dilakukan saat memulai bekerja?
Buku ini adalah hasil pengamatan, riset artikel, wawancara langsung, dan diskusi dengan banyak perempuan di media sosial Ask.fm. Ditulis dengan ringan, penuh ilustrasi kocak, tetapi tetap blak-blakan menohok, The Alpha Girl’s Guide akan membuat kamu terinspirasi menjadi cewek smart, independen dan bebas galau!
Komentar singkat:
Buku ini salah satu dari beberapa buku nonkomik yang kubeli pada waktu first book shopping di awal tahun 2016.
Sebenarnya menjelang akhir tahun 2015 aku sudah tahu kalau akan terbit buku baru Henry Manampiring (atau biasa dipanggil Om Piring) berkat iklan salah satu toko buku online langganan. Tapi ternyata sampai dengan terakhir kali main ke toko buku offline di tahun 2015, buku ini belum ada penampakannya. Belakangan, dari label harga yang dipasang di cover belakang, buku ini baru masuk toko tanggal 30 Desember 2015. Ya, pas aku sedang puasa beli buku sih.
Kenapa aku beli buku ini?
Simply, karena nama penulisnya. Aku sudah memiliki dan membaca dua buku sebelumnya, dan cukup suka dengan gaya penulisannya. Tapi karena aku buka pengikut atawa pembaca setia Om Piring di blog, twitter atau ask.fm, terus terang aku tidak tahu buku ini membahas apa :)
Tapi, meskipun demikian, untungnya buku ini tergolong gambling yang terbayar.
Oke, singkatnya... buku ini kumasukkan ke rak how-to atau self-help. Sudah jelas sih dari judulnya juga, ini buku panduan menjadi Alpha Girl, alias cewek yang smart, independen, dan anti-galau.
Om Piring terpikir untuk menulis buku ini karena setelah tujuh puluh tahun Indonesia mereka dan sekian puluh tahun kita merayakan hari Kartini, di zaman modern serba elektronik dan digital, masih ada saja kaum hawa yang pola pikirnya masih seperti di zaman kuda gigit besi.
Buku ini mencoba menyajikan perspektif kepada perempuan remaja dan muda, agar bisa menjadi pertimbangan dalam menjalani hidup dan meraih potensi, memberi inspirasi dan panduan untuk menetapkan keputusan terbaik pada setiap pilihan hidup yang akan mempengaruhi masa depan mereka.
Buku ini dibagi dalam beberapa bab, dari Alpha Student, Alpha Friend, Alpha Lover, Alpha Professional, Alpha Look, Alpha Carer, serta wawancara dengan contoh dua orang Alpha Female.
Lalu, bagaimana kalau pembacanya sudah tidak *ehem* muda lagi, atau bahkan bukan perempuan?
Santai aja lagi. Penulisnya aja bukan perempuan, sudah ubanan pula :))
IMHO, meskipun penulisnya bukan perempuan, bukan berarti buku ini berisi celotehan seorang cowok sok tahu. Sebagai observer, pandangan Om Piring yang dituangkan dalam esai di buku ini cukup objektif, serta lumayan menohok dan mengena.
Memang, kepala sama hitam, tapi pikiran lain-lain. Mungkin ada beberapa pendapat Om Piring yang kurang cocok dengan pandangan pribadi, tapi overall aku merasa cukup klik dengan sebagian besar isi buku ini, terutama pendapat agar perempuan dapat mandiri.
Question of the day :
Cewek itu harus berpendidikan tinggi nggak, sih? Ujung-ujungnya di dapur juga. Kasih alasan kuat, dong, kenapa cewek harus berpendidikan tinggi?
Answer :
Karena sesudah menikah 10 tahun dan suami lo memutuskan untuk:
- punya simpanan perempuan yang 20 tahun lebih muda, atau
- pengin nikah lagi dan lo dimadu, atau
- menceraikan lo untuk nikah lagi, maka
dengan pendidikan tinggi, lo masih bisa mandiri dan nggak pasrah menangis memohon dia mengasihani lo dan tetap menafkahi lo. Malah, lo bisa menendang dia dari hidup lo.
Perempuan berpendidikan tinggi punya kemampuan mandiri sebagai backup plan.
Verdict :
Komentar ini dibuat dalam rangka :
Penulis : Henry Manampiring
Penerbit : GagasMedia
Tebal : 254 halaman
Beli di : Gramedia Plaza Semanggi
Dibeli tanggal : 13 Januari 2016
Dibaca tanggal : 17 Januari 2016
Sinopsis :
Alpha Female adalah para perempuan yang menginspirasi, memimpin, menggerakkan orang sekitarnya, dan membawa perubahan. Mereka cerdas, percaya diri, dan independen. Bagaimana remaja dan perempuan muda bisa mengembangkan diri menjadi mereka? The Alpha Girl’s Guide akan membahas tips-tipsnya, seperti:
- Mana yang lebih penting, nilai atau pengalaman berorganisasi?
- Apakah teman kamu teman sejati atau teman yang menghambat?
- Bagaimana mengetahui cowok parasit dan manipulatif?
- Bagaimana bersikap saat patah hati?
- Apakah kamu akan menikah untuk alasan yang tepat?
- Apa yang penting dilakukan saat memulai bekerja?
Buku ini adalah hasil pengamatan, riset artikel, wawancara langsung, dan diskusi dengan banyak perempuan di media sosial Ask.fm. Ditulis dengan ringan, penuh ilustrasi kocak, tetapi tetap blak-blakan menohok, The Alpha Girl’s Guide akan membuat kamu terinspirasi menjadi cewek smart, independen dan bebas galau!
Komentar singkat:
Buku ini salah satu dari beberapa buku nonkomik yang kubeli pada waktu first book shopping di awal tahun 2016.
Sebenarnya menjelang akhir tahun 2015 aku sudah tahu kalau akan terbit buku baru Henry Manampiring (atau biasa dipanggil Om Piring) berkat iklan salah satu toko buku online langganan. Tapi ternyata sampai dengan terakhir kali main ke toko buku offline di tahun 2015, buku ini belum ada penampakannya. Belakangan, dari label harga yang dipasang di cover belakang, buku ini baru masuk toko tanggal 30 Desember 2015. Ya, pas aku sedang puasa beli buku sih.
Kenapa aku beli buku ini?
Simply, karena nama penulisnya. Aku sudah memiliki dan membaca dua buku sebelumnya, dan cukup suka dengan gaya penulisannya. Tapi karena aku buka pengikut atawa pembaca setia Om Piring di blog, twitter atau ask.fm, terus terang aku tidak tahu buku ini membahas apa :)
Tapi, meskipun demikian, untungnya buku ini tergolong gambling yang terbayar.
Oke, singkatnya... buku ini kumasukkan ke rak how-to atau self-help. Sudah jelas sih dari judulnya juga, ini buku panduan menjadi Alpha Girl, alias cewek yang smart, independen, dan anti-galau.
Om Piring terpikir untuk menulis buku ini karena setelah tujuh puluh tahun Indonesia mereka dan sekian puluh tahun kita merayakan hari Kartini, di zaman modern serba elektronik dan digital, masih ada saja kaum hawa yang pola pikirnya masih seperti di zaman kuda gigit besi.
Buku ini mencoba menyajikan perspektif kepada perempuan remaja dan muda, agar bisa menjadi pertimbangan dalam menjalani hidup dan meraih potensi, memberi inspirasi dan panduan untuk menetapkan keputusan terbaik pada setiap pilihan hidup yang akan mempengaruhi masa depan mereka.
Buku ini dibagi dalam beberapa bab, dari Alpha Student, Alpha Friend, Alpha Lover, Alpha Professional, Alpha Look, Alpha Carer, serta wawancara dengan contoh dua orang Alpha Female.
Lalu, bagaimana kalau pembacanya sudah tidak *ehem* muda lagi, atau bahkan bukan perempuan?
Santai aja lagi. Penulisnya aja bukan perempuan, sudah ubanan pula :))
IMHO, meskipun penulisnya bukan perempuan, bukan berarti buku ini berisi celotehan seorang cowok sok tahu. Sebagai observer, pandangan Om Piring yang dituangkan dalam esai di buku ini cukup objektif, serta lumayan menohok dan mengena.
Memang, kepala sama hitam, tapi pikiran lain-lain. Mungkin ada beberapa pendapat Om Piring yang kurang cocok dengan pandangan pribadi, tapi overall aku merasa cukup klik dengan sebagian besar isi buku ini, terutama pendapat agar perempuan dapat mandiri.
Question of the day :
Cewek itu harus berpendidikan tinggi nggak, sih? Ujung-ujungnya di dapur juga. Kasih alasan kuat, dong, kenapa cewek harus berpendidikan tinggi?
Answer :
Karena sesudah menikah 10 tahun dan suami lo memutuskan untuk:
- punya simpanan perempuan yang 20 tahun lebih muda, atau
- pengin nikah lagi dan lo dimadu, atau
- menceraikan lo untuk nikah lagi, maka
dengan pendidikan tinggi, lo masih bisa mandiri dan nggak pasrah menangis memohon dia mengasihani lo dan tetap menafkahi lo. Malah, lo bisa menendang dia dari hidup lo.
Perempuan berpendidikan tinggi punya kemampuan mandiri sebagai backup plan.
Verdict :
Komentar ini dibuat dalam rangka :
![]() |
BBI First Book Shopping |
Sunday, August 23, 2015
Dogfight: How Apple and Google Went to War and Started a Revolution

My rating: 4 of 5 stars
Sepanjang sejarahku menggunakan ponsel, aku selalu memilih merek yang bukan sejuta umat. Dulu, waktu ponsel Nokia menjadi ponsel sejuta umat, aku malah menggunakan ponsel Siemens, Samsung atau Sony (Ericsson). Begitu pula waktu Blackberry sedang digandrungi orang, aku tidak mau punya sama sekali, meskipun hampir semua rekan kerja menggunakannya. Ketika iPhone mulai jadi trendsetter, aku tetap setia menggunakan Sony Xperia, dari seri pertama yang masih OS-nya masih Windows sampai sekarang yang sudah berplatform Android. Iya, snob wannabe banget memang, sok anti mainstream, karena tidak mau punya ponsel dengan merek yang banyak orang pakai.
Saat ini, smartphone yang hampir semua orang punya, terutama di lingkungan pribadi, adalah ponsel yang berbasis Android, khususnya merek Samsung dengan segala tipe dan turunannya. Dan saat ini, aku menjadi bagian dari mainstream. Meskipun aku masih tetap setia menggunakan Sony Xperia untuk ponsel, aku juga menjadi salah satu pengguna Samsung (yang telah menggantikan posisi Nokia sebagai merek sejuta umat) untuk tablet. Dan sebagai pengguna keduanya, aku telah menjadi bagian dari komunitas Android yang menguasai market share ponsel dunia.
Iya, kalau aku mau tetap anti mainstream, seharusnya aku sekarang malah balik memilih Nokia dan Blackberry. Eh, tapi setelah menjaga gengsi beberapa lama, mereka juga menyerah dan mulai merilis versi Android. Supaya tetap anti mainstream, seharusnya aku beralih ke iPhone, yang meskipun masih populer dan bergengsi, terutama bagi penggemar Apple, sudah lama terlibas oleh Samsung. Atau kalau mau anti mainstream yang jauh lebih bergengsi lagi, seharusnya aku sekalian saja beralih ke Vertu. Eh tapi... untuk yang terakhir ini, selain OS-nya juga Android, harganya benar-benar ngajak bangkrut. Lupakan.
Maaf, curcol pembukanya kepanjangan. Kita review sedikit buku ini, ya.
![]() |
Warna lightsaber-nya... Apakah analogi Sith vs Jedi, atau simply karena apel itu merah dan android itu hijau? |
Buku ini salah satu bacaan nonfiksi yang susah ditaruh begitu mulai dibaca, padahal aku membelinya secara iseng waktu menemukannya di bargain books salah satu toko buku impor online.
Sebagai pengguna smartphone, harus kuakui aku cukup ignorant mengenai perang Apple vs Google ini. Secara selintasan aku pernah membaca perang Apple vs Samsung di pengadilan, dan secara umum sering membaca para pengguna iPhone (dan semua i-i lainnya) dan para pengguna smartphone dengan OS Android berperang secara terbuka di dunia maya, sampai taraf saling menghujat dan menghina smartphone pilihan masing-masing.
Narasi Fred Volgelstein, salah seorang kontributor majalah Wired, mengisahkan awal mula perang antara Apple dan Google. Bagaimana dari semula mereka yang bersekutu erat dan bahu membahu dalam perang melawan musuh bersama, kekaisaran Microsoft, kemudian mengalami perpecahan dan akhirnya menjadi musuh bebuyutan. Menurutku pribadi, buku ini bertutur secara netral dan mengungkap cerita dari masing-masing pihak (meskipun tidak ada wawancara langsung dengan manajemen puncak dari Apple maupun Google.
Menariknya, kita jadi tahu kisah di balik layar pengembangan masing-masing platform, betapa besar kesulitan dan tantangan para tukang insinyur masing-masing perusahaan berjuang untuk menciptakan apa yang kita nikmati sekarang secara take it for granted.
Terlepas dari preferensi pribadi, yang memilih smartphone dengan platform Android karena alasan lebih user-friendly, praktis dan fungsional (tapi ini tentu saja debatable bagi penggemar Apple, yang juga menganggap smartphone-nya lebih user friendly, praktis dan fungsional ketimbang Android), menurutku perang antara Apple dan Google, dengan prinsip dan filosofi masing-masing, sebenarnya memberi keuntungan bagi kita, karena usaha mereka untuk memberikan yang terbaik bagi konsumen, mempercepat revolusi teknologi ke kondisi yang tak terbayangkan beberapa dekade silam, atau bahkan satu dekade silam.
Sure, they are different stucturally. Apple makes every inch of the i-Phone--the hardware and the software (though the devices are assembled in China). Google just makes the software for Android phones. It allows manufacturers such as Samsung to make the hardware. But both platforms now have an equivalent number of pluses and minuses: Apple's platform is a little easier to use, but it only offers three products--the iPhone, the iPad, and the iPod Touch. Google's platform offers many more phone choices, and often has the latest phone features ahead of Apple, but it lacks the polish of Apple's interface. Still, both platforms are now equally available among large carriers worldwide, and with the exception of Apple stores, they are available for purchase in the same places.
Tuesday, June 30, 2015
Kretek Jawa
Judul : Kretek Jawa: Gaya Hidup Lintas Budaya
Penyusun : Rudy Badil, TR Setianto Riyadi
Kontributor : Mohammad Sobary, G Budi Subanar
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Terbit pada : Agustus 2011
Dibeli pada : 21 April 2015
Dibaca pada : 10 Mei 2015
Harga resmi : Rp. 175.000,-
Harga beli : Rp. 40.000,-
Sinopsis :
Kudus memang telah menjadi salah satu produsen rokok utama tingkat nasional. Pada 2009 terdapat 209 unit industri di Kudus yang menghasilkan total 58,9 miliar batang rokok, dari 245 miliar batang rokok produk nasional.
Dari sudut pandang ketenagakerjaan, dapat dikatakan bahwa kehidupan warga Kudus bergantung pada rokok. Sebab, dari 98.874 tenaga kerja pada tahun 2008, lebih dari 80 persennya terserap dalam industri rokok. Singkatnya, Kudus memang betul-betul kota kretek.
Sejak pertama kali tembakau diperkenalkan kepada bangsa kita oleh kaum kolonialis, tanaman tersebut telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari sebagian masyarakat Indonesia. Faktor kesehatan konsumen rokok jelas patut diperhatikan, khususnya generasi muda yang di antaranya banyak menjadi perokok. Namun industri rokok tidak bisa dimatikan begitu saja; pelarangan iklan rokok total pun tidak bisa dilakukan begitu saja. Jika hal tersebut dipaksakan, perekonomian Indonesia akan menerima dampak dari tingkat pengangguran yang melonjak tajam.
Komentar singkat :
Penerbit KPG menggolongkan buku ini pada slot "Budaya".
Terlepas dari opini pribadiku atas rokok serta rekan-rekan sejenis dan turunannya, rokok khususnya rokok kretek memang merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari sebagian masyarakat Indonesia. Telah menjadi budaya sebagian masyarakat Indonesia. Bagi perokok berat, ancaman bahaya kesehatan yang dipajang lengkap dengan gambar-gambar yang seram di bungkus rokok takkan banyak berpengaruh. Ngrokok matek, kagak ngrokok matek, ngrokok'o sampe matek!
Buku ini memuat tulisan, esai, reportase, dan lain-lain yang terkait dunia perokokkretekan di Indonesia. Dari awal mula sejarahnya (yang konon sudah ada dari jaman Roro Mendut yang boleh jadi bisa ditahbiskan sebagai SPG rokok pertama di tanah Jawa), para perintis produksi rokok kretek dari produk rumahan sampai produk pabrikan, suka-duka para buruh pelinting kretek tangan, produksi tembakau, sampai merek-merek rokok yang nyeleneh (tapi dianggap membawa hoki) dan koleksi gambar etiket rokok kretek dari masa ke masa.
Pembahasan buku ini cukup komprehensif dan sangat berguna bagi pembaca yang ingin mengetahui seluk beluk sejarah rokok di Indonesia. Tidak hanya berisi tulisan semata, tapi dilengkapi dengan koleksi foto, gambar dan ilustrasi berwarna yang hadir di setiap halamannya. Dicetak dengan jenis kertas majalah yang glossy, buku sejarah/budaya ini jadi terasa mewah dan terus terang saja harganya waktu pertama kali terbit memang agak bikin keder dan membuatku berpikir berulang kali untuk membelinya. Pas sudah berniat beli, eh, bukunya malah hilang dari rak di toko buku (iya, kelamaan mikir sih). Untunglah akhirnya aku menemukannya di sale buku Gramedia di Sudirman Citywalk dengan harga miring-miring sekali. Tentu saja, kali ini tidak perlu pikir panjang lagi!
Komentar singkat ini dibuat dalam rangka mengikuti event posbar BBI bulan ini dengan tema Budaya Indonesia.
Penyusun : Rudy Badil, TR Setianto Riyadi
Kontributor : Mohammad Sobary, G Budi Subanar
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Terbit pada : Agustus 2011
Dibeli pada : 21 April 2015
Dibaca pada : 10 Mei 2015
Harga resmi : Rp. 175.000,-
Harga beli : Rp. 40.000,-
Sinopsis :
Kudus memang telah menjadi salah satu produsen rokok utama tingkat nasional. Pada 2009 terdapat 209 unit industri di Kudus yang menghasilkan total 58,9 miliar batang rokok, dari 245 miliar batang rokok produk nasional.
Dari sudut pandang ketenagakerjaan, dapat dikatakan bahwa kehidupan warga Kudus bergantung pada rokok. Sebab, dari 98.874 tenaga kerja pada tahun 2008, lebih dari 80 persennya terserap dalam industri rokok. Singkatnya, Kudus memang betul-betul kota kretek.
Sejak pertama kali tembakau diperkenalkan kepada bangsa kita oleh kaum kolonialis, tanaman tersebut telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari sebagian masyarakat Indonesia. Faktor kesehatan konsumen rokok jelas patut diperhatikan, khususnya generasi muda yang di antaranya banyak menjadi perokok. Namun industri rokok tidak bisa dimatikan begitu saja; pelarangan iklan rokok total pun tidak bisa dilakukan begitu saja. Jika hal tersebut dipaksakan, perekonomian Indonesia akan menerima dampak dari tingkat pengangguran yang melonjak tajam.
Komentar singkat :
Penerbit KPG menggolongkan buku ini pada slot "Budaya".
Terlepas dari opini pribadiku atas rokok serta rekan-rekan sejenis dan turunannya, rokok khususnya rokok kretek memang merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari sebagian masyarakat Indonesia. Telah menjadi budaya sebagian masyarakat Indonesia. Bagi perokok berat, ancaman bahaya kesehatan yang dipajang lengkap dengan gambar-gambar yang seram di bungkus rokok takkan banyak berpengaruh. Ngrokok matek, kagak ngrokok matek, ngrokok'o sampe matek!
Buku ini memuat tulisan, esai, reportase, dan lain-lain yang terkait dunia perokokkretekan di Indonesia. Dari awal mula sejarahnya (yang konon sudah ada dari jaman Roro Mendut yang boleh jadi bisa ditahbiskan sebagai SPG rokok pertama di tanah Jawa), para perintis produksi rokok kretek dari produk rumahan sampai produk pabrikan, suka-duka para buruh pelinting kretek tangan, produksi tembakau, sampai merek-merek rokok yang nyeleneh (tapi dianggap membawa hoki) dan koleksi gambar etiket rokok kretek dari masa ke masa.
Pembahasan buku ini cukup komprehensif dan sangat berguna bagi pembaca yang ingin mengetahui seluk beluk sejarah rokok di Indonesia. Tidak hanya berisi tulisan semata, tapi dilengkapi dengan koleksi foto, gambar dan ilustrasi berwarna yang hadir di setiap halamannya. Dicetak dengan jenis kertas majalah yang glossy, buku sejarah/budaya ini jadi terasa mewah dan terus terang saja harganya waktu pertama kali terbit memang agak bikin keder dan membuatku berpikir berulang kali untuk membelinya. Pas sudah berniat beli, eh, bukunya malah hilang dari rak di toko buku (iya, kelamaan mikir sih). Untunglah akhirnya aku menemukannya di sale buku Gramedia di Sudirman Citywalk dengan harga miring-miring sekali. Tentu saja, kali ini tidak perlu pikir panjang lagi!
Komentar singkat ini dibuat dalam rangka mengikuti event posbar BBI bulan ini dengan tema Budaya Indonesia.
Thursday, January 1, 2015
The Art of Packaging

My rating: 4 of 5 stars
Buku ini murni kubeli hanya karena melihat judul, cover dan sinopsisnya, tanpa referensi dari siapa atau manapun.
Wajar sih, waktu itu aku sedang berselancar di salah satu toko buku online dan sedang mencari buku yang "sepertinya menarik" untuk ditambahkan ke keranjang belanja, dengan alasan sepele: menggenapkan nilai pembelian supaya ongkos kirimnya gratis. Sungguh taktik dagang yang sederhana namun sangat jenius secara psikologis, karena ongkir yang sebenarnya murah malah membuat calon pembeli tanpa sadar berbelanja di luar rencana. Apalagi kalau buku yang "sepertinya menarik" itu harganya cukup ngajak bokek seperti buku ini.
Tapi, untunglah aku tidak menyesal membeli buku ini, karena bagiku buku ini memang menarik.
Buku ini memberikan informasi yang sangat komprehensif tentang kemasan, katakanlah bisa dijadikan buku referensi Packaging 101, buat orang awam sepertiku.
Yang dibahas di sini antara lain:
- Sejarah packaging
- 1001 basic packaging
- Proses desain sampai pemasaran produk
- Kemasan kertas, karton, plastik rigid, semi-rigid, tube, fleksibel, dan logam
- Coating dan Lamination
- Macam-macam proses cetak
- Quality Management
- Consumer Safety
- Dampak packaging terhadap lingkungan
- Membeli kemasan dengan harga yang efektif
- Mempersiapkan tenaga ahli packaging
- Packaging design dan branding
Lengkap, meskipun mungkin baru dasar-dasarnya. Wajar sih, karena penulisnya telah berpengalaman selama 30 tahun sebagai praktisi di dunia kemasan, dan di PT Unilever Indonesia dikenal sebagai "packaging guru".
Sebagai seorang konsumen atau pembeli produk, kita punya banyak pertimbangan untuk membeli produk, seperti harga, ukuran, warna, bentuk, desain, dan lain-lain (termasuk ongkos kirim gratis? :)) Dan sebagai pembeli juga, kadang-kadang kita kepo untuk mengetahui bahan dari produk dan kemasannya, jangan-jangan suatu kemasan tertentu berbahaya bagi kesehatan dan tidak bisa dibuang sembarangan (tapi masih banyak juga sih yang nggak peduli).
Sebagai pelengkap, di bagian belakang buku ini terlampir pula hasil uji kemasan makanan styrofoam dan plastik PVC dari Badan Pengawas Obat dan Makanan RI.
Jadi, meskipun kita bukan produsen atau calon produsen suatu produk, buku ini tetap enak dibaca dan perlu.
View all my reviews
Friday, December 19, 2014
Schlegelmilch 50 Years of Formula 1 Photography

My rating: 5 of 5 stars
Buku ini buku terberat yang pernah kubeli dan kubaca... secara harfiah. Beratnya 5,17 kg. Jelas bukan tipe buku yang bisa ditenteng ke mana-mana.
![]() |
Perbandingan dimensi dengan novel mass market paperback |
Bagi penggemar F1, menemukan buku kumpulan foto dengan harga miring mendekati curam ini seperti menemukan harta karun yang amat sangat berharga.
Kita bisa melihat perkembangan F1 dari masa ke masa, dari profil para pembalapnya, para juara dunia, desain mobil, desain helm, sampai desain setir...
![]() |
Starting line in black and white |
![]() |
Desain mobil jadul mirip selongsong peluru beroda, ya? |
![]() |
Bruce McLaren |
![]() |
James Hunt |
![]() |
Niki Lauda |
![]() |
Ayrton Senna |
![]() |
Desain setir dari masa ke masa |
Salah satu ciri khas Schlegelmilch adalah foto yang berfokus pada pembalap atau mobil balap, sehingga area di luar fokus menjadi mirip sapuan cat pada lukisan.
Buat yang penasaran, beginilah sosok Schlegelmilch yang telah 50 tahun berkarya di arena F1, dengan ciri khas kumisnya yang tetap lebat sampai tua:
![]() |
Before and after |
View all my reviews
Subscribe to:
Posts (Atom)