Sunday, July 27, 2014

The Red Baron

The Red BaronThe Red Baron by Manfred von Richthofen
My rating: 5 of 5 stars

Buku ini kutemukan di salah satu lapak buku bekas di Plaza Semanggi, dengan kondisi yang lumayan bagus untuk sebuah buku terbitan tahun 1976. Seperti biasa, aku membelinya dengan alasan "sepertinya menarik", karena cukup tahu tentang pilot ace Perang Dunia I ini dari bacaan perang/militer yang pernah kubaca, apalagi buku ini ditulis sendiri oleh sang Red Baron.

Biasanya sih buku yang dibeli gara-gara "sepertinya menarik" berakhir "hit or miss" dengan perbandingan fifty-fifty. Untungnya, buku ini termasuk yang hit. Setengahnya karena aku memang penggemar bacaan perang/militer, tapi setengahnya lagi karena aku suka gaya penulisan biografi ini, dan... iya, mungkin agak bias juga karena penulisnya ganteng dan keren :D

Rittmeister Manfred Freiherr von Richthofen
Jadi, siapakah makhluk manis dengan lirikan maut di atas ini?

Dari cover belakang buku, bisa kita dapatkan gambaran singkatnya:
Manfred von Richthofen, the Red Baron, was probably the greatest air ace of either World War. In nearly three years of combat, from 1915 to 1918, he shot down more aircraft than any other flier. A staggering 80 kills accounted for the death, wounding or capture of 126 Allied pilots; von Richthofen's blood-red Fokker was a sky-born legend, the man a hero.
Aslinya, buku ini merupakan jurnal pribadi Manfred von Richthofen dengan judul "My Life In The War", yang terbit pada tahun 1918 sebelum ia gugur. Edisi The Red Baron merupakah terjemahan bahasa Inggris dari terbitan 1933, yang juga mencakup surat-surat Manfred von Richthofen semasa Perang Dunia I, ditambah tulisan dari kedua adiknya, Lothar dan Bolko, serta catatan dari Captain A. Roy Brown, pilot yang menembak jatuh Von Richthofen.

Lahir pada tanggal 2 Mei 1892, sebagai anggota keluarga bangsawan Prussia dan putra seorang mayor, Manfred dipaksa masuk Cadet Corps pada usia sebelas tahun. Ia kurang cocok dengan peraturan dan disiplin, dan tidak suka belajar. Prinsipnya "It would have been wrong to do more than was necessary, so I worked as little as possible." Duh, tipe Sloth Deadly Angel banget nih, tipe murid yang tidak disukai guru-guru strict deh :) Tapi kemalasannya diimbangi dengan kesukaannya di bidang olahraga, terutama senam, sepakbola, dan berkuda.

Pada awal karir militernya, Manfred merupakan bagian dari pasukan kavaleri Jerman. Pada tahun 1911 ia bergabung di sekolah militer, dan menjadi perwira dengan pangkat letnan pada tahun 1912. Di masa damai sebelum perang dimulai, ia mengikuti dan memenangkan kompetisi berkuda, dengan prestasi terakhir Kaizer Prize Race pada tahun 1913.

Di awal Perang Dunia I, Manfred menjadi bagian dari tim reconnaisance baik di Front Timur maupun Front Barat. Namun dengan berkembangnya perang parit, operasi kavaleri berkuda menjadi kurang relevan, sehingga Manfred tahu-tahu mendapat pekerjaan membosankan: asisten ajudan, dan turun derajat dari pasukan tempur menjadi kurir. Tidak cocok dengan pekerjaan membosankan tanpa tantangan, begitu mendapat tugas logistik, ia nekat menulis surat permohonan pada komandannya, yang konon berbunyi "Yang Mulia, saya tidak pergi berperang untuk mengumpulkan keju dan telur, tapi untuk tujuan lain". Untunglah meskipun suratnya membuat tersinggung sebagian orang, permintaannya dikabulkan. Pada bulan Mei 1915, ia bergabung dengan Angkatan Udara.

Pada karir awalnya di Angkatan Udara, Manfred kembali bertugas sebagai tim reconn. Sebagai observer di pesawat two-seater, ia tidak menjadi pilot, melainkan menangani bom dan senapan mesin. Tapi kemudian ia berlatih menjadi pilot, bergabung dengan skuadron Boelcke sebagai pilot tempur solo, dan belakangan memimpin suadron sendiri (Jagdstaffel alias Jasta 11). Dan... tentu saja sisa hidup selanjutnya menjadi legenda.
Red Baron dan Jasta 11-nya
Membaca kisah Manfred von Richthofen dari sudut pandang dan pemikiran pribadinya ini mengasyikkan. Meskipun pada saat itu pihak lawan menjulukinya "Le Diable Rouge" atau "Red Devil" alias Setan Merah (sama sekali tidak ada hubungannya dengan Manchester United) karena kepiawaiannya di angkasa, kita tahu kalau dia manusia biasa. Manusia biasa yang melakukan hal-hal luar biasa, tentu saja. Dan karena penuturannya tentang hal-hal yang dialaminya selama perang, seburuk apapun, selalu dipandang dari sudut yang positif, sehingga kisah perang yang dialaminya terasa bagaikan petualangan yang seru dan mendebarkan. Pembaca seolah menonton film perang dengan Von Richthofen sebagai tokoh utama, mendukung apapun keputusan yang dibuatnya, dan lupa berpikir dari sudut lawannya yang jadi korban.


Bagi Manfred von Richthofen, berperang dan bertempur itu fun! Tidak peduli di darat ataupun di udara. Sebagai seorang pemburu sejati, (iya, ia masih sempat-sempatnya berburu babi dan bison di masa perang), menjadi pilot pesawat tempur jelas pekerjaan ideal: menyalurkan hobi sambil tetap mengabdi pada negara. Memburu skuadron lawan, dog-fight satu lawan satu, atau satu lawan banyak sekalipun, menembak jatuh minimal satu pesawat musuh setiap kali terbang, benar-benar mengasyikkan. Ia mengakui bahwa sebagai pilot pada awalnya ia lebih sebagai hunter ketimbang shooter. Ia merasakan kepuasan setiap kali berhasil menembak jatuh lawannya. Seorang shooter lebih klinis, apabila berhasil menembak jatuh lawan, ia tidak merasakan emosi yang berlebihan, dan langsung beralih pada lawan berikutnya. Hm, kalau von Richthofen hidup di masa sekarang, mungkin ia bisa menyalurkan hobinya dengan bermain video games, tanpa benar-benar membunuh makhluk bernyawa.

Kenapa Manfred von Richthofen dijuluki Red Baron? Pertama, ia seorang Freiherr yang tidak ada gelar padanannya di Inggris, tapi kira-kira setingkat gelar baron. Kedua, ia mengecat pesawat Fokker triplane-nya dengan warna merah menyala. Benar-benar mencolok, seolah menunjukkan dirinya dan menantang semua orang "Come and get me!", persis seperti warna armor Iron Man atau jacket Rita Vrataski di All You Need Is Kill. Pokoknya kelihatan banget dari jauh, dan membuat lawan sempat lempar koin dulu sebelum memutuskan untuk memburu atau menghindarinya.
Replika Triplane Fokker Dr. I Von Richthofen
Kok sombong banget sih, di saat orang lain berusaha terbang diam-diam tanpa ketahuan? Menurut cerita adiknya, Lothar, yang juga merupakan anak buah dan wingman-nya, pada awal karir sebagai pilot tempur Manfred merasa terganggu karena ia merasa terlalu mudah dilihat oleh lawannya dalam pertempuran udara, dan sudah berusaha menggunakan berbagai macam warna untuk penyamaran, tapi kamuflase tidak ada gunanya untuk benda bergerak seperti pesawat. Akhirnya, supaya mudah dikenali oleh rekan-rekannya di udara, ia memilih warna merah menyala.

Pada awalnya hanya Manfred sendirian yang menggunakan pesawat berwarna merah. Awalnya ia dijuluki "Le petit rouge", dan pernah dikira "Joan of Arc" atau wanita sekaliber itu karena warna merah identik dengan wanita. Tapi segera semua orang tahu siapa yang duduk di dalam pesawat merah. Setiap kehadirannya dapat langsung meningkatkan semangat pasukan darat dan mengendurkan semangat pasukan lawan. Demi melindungi Manfred yang terlalu mencolok itulah, para anggota skuadronnya memutuskan untuk ikut mengecat merah pesawat mereka juga. Untungnya, kepiawaian tempur mereka membuktikan bahwa mereka juga pantas mengenakan simbol yang sama dengan pemimpin mereka.
Kompakan, yuuuk!
Korban Manfred kebanyakan penerbang Inggris, dan ia memang lebih suka menghadapi orang Inggris. Baginya, penerbang Prancis pengecut, karena lebih memilih kabur kalau bertemu dengannya. Penerbang Inggris umumnya berani menantangnya atau menerima tantangannya. Kalau dipikir-pikir, antara pintar dan pengecut atau berani dan bodoh itu memang tipis bedanya. Kalau sudah tahu lawan yang dihadapi adalah the Red Baron, memangnya salah kalau memilih kabur?

Karena itulah Inggris sampai membentuk skuadron khusus dengan tujuan utama menghancurkan Manfred von Richthofen. Pilot yang berhasil menembak jatuh atau menangkapnya akan mendapat Victoria Cross, promosi, pesawat pribadi, 5.000 poundsterling, dan hadiah khusus dari pabrik pesawat yang digunakan si pilot. Bersama skuadron itu akan terbang juru kamera yang akan merekam seluruh kejadian dengan tujuan film propaganda British Army. Apa yang dipikirkan Manfred von Richthofen ketika membaca berita spesial itu benar-benar kocak!

Pada tanggal 6 Juli 1917, Manfred terluka dalam sebuah dog-fight. Deskripsinya tentang apa yang terjadi ketika kepalanya tertembak dan pesawatnya jatuh benar-benar membuat kita dapat merasakan berada di kokpit pesawat dan terluka bersamanya. Ia selamat dengan luka parah di kepala dan dadanya. Tapi, karena beberapa waktu sebelumnya adiknya Lothar juga terluka dan dirawat di rumah sakit, yang terpikir olehnya malah siapa di antara mereka yang bisa terbang lebih dulu. Dasar kompetitif!

Foto bareng suster Kate yang merawatnya
Manfred von Richthofen menulis dan menerbitkan jurnal perangnya selama masa perawatan (berdasarkan instruksi bagian propaganda Angkatan Udara Jerman). Kalau sebelumnya ia sudah terkenal di kalangan militer baik di pihaknya sendiri maupun pihak lawan, kali ini ia mendadak jadi selebriti dan idola buat masyarakat kebanyakan, yang membanjirinya dengan surat penggemar. Bahkan London Times juga menulis review bukunya, padahal waktu itu perang belum berakhir. 

Meskipun sering bersenggolan dengan Maut, Manfred von Richthofen jarang benar-benar terluka. Namun, keberuntungannya berakhir pada tanggal 21 April 1918 ketika ia tertembak jatuh oleh Captain Roy Brown (catatan resmi demikian, meskipun sekarang terbukti bahwa peluru yang membunuh von Richthofen berasal dari anti-aircraft gun di darat). Ia dikebumikan secara militer dan penuh kehormatan oleh pihak Inggris.

Captain von Richthofen, the brave and worthy foe
Ia gugur di usia dua puluh lima tahun.

If I should live through this war, I shall have more luck than sense. 
-- Manfred von Richthofen
  
View all my reviews

No comments:

Post a Comment